Anda di halaman 1dari 28

Orasi Ilmiah

Komunikasi dan Budaya pada Pelayanan


Kesehatan Ibu

PROF DR HJ ASIAH HAMZAH MA DRA

Kata pengantar
Ucapan penghormatan
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
Ucapan terima kasih
Pendahuluan
Kesejahteraan ibu dan anak merupakan tolak ukur pembangunan suatu
bangsa, karena itu setiap Negara berkewajiban meningkatkan kesejahteraan ibu
dan anak (Dainur, 1994). Pada tahun 2000, Anggota PBB mencanangkan MDGs
yang salah satu Goalnya adalah menurunkan angka kematian ibu dengan
target menurunkan angka kematian ibu sebanyak dari jumlah kematian pada
tahun 1990. Penurunan tersebut ditargetkan akan tercapai pada tahun 2015.
Saat ini setelah MDGs selesai, melalui Program SDGs yang dimulai 2016
menggantikan MDGs, dilakukan transformasi agenda dengan mencanangkan
target 70 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030 (WHO, 2015).
Secara global, angka kematian ibu mengalami penurunan hampir 44%
selama 25 tahun terakhir, yaitu dari 385 per 100.000 kelahiran hidup menjadi
tinggal 216 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Meskipun angka ini
telah mengalami penurunan, namun masih jauh dari target MDGs yaitu
menurunkan hingga 75% dari tahun 1990. Kematian dan kesakitan ibu hamil
masih menjadi masalah besar di Negara berkembang. Organisasi Kesehatan

1
Dunia (WHO) memperkirakan terjadi 302.000 kematian ibu melahirkan setiap
tahunnya, 99% diantaranya terjadi di Negara berkembang (WHO, 2015).
Berdasarkan data Kemenkes RI (2012) dalam SDKI 2012, angka nasional
kematian ibu di Indonesia 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini sangat
jauh dari target MDGs yang disepakati yaitu 102 kematian per 102 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2015. Angka ini masih cukup tinggi apabila
dibandingkan dengan Negara-negara tetangga.
Lima penyebab kematian ibu terbesar yaitu perdarahan, hipertensi dalam
kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet, dan abortus. Kematian ibu di
Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu
perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan infeksi. Namun
proporsinya telah berubah, dimana perdarahan dan infeksi cenderung
mengalami penurunan sedangkan HDK proporsinya semakin meningkat.
Lebih dari 25% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2013 disebabkan oleh
HDK (Kemenkes RI, 2015) .
Diperkirakan 20% dari kehamilan akan mengalami komplikasi. Sebagian
komplikasi ini dapat mengancam jiwa, tetapi sebagian besar komplikasi dapat
dicegah dan ditangani bila : 1) ibu segera mencari pertolongan ke tenaga
kesehatan; 2) tenaga kesehatan melakukan prosedur penanganan yang sesuai,
antara lain penggunaan partograf untuk memantau perkembangan persalinan,
dan pelaksanaan manajemen aktif kala III (MAK III) untuk mencegah
perdarahan pasca-salin; 3) tenaga kesehatan mampu melakukan identifikasi
dini komplikasi; 4) apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat
memberikan pertolongan pertama dan melakukan tindakan stabilisasi pasien
sebelum melakukan rujukan; 5) proses rujukan efektif; 6) pelayanan di RS yang
cepat dan tepat guna (Kemenkes RI, 2015).

2
Gambar 1. Penyebab Kematian Ibu di Indonesia

Komitmen global dalam MDGs juga tmenetapkan target terkait kematian


anak yaitu menurunkan angka kematian anak hingga dua per tiga dalam kurun
waktu 1990-2015 (Freedman, 2005; WHO, 2010). Upaya kesehatan anak antara
lain diharapkan mampu menurunkan angka kematian anak. Indikator angka
kematian yang berhubungan dengan anak yakni Angka Kematian Neonatal
(AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA).
Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari)
menjadi penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 59%
kematian bayi. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012, angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar
19 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sama dengan AKN berdasarkan SDKI
tahun 2007 dan hanya menurun 1 point dibanding SDKI tahun 2002-2003 yaitu
20 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2015).
Secara Nasional, Provinsi Papua memiliki masalah kesehatan yang cukup
tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Gambaran
kondisi kesehatan Ibu dan anak disajikan pada tabel di bawah ini.

3
Tabel 1. Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak Provinsi Papua
No. Variabel Posisi Nasional Presentase
1 Angka Kematian ibu Tertinggi 730/100.000 KH
2 Angka kematian balita Tertinggi 115*
3 Persalinan ditolong oleh Terrendah 33,31%
tenaga kesehatan
4 Cakupan K1 Terrendah 71,7%
5 Cakupan K4 Terrendah 22,3 %
6 Cakupan pelayanan masa Terrendah 54,9%
nifas periode 3 hari pertama
melahirkan
7 Cakupan pelayanan Ketiga terrendah 33,22
kesehatan bayi
8 Cakupan pelayanan anak Terrendah 8,36
balita
9 Kunjungan Neonatus pertama Terendah kedua 36,21
(KN1) (Hanya lebih baik
dari Papua Barat)
10 Penggunaan KB saat ini Terrendah 19.8%
11 Penggunaan KB Modern Terrendah 19,6%
12
13 Kepemilikan Buku KIA dan Terrendah 14,8%
bisa menunjukkan
14 Cakupan pelayanan KB Terrendah 26,0%
Setelah bersalin
15 Cakupan Imunisasi campak Terrendah 50,35
16 Presentase balita ditimbang Terrendah 37,89
Sumber: (Kemenkes RI, 2012, 2013; Pusdatin Kemenkes RI, 2014)
Gambaran data pada tabel 1 menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan
Ibu dan anak di Provinsi patut mendapatkan perhatian serius. Angka kematian
ibu dan anak di Papua masih sangat tinggi jauh dari target Nasional. Sebagian
besar cakupan pelayanan kesehatan ibu menempati urutan terrendah secara
nasional dan jauh dari target nasional. Presentase persalinan ditolong tenaga
kesehatan di Provinsi Papua pada tahun 2013 ialah sebesar 33,31%. Capaian
tersebut tidak dapat memenuhi target renstra tahun 2013 yang sebesar 89%.
Namun demikian, terdapat 1 Kabupaten/Kota di provinsi Papua yang dapat
mencapai target tersebut pada 2013 (Kab. Nabire). Cakupan kunjungan ibu
hamil K4 di Provinsi Papua pada tahun 2013 ialah sebesar 22,30%. Nilai

4
cakupan tersebut tidak mencapai target renstra tahun 2013 yakni sebesar 93%.
Sejalan dengan itu, tidak ada Kabupaten/Kota di provinsi Papua yang dapat
mencapai target tersebut pada tahun 2013
Bagaimana dengan Kabupaten Jayawijaya? Berikut disajikan beberapa
data pelayanan kesehatan Ibu di Kabupaten Jayawijaya.
Tabel 2. Kondisi Pelayanan Kesehatan Ibu di Kabupaten Jayawijaya
No. Variabel Kondisi/ Rata-rata Prov. Target
Capaian Papua (%) Nasional (%)
Jayawijaya (%)
1 Cakupan kunjungan 9,02 22,3 93
K4
2 Persalinan ditolong 29,17 33,31 89
oleh tenaga kesehatan
3 Kunjungan Neonatus 44,71 36,21 89
pertama (KN1)
4 Cakupan Imunisasi 10,2 50,35 90
Campak
5 Cakupan pelayanan 1,50 33,22 87
kesehatan bayi
6 Cakupan pelayanan 8,03 8,36 83
anak balita
7 Presentase balita 22,14 37,89 80
ditimbang
Sumber: (Pusdatin Kemenkes RI, 2014)

Tabel 3. Sarana dan tenaga Kesehatan di Kabupaten Jayawijaya


No. Jumlah di Rasio per Rasio per Target
Papua 100.000 di 100.000 di Renstra
Papua Kabupaten
Jayawijaya
Puskesmas 391 ( Rawat 11,81 5,67
Inap: 102;
Non: 289)
Rumah sakit 35 buah
Dokter Umum 18,3 7,4 40
Bidan 58,0 47,1 100
Perawat 166,3 154,1 117,5
Sumber: (Pusdatin Kemenkes RI, 2014)

5
Ketika penulisan makalah ini, belum didapatkan data kematian ibu dan
anak, namun kondisi ini tetap harus menjadi perhatian berdasarkan data yang
disajikan tabel 2 di atas.
Banyak determinan faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan ibu
dan anak. Salah satu determinan yang sangat berpengaruh terhadap pelayanan
kesehatan ibu adalah budaya dan kehidupan sosial masyarakat (Dako-Gyeke,
Aikins, Aryeetey, McCough, & Adongo, 2013; Tarekegn, Lieberman, &
Giedraitis, 2014; Witter et al., 2013). Dalam konteks perilaku dan budaya tradisi
pantang makanan tertentu masih harus dijalani ibu hamil dan melahirkan yang
mengakibatkan banyak ibu hamil tidak dapat mengkonsumsi makanan tinggi
protein (Foster & Anderson, 1986) . Pada masa kehamilan sampai ibu nifas, ibu
harus mengikuti serangkaian upacara dengan tujuan mencari keselamatan bagi
ibu dan bayi (Swasono, 1998). Dalam konteks sosial dan keluarga, kekuasaan
dan pengambilan keputusan bukan pada ibu misalnya tentang berapa banyak
jumlah anak yang diinginkan, pada siapa dan dimana melakukan persalinan,
adanya budaya berunding juga mengakibatkan keterlambatan pertolongan
persalinan yang dapat berakibat fatal pada ibu dan bayi (Iskandar, Utomo,
Hull, Dharmaputera, & Azwar, 1996).
Papua merupakan salah satu daerah dengan keanekaragaman budaya.
Perilaku terwujud nyata dari seperengkat pengetahuan dan kebudayaan,
termasuk yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan ibu. Tentunya hal ini
memberikan pengaruh besar terhadap proses pelayanan dan kondisi kesehatan
ibu dan anak di Papua.

Kehamilan, Persalinan dan Tema Budaya yang Menyertainya


Pada dasarnya masyarakat mengkhawatirkan masa kehamilan dan persalinan.
Masa kehamilan dan persalinan dideskripsikan oleh Malinowski (1927) bahwa
menjadi salah satu fokus perhatian yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat. Ibu hamil dan yang akan bersalin dilindungi secara adat, religi dan
moral dengan tujuan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan ibu dan

6
bayinya. Mereka menganggap masa tersebut adalah masa kritis karena bisa
membahayakan jiwa janin dan atau ibu. Masa tersebut direspon oleh
masyarakat dengan strategi-strategi, seperti dalam bentuk upacara kehamilan,
anjuran, dan larangan secara tradisional.
Orang Papua mempunyai konsepsi dasar berdasarkan pandangan
kebudayaan mereka masing-masing terhadap berbagai penyakit demikian
halnya pada kasus tentang kehamilan, persalinan, dan nifas berdasarkan
persepsi kebudayaan mereka. Akibat adanya pandangan tersebut di atas, maka
orang Papua mempunyai beberapa bentuk pengobatan serta siapa yang
manangani, dan dengan cara apa dilakukan pengobatan terhadap konsep sakit
yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, perdarahan, pembengkakan kaki
selama hamil, berdasarkan pandangan kebudayaan mereka. Sebagai ilustrasi
dapat disajikan beberapa contoh kasus pada orang Papua ( Orang Hatam,
Sough, Lereh, Walsa, Moi Kalabra) yang dihimpun oleh Dumatubun (2002). Hal
yang sama pula ada pada suku bangsa-suku bangsa Papua lainnya, tetapi
secara detail belum dilakukan penelitian terhadap kasus ibu hamil, melahirkan,
dan nifas pada orang Papua.
Interpretasi Sosial Budaya Orang Hatam dan Sough tentang Ibu hamil,
melahirkan, nifas, didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan kebudayaan
mereka secara turun temurun. Hal ini jelas didasarkan atas perilaku leluhur
dan orang tua mereka sejak dahulu kala sampai sekarang. Bagi orang Hatam
dan Sough, kehamilan adalah suatu gejala alamiah dan bukan suatu penyakit.
Untuk itu harus taat pada pantangan-pantangan secara adat, dan bila dilanggar
akan menderita sakit. Bila ada gangguan pada kehamilan seorang ibu, biasanya
dukun perempuan (Ndaken) akan melakukan penyembuhan dengan
membacakan mantera di air putih yang akan diminum oleh ibu tersebut.
Tindakan lain yang biasanya dilakukan oleh Ndaken tersebut juga berupa,
mengurut perut ibu hamil yang sakit. Sedangkan bila ibu hamil mengalami
pembengkakan pada kaki, berarti ibu tersebut telah melewati tempat-tempat
keramat secara sengaja atau pula telah melanggar pantangan-pantangan yang

7
diberlakukan selama ibu tersebut hamil. Biasanya akan diberikan pengobatan
dengan memberikan air putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum
ibu tersebut. Juga dapat diberikan pengobatan dengan menggunakan ramuan
daun abrisa yang dipanaskan di api, lalu ditempelkan pada kaki yang bengkak
sambil diuruturut. Ada juga yang menggunakan serutan kulit kayu bai yang
direbus lalu airnya diminum. Disini posisi seorang dukun perempuan atau
Ndaken sangatlah penting, sedangkan dukun laki-laki tidak berperan secara
langsung.
Bagaimana persepsi orang Hatam dan Sough tentang perdarahan selama
kehamilan dan setelah melahirkan? Hal itu berarti ibu hamil telah melanggar
pantangan, suaminya telah melanggar pantangan serta belum menyelesaikan
masalah dengan orang lain atau kerabat secara adat. Bila perdarahan terjadi
setelah melahirkan, itu berarti pembuangan darah kotor, dan bagi mereka
adalah suatu hal yang biasa dan bukan penyakit. Bila terjadi perdarahan, maka
Ndaken akan memberikan air putih yang telah dibacakan matera untuk
diminum oleh ibu tersebut. Selain itu akan diberikan ramuan berupa daun-
daun dan kulit kayu mpamkwendom yang direbus dan airnya diminum oleh ibu
tersebut. Bila terjadi pertikaian dengan kerabat atau orang lain, maka suaminya
secara adat harus meminta maaf. Di sini peranan dukun perempuan (ndaken)
dan dukun laki-laki (Beijinaubout, Rengrehidodo) sangatlah penting.Persalinan
bagi orang Hatam dan Sough adalah suatu masa krisis. Persalinan biasanya di
dalam pondok (semuka) yang dibangun di belakang rumah. Darah bagi orang
Hatam dan Sough bagi ibu yang melahirkan adalah tidak baik untuk kaum
laki-laki, karena bila terkena darah tersebut, maka akan mengalami kegagalan
dalam aktivitas berburu. Oleh karena itu, seorang ibu yang melahirkan harus
terpisah dari rumah induknya. Posisi persalinan dalam bentuk jongkok, karena
menurut orang Hatam dan Sough dengan posisi tersebut, maka bayi akan
mudah keluar. Pemotongan tali pusar harus ditunggu sampai ari-ari sudah
keluar. Apabila dipotong langsung, maka ari-ari tidak akan mau keluar.

8
Bagi orang Kaureh yang berada di kecamatan Lereh, juga mempunyai
interpretasi tentang ibu hamil, melahirkan dan nifas berdasarkan pemahaman
kebudayaan mereka. Orang Kaureh melihat kehamilan sebagai suatu masa
krisis, dimana penuh resiko dan secara alamiah harus dialami oleh seorang ibu,
untuk itu perlu taat terhadap pantangan-pantangan dan aturan-aturan secara
adat. Bila melanggar, ibu hamil akan memderita sakit dan bisa meninggal.
Biasanya bila seorang ibu hamil mengalami penderitaan (sakit), akan diberikan
ramuan berupa air putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum. Yang
lebih banyak berperan adalah kepala klen atau ajibar/pikandu.
Sedangkan bila seorang ibu hamil mengalami pembengkakan pada kaki,
itu berati ibu tersebut telah melewati tempat-tempat terlarang atau keramat. Di
samping itu pula bisa terjadi karena buatan orang dengan tenung/black magic,
atau terkena suanggi. Pengobatannya dengan cara memberikan air putih yang
telah dibacakan mantera untuk diminum, atau seorang dukun/kepala klen
(ajibar/Pikandu) akan mengusirnya dengan membacakan mantera-mantera.
Apabila seorang ibu hamil mengalami perdarahan dan setelah melahirkan
mengalami perdarahan, itu bagi mereka adalah suatu hal yang biasa saja.
Perdarahan berarti pembuangan darah kotor, dan bila terjadi banyak
perdarahan berarti ibu tersebut telah melanggar pantanganpantangan secara
adat dan suami belum menyelesaikan persoalan dengan kerabat atau orang
lain. Untuk itu biasanya ajibar/Pikandu memberikan ramuan berupa air putih
yang telah dibacakan mantera yang diminum oleh ibu tersebut. Untuk masalah
pertikaian maka suami harus meminta maaf secara adat pada kerabat dan
orang lain. Sedangkan persalinan bagi orang Kaureh adalah suatu masa krisis,
dan persalinan harus dilakukan di luar rumah dalam pondok kecil di hutan
karena darah sangat berbahaya bagi kaum laki-laki. Posisi persalinan dengan
cara jongkok, karena akan mudah bayi keluar. Pemotongan tali pusar biasanya
setelah ari-ari keluar baru dilaksanakan, sebab bila dipotong sebelumnya maka
ari-ari akan tinggal terus di dalam perut.

9
Bagaimana orang Walsa yang berada di kecamatan Waris daerah
perbatasan Indonesia dan Papua Niguni. Mereka juga mempunyai kepercayaan
tentang kehamilan, persalinan dan nifas yang didasarkan pada pemahaman
kebudayaan mereka secara turun temurun. Bagi orang Walsa, kehamilan
adalah kondisi ibu dalam situasi yang baru, dimana terjadi perubahan fisik,
dan ini bagi mereka bukan suatu kondisi penyakit. Sebagaimana dengan
kelompok suku bangsa yang lain, mereka juga percaya bahwa untuk dapat
mewujudkan seorang ibu hamil sehat, maka harus menjalankan berbagai
pantangan-pantangan. Namun demikian kadangkala bila ibu mengalami sakit
bisa terjadi karena adanya gangguan dari luar seperti terkena roh jahat, atau
buatan orang lain yang tidak senang dengan keluarga tersebut. Untuk
mengatasi gangguan tersebut biasanya dukun (Putua/ Mundklok) akan
membantu dengan memberikan air putih yang telah dibacakan mantera
untuk diminum, atau dengan memberikan ramuan daun-daun yang direbus
lalu diminum ibu hamil tersebut. Sedangkan bila terjadi pembengkakan pada
kaki, berarti ibu hamil telah melanggar pantangan, menginjak tempat-tempat
keramat, terkena roh jahat, dan suami belum melunasi mas kawin. Untuk
mengatasi masalah tersebut, dukun akan memberikan air putih yang dibacakan
mantera untuk diminum, sedangkan untuk mas kawin, maka suami harus
lunasi dahulu kepada paman dari istrinya. Sedangkan bila terjadi perdarahan
selama hamil dan setelah bersalin, bagi orang Walsa itu hal biasa saja, karena
terjadi pembuangan darah kotor, atau ibu telah melanggar pantangan secara
adat, suami belum melunasi mas kawin dan ibu terkena jampi-jampi. Untuk
mengatasi masalah tersebut, biasanya dukun Putua/ Mundklok akan
menyarankan untuk menyelesaikan mas kawin, dan juga diberikan ramuan
daun-daun untuk diminum. Bagi orang Walsa persalinan adalah suatu masa
krisis, untuk itu tidak boleh melanggarpantangan adat. Dahulu melahirkan di
pondok kecil (demutpul) yangdibangun di hutan, karena darah bagi kaum laki-
laki sangat berbahaya. Bila terkena darah dari ibu hamil, berarti kaum laki-laki
akan mengalami banyak kegagalan dalam usaha serta berburu. Dalam proses

10
persalinan biasanya dibantu oleh dukun Putua/Mundklok, tetapi disamping itu
ada bantuan juga dari dewa Fipao supaya berjalan dengan baik. Proses
persalinan dalam kondisi jongkok, biar bayi dengan mudah dapat keluar,
dan tali pusar dipotong setelah ari-ari keluar.
Orang Moi Kalabra yang berada di kecamatan Wanurian dan terletak di
hulu sungai Beraur Sorong mempunyai persepsi juga terhadap kehamilan,
persalinan dan nifas bagi ibu-ibu berdasarkan kepercayaan kebudayaan mereka
secara turun temurun. Kehamilan bagi mereka adalah si ibu mengalami situasi
yang baru dan bukan penyakit. Untuk itu ibu tersebut dan suaminya harus
menjalankan berbagai pantangan-pantangan terhadap makanan dan kegiatan
yang ditata secara adat. Mereka juga percaya bila ada gangguan terhadap
kehamilan, itu berarti ibu dan suaminya telah melanggar pantangan, di
samping itu pula ada gangguan dari roh jahat atau buatan orang (suanggi).
Untuk mengatasi hal tersebut, dukun laki-laki (Woun) dan dukun perempuan
(Naredi Yan Segren) atau Biang akan membantu dengan air putih yang dibacakan
mantera untuk diminum, atau dengan menggunakan jimat tertentu mengusir
roh jahat atau gangguan orang lain (suanggi).
Pembengkakan pada kaki ibu hamil berarti melanggar pantangan, terekan
roh jahat, disihir orang lain dan suami belum melunasi mas kawin, serta
menginjak tempat-tempat keramat. Sedangkan apabila terjadiperdarahan pada
waktu hamil dan setelah melahirkan itu adalah suatu hal biasa, karena
membuang darah kotor. Bila terjadi banyak perdarahan berati ibu tersebut
melanggar pantangan serta disihir oleh orang lain. Untuk itu maka akan
diberikan ramuan daun-daun dan kulit kayu yang direbus lalu diminum.
Kadang diberi daun jargkli, bowolas pada tempat yang sakit oleh dukun Woun
atau Naredi Yan Segren, Biang. Adapun persalinan merupana suatu masa krisis
untuk itu tidak boleh melanggar pantangan adat. Biasanya proses persalinan
dilakukan dalam pondok kecil yang dibangun di hutan, karena darah bagi
kaum pria adalah berbahaya, bisa mengakibatkan kegagalan dalam berburu.
Posisi persalinaan biasanya dalam kondisi jongkok karena bayi akan mudah

11
keluar, dan tali pusar dipotong setelah ari-ari telah keluar. Untuk membantu
persalinan biasanya dukun akan memberikan ramuan daun-daun yang
diminum dan pada bagian perut dioles dengan daun jargkli, gedi, jarak, kapas,
daun sereh untuk menghilangkan rasa sakit dan proses kelahiran dapat berjalan
cepat. Semua kegiatan persalinan dibantu oleh dukun perempuan (Naredi Yan
Segren).
Keputusan ibu untuk meminta bantuan dukun beranak bukan hanya
disebabkan oleh akses kesehatan yang rendah, tetapi sering kali justru
disebabkan rasa percaya dan kenyamanan mereka dengan dukun beranak lebih
besar jika dibandingkan dengan bidan atau dokter. Dukun beranak selalu
berada disamping mereka sejak beberapa hari sebelum melahirkan hingga
setelah melahirkan. Dukun beranak biasanya berasal dari keluarga dekat atau
yang memiliki pengalaman menangani persalinan sebelumnya pada keluarga si
ibu (Anggorodi, 2009).
Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Alwi, Ghani, and Delima (2011)
pada Suku Komoro. Suku Kamoro mempunyai dukun yang sudah dikenal
baik, kekeluargaan, ramah, hangat, tidak formal, dan tidak perlu memikirkan
pembayaran hanya saling pengertian. Pelayanan diberikan sampai kepada hal-
hal yang bersifat pribadi dan spritual termasuk perawatan bayi dan obat-
obatan. Keengganan mereka ditolong oleh bidan atau petugas kesehatan lain di
rumah sakit, puskesmas, klinik, karena ada perasaan malu, segan, tegang,
kesan dingin/kaku, takut dimarahi karena tidak punya uang, dan bidan tidak
merawat bayi (Alwi et al., 2011).
Pada penanganan proses persalinan, setelah ari-ari keluar, tali pusat
dipotong dengan sebuah silet baru yang sudah disiapkan sebelumnya. Ada
yang membiarkan tali pusat begitu saja tanpa diikat, dan ada juga yang
menutup ujung tali pusat dengan ubi yang baru dibakar, abu panas, bedak talk,
dan daun-daunan yang dipanaskan. Untuk persalinan tidak terduga, tali pusat
dipotong dengan pisau yang mereka bawa atau dengan tangkai daun sagu dan
diikat dengan tali akar-akar kayu. Cara ini tidak jauh berbeda dengan ibu-ibu

12
Suku Bgu di Pantai Utara Papua yaitu memotong tali pusat bayi dengan pisau
yang dibuat dari gaba-gaba (tangkai daun sagu) (Koentjaraningrat, 1984).
Penduduk Desa Gandus Sumatera Selatan masih ada yang memberikan
kotoran (tahi) kambing yang sudah dibakar pada tali pusat yang sudah
dipotong (Alwi et al., 2011). Bahaya yang terjadi akibat tidak mengikat tali
pusat adalah darah banyak keluar dari ujung tali pusat, meskipun lama-lama
akan membeku dan berhenti sendiri dengan risiko terjadi ikterus pada bayi
(Laksono, 2000). Cara mereka mengantisipasi keluarnya darah dengan bahan-
bahan yang panas/ bakar cukup efektif menghentikan perdarahan tali pusat
dan mencegah infeksi melalui tali pusat. Menghisap asap kayu bakar yang
dilakukan ibu selama proses persalinan sangat berpotensi menyebabkan sesak
nafas dan infeksi saluran pernafasan pada ibu dan bayi. Namun karena sudah
menjadi keyakinan dapat memberi kekuatan bagi si ibu dan bayi maka secara
psikologis mungkin bermanfaat memberi semangat pada ibu untuk
mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya dalam proses
pengeluaran bayi.
Ada anggapan bahwa darah dan kotoran persalinan dapat menimbulkan
penyakit yang mengerikan bagi laki-laki dan anak. Karena itu perempuan yang
akan melahirkan harus disembunyikan atau dijauhkan ke tempat lain. Tradisi
tersebut disebut dengan blood taboo atau tindakan isolasi perempeuan yang
didasari anggapan bahwa darah yang dikeluarkan perempuan pada saat
menstruasi atau saat melahirkan (persalinan) adalah darah yang membawa sial.
Untuk itu perempuan disiapkan tempat melahirkan di tempat yang jauh dari
pemukiman.

13
Gambar 2. Tempat yang disediakan bagi perempuan yang akan
melahirkan. [Foto dari: dr. Tjondro Indarto]

Kematian ibu bersalin banyak terjadi pada kelompok miskin, tidak


berpendidikan, di tempat terpencil, tidak memiliki kendali untuk
memperjuangkan kehidupannya sendiri, sehingga kematiannya terabaikan,
dan tidak mendapat perhatian selayaknya dari berbagai pihak (Iskandar et al.,
1996). Beberapa daerah lain di Indonesia juga masih mempunyai kepercayaan
bahwa ibu yang meninggal dalam persalinan dapat meninggalkan sesuatu
yang mengerikan bagi orang-orang yang masih hidup misalnya menjadi
kuntilanak seperti di Bali (Aliansi Pita Putih, 2003). Di Papua penduduk
mempercayai roh ibu yang meninggal dapat menunggui pohon-pohon yang
ada di sekitar rumah keluarganya, kalau roh itu marah karena ada tradisi yang
dilanggar maka sewaktu waktu dapat mencelakai orang lain atau keluarganya
sendiri.
Perilaku masyarakat yang sudah berakar dari tradisi atau budaya
bukanlah hal yang mudah dan akan memakan waktu yang lama untuk
merubahnya. Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang meliputi
pengetahuan, sikap, perilaku, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat-
istiadat, tradisi, kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari, dimiliki,
diwarisi oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Mintargo, 1993). Budaya

14
merupakan jati diri dari sebuah bangsa dan budaya juga merupakan alasan
kuat untuk beradaptasidalam meraih kesuksesan. Namun jika budaya bersifat
absolut maka nilainya sebagai pembimbing akan merosot dan menghalangi
kemajuan. Ahli waris kebudayaan dituntut keberaniannya mengadakan
perubahan bila sudah tidak sesuai lagi (Mardimin, 1994).
Pendapat dan sikap masyarakat menjadi permasalahan pelik yang
dihadapi pemerintah saat ini. Di satu sisi, kearifan lokal yang dimiliki
masyarakat melalui obat dan cara pengobatan tradisional yang mereka lakukan
merupakan keuntungan yang harus dipertahankan sebagai kekayaan budaya
masyarakat Indonesia. Tetapi di sisi yang lain, banyak permasalahan yang
muncul sehubungan dengan obat dan cara pengobatan tradisional, bahkan
sampai mengancam keselamatan jiwa ibu dan bayinya. Sementara, pengobatan
modern yang dilakukan melalui dokter atau paramedis belum sepenuhnya
bisa diterima oleh masyarakat. Rasa asing dan ketidakpercayaan terhadap
dokter dan paramedis menjadi alasan kuat yang sering digunakan oleh
masyarakat.

Makanan, Penyakit dan Kesehatan Anak


Salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi
kesehatan bayi adalah makanan yang diberikan. Dalam setiap masyarakat ada
aturan-aturan yang menentukan kuantitas, kualitas dan jenis-jenis makanan
yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh anggota-anggota suatu
rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi-situasi
tertentu. Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak diperbolehkan atau dianjurkan
untuk mengkonsumsi makanan tertentu; ayah yang bekerja sebagai pencari
nafkah berhak mendapat jumlah makanan yang lebih banyak dan bagian yang
lebih baik daripada anggota keluarga yang lain; atau anak laki-laki diberi
makan lebih dulu daripada anak perempuan. Walaupun pola makan ini sudah
menjadi tradisi ataupun kebiasaan, namun yang paling berperan mengatur

15
menu setiap hari dan mendistribusikan makanan kepada keluarga adalah ibu;
dengan kata lain ibu mempunyai peran sebagai gate- keeper dari keluarga.
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat
konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola
pemberian makan pada bayi yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan
modern. Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep kesehatan moderen
ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan
tambahan berupa makanan padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4
tahun. Namun, pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin selain
memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu)
kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa
apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara
pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi sudah
diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan lain-lain. Ada pula kebiasaan
memberi roti, pisang, nasi yangsudah dilumatkan ataupun madu, teh manis
kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar. Demikian pula halnya dengan
pembuangan colostrum (ASI yang pertama kali keluar). Di beberapa
masyarakat tradisional, colostrum ini dianggap sebagai susu yang sudah rusak
dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan.
Selain itu, ada yang menganggap bahwa colostrum dapat menyebabkan diare,
muntah dan masuk angin pada bayi. Sementara, colostrum sangat berperan
dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi.
Walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan
permasalahan yang besar karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI,
namun yang menjadi permasalahan adalah pola pemberian ASI yang tidak
sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak negatif pada
kesehatan dan pertumbuhan bayi. Disamping pola pemberian yang salah,
kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan terhadap
makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah
melahirkan. Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu yang sedang

16
menyusui pantang untuk mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka.
Di beberapa daerah ada yang memantangkan ibu yang menyusui untuk
memakan telur.
Adanya pantangan makanan ini merupakan gejala yang hampir universal
berkaitan dengan konsepsi "panas-dingin" yang dapat mempengaruhi
keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia -tanah, udara, api dan air.
Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlau dingin maka
akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan keseimbangan unsur-
unsur tersebut maka seseorang harus mengkonsumsi makanan atau menjalani
pengobatan yang bersifat lebih "dingin" atau sebaliknya. Pada, beberapa suku
bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam
keadaan "dingin" sehingga ia harus memakan makanan yang "panas" dan
menghindari makanan yang "dingin". Hal sebaliknya harus dilakukan oleh ibu
yang sedang hamil (Reddy, 1990).
Masyarakat Kerinci Jambi, wanita hamil dilarang makan hamil agar
bayinya tidak berbulu sepeti rebung.Mereka juga dilarang makan jantung
pisang agar anaknya lahir tidak terlalu kecil, atau mengonsumsi senawa/jamur
karena akan menyebabkan placenta menjadi kembar sehingga mengalami
kesulitan waktu melahirkan, alasan ini merupakan keyakinan budaya.
Keyakinan lain pada masyarakat Keruak Lombok timur, wanita hamil dilarang
makan gurita, cumi, kepiting, udang dan ikan pari. Ikan gurita dan cumi
dianggap mempunyai kaki yang lekat dan mencengkeram, hal ini diasosiasikan
ari-ari bayi akan lekat dan mencengkeram rahim ibu sehingga bayi susah
lahir.Makan udang yang bentuknya melengkung dianggap akan menyebabkan
bayi berbrntuk serupa sehingga mempersulit kelahiran. Ikan pari yang
hidungnya tajam akan menyebabkan bayi sulit keluar, sementara kepiting
menyebabkan bayi akan lebih dahulu keluar tangannya atau letaknya
melintang. Sebaliknya adapula makanan yang dianjurkan karena dianggap
baik bagi wanita hamil, ia harus makan tanah kaken/lempung merah.
Penduduk setempat juga percaya bahwa pada saat hamil harus makan

17
sebanyak-banyaknya dalam arti kuantitas, bukan kualitas. Pada masyarakat
Biak Numfor( Irian ), suami isteri yang tengah menantikan kelahiran bayinya
dilarang makan daging hewan tertentu diantaranya kura-kura (Handayani,
2010).
Menurut Foster and Anderson (1986) masalah kesehatan selalu berkaitan
dengan dua hal yaitu sistem teori penyakit dan sistem perawatan penyakit.
Sistem teori penyakit lebih menekankan pada penyebab sakit, teknik-teknik
pengobatan pengobatan penyakit. Sementara, sistem perawatan penyakit
merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan interaksi beberapa orang,
paling tidak interaksi antar pasien dengan si penyembuh, apakah itu dokter
atau dukun. Persepsi terhadap penyebab penyakit akan menentukan cara
pengobatannya. Penyebab penyakit dapat dikategorikan ke dalam dua
golongan yaitu personalistik dan naturalistik. Penyakitpenyakit yang dianggap
timbul karena adanya intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan orang,
hantu, mahluk halus dan lain-lain termasuk dalam golongan personalistik.
Sementara yang termasuk dalam golongan naturalistik adalah penyakit-
penyakit yang disebabkan oleh kondisi alam seperti cuaca, makanan, debu dan
lain-lain.
Dari sudut pandang sistem medis moderen adanya persepsi masyarakat
yang berbeda terhadap penyakit seringkali menimbulkan permasalahan.
Sebagai contoh ada masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa
bayi yang mengalami kejang- kejang disebabkan karena kemasukan roh halus,
dan hanya dukun yang dapat menyembuhkannya. Padahal kejang-kejang tadi
mungkin disebabkan oleh demam yang tinggi, atau adanya radang otak yang
bila tidak disembuhkan dengan cara yang tepat dapat menimbulkan kematian.
Kepercayaan-kepercayaan lain terhadap demam dan diare pada bayi adalah
karena bayi tersebut bertambah kepandaiannya seperti sudah mau jalan. Ada
pula yang menganggap bahwa diare yang sering diderita oleh bayi dan anak-
anak disebabkan karena pengaruh udara, yang sering dikenal dengan istilah
"masuk angin". Karena persepsi terhadap penyebab penyakit berbeda-beda,

18
maka pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya, di suatu daerah dianggap
bahwa diare ini disebabkan karena "masuk angin" yang dipersepsikan sebagai
"mendinginnya" badan anak maka perlu diobati dengan bawang merah karena
dapat memanaskan badan si anak (Maas, 2004).
Sesungguhnya pola pemberian makanan pada anak, etiologi penyakit dan
tindakan kuratif penyakit merupakan bagian dari sistem perawaatan kesehatan
umum dalam masyarakat (Klienman, 1980). Dikatakan bahwa dalam sistem
perawatan kesehatan ini terdapat unsur-unsur pengetahuan dari sistem medis
tradisional dan moderen. Hal ini terlihat bila ada anak yang menderita sakit,
maka si ibu atau anggota keluarga lain akan melakukan pengobatan sendiri
(self treatment) terlebih dahulu, apakah itu dengan menggunakan obat
tradisional ataupun obat moderen. Tindakan pemberian obat ini merupakan
tindakan pertama yang paling sering dilakukan dalam upaya mengobati
penykit dan merupakan satu tahap dari perilaku mencari penyembuhan atau
kesehatan yang dikenal sebagai "health seeking behavior". Jika upaya ini tidak
berhasil, barulah dicari upaya lain misalnya membawa ke petugas kesehatan
seperti dokter, mantri dan lain-lain.

Pengembangan hasil riset tentang pelayanan kesehatan ibu di Papua untuk


meningkatkan pelayanan kesehatan ibu di Papua
Tentunya, dengan melihat berbagai fakta pelayanan kesehatan dan tema-
tema budaya yang menyertainya, dibutuhkan suatu terobosan untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan ibu. Berkaitan dengan budaya yang
dimiliki oleh masyarakat, hal tersebut merupakan suatu warisan budaya dan
kearifan lokal. Budaya dan kearifan lokal merupakan suatu kekayaan
intelektual masyarakat yang dicipta dan diturunkan oleh masyarakat sebagai
kekuatan pemersatu bagi masyarakat. Budaya menyatu dalam diri masyarakat
sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku termasuk dalam kaitannya
dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak.

19
Sebelumnya telah dipaparkan tentang perilaku masyarakat dalam
pelayanan kesehatan ibu baik itu dalam proses kehamilan, persalinan,
menyusui dan pemberian makanan. Masing-masing tahap dalam pelayanan
kesehatan tersebut memiliki tema dan aspek budaya yang menyertainya. Dapat
diasumsikan bahwa semua tindakan dalam pelayanan kesehatan ibu sudah
diatur dalam adat dan budaya masyarakat sehingga tidak boleh dilanggar atau
tidak dilakukan. Masyarakat melakukan beberapa tindakan budaya yang
berhubungan dengan pelayanan ibu hamil tanpa ada prasangka bahwa hal
tersebut dapat mengakibatkan kefatalan pada ibu dan atau anak. Segala bentuk
pelayanan kesehatan modern yang bertentangan dengan budaya dianggap
sesuatu yang terlarang dan tidak bisa dilakukan. Sehingga petugas kesehatan
seperti dibuat tidak berdaya oleh masyarakat. Pelayanan kesehatan medis yang
akan diberikan tidak diterima oleh masyarakat. Sarana kesehatan seperti
polindes. Puskesmas, Pustu tidak digunakan oleh masyarakat. Bidan Desa yang
ditempatkan di desa tidak bisa berbuat apa-apa dan cenderung tidak memiliki
pasien untuk ditangani.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu pada daerah yang
memiliki ikatan budaya yang kuat, kita tidak bisa serta merta menyodorkan
program pelayanan kesehatan tanpa melakukan sinergi dengan budaya yang
dimiliki oleh masyarakat. Kita juga tidak bisa serta merta menerima secara utuh
budaya masyarakat terkait pelayanan kesehatan ibu, atau menolak secara
sepihak atas tindakan yang telah mereka lakukan. Harus kita akui bahwa
segala tindakan budaya yang dilakukan berkaitan dengan pelayanan kesehatan
ibu telah dilakukan turun temurun, dari generasi ke generasi. Segala tindakan
yang dilakukan dianggap sebagai sesuatu yang paling benar menurut tindakan
mereka. Sehingga menolak atau menghapuskan tindakan budaya yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan ibu pada suatu daerah dan
berharap terjadi perubahan yang baik, ibarat suatu usaha untuk memindahkan
sebuah gunung besar.

20
Telah dilakukan beberapa penelitian terkait dengan perbaikan pelayanan
kesehatan ibu dan anak di Papua dengan melakukan perpaduan budaya dan
pelayanan kesehatan. Upaya ini dilakukan dengan melakukan kolaborasi
pelayanan kesehatan modern dengan tindakan budaya pelayanan kesehatan
ibu.
1. ANC Rumah Tunggu Yantewo (2015)
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Keerom Papua. Intervensi
percobaan yang dilakukan dengan membuat ANC Rumah Tunggu bagi ibu
hamil. Ide ini berangkat dari adanya budaya dari daerah Keerom Papua bahwa
seorang ibu yang sedang hamil akan melahirkan ditempatkan di belakang
rumah dengan membuat ruangan khusus untuk tempat ibu. Diyakini bahwa
darah ibu hamil dan melahirkan tidak boleh dilihat oleh laki-laki atau suami.
Ibu hamil tidak boleh berinteraksi dengan suami dan tinggal terpisah dengan
suami. Akibatnya, suami tidak bisa mengantarkan ibu ke tempat pelayanan
kesehatan untuk mendapatkan pelayanan ANC. ANC Rumah Tunggu
kemudian dibuat untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu. Rumah ini
disiapkan kepada ibu hamil dan akan melahirkan dengan dilengkapi oleh
tenaga kesehatan dan perlengkapan pelayanan kesehatan ibu. Hasilnya, upaya
ini mampu menarik ibu untuk berkunjung dan tinggal dalam rangka
mendapatkan pelayanan kesehatan.

21
Gambar 2. ANC Rumah Tunggu (Ruang Tunggu)
Sumber: (Yantewo, 2015)

Gambar 3. ANC Rumah Tunggu ( Ruang Periksa dan Persalinan)


Sumber: (Yantewo, 2015)

22
ANC rumah tunggu merupakan terobosan yang baik dengan
menggabungkan pendekatan pelayanan kesehatan ibu dengan tema budaya
yang dimiliki oleh masyarakat. Pelayanan kesehatan yang disediakan tidak
secara langsung menghilangkan kepercayaan budaya masyarakat, melainkan
melakukan kolaborasi dengan budaya yang dimiliki. Ibu hamil mengikuti
program tersebut karena dirasakan tidak bertentangan dengan budaya yang
dimiliki. Suami juga tidak tetap tidak melakukan interaksi dengan ibu yang
hamil dan melahirkan.
2. Model Tiga Tungku Zainuri (2015)
Berikutnya adalah penelitian yang juga dilakukan di Kabupaten Keerom
Papua. Temuan penelitian dengan melakukan usulan sistem kebijakan
pelayanan kesehatan ibu dengan menawarkan Model Tiga Tungku. Model
ini dengan memasukan Ondoafi (Kepala Suku) dalam sistem pelayanan
kesehatan ibu di Keerom. Model Tiga Tunggu memaksimalkan hubungan
komunikasi antara Bidan, Ondoafi, dan kader untuk membuat ibu mau
menerima pelayanan kesehatan ibu secara medis. Kekuatan Ondoafi dalam
sistem kebijakan membuat semakin mudahnya petugas kesehatan untuk
mengkomunikaskan pelayanan kesehatan yang harus diterima oleh ibu. Model
Tiga Tungu digambarkan sebagai berikut:

23
Kebijakan Kesehatan dengan Model Tiga Tungku

Input Proses Output Outcome Dampak

1. Perencanaan Peningkatan Kualitas


Ondoafi AKB
2. Pengorganisasi kepuasan hasil Pelayanan Menurun
an pelayanan Kesehatan
3. Pelaksanaan kesehatan bayi bayi
Ibu 4. Pengawasan meningkat
5. Pelaporan
Bidan 6. Penganggaran
Kader 7. Evaluasi

Sistem Komunikasi Timbal Balik

Faktor Internal dan Eksternal

Sumber: Zainuri (2015)


Model Tiga Tungku sebagai input dalam sistem kebijakan pelayanan kesehatan
ibu dengan memasukan Ondoafi, bidan, kader dan ibu sebagai suatu kesatuan
dengan peran masing-masing yang saling berhubungan untuk meningkatkan
cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak.
1. Ondoafi, Ondoafi diakui dan diikuti oleh masyarakat. Berperan sebagai
jaminan kenyamanan dan legitimasi yang dapat diapilkasi dalam peraturan
adat.
2. Kader, sebagai perwakilan masyarakat berperan dalam preventif, promotif
dan rehabilitatif. Peran kader adalah sebagai etnologic spritual bagi ibu.

24
3. Bidan, Bidan sebagai perwakilan lembaga formal yang diakui oleh
pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan baik preventif,
promotif dan rehabilitatif

Penutup
Budaya adalah kekayaan yang harus dilestarikan sebagai kekayaan intelektual
masyarakat dan kearifan lokal. Tindakan kebudayaan dalam pelayanan
kesehatan ibu dan anak perlu disikapi secara bijak demi mempertahankan nilai
budaya masyarakat dan meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak.
Tindakan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tidak dibuang dan
diterima secara mentah namun perlu dilakukan pertimbangan secara
menyeluruh dengan tujuan utamanya tetap pada pelayanan kesehatan ibu yang
sesuai dan baik.

Referensi
Aliansi Pita Putih. (2003). The White Ribbon Alliance & Maternal and Neonatal Health.
Gerakan partisipatif penyelamatan ibu hamil, menyusui dan bayi. Jakarta.
Alwi, Q., Ghani, L., & Delima. (2011). Budaya persalinan Suku Amungme dan Suku
Kamoro, Papua. Jurnal Kedokteran Trisakti, 23(4).
Anggorodi, R. (2009). Dukun bayi dalam persalinan oleh masyarakat Indonesia. Makara
Kesehatan, 13(1), 9-14.
Dainur. (1994). Kegiatan KIA di Puskesmas Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Dako-Gyeke, P., Aikins, M., Aryeetey, R., McCough, L., & Adongo, P. B. (2013). The
influence of socio-cultural interpretations of pregnancy threats on health-
seeking behavior among pregnant women in urban Accra, Ghana. BMC
Pregnancy and Childbirth, 13, 211-211. doi: 10.1186/1471-2393-13-211
Dumatubun, A. E. (2002). Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua Dalam Perspektif
Antropologi Kesehatan. Jurnal Antropologi Papua, 1(1).
Foster, G. M. C., & Anderson, B. G. (1986). Antropologi kesehatan. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Freedman, L. P. (2005). Achieving the MDGs: Health systems as core social institutions.
Development, 48(1), 19-24.
Handayani, S. (2010). Aspek Sosial Budaya Pada Kehamilan, Persalinan Dan Nifas Di
Indonesia. Jurnal Infokes, 1(2).

25
Iskandar, M. B., Utomo, B., Hull, T., Dharmaputera, N. G., & Azwar, Y. (1996).
Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat. Depok: Pusat Penelitian
Kesehatan Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia.
Kemenkes RI. (2012). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI.
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
Kemenkes RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Indonesia.
Koentjaraningrat. (1984). Masyarakat desa di Indonesia. . Jakarta: FE UI.
Laksono, P. M. (2000). Perempuan dihutan Mangrove: kearifan ekologis masyarakat Papua:
PSAP UGM kerjasama Galang Press Yogyakarta, dan Yayasan Kehati Jakarta.
Maas, L. T. (2004). Kesehatan Ibu dan Anak: Persepsi budaya dan dampak
kesehatannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Malinowski, B. (1927). Sex and Repression in Savage Society. London: Rourledge & Kegan
Paul Ltd.
Mardimin, J. (1994). Jangan Tangisi Tradisi. Yogyakarta: Kanisius.
Mintargo, B. S. (1993). Tinjauan: manusia dan nilai budaya: Penerbit Universitas Trisakti.
Pusdatin Kemenkes RI. (2014). Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi
Papua. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Reddy, P. (1990). Dietary practices during pregnancy, lactation and infancy:
implications for health. Health Transition: The Culture. Social and Behavioral
determinants of Health, 2.
Swasono, M. F. (1998). Beberapa Aspek Budaya Kehamilan, Kelahiran, Serta Perawatan Ibu.
Jakarta: UI Press.
Tarekegn, S. M., Lieberman, L. S., & Giedraitis, V. (2014). Determinants of maternal
health service utilization in Ethiopia: analysis of the 2011 Ethiopian
Demographic and Health Survey. BMC Pregnancy and Childbirth, 14, 161-161.
doi: 10.1186/1471-2393-14-161
WHO. (2010). World health statistics 2010. Genewa: World Health Organization.
WHO. (2015). Trends in maternal mortality: 1990 to 2015, Estimates by WHO, UNICEF,
UNFPA, World Bank Group and the United Nations Population Division.
Genewa: World Health Organization.
Witter, S., Toonen, J., Meessen, B., Kagubare, J., Fritsche, G., & Vaughan, K. (2013).
Performance-based financing as a health system reform: mapping the key
dimensions for monitoring and evaluation. BMC Health Services Research, 13,
367-367. doi: 10.1186/1472-6963-13-367
Yantewo, Y. H. (2015). Efek Penguatan Pelayanan Ibu Hamil Dengan Implementasi Kohort
Anc Berbasis Masalah Terhadap Penurunan Risiko Kematian Ibu Di Kabupaten
Keerom Provinsi Papua. (Doktoral), Universitas Hasanuddin, Makassar.

26
Zainuri, A. (2015). Model Kebijakan Pelayanan Kesehatan Bayi Berdasarkan Faktor Sosial
Ekonomi Dan Kualitas Pelayanan Kesehatan di Di Kabupaten Keerom Provinsi Papua.
(Doktoral), Universitas Hasanuddin, Makassar.

Biodata

Nama lengkap : Prof Dr Hj Asiah Hamzah, Dra MA


Universitas /Instansi : Universitas Hasanuddin/Fak. Kesehatan
Masyarakat
Agama : Islam
Pangkat/Golongan : Pembina Utama Madya/IVd
Jabatan Fungsional : Guru Besar
Alamat Kantor/Telp : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km.10
Makassar, 90245
Alamat Rumah/Telp : Perumahan Dosen Tamalanrea UNHAS Blok R-37
Makassar, 90245 Telp : (0411) 585132
HP : 081343712228 / 085298524871
Email : asiah.hamzah@ymail.com

Riwayat Pendidikan:
1. Sarjana pada Fakultas Sastra Unhas 1979, Makassar
2. Master of Arts in educational Management Xavier University, 1984,
Philippines
3. Doktor di bidang ilmu sosial Universitas Airlangga 2000, Surabaya

Publikasi Ilmiah Internasional


1. Hamzah A, Marketing Segmentation of Health Service in Faizal Islamic,
Hospital City. The 43rd APACPH Conference in Yonsei university, Seoul, Korea,
October 2011
2. Hamzah A, The Development of Alert Municipality Application In Palopo
City, South Sulawesi-Indonesia. The 43rd APACPH Conference in Yonsei
university, Seoul, Korea, October 2011
3. Hamzah A, Child Immunization Program In Luwu Regency South
Sulawesi-Indonesia. The 44th APACPH Conference in Colombo, Srilanka,
October 2012
4. Hamzah A, Kepuasan Kerja Petugas Kesehatan di Instalasi Rawat Inap RS
5. Hamzah A, Socioeconomic Characteristic of Service Quality Inpatient at
Labuang Baji Hospital. The 45th Conference Wuhan University, Wuhan China,
October 2013
6. Hamzah A, Analysis On Family Independence Level In the Public Health
Nursing At Lawa and Mabodo Primary Health Care in Muna, South East

27
Sulawesi, Indonesia. International Conference on ITMAR, Istanbul-Turkey,
October 2014
7. Hamzah A, Communities Behavior in Diabetes Mellitus Treatment Among
Luwu Buginese Ethnic, South Sulawesi, International Journal of Research in
Health Sciences, Vol 2, Issue 4, October-December 2014. ISSN (o):2321-7251
8. Hamzah A, Characteristic of Luwu Buginese Society in Treatment and
Curative of Diabete Mellitus Disease, International Journal of Current Research
and Academic Review, Volume 2, Number 11, November 2014. ISSN: 2347-3215
9. Hamzah A, Biak Tribal Culture Related Papua Womens Reproductive
Health in Biak Numfor Regency, Papua Province Indonesia, International
Journal of Scientific and Research Publications, Vol 4, Issue 8, August 2014. ISSN:
2250-3153
10. Hamzah A, Papua Women Maternity Health. Reproductive Health Study
on Cultural View of Number Biak Tribe, Papua; Ethnometodology
Approach. International Journal of Sciences: Basic and Applied Research
(IJSBAR), 2015, Volume 20, No. 1, pp 394-402
11. Hamzah A, Maternal Mortality Risk in Keerom, Papua: A Cohort Study in
2015. International Journal of Scientific and Research Publications, Vol 5, Issue 8,
August 2015. ISSN: 2250-3153.
12. Hamzah A, Importance Performance Analysis of Neonatal Care in Keerom,
Papua. International Journal of Scientific and Research Publications, Vol 5, Issue
8, August 2015. ISSN: 2250-3153.

28

Anda mungkin juga menyukai