Anda di halaman 1dari 21

CASE REPORT

NEFRITIS HSP

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik


pada Bagian ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

Disusun oleh :

Hanna Chriswintan ( 0961050172 )


Hendra Sinaga ( 0961050181 )
Brian Pasa Nababan ( 1061050080 )
Anjelina Banjarnahor ( 1061050129 )

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 27 JULI 3 OKTOBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RS PGI CIKINI
JAKARTA
PENDAHULUAN

Henoch-Schnlein Purpura (HSP) merupakan suatu kelainan inflamasi yang


dicirikan dengan vaskulitis menyeluruh yang meliputi pembuluh darah kulit, saluran
cerna, ginjal, sendi, dan yang jarang pada paru-paru dan sistem saraf pusat. Menurut
Consensus Conference on Nomenclature of Systemic Vasculitides, HSP merupakan
suatu vaskulitis dengan deposit imun yang didominasi oleh IgA pada pembuluh darah
kecil kulit, saluran cerna serta glomerulus dan berhubungan dengan adanya atralgia
atau arthritis. Ada banyak bukti yang menyatakan bahwa HSP dan IgA Nephropaty
(IgAN) merupakan suatu spektrum klinis dari kelainan yang serupa dimana HSP
merupakan bentuk sistemik dari IgAN.
Sindroma ini dinamai dari nama dua orang dokter jerman. Pertama kali
vaskulitis sistemik dilaporkan oleh Heberden tahun 1806, kemudian pada tahun 1837,
Johan Schnlein pertama kali menemukan beberapa kasus peliosis rheumatica atau
purpura yang berhubungan dengan arthritis. Tiga puluh tahun kemudian, Edouard
Henoch menemukan manifestasi gastrointestinal seperti muntah, nyeri perut, dan
melena. Hasil biopsi kulit memberikan gambaran vaskulitis dengan nekrosis
pembuluh darah disertai dengan deposit leukosit dominan polimormonuklear serta
mononuklear. Sehingga Henoch-Schnlein purpura juga dikenal dengan istilah
purpura rheumatica, leukocytoclastic vasculitis dan vaskulitis alergika.
Penyakit ini bisa muncul pada semua usia, tetapi umumnya ditemukan pada anak-
anak. Secara keseluruhan diperkirakan insidennya 10-20 kasus per 100.000 anak-anak
per tahun. Pada orang dewasa insidennya lebih rendah yaitu sekitar 1,3-1,4 per
100.000 orang per tahun. Pada anak-anak rasio antara laki-laki dan wanita adalah 2:1
sedangkan pada usia dewasa sekitar 1:1. Sekitar 75% gejala muncul pada usia 2-11
tahun dengan median 5 tahun. Usia yang lebih dewasa berhubungan dengan
kegagalan fungsi ginjal. Pada anak-anak, nefritis HSP (HSN) termanifestasi ada
sekitar 2040% kasus sedangkan pada orang dewasa diperkirakan antara 5085%
kasus. Secara keseluruhan sekitar 1-3% akan berkembang menjadi gagal ginjal kronik
yang memerlukan terapi pengganti ginjal
LAPORAN KASUS

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kiri sejak 7 jam sebelum masuk
rumah sakit ( SMRS ), nyeri yang dirasakan hilang timbul dan seperti di remas. Awal
mulanya pasien sedang tidak melakukan aktivitas dan tiba tiba pasien merasakan
nyeri didaerah perut kirinya. Pasien mengaku rasa sakitnya berkurang saat pasien
merubah posisi tidur ke arah kiri dan bertambah sakit saat pasien terlentang. Keluhan
lain yang dirasakan kaki pasien menjadi bengkak. Batuk disangkal, BAB tidak ada
keluhan dan demam disangkal. Pasien pernah di operasi appendiktomi 2 minggu
sebelumnya. Tidak ada riwayat alergi dan di keluarga tidak ada yang pernah
mengalami penyakit seperti pasien ataupun hipertensi dan kencing manis.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan hemodinamik normal, berupa
tekanan nadi 120x/menit (kuat angkat, isi cukup, teratur), suhu 38.1C ( axilla ) serta
respirasi 33x/menit. Pada pemeriksaan mata didaptkan kedua kelopak mata tidak
cekung, inspeksi mulut didapatkan mukosa bibir lembab. Leher pasien simetris, tidak
ada pembesaran disekitar leher pasien.

Pada pemeriksaan thoraks pasien, pergerakan dinding dada pasien simetri


kanan dan kiri serta tidak ada retraksi, vocal fremitus simetris kanan dan kiri, Perkusi
sonor / sonor dan Bunyi napas dasar pasien vesikuler tanpa ada bunyi tambahan
seperti mengi ataupun ronki. Pada pemeriksaan palpasi hepar dan lien di abdomen
tidak teraba membesar serta ada nyeri tekan dan ketuk di regio hipokondria kiri,
lumbal kiri, dan iliaca kiri. Bising usus +3x/menit. Pada kulit / Integumen pasien
didapatkan bintik bintik kemerahan pada ekstremitas inferior sebatas lutut. dan
edem pada kedua tungkai pasien.

Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium hematologi tanggal 22 September


2015 didapatkan kadar Hb 11.2 g/dl, Eritrosit 455.000 l, Leukosit 20.700 l,
Trombosit 580.000 l, Ht 34%, MCV 75 hm3, MCH 24.6 Hpg, MCHC 32.7 /dl.
Hitung jenis leukosit didapatkan Basofil 0 %, Eusinofil 2 %, Neutrofil batang 0 %,
segmen 82 %, Monosit 5 %, Limfosit 11 %. Hemostasis, Masa Pembekuan ( Lee
White ) 10 12 menit, APTT , APTT pasien 29.4 detik, APTT control 31.2 detik.
Masa Protombin ( PT ), PT Pasien 10.7 detik, PT Kontrol 11.0 detik, INR 1.0,
Fibrinogen 371 mg/dL, D dimer 18190 g/ L.
Pada pemeriksaan kimia klinik tanggal 22 September 2015 didapatkan
Protein total 5.0 g/ dL, Albumin 1.8 g/ dL, Globulin 3.2 g/ dL, Ureum 12 mg/ dL,
Kreatinin 0.6 mg/ dL, Amilase 23 U/L, Lipase 72 U/L. Urinalisis Lengkap, Berat
Jenis <= 1.005 g/mL, warna ( Kuning ), Kejernihan ( Jernih ), Esterase leukosit (
trace / 15 sel / L ), Nitrit : Negatif, Darah ( trace / 10 sel / L ), pH = 6.0, Protein 2+
100 mg/dL, Glukosa = negative, Bilirubin = negative, Urobilinogen = 0.2, Keton =
negative. Sedimen, Leukosit 6 / LPB, Eritrosit 4 / LPB, Epitel 1 / LPB, Silinder 0 /
LPK, Bakteri 6 / LPB.

Follow up hari ke 2 ( 23 9 2015 )


S/ Nyeri perut seperti diremas dan hilang timbul
O/ FN : 120x/ menit, FP : 24 x/ menit, Suhu : 36 C. Thoraks : dbN, Abdomen :
Supel, Nyeri tekan + di regio hipokondria, lumbal dan iliaca dextra dan ada papula
eritem di region tibialis bilateral, serta edem pada kedua tungkai pasien.
Pada Pemeriksaan Lab :
Kimia Klinik ( 06.30 wib ), Albumin 1.9 g/ dL, Trigliserida 171 mg/dL, Kolestrol
total 147 mg/dL, Kolestrol HDL 30 mg/dL, Kolestrol LDL 98 mg/dL.
IMUNOLOGI, ANA ???, CRP 24.0 mg/L, ASTO 400, Rheumatoid Factor < 8
( Negatif ), Komplemen C 3 Pending, Komplemen C 4 Pending.
Kimia Klinik ( 16.06 wib ), Albumin 1.9 g/ dL, Trigliserida 171 mg/dL, Kolestrol
total 147 mg/dL, Kolestrol HDL 30 mg/dL, Kolestrol LDL 98 mg/dL.
IMUNOLOGI, ANA Hasil = Negatif, Nilai Rujukan = Negatif, CRP 24.0 mg/L,
ASTO 400, Rheumatoid Factor < 8 ( Negatif ), Komplemen C 3 41.3 mg/dL,
Komplemen C 4 46.19 mg/dL.
A/ Kolik Abdomen
P/ diet : Biasa, Kalori 1700 kalori, 40 gr Protein, 1 gram garam
CIV : KAEN 3B 20 TPM ( makro )
MM/ Bioxon 2 x 1 gr ( IV )
Torasix 3 x 1 amp ( IV )
Follow up hari ke 3 ( 24 9 2015 )
S/ Belum BAB, sudah 2 hari
O/ FN : 85x/ menit, FP : 20 x/ menit, Suhu : 36.6 C. Mulut : Stomatitis di gusi
molar atas kanan, keputihan di langit langit. Thoraks : dbN, Abdomen : Supel,
Nyeri tekan , pekak sisi +, pekak alih +, ada papula eritem di regio tibialis bilateral
Pemeriksaan Penunjang :
Hematologi, APTT. APTT Pasien 32.1 detik, APTT Kontrol 31.1 detik
KIMIA KLINIK, Bersihan Kreatinin ( CCT ). Tinggi Badan 137 cm, Berat Badan
39 kg, Volume Urin 2800 mL, Periode Tampung Urin 24 jam, Kreatinin Urin 18.8
mg/dL, Kreatinin Darah 0.50 mg/dL, Bersihan Kreatinin 104.55 mL/menit.
URINALISA. Esbach 0.8 g/L.
A/ Stomatitis
P/ diet : 1700 kalori, 40 gram protein, 2 gram garam
CIV : KAEN 3B 20 TPM ( makro )
Mm/ Pujimin 3 x 1 caps ( PO ), Met. Prednisolon 2 x 4 mg ( PO ), Cavit D3 2 x 1 tab
( PO ), Fenocin 3 x 1 tab ( PO ), Bioxon + 100 NaCl 2 x 1 gr ( IV ), Racet 1 x 20 mg
( IV ), Torasix 3 x 1 amp ( IV ), Albumin 20 % 1 x 10 CC ( IV ), Heparin

Follow up hari ke 4 ( 25 9 2015 )


S/ Nyeri perut -
O/ FN : 84 x/ menit, FP : 20 x/ menit, Suhu : 36.7 C. Thoraks : dbN, Abdomen :
Supel, Nyeri tekan - , ada papula eritem di region tibialis bilateral, serta edem pada
kedua tungkai pasien.
Pemeriksaan Penunjang :
kadar Hb 9.7 g/dl, Eritrosit 398.000 l, Leukosit 10.800 l, Trombosit 487.000
l, Ht 31%, MCV 77 hm3, MCH 24.4 Hpg, MCHC 31.5 /dl. Hitung jenis leukosit
didapatkan Basofil 0 %, Eusinofil 2 %, Neutrofil batang 0 %, segmen 75 %, Monosit
6 %, Limfosit 17 %. APTT , APTT pasien 31.1 detik, APTT control 31.0 detik.
KIMIA KLINIK. Protein total 5.2 g/ dL, Albumin 2.5 g/ dL, Globulin 2.7 g/ dL.
Urinalisis Lengkap, Berat Jenis <= 1.015 g/mL, warna ( Kuning ), Kejernihan (
Jernih ), Esterase leukosit ( trace / 15 sel / L ), Nitrit : Negatif, Darah ( trace / 10 sel /
L ), pH = 7.5 , Protein 2+ 100 mg/dL, Glukosa = negative, Bilirubin = negative,
Urobilinogen = 0.2, Keton = negative. Sedimen, Leukosit 3 / LPB, Eritrosit 9 / LPB,
Epitel 1 / LPB, Silinder 0 / LPK, Bakteri 7 / LPB.

A/ Nefritis HSP
P/ diet : 1700 kalori, 40 gram protein, 2 gram garam
CIV : -. Tridex 27 B 20 TPM ( makro )
-. NaCl 0.9 % + 7500 iu Heparin
Mm/ Bioxon 2 x 1 gr + 10 NaCl ( IV ), Rocet 1 x 20 mg ( IV ), Fujimin 3 x 1 caps (
PO ), Met. Prednisolon 2 x 4 mg ( PO ), Cavit D3 3 x 1 ( PO ), Fenocin 3 x 1 tab ( PO
).

Follow up hari ke 6 ( 27 9 2015 )


S/ Kencing merah (+) malam, pagi belum BAK
Nyeri perut (+)
O/ FN : 84 x/ menit, FP : 20 x/ menit, Suhu : 36.7 C. Thoraks : dbN, Abdomen :
Supel, Nyeri tekan - , ada papula eritem di region tibialis bilateral, serta edem pada
kedua tungkai pasien.
Pemeriksaan Penunjang :
APTT , APTT pasien 32.1 detik, APTT control 32.6 detik. KIMIA KLINIK.
Protein total 5.7 g/ dL, Albumin 3.4 g/ dL, Globulin 2.3 g/ dL.

A/ Nefritis HSP
P/ diet : 2000 kalori, 80 gram protein, 1 gram garam
CIV : -. Tridex 27 B 20 TPM ( makro )
-. NaCl 0.9 % + 7500 iu Heparin
Mm/ Bioxon 2 x 1 gr + 10 NaCl ( IV ), Rocet 1 x 20 mg ( IV ), Fujimin 3 x 1 caps (
PO ), Met. Prednisolon 2 x 4 mg ( PO ), Cavit D3 3 x 1 ( PO ), Fenocin 3 x 1 tab ( PO
).

Follow up hari ke 7 ( 28 9 2015 )


S/ Kencing merah (-)
Nyeri perut (-)
O/ FN : 84 x/ menit, FP : 20 x/ menit, Suhu : 36.7 C. Thoraks : dbN, Abdomen :
Supel, Nyeri tekan - , ada papula eritem di region tibialis bilateral, serta edem pada
kedua tungkai pasien.
Pemeriksaan Penunjang :
APTT , APTT pasien 32.1 detik, APTT control 32.6 detik. KIMIA KLINIK.
Protein total 5.7 g/ dL, Albumin 3.4 g/ dL, Globulin 2.3 g/ dL. FESES LENGKAP.
Warna : Coklat kemerahan, Konsistensi : Encer , Lendir : positif, Darah : Positif,
Leukosit : 6-7 /LPB, Eritrosit : 9 10/ LPB, Kista : Entamoeba Histolytica, Lain-lain:
Bakteri 2+, yeast 1+. Darah Samar : Positif.

A/ Nefritis HSP
P/ diet : 2000 kalori, 80 gram protein, 1 gram
CIV : -. Tridex 27 B 20 TPM ( makro )
-. NaCl 0.9 % + 7500 iu Heparin
Mm/ Bioxon 2 x 1 gr + 10 NaCl ( IV ), Rocet 1 x 20 mg ( IV ), Fujimin 3 x 1 caps (
PO ), Met. Prednisolon 2 x 4 mg ( PO ), Cavit D3 3 x 1 ( PO ), Fenocin 3 x 1 tab ( PO
), Torasik 3x 1 amp (IV)

Follow up hari ke 8 ( 29 9 2015 )


S/ Mules (+)
BAB cair + darah 10x sampai pkl 00.00 wib
O/ FN : 84 x/ menit, FP : 20 x/ menit, Suhu : 36.7 C. Thoraks : dbN, Abdomen :
Supel, Nyeri tekan - , ada papula eritem di region tibialis bilateral, serta edem pada
kedua tungkai pasien.
Pemeriksaan Penunjang :

HEMATOLOGI : Hb: 10,3 g/dL, Ht : 31%, Leukosit: 22.8 mm3, Trombosit :


446mm3. KIMIA KLINIK. SI : 36 uL, TIBC : 222 uL. IMUNOLOGI : Ferritin :
43,29 ng/mL. URINALISA LENGKAP. Kejernihan : agak keruh, Esterase Leukosit
: trace / 15 sel/ uL, Darah : 3+ /200 sel/ uL, Protein : 3+/ 200 sel/uL. SEDIMEN.
Leukosit : 38/ LPB, Eritrosit : 52/ LPB, Silinder : 2/ LPK, Bakteri : 452/ LPB.
A/ Nefritis HSP
Diare akut tanpa dehidrasi
Disentri
P/ diet : 2000 kalori, 80 gram protein, 1 gram garam
CIV : -. Tridex 27 B 20 TPM ( makro )
-. NaCl 0.9 % + 7500 iu Heparin STOP
Mm/ Bioxon 2 x 1 gr + 10 NaCl ( IV ), Rocet 1 x 20 mg ( IV ), Fujimin 3 x 1 caps (
PO ), Met. Prednisolon 2 x 4 mg ( PO ), Cavit D3 3 x 1 ( PO ), Fenocin 3 x 1 tab ( PO
), Torasik 3x 1 amp (IV), Liprolac 2x 1 sach (PO), Zinc tab (PO), PCT Drip
500mg(IV) K/P, Ranitidine 2x 1amp (IV)

Follow up hari ke 9 ( 30 9 2015 )


S/ Nyeri Perut (-)
BAB cair (-) darah (-)
Kencing Darah (-)
O/ FN : 84 x/ menit, FP : 20 x/ menit, Suhu : 36.7 C. Thoraks : dbN, Abdomen :
Supel, Nyeri tekan - , ada papula eritem di region tibialis bilateral, serta edem pada
kedua tungkai pasien.
Pemeriksaan Penunjang :

HEMATOLOGI : Hb: 9,7 g/dL, Ht : 29%, Leukosit: 15 mm3, Trombosit :


411mm3.

A/ Nefritis HSP
Diare akut tanpa dehidrasi
Disentri
P/ diet : 2000 kalori, 80 gram protein, 1 gram garam
CIV : -. Tridex 27 B 20 TPM ( makro )
-. NaCl 0.9 % + 7500 iu Heparin STOP
Mm/ Bioxon 2 x 1 gr + 10 NaCl ( IV ), Rocet 1 x 20 mg ( IV ), Fujimin 3 x 1 caps (
PO ), Met. Prednisolon 2 x 4 mg ( PO ), Cavit D3 3 x 1 ( PO ), Fenocin 3 x 1 tab ( PO
), Torasik 3x 1 amp (IV), Liprolac 2x 1 sach (PO), Zinc tab (PO), PCT Drip
500mg(IV) K/P, Ranitidine 2x 1amp (IV)
DISKUSI KASUS

HSP sering muncul dengan gejala palpable purpura, odema, nyeri abdomen,
nyeri sendi dan gangguan ginjal. Prognosis biasanya baik apabila belum terdapat
gejala gangguan ginjal. Gejala gangguan ginjal bervariasi mulai dari hematuria and
proteinuria intermiten sampai rapid progressive glomerulonephritis. Henoch-
Schnlein nephritis (HSN) merupakan penyakit yang lebih sering memiliki prognosis
baik tetapi 1-3% penderita akan mengalami end stage renal disease (ESRD) dan 20-
35% menjadi penyakit ginjal kronik menurut penelitian jangka panjang.
Penyebab penyakit belum diketahui dengan pasti tetapi beberapa faktor
diketahui menjadi pencetusnya, diperkirakan sebanyak 70-80% penderita HSP
mengalami infeksi saluran nafas saat mulainya perjalanan penyakit. Beberapa faktor
pencetus, khususnya infeksi streptokokus dibuktikan dengan kultur hapusan
tenggorokan dilaporkan menjadi pencetus yang paling sering yaitu dalam 20-36%
kasus. Di beberapa negara musim memiliki pengaruh dimana puncak musim dingin
merupakan waktu puncak terjadinya infeksi, sedangkan obat-obatan (antibiotika, ACE
inhibitors, NSAIDs) dan beberapa toksin (gigitan serangga, vaksinasi dan alergi
makanan) juga dikatakan memiliki peranan. Beberapa faktor-faktor pencetus antara
lain:
a. Bakteri: streptococcus pyogenes, staphylococcus aureus, mycoplasma,
shigella, yersinia, legionella, salmonella, helicobacter pylori, campylobacter
b. Virus: adenovirus, parvovirus, hepatitis B, varicella zoster, Ebstein-Barr,
coxsackie, herpes simplex, HIV
c. Obat: thiazides, antibiotika, ACE-inhibitors, NSAID
d. Lain-lain: gigitan serangga, alergi makanan, toxocara canis
e. Vaksinasi: tuberkulosis, measles, kolera, yellow fever, hepatitis B, influenza,
pneumokokus, meningokokus.

Faktor-faktor pencetus terjadinya HSP kadang-kadang sulit untuk diketahui


karena penderita kadang-kadang datang dalam kondisi dimana gejala sudah demikian
jelas dan faktor-faktor pencetus sulit diidentifikasi.
Mekanisme patogenesis HSP belum sepenuhnya diketahui. Tetapi ada bukti
yang jelas mengenai peranan IgA dalam imunopatogenensis penyakit ini dimana
ditemukan peningkatan konsentrasi serum IgA1 bersama dengan peningkatan
circulating immunocomplexes yang mengandung IgA pada penderita HSP.
Pembentukan IgA seperti pada respon imun humoral lainnya dikontrol oleh limfosit B
dan T dan terjadinya gangguan regulasi ini menyebabkan peningkatan IgA. Gangguan
O-glycosylation dari IgA1 karena hinge region yang abnormal pada molekul IgA1
dilaporkan pada penderita HSP yang mengalami nefritis dan IgA nefropati, tetapi
tidak pada penderita HSP yang hanya memiliki gejala ekstrarenal. Terdapat beberapa
alasan bagaimana terjadinya abnormalitas dari O-glycosylation sehingga menjadi
patogenik dalam IgAN dan HSN. Hal ini mungkin terjadi akibat menurunnya
pembersihan molekul IgA1 sehingga menghasilkan peningkatan IgA dalam sirkulasi
atau dengan cara peningkatan kemampuan ikatan IgA1 untuk membentuk
immunokompleks IgA.
Peranan IgA dalam patogenesis HSP didukukung oleh fakta bahwa IgA
sekretori memainkan peranan utama dalam pertahanan terhadap atigen luar pada
daerah mukosa dan dalam pengamatan diketahui bahwa infeksi saluran nafas
mengawali onset penyakit pada 70-80% kasus. Peningkatan pembentukan IgA oleh
sel B mukosa distimulasi oleh penetrasi transmukosa oleh antigen asing.
Vaskulitis Leukositoklastik merupakan hasil akhir imunopatologis ketika
kompleks imun IgA yang bersirkulasi mengalami deposisi pada organ yang terlibat
dan menimbulkan lesi inflamasi, aktivasi sistem komplemen dan aktivasi sel secara
langsung. Hal yang penting terjadi adalah kemungkinan adanya kerusakan endotel
akibat invasi oleh leukosit pada sel endotel kemudian diikuti oleh migrasi ke jaringan.
Produk penguraian komplemen bersifat kemoatraktan dan menarik leukosit
polimorfonuklear yang terlihat pada didinding pembuluh darah kecil. Aktivasi jalur
alternatif pada sistem komplemen juga diperkirakan terjadi pada HSP fase akut karena
hasil produk degradasi kaskade komplemen tersebut juga ditemukan pada plasma dan
glomerulus, tetapi penelitian lain belum mendukung peranan komplemen dalam
patogenesis HSP. Sitokin proinflamasi seperti endothelin, TNF, dan interleukin juga
ditemukan pada penderita HSP dan kadar sitokin-sitokin ini lebih tinggi daripada
kontrol terutama pada fase akut. Sitokin dicurigai memainkan peranan penting dalam
proses inflamasi pada penderita HSP
Faktor genetika juga dicurigai berperanan dalam patogenesis HSP. Lofters et al.
melaporkan kejadian HSP pada tiga anggota keluarga yang sama yang menunjukkan
predisposisi keluarga dalam perkembangan penyakit ini. Kemudian kemunculan
familial penyakit ini ditemukan pada kasus kembar dan saudara kandungnya. Kasus
IgA nephropathy (IgAN) primer familial yang dihubungkan dengan HSP juga pernah
dilaporkan tetapi usaha untuk mengidentifikasi gen yang bertanggungjawab terhadap
faktor familial ini belum membuahkan hasil.
Temuan terhadap 30 keluarga yang anggota keluarganya terkena penyakit ini
mendukung hipotesis bahwa IgAN merupakan penyakit kompleks yang bersifat
multifaktorial yang melibatkan lebih dari satu gen dan kemungkinan berkombinasi
dengan beberapa faktor lingkungan. Demikian pula penelitian yang bertujuan untuk
mencari kemungkinan predisposisi diturunkan pada penyakit ini belum membuahkan
kesimpulan adanya satu faktor tunggal sebagai penyebab penyakit ini walaupun
ditemukan adanya peningkatan frekuensi homozygous null C4 phenotypes (sebuah
gen yang menghasilkan produk gen yang tak teridentifikasi) pada penderita HSP dan
IgAN, menyebabkan defisiensi pada C4. Kepentingan klinis dari temuan ini masih
belum jelas, walaupun diasumsikan bahwa defisiensi C4 mungkin mencerminkan
ketidakcukupan aktivitas komplemen.
Ada beberapa laporan HSN dan IgAN yang mengenai anggota dalam satu
keluarga, keluarga dekat atau bahkan kembar baik secara simultan ataupun dalam
periode waktu tertentu, juga dilaporkan penderita yang sebelumnya terdiagnosa IgAN
kemudian berkembang menjadi HSP. Beberapa kasus yang diterapi sebagai IgAN
ketika dewasa tetapi menunjukkan gejala tipikal pada HSP ketika masa kanak-kanak
dan perbedaan pendapat masih tetap ada karena adanya kesamaan mekanisme
patogenesis keduanya.
Diagnosis HSP berdasarkan tanda klinis yang khas dan tidak ada tes
laboratorium yang spesifik. Trombosit dalam batas normal walaupun ditemukan
purpura yang luas, anemia bisa terjadi apabila penderita mengalami perdarahan
gastrointestinal atau hematuria yang berat dan dapat pula disertai dengan leukositosis.
Sebanyak 64% pasien mengalami kenaikan LED, dan IgA serum meningkat dalam
2257 % kasus. Imunoglobulin E dan eosinophil cationic protein (ECP) dapat
meningkat sedangkan komplemen 3 (C3) dan komplemen 4 (C4) menurun pada 4,2-
20% kasus. Rasio IgA/C3 dikatakan sebagai penanda prognostik pada HSP.
Peningkatan antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) yang merupakan isotop
IgA dilaporkan terdapat pada pasien HSP, dan peningkatan serum antistreptolysin
(AST) juga ditemukan pada 30-35% kasus. C-reactive protein (CRP) dapat meningkat
khususnya pada penderita yang memperlihatkan gejala infeksi saluran nafas atas.
Albumin dapat menurun karena proteinuria, walaupun serum albumin subnormal juga
ditemukan pada pasien tanpa proteinuria yang mencerminkan kehilangan protein
melalui enteropati. Proteinuria serta hematuria menggambarkan telah terjadinya
keterlibatan ginjal apalagi jika ditemukan kenaikan kadar BUN dan kreatinin.
Perdarahan samar pada feses dapat ditemukan pada 25% pasien HSP. Aktivasi sistem
koagulasi terjadi sekunder karena kerusakan endotel juga dilaporkan. Konsentrasi D-
dimer dan antigen faktor Von Willebrand dapat mengalami peningkatan dan aktivitas
faktor koagulasi XIII menurun, tetapi waktu koagulasi (APTT, PTT) biasanya normal.
Pada kasus nyeri perut yang berat sebelum munculnya purpura dimana diagnosis
menjadi sulit, maka faktor XIII disarankan sebagai penanda yang berguna. Pada
penderita ini didapatkan leukositosis yang semakin berat seiring dengan anemia
akibat perdarahan saluran cerna, selain itu didapatkan pula proteinuria, hipoalbumin,
hematuria serta kenaikan BUN dan kreatinin yang menunjukkan telah terjadinya
gangguan ginjal.
Biopsi kulit merupakan kriteria diagnosis HSP dimana temuan yang khas adalah
leucocytoclastic vasculitis dengan nekrosis dinding pembuluh darah dan akumulasi
sel inflamasi perivaskular di sekitar kapiler dan venula poskapiler dermis serta deposit
IgA, C3 dan IgM pada dinding pembuluh darah (1,2,3). Keadaan ini diakibatkan oleh
adanya deposisi kompleks imun dengan aktivasi komplemen dengan leukotaksis. Juga
dapat ditemukan proliferasi sel endotel, deposit fibrin mural, dan pada kasus yang
berat nekrosis fibrinoid. Deposit IgA juga dapat ditemukan pada kulit yang tidak
mengalami purpura dan gambaran yang sama juga dapat ditemukan pada biopsi
mukosa usus. Duodenum dan usus halus merupakan tempat yang paling sering terlibat
pada penderita dengan nyeri abdomen. Pada penderita ini ditemukan gambaran biopsi
kulit vaskulitis leukositoklastik yang mendukung gambaran klinis dan laboratorium
lainnya untuk diagnosis HSP.
Temuan Immunofluoresensi dari biopsi ginjal menunjukkan deposit IgA saja
atau dengan sedikit deposit C3 dan IgG pada daerah mesangial dan dan dinding
kapiler pada nefritis HSP (HSN). Deposit ini terdistribusi secara difus pada
glomerulus, walaupun perubahan mikroskopis bisa bersifat fokal. Lesi histologis pada
HSN bervariasi dan tidak ada lesi patognomonik yang tunggal walaupun
hiperselularitas mesangial fokal dan lokal dapat bersamaan dengan matrik mesangial
merupakan lesi paling sering. Sebanyak 37-58% HSN muncul dengan perubahan
minimal atau proliferasi mesangial, 23-36% dengan crescents pada <50% glomerulus
dan 2-45% dengan crescents pada >50% glomerulus.
Abnormalitas pada HSN diamati dengan mikroskop elektron bervariasi dari
open capillary loops dengan penebalan minimal membran basal dan penyatuan
prosesus sampai glomerulus yang hampir mengalami sklerosis dengan loops yang
telah mengalami oklusi. Sistem klasifikasi histologi ISKDC (International Study of
Kidney Diseases in Children) digunakan secara luas untuk mengklasifikasikan
beratnya temuan biopsi pada HSN. Klasifikasi ini berdasarkan atas adanya formasi
crescent, tanpa memperhitungkan maturitasnya (4,6). Dikenal sistem penilaian
semikuantitatif yang membagi beratnya perubahan akut dan kronik berdasarkan
abnormalitas pada glomerulus, tubulointerstitium dan pembuluh darah pada temuan
biopsi.
Klasifikasi biopsi ginjal menurut ISKDC pada Henoch-Schnlein purpura:
a. Grade I. Perubahan minimal
b. Grade II. Proliferasi mesangial
c. Grade III A. Proliferasi fokal atau sklerosis dengan < 50% crescent
d. Grade III B. Proliferasi difus atau sklerosis dengan < 50% crescent
e. Grade IV A. Proliferasi fokal atau sklerosis dengan50 75% crescent
f. Grade IV B. Proliferasi difus atau sklerosis dengan 50 75% crescent
g. Grade V A. Proliferasi fokal atau sklerosis dengan > 75% crescent
h. Grade V B. Proliferasi difus atau sklerosis dengan > 75% crescent
i. Grade VI. Glomerulonefritis membranoproliferatif

Klasifikasi temuan biopsi lainnya berdasarkan atas derajat hiperselularitas mesangial


(6). Klasifikasi ini membagi dalam lima derajat sebagai berikut:
a. Grade I. Dengan perubahan minimal, merupakan yang paling ringan meliputi
2% biopsi.
b. Grade II. Mesangial proliferative atau mesangiopathic glomerulonephritis,
dengan karakteristik peningkatan ringan dalam selularitas mesangial dengan
atau tanpa leukosit yang bersirkulasi dan umumnya tanpa pembentukan
crescent dan terdapat pada 10 sampai 32% biopsi.
c. Grade III. Fokal dan segmental glomerulonephritis, juga disebut sebagai focal
segmental endocapillary proliferation, merupakan kelainan tersering dan di
jumpai pada 20 sampai 45% pasien. Lesi yang ditemukan adalah
hiperselularitas fokal dan segmental sedang pada mesangial dan sering disertai
dengan lekosit pada lumen kapiler secara segmental dengan scattered
capillary wall fuchsinophilic deposits.
d. Grade IV. Diffuse proliferative glomerulonephritis, juga disebut dengan
diffuse endocapillary proliferation, dengan karakteristik proliferasi mesangial
yang luas, leukosit intraluminal yang bervariasi dengan lebih dari 50%
crescent.
e. Grade V. Proliferasi yang lebih luas dan difus dengan formasi crescent lebih
dari 50%.

Beberapa tipe vaskulitis seperti Wegeners granulomatosis, polyarteritis nodosa,


sistemic lupus erythematosus, vasculitis urtikaria serta vaskulitis hipersensitivitas
mempunyai gejala mirip dengan HSP. Parameter immunoserologi (seperti ANCA dan
antibodi antifosfolipid) dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk membedakan
beberapa dari penyakit tersebut. Menurut American College of Rheumatology (ACR,
1990), munculnya dua atau lebih dari gejala berikut akan membedakan HSP dengan
vaskulitis tipe lainnya yaitu, usia dibawah 20 tahun, palpable purpura, nyeri perut
yang bersifat akut, atau biopsi yang memberikan gambaran granulosit pada dinding
arteriol atau venula dan munculnya minimal dua kriteria tersebut memiliki sensitivitas
87,1% dan spesifitas 87,7%. Pada kasus ini penderita masih berusia muda, dengan
gejala klinis nyeri perut yang akut, ada purpura pada kulit dan disertai oleh gambaran
lesi patologik yang khas telah sesuai dengan kriteria HSP.
HSP muncul paling sering pada anak-anak dan muncul dengan lesi kulit yang
klasik pada ekstremitas bawah dan daerah bokong. Tetapi gambaran lesi kulit tidak
selalu terdisdribusi secara klasik pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih muda
sehingga biopsi kulit sangat penting dilakukan. Kondisi sepsis, leukemia dan
idiopathic thrombocytopenic purpura dapat menyebabkan purpura tetapi kondisi
klinis penderita tersebut biasanya lebih berat dari HSP. Glomerulonefritis akut pasca
streptokokus yang biasanya menunjukkan gejala oedema dan lesi kulit dengan infeksi
saluran nafas atas, mirip dengan HSP tetapi rendahnya kadar serum C3 dan tanpa
nyeri perut dan nyeri sendi dapat menyisihkan penyakit tersebut. Gejala klinis pada
penderita ini sesuai dengan kriteria ACR sedangkan kecurigaan SLE disisihkan oleh
pemeriksaan ANA dan anti dsDNA yang negatif.
Istilah IgA nefropati pertama diperkenalkan oleh Berger, merupakan salah satu
bentuk glomerulonefritis yang tersering dan menjadi kausa gagal ginjal terminal yang
penting. Diagnosis IgAN berdasarkan atas temuan immunofluoresensi deposit IgA
pada daerah mesangial glomerulus. Hal tersebut ditemukan sekunder pada nefritis
HSP (HSN) dan beberapa penyakit lain. Pada HSN dan IgAN ditemukan beberapa
gambaran khas tetapi IgAN dikatakan sebagai HSN tanpa purpura. Apakah keduanya
merupakan dua fenotif penyakit penyakit yang berdiri sendiri masih menjadi
kontroversi sampai saat ini. Perbedaan keduanya adalah pada usia saat diagnosis dan
gejala yang nampak, dimana HSN lebih banyak ditemukan pada anak-anak dan selalu
meliputi gejala ekstra-renal sedangkan IgA nephritis biasanya terdiagnosis pada
dewasa muda dengan hanya gejala gangguan ginjal. Demikian juga elemen
hipersensitivitas seperti peningkatan IgE dan ECP (eosinophil cationic protein) yang
sering ditemukan pada HSP tidak ditemukan pada IgAN. Temuan histologi pada
biopsi ginjal menunjukkan lesi yang lebih akut pada pasien HSN, dan sindroma
nefritik-nefrotik lebih sering ditemukan. Pada IgAN ditemukan adanya deposit IgA
secara difus pada sel mesangial disertai dengan hiperselularitas mesangial. IgM, IgG,
C3, atau rantai halus mungkin bersamaan dengan IgA. Sangat penting untuk
memutuskan kapan onset IgA nephritis dimulai karena pada kebanyakan kasus
dimana mungkin hanya terdapat silent microscopic haematuria selama beberapa
tahun sebelum biopsi dilakukan, sedangkan onset gejala lebih jelas pada HSP oleh
karena adanya gejala ekstrarenal (purpura, nyeri abdomen dan nyeri sendi).
Pemeriksaan imunofluoresensi pada pasien HSP dengan gejala gangguan ginjal sama
dengan IgAN dan masih tetap terdapat deposit IgA pada 2/3 pasien setelah 2-9 tahun
fase akut nefritis HSP. Dalam pengamatan jangka panjang penyakit ginjal pada HSP
identik dengan nefritis IgA setelah gejala ekstrarenal akut teratasi. HSN dan nefritis
IgA umumnya disebut dengan nefropati IgA.
Beberapa terapi imunosupresan dan imunomodulator digunakan pada penderita
nefritis karena HSP (HSN), tetapi belum ada terapi spesifik yang bisa merubah
perjalanan penyakit. Terapi antikoagulan dan fibrinolitik dikombinasikan dengan agen
imunosupresan untuk mencegah terjadinya trombosis atau keadaan hiperkoagulasi
dan pemberian faktor XIII juga digunakan sebagai konsekuensi dari temuan bahwa
adanya penurunan faktor XIII pada kasus dengan gejala klinis yang lebih berat
termasuk nefritis. ACE inhibitor digunakan untuk mengurangi proteinuria dan
memberikan proteksi terhadap penurunan fungsi ginjal dan dapat digunakan bersama
preparat imunosupresan. Hasil yang lebih baik dilaporkan apabila terapi agresif
dimulai lebih awal tetapi tidak ada rekomendasi yang baku untuk penanganan HSN.
Beberapa penelitian melaporkan tidak ada keuntungan pemberian steroid oral
pada HSN. Counahan dkk. menemukan tidak ada perbedaan pada hasil akhir antara
pasien yang mendapat kortikosteroid, imunosupresan atau keduanya dan pasien yang
tidak mendapat terapi, sedangkan Tarshish dkk. (2004) menemukan dalam penelitian
prospektif bahwa pasien yang hanya mendapat terapi suportif memiliki hasil yang
sama dengan subjek yang mendapatkan siklofosfamid. Tetapi Foster dkk. (2000)
melaporkan dalam analisis studi prospektif bahwa pasien tanpa terapi memiliki 5,9
kali risiko relatif untuk hasil yang buruk daripada mereka yang mendapat terapi
prednison dan azathioprine. Banyak penelitian yang non-randomized menekankan
keuntungan pemberian terapi imunosupresan, terutama yang ditangani secara agresif.
Metilprednisolon pulses (MP) dikombinasikan dengan prednisolon oral saja atau
dengan tambahan agen imunosupresan seperti siklofosfamid dan azathioprine
dikatakan efektif pada HSN, dan beberapa obat-obatan fibrinolitik dan antikoagulan
seperti urokinase, heparin dan dipridamol juga dapat dikombinasi dengan agen
immunosupresan. Penderita ini mendapatkan kortikosteroid dosis tinggi tetapi tidak
memberikan respon yang baik terhadap pengobatan terutama adanya penurunan
fungsi ginjal yang progresif namun masih terjadi perbaikan dalam gejala nyeri
abdomen dan menghilangnya purpura.
Cyclosporine A (CyA) merupakan calcineurin inhibitor yang mencegah
produksi interleukin-2 (IL-2), yang memainkan peran penting dalam proliferasi
limfosit T yang mengatur produksi IgA. Cyclosporine A digunakan pada HSP
pertama kali pada dua kasus dewasa yang dilaporkan tahun 1997 dan 1998. Pada
tahun 2003 Huang dkk. melaporkan dua kasus usia 4 dan 5 tahun yang mengalami
remisi dari gejala HSP yang berat dimana terapi steroid tidak efektif. Gangguan ginjal
berlangsung selama 4 bulan dan diterapi dengan baik pada satu kasus setelah dua
minggu pemberian CyA. Belakangan, Someya dkk. melaporkan kasus laki-laki usia 7
tahun yang mengalami sindroma nefritik tetapi tidak berespon dengan MP pulses dan
prednisolon oral. CyA diberikan dan proteinuria membaik dalam dua minggu. Shin
dkk. melaporkan serial 7 pasien dengan nephrotic-range proteinuria yang mendapat
CyA, enam diantaranya mengalami remisi lengkap dalam pengamatan rata-rata 5,5
tahun (2 9 tahun) dan satu mengalami penyakit ginjal menetap.
Imunosupresan lain seperti mycophenolate mofetil (MMF) bekerja dengan
menekan produksi sel B sehingga akan menurunkan kompleks imun IgA yang
bersirkulasi. Obat ini juga memiliki keuntungan dengan mempengaruhi adhesi dan
migrasi limfosit yang hasil akhirnya mempengaruhi gejala klinis HSP. Hasil dari
beberapa randomized controlled trials belum memberikan hasil yang pasti akan
keuntungan pemberian MMF. Belum ada penelitian prospektif mengenai pemberian
MMF pada nefritis HSP.
Immunoglobulin digunakan pada IgAN untuk menurunkan produksi IgA dan
menghambat deferensiasi sel B dan produksi immunoglobulin. Rostoker dkk.
memberikan immunoglobulin pada 5 orang penderita HSP dewasa dan menemukan
gejala ekstrarenal menghilang saat pengobatan dan terjadi penurunan proteinuria
tetapi penghentian terapi akan diikuti oleh kekambuhan. Efek samping pada ginjal
dilaporkan setelah pemberian immunoglobulin dosis tinggi sehingga penggunaannya
masih kontroversial. Sampai sejauh ini belum ada laporan penggunaan
immunoglobulin pada anak-anak dengan HSP. Hattori dkk. menggunakan
plasmafaresis sebagai terapi tunggal pada 9 kasus HSN berat dengan nephrotic-range
proteinuria pada awitan penyakit, dengan hasil 6 pasien (67%) menunjukkan hasil
yang baik setelah 5,4 tahun pengamatan dan semuanya berespon terhadap terapi pada
fase akut yang ditandai dengan penurunan proteinuria. Schrer dkk. dan Gianviti dkk.
juga melaporkan perbaikan segera dalam gejala penyakit tetapi tidak ada efek jangka
panjang khususnya apabila terapi dimulai lambat setelah mulainya gangguan ginjal.
Pengelolaan HSP yang baik dapat memperbaiki prognosis HSP, dimana hasil
jangka panjang sangat tergantung pada gejala gangguan ginjal. Laporan mengenai
penggunaan kortikosteroid untuk terapi HSP muncul dalam literatur sekitar tahun
1950. Beberapa penelitian retrospektif tanpa kontrol menunjukkan bahwa steroid
mungkin memberikan efek perbaikan nyeri abdomen dan dikatakan pemberian
kortikosteroid lebih awal dapat mencegah perkembangan menjadi nephritis. Penelitian
retrospektif tanpa kontrol lain memberikan hasil yang kontroversial terhadap efek
kortikosteroid dalam mencegah keterlibatan ginjal. Pada studi prospektif pertama,
Mollica dkk. melaporkan tidak ada satupun dari 84 pasien yang mendapat prednison
dan 10 dari 84 tanpa terapi berkembang menjadi nefritis setelah 6 minggu dari
episode akut. Saulsbury melaporkan data retrospektif dari 50 pasien dimana 20
diantaranya mendapatkan kortikosteroid pada fase akut dan 30 tidak mendapat
kortikosteroid. Nefritis lambat muncul pada 4 dari kelompok pertama dan 6 dari
kelompok kedua memberikan kesimpulan bahwa pemeberian kortikosteroid lebih
awal juga tidak memberikan hasil yang berbeda. Penelitian pertama yang bersifat
randomized, placebo-controlled terhadap efek kortikosteroid dipublikasikan oleh
Huber dkk. pada tahun 2004. Sebanyak 40 anak-anak pada pusat perawatan pediatri
tersier dirandomisasi untuk mendapatkan prednison (21 orang) atau plasebo (19
orang), dengan dosis 2 mg/kg/hari pada minggu pertama dengan penurunan pada
minggu kedua. Setelah satu tahun pengamatan 3 dari 21 penderita pada kelompok
yang mendapat prednison dan 2 orang dari kelompok plasebo mengalami keterlibatan
ginjal sehingga disimpulkan bahwa pemberian prednison tidak efektif dalam
pencegahan HSN. Tetapi keterbatasan dari penelitian ini adalah pada sedikitnya
jumlah sampel dimana penghitungan post hoc asumsi insiden keterlibatan ginjal pada
satu tahun adalah sebesar 10.5% dan sama dengan kelompok plasebo.
Prognosis HSP biasanya baik karena sebagian besar pasien mengalami
perbaikan spontan dalam beberapa minggu. Komplikasi jarang berupa pada paru-paru
atau perdarahan gastrointestinal dapat menyebabkan morbiditas dan bahkan kematian
pada fase akut, tetapi outcome jangka panjang sebagian besar berhubungan dengan
durasi dan beratnya keterlibatan ginjal. Terdapat predominan ringan jenis kelamin
laki-laki pada penderita, tetapi risiko keterlibatan ginjal sama pada kedua jenis
kelamin. Risikonya juga lebih tinggi pada pasien diatas usia 4-7 tahun saat onset
gejala dan juga pada kasus dengan nyeri abdomen akut yang berat dan purpura
persisten saat awal gejala. Peningkatan risiko keterlibatan ginjal meningkat 7,5 kali
pada penderita yang mengalami perdarahan saluran cerna. Penderita usia dewasa lebih
sering mengalami gangguan ginjal dengan gejala yang lebih berat dan prognosis yang
lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak.
Sekitar 20-54% penderita HSP mengalami keterlibatan ginjal pada fase akut,
dimana mayoritas (85%) terjadi dalam 4 minggu pertama dan 97% dalam 6 bulan.
Hematuria mikroskopik atau bersama-sama proteinuria merupakan manifestasi
tersering pada HSP dengan keterlibatan ginjal. Sekitar 10-30% penderita HSP akan
mengalami sindroma nefritik atau nefrotik, sumber lain mengatakan ESRD terjadi
pada 1,1-1,5% dan mortalitas kurang dari 1%. Risiko penyakit ginjal menetap
dihubungkan dengan proteinuria yang serius dan sindroma nefritik-nefrotik dimana
sebagian besar pasien yang menunjukkan hematuria dengan atau tanpa proteinuria
ringan akan mengalami remisi dengan baik. Sekitar 8-17% pasien muncul dengan
gejala gangguan ginjal ringan pada saat onset misalnya hematuria dengan atau tanpa
proteinuria ringan (<1g/hari), sedangkan sekitar 44% - 47% pasien dengan gangguan
ginjal yang berat saat onset misalnya telah mengalami sindroma nefritik atau nefrotik,
proteinuria >1g/hari atau dengan biopsi ginjal ditemukan >50% crescents akan
memiliki prognosis yang buruk. Faktor yang mempengaruhi prognosis yang buruk
terutama pada orang dewasa adalah proteinuria, hipertensi dan penurunan fungsi
ginjal saat awitan gejala. Pada kasus ini telah terjadi gangguan fungsi ginjal yang
ditandai dengan adanya proteinuria, hematuria, hipertensi, kenaikan BUN dan
kreatinin sehingga respon terhadap terapi steroid tidak menunjukkan hasil yang baik
walaupun secara klinis ada perbaikan pada gejala ekstrarenal yaitu perbaikan pada
nyeri perut dan lesi kulit.
KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus penderita HSP yang dalam perjalanan mengalami
appendisitis. HSP merupakan penyakit yang umumnya muncul pada anak-anak dan
bisa mengalami remisi spontan, namun prognosis yang lebih buruk bisa terjadi
apabila ditemukan pada usia dewasa, gejala yang disertai dengan proteinuria,
hematuria, hipertensi serta biopsi ginjal yang menunjukkan > 50% crescent. Dari
keseluruhan data yang ada maka dapat disimpulkan bahwa kasus ini merupakan
penyakit HSP yang baru terdiagnosis saat dewasa dengan manifestasi vaskulitis pada
kulit, atralgia, nyeri abdomen, perdarahan saluran cerna serta gangguan ginjal yang
progresif sehingga memberikan prognosis jangka panjang yang lebih buruk.
Perjalanan penyakit ini telah berlangsung tanpa pengawasan dan penanganan yang
baik sehingga berlangsung progresif dan memberikan hasil akhir manifestasi sistemik.
Belum adanya standar terapi yang baku untuk penanganan HSP terutama yang telah
mengalami gangguan ginjal menyebabkan penanganan menjadi sulit walaupun terapi
steroid memberikan perbaikan pada gejala ekstrarenal tetapi belum memberikan
perbaikan pada fungsi ginjal. Pendekatan yang komperhensif harus dilakukan
meliputi edukasi, perencanaan diet, obat-obatan serta dialisis untuk mempertahankan
kualitas hidup dan prognosis penderita.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lerma E V et al, Immunoglobulin A Nephropathy & HenochSchnlein Purpura,


in: Current Diagnosis and Treatment of Nephrology and Hypertension, The
McGraw-Hill, 2009.

2. Faull RJ, Clarkson A R, IgA Nephropathy & HenochSchnlein Purpura, in:


Disease in Kidney and Urinary Tract, 8th edition, Lipincott Williams and Willkins,
USA, 2007.

3. Vesna GP et al, HenochSchnlein Purpura in Adult Patient: Extragastric,


Cutaneous Manifestation of H Pylory Infection, Contributions, Sec. Biol. Med.
Sci., XXIX/1 (2008), 291301.

4. Ronkainen J, HenochSchnlein Purpura in Children: Longterm Outcome and


Treatment, University of Oulu, Finland, 2005.

5. Bossart P, Henoch Schonlein Purpura. Available in: www.eMedicine.com,


updated September 30, 2010.

6. Rai A, Nast C et al, Henoch-Schonlein Purpura Nephritis, J Am Soc Nephrol 10:


26372644, 1999.

7. Goel SS, Langford C A, Case Report: A 72 Years Old Man With a Purpuric Rash.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, No 6. Vol 76, 2009.

8. Knoll BM et al, Case Report: 56 Year Old Man With Rash, Abdominal pain, and
Atralgias. Mayo Clinic Foundation for Medical Education and Research, June
2007;82(6):745-748. Available at www.mayoclinicproceedings.com.

9. Shresta S et al, Henoch Schonlein Purpura With Nephritis in Adults: Adverse


Prognostic Indicators in a UK Population. Q J Med 2006; 99:253265, revised
January 2010.

10. Glomerular Disease, in: Harrissons Principles of Internal Medicine, 17th edition,
McGraw-Hill Inc., USA, 2008.

11. Mills JA, Michel BA, Bloch DA, et al.: The American College of Rheumatology
1990 criteria for the classification of Henoch-Schnlein purpura. Arthritis Rheum,
33:11141121, 1990.

12. Pillebout E, Thervet E et al, Henoch-Schonlein Purpura in Adults: Outcome and


Prognostic Factors, J Am Soc Nephrol 13: 12711278, 2002.

Anda mungkin juga menyukai