Epidemiologi
Epidemiologi dari gangguan somatoform bervariasi menurut jenis
gangguannya. Prevalensi gangguan somatisasi sepanjang hidup adalah 0.2-2%
pada perempuan dan 0.2% pada laki-laki. Perempuan lebih banyak menderita
gangguan somatisasi dibandingkan laki-laki dengan rasio 5 berbanding 1. Onset
dari gangguan somatisasi adalah sebelum usia 30 tahun dan berawal mula pada
masa remaja. Sementara itu, pada gangguan konversi, rasio perempuan dibanding
laki-laki adalah 2 berbanding 1, dengan onset yang dapat terjadi kapan pun, baik
pada usia kanak-kanak hingga usia tua. Suatu penelitian menyatakan 90& pasien
dengan gangguan ini pernah mengalami satu episode depresi berat dalam
hidupnya, 70% mengalami gangguan cemas, dan 30% mengalami gangguan
psikotik1.
Etiologi
Etiologi dari gangguan somatoform melibatkan faktor-faktor psikososial
berupa konflik psikis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Faktor
genetik juga dapat ditemukan pada transmisi gangguan ini. Selain itu, gangguan
somatoform juga dapat dihubungkan dengan adanya penurunan metabolisme
(hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non-dominan
dari otak manusia2.
Secara umum, faktor-faktor penyebab gangguan somatoform dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1
1. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan adanya pengaruh genetik
(biasanya pada gangguan somatisasi)
2. Faktor Lingkungan Sosial
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti
peran sakit yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan
somatoform.
3. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar
dari situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan
(keuntungan sekunder).
Adanya perhatian untuk menampilkan peran sakit
Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau
gangguan dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan
kecemasan yang diasosiasikan dengan keterpakuan pada
kekhawatiran akan kesehatanatau kerusakan fisik yang
dipersepsikan.
4. Faktor Emosi dan Kognitif
Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif,
penyebab ganda yang terlibat adalah sebagai berikut:
Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau gejala fisik sebagai
tanda dari adanya penyakit serius (hipokondriasis).
Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari
impuls-impuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam
simtom fisik (gangguan konversi).
Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin
merupakan suatu strategi self-handicaping (hipokondriasis).
2
Klasifikasi
Dalam membedakan keluhan-keluhan pasien, secara garis besar gangguan
somatoform diklasifikasikan menjadi lima subtipe sebagai berikut:
3) Hipokondriasis; ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada
kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
Selain itu, DSM IV juga memiliki dua kategori residual untuk diagnostik
gangguan somatoform, yaitu:
3
Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi4 :
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala
fisik yang berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah
berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa
tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya. Beberapa orang biasanya
mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan, atau ada yang menekan di
dalam tenggorokan. Masalah-masalah seperti ini dapat merefleksikan aktivitas
yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otonomik, yang dapat
dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simptom muncul dalam
bentuk yang lebih tidak biasa, seperti kelumpuhan pada tangan atau kaki yang
tidak konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga dapat
ditemukan manifestasi dimana seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka
menderita penyakit yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang
dapat ditemukan.
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut. Dalam kasus-kasus lain, orang
berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit serius, namun tidak
ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.
4
Gambaran keluhan gejala somatoform:
Neuropsikiatri:
- Kedua bagian dari otak saya tidak dapat berfungsi dengan baik ;
- Saya tidak dapat menyebutkan benda di sekitar rumah ketika ditanya
Kardiopulmonal:
- Jantung saya terasa berdebar debar. Saya kira saya akan mati
Gastrointestinal:
- Saya pernah dirawat karena sakit maag dan kandung empedu dan belum
ada dokter yang dapat menyembuhkannya
Genitourinaria:
- Saya mengalami kesulitan dalam mengontrol BAK, sudah dilakukan
pemeriksaan namun tidak di temukan apa-apa
Musculoskeletal
- Saya telah belajar untuk hidup dalam kelemahan dan kelelahan sepanjang
waktu
Sensoris:
- Pandangan saya kabur seperti berkabut, tetapi dokter mengatakan kacamata
tidak akan membantu
Beberapa tipe utama dari gangguan somatoform adalah gangguan
konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan somatisasi.
Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi atau yang juga dikenal sebagai Briquets Syndrome
dicirikan dengan berbagai gejala somatik yang bermacam-macam (multipel),
berulang dan sering berubah-ubah yang tidak dapat dijelaskan dengan
pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Gejala-gejala fisik tersebut umumnya
telah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Keluhan
yang diutarakan pasien dapat meliputi berbagai sistem organ seperti
gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri.
5
Gangguan ini bersifat kronis dan berkaitan dengan stressor psikologis
yang bermakna, sehingga menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi
serta adanya perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan.
Etiologi
Faktor Psikososial
Secara psikososial, gejala-gejala pada gangguan somatisasi adalah bentuk
komunikasi sosial yang bertujuan menghindarkan diri dari kewajiban,
mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.
Faktor Biologis
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan
somatisasi dengan prevalensi 10-20% pada perempuan turunan pertama,
sedangkan saudara laki-lakinya cenderung terlibat pada penyalahgunaan
zat dan gangguan kepribadian antisosial. Prevalensi pada kembar
monozigot adalah 29% dan pada kembar dizigot 10%1.
Gambaran Klinis
Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya hadir dengan riwayat medik
yang panjang dan rumit. Gejala-gejala somatik yang sering dikeluhkan antara
lain2:
Mual
Muntah
Sulit menelan
Sakit pada lengan dan tungkai
Nafas pendek (tidak disebabkan oleh olah raga)
Amnesia
Komplikasi kehamilan dan menstruasi
Retensi urin
Penglihatan kabur, dll.
Pada gangguan ini sering kali terdapat penderitaan psikologik dan masalah
interpersonal yang menonjol, seperti depresi atau cemas, yang memerlukan terapi
khusus. Ancaman akan bunuh diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual
6
sangat jarang terjadi. Pasien biasanya akan mengungkapkan keluhan dengan
emosi yang berlebihan dan dramatis. Pasien dengan gangguan somatisasi
biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian,
serta manipulatif.
Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan somatisasi terpenuhi
apabila gejala diawali sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan,
keluhan pasien harus memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal,
1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tidak satu pun yang dapat
dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium. Berikut kriteria gangguan
somatisasi menurut DSM-IV-TR:
A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang
terjadi selama periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang
menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lain.
B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang
terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
7
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau
defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak
terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi
atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit
menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia, retensi urin,
halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda,
kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau
hilangnya kesadaran selain pingsan).
8
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Pada umumnya, perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik
dengan diagnosis ditegakkan sebelum usia 25 tahun. Namun, gejala-gejala awal
dari gangguan ini terlah berlangsung sejak masa remaja seperti masalah
menstruasi pada remaja perempuan. Keluhan-keluhan seksual yang terdapat pada
gangguan ini biasanya disebabkan oleh masalah yang terjadi di dalam hubungan
rumah tangga pasangan suami istri.
Terapi
Penanganan gangguan somatisasi sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter
saja. Hal ini dipertimbangkan sebagai cara yang terbaik untuk menangani pasien
dengan gangguan somatisasi karena dengan demikian, pasien akan mendapatkan
lebih sedikit kesempatan untuk mengungkapkan keluhan somatiknya. Pertemuan
sebaiknya dilaksanakan dengan reguler yaitu sekali sebulan dan dilakukan secara
singkat. Pada saat pertemuan, walaupun akan selalu ada kemungkinan bagi
dokter untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap keluhan somatik baru pasien,
dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi
emosional dan bukan sebagai keluhan medis. Oleh karena itu, dokter pemeriksa
harus memiliki kemampuan untuk menilai antara keluhan yang harus ditanggapi
secara medis dengan keluhan yang tidak.
9
Terapi psikofarmaka dapat diberikan apabila terdapat gangguan lain
(komorbid) seperti gangguan cemas dan depresi. Namun, pemberian
psikofarmaka harus disertai dengan pengawasan ketat terhadap pemberian obat
sebab pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan
secara irrasional dan berganti-ganti2.
Gangguan Konversi
Gangguan konversi mencakup gejala-gejala yang menandakan adanya
gangguan ataupun defisit pada fungsi sensorik dan fungsi motorik voluntary yang
dinilai telah diakibatkan oleh faktor-faktor psikologis karena telah didahului
dengan konflik ataupun stressor-stresor kehidupan lainnya. Kumpulan gejala ini
dikenal dengan sebutan hysteria, reaksi konversi atau reaksi disosiatif.
Etiologi
Faktor Psikoanalitik
Menurut teori ini, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik-
konflik intrapsikik yang tidak disadari dan konversi dari kecemasan ke
dalam gejala fisik. Gejala-gejala pada gangguan konversi memiliki
hubungan simbolik dengan konflik yang tidak disadari oleh pasien.
Berbagai gejala ini juga memberikan peluang bagi pasien untuk
menunjukkan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan penanganan
yang khusus. Dengan begitu, gejala-gejala tersebut telah berfungsi
sebagai pemberitahuan secara nonverbal bahwa pasien memiliki control
dan manipulasi terhadap orang lain.
Teori Pembelajaran
Di dalam teori ini, gejala-gejala pada gangguan konversi diyakini berasal
10
dari perilaku yang dipelajari sejak kecil. Sebagai contoh, gejala fisik dari
penyakit yang dialami pasien sewaktu kecil dapat digunakan sebagai
coping mechanism dalam situasi-situasi sulit yang dihadapinya ketika
sudah dewasa.
Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme pada
daerah hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah
hemisfer yang non-dominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi
antara kedua hemisfer otak dan berujung pada gejala konversi.
Rangsangan kortikal yang berlebih dapat mengakibatkan timbulnya umpan
balik negatif antara korteks dan formasi retikuler batang otak sehingga
menimbulkan gejala konversi. Sebaliknya, output kortikofugal yang
meningkat justru akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi-sensasi
yang terjadi di tubuhnya. Tes neuropsikologis terkadang menunjukkan
gangguan serebral ringan pada daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi
di pasien dengan gangguan konversi.
Gambaran Klinis
Pada gangguan konversi, gejala yang paling sering terlihat adalah
paralisis, buta, dan mutisme. Gejala-gejala ini juga tidak jarang disertai dengan
gejala depresi dan cemas, dengan resiko tinggi pasien mengalami bunuh diri.
Gangguan konversi umumnya berkaitan dengan gangguan kepribadian pasif-
agressif, dependen, antisocial, dan histrionik.
a. Gejala Sensorik
Contoh dari gejala ini adalah anastesi dan parestesi terutama bagian
ekstrimitas. Gejala-gejala ini tidak sesuai dengan penyakit saraf pusat
maupun tepi. Gejala yang melibatkan organ sensorik khusus dapat
menimbulkan ketulian, kebutaan, dan tunnel vision walaupun evaluasi
neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intact ataupun pupil yang
bereaksi terhadap cahaya.
b. Gejala Motorik
Gejala ini terdiri dari gerakan abnormal, gangguan gaya berjalan (cth:
11
astasia abasia), kelemahan dan paralisis. Dapat juga ditemukan tremor
ritmik kasar, gerak koreoform, tik, dan menghentak-hentak yang
memburuk bila pasien mendapat perhatian.
c. Gejala Bangkitan
Pseudo-seizures merupakan gejala yang dapat terlihat pada gangguan
konversi. Namun, hanya sekitar 1/3 pasien dengan gejala tersebut yang
disertai dengan gangguan epilepsy.
d. Gambaran klinis lainnya:
Keuntungan primer : pasien memperoleh keuntungan primer
dengan mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.
Keuntungan sekunder: keuntungan nyata yang diperoleh pasien
dengan menjadi sakit misalna dibebaskan dari kewajiban
kehidupan yang sulit, bimbingan yang tak akan didapatkannya
dalam situasi normal, dsb.
La belle indifference: merupakan sikap angkuh yang tak sesuai
terhadap gejala serius yang dialaminya. Pasien tampak tak peduli
dengan hendaya berat yang dialaminya. Walaupun begitu, ada
tidaknya la belle indifference bukan dasar penilaian yang akurat
untuk menegakkan gangguan konversi.
Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari
seseorang yang bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau
seseorang yang menjadi model bagi pasien.
Pedoman Diagnosis
Pedoman diagnosis gangguan konversi menurut DSM IV-TR adalah
sebagai berikut:
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter
atau sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi
medis lain.
12
C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat
(seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak
terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak
dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
13
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Lebih dari 90% gejala awal pada pasien dengan gangguan konversi
membaik dalam waktu beberapa hari hingga hampir satu bulan. Sebanyak 75%
pasien tidak pernah mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode
tambahan pada saat mengalami tekanan. Semakin lama gejala gangguan konversi
ini berjalan, maka semakin buruk juga prognosisnya. Sebanyak 25-50% pasien
akan mempunyai gangguan neurologis ataupun kondisi non-psikiatrik lain yang
akan mempengaruhi sistem persarafan di kemudian harinya. Oleh karena itu,
pasien dengan gangguan tersebut harus segera dievaluasi secara neurologis pada
saat diagnosis ditegakkan.
Terapi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya berlangsung spontan. Pasien
dengan gangguan ini dapat diberikan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau
terapi perilaku. Terapi hypnosis, anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam
beberapa kasus. Pemberian amobarbital atau lorazepam parenteral dapat
membantu memperoleh riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru saja
mengalami peristiwa yang traumatis.
Hipokondriasis
Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang ter preokupasi
dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien
memiliki interpretasi yang tidak realistis ataupun akurat terhadap gejala atau
sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Ketakutan dan
keyakinannya menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri dan menganggu
kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidan sosial, interpersonal dan
pekerjaan. Prevalensi pasien dengan hipokondriasis adalah 4-6% dari populasi
pasien medik umum. Gejala-gejala dapat timbul di usia berapapun, namun paling
sering di antara usia 20-30 tahun.
14
Etiologi
Pasien hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah yang
menyebabkan mereka salah menginterpretasikan sensasi fisik. Pasien menambah
dan memperbesar sensasi somatik yang dialaminya karena rasa tidak nyaman
secara fisik dan memiliki ambang toleransi yang rendah.
Gambaran Klinis
Pasien dengan hipokondriasis yakin bahwa mereka menderita penyakit
serius yang belum dapat terdeteksi dan sangat sulit diyakinkan sebaliknya.
Dengan berjalannya waktu, keyakinannya pun akan beralih ke penyakit lain.
Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM IV-TR kriteria hipokondriasis adalah sbb:
15
B. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang
tepat dan penentraman.
Perjalanan Penyakit
Penyakit hipokondriasis memiliki perjalanan penyakit yang episodik,
dimana setiap episode dapat berlangsung berbulan-bulan hingga tahunan dan
dipisahkan oleh periode tenang yang sama lamanya. Kurang lebih sepertiga
hingga setengah dari pasien hipokondriasis mengalami perbaikan yang bermakna.
16
Terapi
Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Psikoterapi
kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena menyediakan dukungan
sosial dan interaksi sosial sehingga menurunkan kecemasan. Psikoterapi
individual berorientasi tilikan, terapi perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis juga
dapat bermanfaat. Pemeriksaan fisik yang terjadwal juga akan membuat pasien
merasa tenang dan tahu bahwa dokternya tak meninggalkannya dan menangani
keluhannyaa dengan serius. Farmakoterapi diberikan apabila pasien juga
memiliki gangguan cemas atau depresi.
Etiologi
Etiologi dari gangguan ini tidak dikterhui, tapi diyakini berasosiasi dengan
gangguan depresi. Selain itu, konsep stereotipik tentang kecantikan atau
keindahan yang dianut dalam keluarga atau budaya tertentu akan berpengaruh
besar pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik.
Gambaran Klinis
Biasanya, bagian tubuh yang menjadi keprihatinan adalah kekurangan
pada wajah khususnya pada bagian-bagian tertentu seperti hidung atau mata.
Selain itu, rambut, buah dada, dan genitalia juga merupakan bagian tubuh lain
yang sering diprihatinkan. Pada pria biasanya yang menjadi pusat pikirannya
adalah otot-ototnya. Pasien dengan gangguan ini sering merasa orang lain
memperhatikan bagian cacat/kekurangan di tubuhnya, sering bercermin, atau
bahkan menghindari benda yang dapat memantulkan seperti cermin dan adanya
usaha untuk menyembunikan bagian tubuh yang dianggap mempunayi deformitas
17
dengan pakaian atau riasan. Gangguan ini berpengaruh apada kehidupan pasien,
seperti penghindaran kontak sosial dan pekerjaan. Pasien juga memiliki cirri
kepribadian obsesif-kompulsif, schizoid, dan narsisistik.
Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM IV-TR, adalah sebagai berikut:
C. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain
(misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia
nervosa)
Perjalanan Penyakit
Munculnya gejala dari gangguan ini biasanya bertahap. Kepedulian
penderita gangguan tubuh dismorfik terhadap bagian tubuh tertentu akan semakin
menjadi-jadi sehingga berujung pada permintaan untuk operasi atau bantuan
medis lainnya. Gangguan ini bersifat kronik.
18
Terapi
Pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik, terapi dengan prosedur
medic pembedahan, dermatologis, kedokteran gigi, dan yang lainnya biasanya
tidak berhasil mengatasi keluhannya. Obat-obat SSRI seperti fluoxetine dan
klomipramin dapat mengurangi gejala yang dikeluhkan minimal 50%. Bila
terdapat gangguan mental lain yang menyertai maka pemberian psikoterapi dan
farmakoterapi yang adekuat sebaiknya diberikan3.
Gangguan Nyeri
Pada gangguan ini, nyeri merupakan keluhan utama yang menjadi focus
perhatian klinis. Nyeri dapat terjadi pada lebih dari satu tempat dan tidak dapat
dimasukkan secara penuh sebagai kondisi medic nonpsikiatrik maupun
neurologic. Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan emosional dan hambatan
dalam fungsi kehidupan. Gangguan nyeri merupakan keluhan tersering dalam
praktek kedokteran, lebih banyak pada perempuan dibandingkan dengan laki-
laki3.
Etiologi
1. Faktor psikodinamik
Pasien mungkin mengekspresikan konflik intrapsikik secara simbolik
lewat tubuh. Pasien lain secara tak sadar menganggap luka emosional
sebagai suatu kelemahan dan tak diperbolehkan secara sosial sehingga
memindahkan masalah pada tubuhnya. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara
untuk memperoleh cinta, hukuman terhadap kesalahan, dan menebus rasa
bersalah atau perasaan bahwa dirinya jahat.
2. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan
atau diberi hukuman.
3. Faktor Interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk
memanipulasi dan memperoleh keuntungan dalam hubungan
interpersonal, misalnya untuk memastikan kesetiaan anggota keluarga,
dsb.
19
4. Faktor biologis
Defisiensi endorphin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik
yang datang.
Gambaran Klinis
Pasien biasanya sekumpulan orang yang bersifat heterogen dengan nyeri
pinggang bawah, sakit kepala, nyeri fasial atipikal, nyeri pelvic kronik, dan nyeri
lainnya yang dapat terjadi setelah trauma,, neuropatik, neurologik, iatrogenic atau
muskulaoskeletal. Pasien biasanya meimiliki riwayat prawatan medis dan
pembedahan yang panjang. Gejala depresi berat terjadi pada 25-50% dari pasien
gangguan nyeri.
Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM-IV-TR:
A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran
klinis dan cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis.
E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan,
atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi criteria dipareunia.
A. Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun gangguan fisik.
20
B. Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau
masalah psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadika alasan dalam
mempengaruhi adanya gangguan tersebut.
Perjalanan Penyakit
Nyeri umumnya muncul secara tiba-tiba dengan derajat keparahan
meningkat dalam hitungan minggu atau bulan. Prognosis bervariasi, akan tetapi
biasanya akan menjadi gangguan kronik dan menimbulkan penderitaaan dan
ketidak-berdayaan yang parah.
Terapi
Rehabilitasi harus disertakan ke dalam terapi pasien dengan gangguan ini.
Farmakoterapi yang digunakan antara lain SSRI, antidepresan trisiklik, dan
amfetamin. Sedangkan psikoterapi yang dipilih adalah terapi kognitif untuk
mengubah pikiran negative dan mengembangkan sikap positif.
21
Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan,
keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)
22
A. Pseudokiesis : keyakinan palsu sedang hamil, yang disertai dengan tanda
objektif kehamilan, yang dapat berupa pembesaran perut (walaupun
umbilicus tidak menjadi menonjol), penurunan aliran menstruasi,
amenorea, sensasi subjektif gerakan janin, dan nyeri persalinan pada
tanggal yang diperkirakan terjadinya persalinan. Perubahan endokrin
mungkin ditemukan tetapi sindroma tidak dapat dijelaskan oleh suatu
kondisi medis umum yang menyebabkan perubahan endokrin (misalnya,
tumor yang mensekresikan hormone).
23
DAFTAR PUSTAKA
24