Anda di halaman 1dari 17

PERCOBAAN IV

ANTIHIPERTENSI

A. TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan percobaan dengan hewan laboratorium untuk melihat efek
obat-obat yang dapat menurunkan tekanan darah secara in vivo.

B. DASAR TEORI
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi
diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%).
Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah
tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti
feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit
parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008).
The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and treatment
of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan dunia WHO dengan International
Society of Hipertention membuat definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang
tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau
sedang memakai obat anti hipertensi. Pada anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila
tekanan darah lebih dari 95 persentil dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang
diukur sekurang-kurangnya tiga kali pada pengukuran yang terpisah (Bakri, 2008).
Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk stroke, infark miokard (serangan
jantung), gagal jantung, aneurisma arteri (misalnya aneurisma aorta), penyakit arteri perifer,
dan penyebab penyakit ginjal kronik. Bahkan peningkatan sedang tekanan darah arteri terkait
dengan harapan hidup yang lebih pendek. Perubahan pola makan dan gaya hidup dapat
memperbaiki kontrol tekanan darah dan mengurangi resiko terkait komplikasi kesehatan.
Meskipun demikian, obat seringkali diperlukan pada sebagian orang bila perubahan gaya
hidup saja terbukti tidak efektif atau tidak cukup.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi
esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal.
1. Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga
hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya
seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin,
defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang
meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi
primer biasanya timbul pada umur 30 50 tahun (Schrier, 2000).
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain lain (Schrier, 2000).

Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi esensial


antara lain :
1. Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial
curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah
ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil.
Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama
akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi
oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible
(Gray, et al. 2005).
2. Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin
yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau
penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al.
2005).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang
peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh
ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE
yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida
yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah
karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi
pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan
darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan
hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan
cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang
pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, et al.
2005).
3. Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam
pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem
saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama sama dengan faktor lain
termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et al. 2005).
4. Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal
yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak
terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi
menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
5. Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan
vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan
sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin
lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium
jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan
ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan
dan hipertensi (Gray, et al. 2005).
6. Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding
pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi
dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan
semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan
pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7. Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat
ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input
ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri
melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).

Faktor Risiko Hipertensi

Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui dengan jelas.
Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi antara lain

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi


a. Keturunan
Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua atau
salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut mempunyai risiko lebih
besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang kedua orang tuanya normal
(tidak menderita hipertensi). Adanya riwayat keluarga terhadap hipertensi dan
penyakit jantung secara signifikan akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi
pada perempuan dibawah 65 tahun dan laki laki dibawah 55 tahun (Julius, 2008).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah. Sejumlah
fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin. Secara
umum tekanan darah pada laki laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada
perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa menopause yang
mununjukkan adanya pengaruh hormon (Julius, 2008).
c. Umur
Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin tinggi umur
seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini disebabkan elastisitas
dinding pembuluh darah semakin menurun dengan bertambahnya umur. Sebagian
besar hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum umur 55 tahun
tekanan darah pada laki laki lebih tinggi daripada perempuan. Setelah umur 65
tekanan darah pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dengan demikian,
risiko hipertensi bertambah dengan semakin bertambahnya umur (Gray, et al. 2005)
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan darah.
Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan tekanan
darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan kesehatan,
karena nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah
dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin
bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah baik sistolik maupun diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot
jantung seperti dipaksa, pemakaian O2 bertambah, aliran darah pada koroner
meningkat dan vasokontriksi pada pembuluh darah perifer (Gray, et al. 2005).
b. Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya dengan
hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya
penambahan berat badan. Peningkatan risiko semakin bertambah parahnya
hipertensi terjadi pada penambahan berat badan tingkat sedang. Tetapi tidak semua
obesitas dapat terkena hipertensi. Tergantung pada masing masing individu.
Peningkatan tekanan darah di atas nilai optimal yaitu > 120 / 80 mmHg akan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat badan
efektif untuk menurunkan hipertensi, Penurunan berat badan sekitar 5 kg dapat
menurunkan tekanan darah secara signifikan (Haffner, 1999).
c. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung
lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Pada binatang
percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap stres menyebabkan binatang
tersebut menjadi hipertensi (Pickering, 1999).

Secara farmakologis pengobatan hipertensi berdasarkan pada tiga tujuan utama ialah
mengurangi volume cairan tubuh dan sekaligus mengurangi volume darah, mengurangi tahanan
pembuluh darah perifer, dan menurunkan curah jantung (cardiac output). Senyawa obat yang
mampu menurunkan tekanan darah biasanya digunakan untuk pengobatan hipertensi. Obat-obat
yang mampu mengurangi volume cairan tubuh adalah golongan diuretika. Diuretika adalah suatu
obat yang dapat meningkatkan jumlah urin (diuresis) dengan jalan menghambat reabsorpsi air dan
natrium serta mineral lain pada tubulus ginjal. Dengan demikian bermanfaat unyuk menghilangkan
udema dan mengurangi free load. Kegunaan diuretika terbanyak adalah untuk antihipertensi dan
gagal jantung. Pada gagal jantung, diuretik akan mengurangi atau bahkan menghilangkan cairan
yang terakumulasi dijaringan dan paru-paru. Disamping itu, berkurangnya volume darah akan
mengurangi kerja jantung. Dalam kondisi tertentu, diuretik juga diresepkan untuk sindrom nefrotik
(gangguan ginjal yang menyebabkan udem), sirosis hati (cairan terakumulasi dalam rongga
lambung),sindrom sebelum menstruasi/premenstruasi (karena aktivitas hormon yang
menyebabkan retensi cairan dan bloating) dan juga untuk terapi galukoma. Penggolongan obat
diuretika berdasarkan mekanisme kerja dan tempat kerja:

1. Diuretika yang bekerja pada tubulus proksimal


Diuretika osmotik : manitol,urea
Karbonat anhidrase inhibitor : asetazolamida, metazolamida
Senyawa lain : alkaloid xantin
2. Diuretika yang bekerja pada Loop of Henle
Diuretika kuat : furosemida, torsemida, asam etakrinat
mercaptomerin
3. Diuretika yang bekerja pada tubulus distal
Diuretika tiazida : klorotiazida, kloroatalidon, hidroklorotiazida
Sulfonamida : indapamid
4. Diuretika yang bekerja pada system collecting duct
Diuretika hemat kalium : antagonis aldosteron (spironolakton), triemteren, amilorid
Antagonis ADH : garam litium, demeklosiklin

Obat-obat yang mampu mengurangi tahanan pembuluh darah perifer biasanya mengakibatkan
vasodilatasi pembuluh darah tersebut. Oleh sebab itu golongan obat ini sering disebut sebagai
vasodilatator. Terdapat tiga mekanisme cara kerja vasodilatator. Golongan pertama adalah obat-obat
yang mampu menghambat kanal ion kalsium (Ca) atau sering disebut Calsium Chanel Blocker (CCB).
Apabila influk ion Ca di dalam sel-sel otot polos pembuluh darah dihambat maka tidak terjadi
kontraksi otot. Contoh obat dari golongan ini adalah nifedipin dan amlodipin. Golongan kedua
vasodilatator adalah yang bekerja menghambat enzim pengubah angiotensin atau
AngiotensinConverting Enzyme Inhibitor (ACEI). Seperti dikertahu angiotensin II adalah sebuah
vasokonstriktor yang dapat dibiosintesis dari angiotensi I. Apabila enzim yang mengubah angiotensin
I menjadi angiotensin II ini dihambat maka pembentukan angiotensin II juga terhambat dan
vasokonstriksi tidak terjadi. Contoh dari golongan ini adalah captopril dan lisinopril. Golongan ketiga
vasodilatator adalah obat yang mampu memblok reseptor angiotensin, sehingga efek angiotensin
sebagai vasokonstriktor tidak terjadi. Contoh dari golongan ketiga ini adalah losartan dan valsartan.
Golongan obat lain yang sering digunakan untuk menurunkan tekanan darah yang berlebih
adalah obat yang mampu mengurangi curah jantung. Golongan ini bekerja dengan jalan menghambat
kerja reseptor -adrenergik, utamanya reseptor 1, pada otor jantung. Apabila reseptor 1 pada otot
jantung dihambat maka kekuatan dan frekuensi kontaksi otot jantung berkurang, sehingga jumlah
darah yang dipompa keluar jantung per satuan waktu juga berkurang. Contoh obat-obat yang
termasuk golongan ini adalah propanolol, acebutolol, metoprolol dan praktolol. Diantara obat-obat
penekan reseptor -adrenergik ini ada yang tidak/kurang selektif karena dapat menekan reseptor 1
maupun reseptor 2 yang dapat menurunkan denyut jantung dan menyebabkan bronkokonstriksi.
Karena dapat menimbulkan bronkokonstriksi, penggunaan bloker non selektif pada penderita
asma,bronchitis, dan penyakit pada pernapasan lain harus dihindarkan. Selain itu harus juga hati-hati
penggunaan bloker pada penderita DM karena tanda-tanda hipoglikemia seperti palpitasi dan tremor
tertutupi (sukar dideteksi). Obat bloker non selektif diantaranya labetalol, nadolol, propanolol,
timolol, dan pindolol.

Gambar aksi obat antihipertensi pada sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (diambil dari : buku
elektronik Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)
C. ALAT DAN BAHAN
Alat :
- NonInvasive Blood Pressure System
- Spuit injeksi dengan jarum berbentuk bola
- Alat-alat gelas

Bahan :
- Nifedipin
- Captopril
- Propanolol
- Pelarut akuades
- Na-CMC
- Hewan coba: Tikus putih (Rattus norvegicus)

D. CARA KERJA
Disiapkan hewan coba dan masing-masing ditimbang bobot badannya

Hewan coba harus diperlakukan dengan kasih saying, hati-hati, tidak disakiti, tidak dibuat
stress serta dilakukan di dalam kotak-kotak plastic yang telah disediakan untuk percobaan

Hewan coba dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah jenis obat
yang akan diuji dan ditambahkan satu kelompok untuk hewan yang tidak diberi obat
(kontrol)

Masing-masing kelompok terdiri dari 2 hewan coba

Masing-masing senyawa uji ditentukan dosisnya berdasarkan dosis lazim pada manusia
dan dikonversikan ke dosis tikus

Larutan obat (suspensi) disiapkan sesuai dengan dosis yang akan diberikan

Diukur tekanan darah hewan uji dengan NonInvasive Blood Pressure System

Masing-masing hewan uji diberi senyawa uji secara per oral


Kelompok kontrol hanya diberi pelarut melalui per oral dengan volume yang sama
dengan yang diberikan pada kelompok uji

Diukur tekanan darah hewan coba pada 30 menit setelah pemberian obat

Dicatat apakah ada perbedaan tekanan darah masing-masing hewan uji antara sebelum
diberi obat dan sesudah diberi obat
E. ANALISIS DATA
Antihipertensi
Dicatat apakah ada perbedaan tekanan darah masing-masing hewan uji antara sebelum
diberi obat dan sesudah diberi obat

Apakah ada perbedaan tekanan darah antara kelompok kontrol dengan tekanan darah
masing-masing kelompok hewan uji

F. HASIL PERCOBAAN
Obat Dosis tikus Larutan stok Bahan Pelarut Yang
ditimbang/30ml ditimbang
Propanolol 0,72 1,44 mg/ml 43,2 mg CMC Na 36 mg
Nifedipin 0,18 0,36 mg/ml 10,8 mg CMC Na 9 mg
Captopril 0,23 0,46 mg/ml 13,8 mg CMC Na 11,5 mg

2543,2
Jumlah propanolol yang diperlukan dalam 25 ml labu takar = 30
= 36

25 10,8
Jumlah nifedipin yang diperlukan dalam 25 ml labu takar = 30
= 9

2513,8
Jumlah captopril yang diperlukan dalam 25 ml labu takar = 30
= 11,5

Hewan percobaan Bobot hewan percobaan (gram)


Tikus 1 (kontrol) 276,5
Tikus 2 (propanolol) 372,5
Tikus 3 (nifedipin) 355
Tikus 4 (captopril) 255


Volume pemberian = 1000
Aquadest (kontrol) = 0,20 ml
0,72 372,5
Propanolol= 1,44 1000
= 0,186
0,18355
Nifedipin = 0,36 /1000 = 0,1775
0,23 255
Captopril = 0,46 1000
= 0,186 = 0,1275

Data percobaan antihipertensi

Obat Tekanan darah sebelum Tekanan darah setelah


pemberian obat pemberian obat
Kontrol 108,67/75,5 -
Propanolol 98/63 89,75/62,875
Nifedipin 66/55,875 68,375/56,875
kaptopril 84,625/66,125 94/50

G. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini bertujuan agar mahasiswa mampu melakukan percobaan dengan
hewan laboratorium untuk melihat efek obat obat yang dapat menurunkan tekanan darah secara
invivo. Obat obatan yang digunakan pada percobaan kali ini adalah nifedipin , propanolol, captropil
dengan menggunakan hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus). Alat utama yang digunakan dalam
praktikum ini adalah NonInvasive Blood Pressure System.

Pemerian bahan :

1. Nifedipin
Merupakan golongan obat yang mampu menghambat kanal ion kalsium (Ca) atau sering disebut
Calsium Chanel Blocker (CCB). Apabila influk ion Ca didalam sel sel otot polos pembuluh darah
dihambat maka tidak terjadi kontraksi otot .
Sinonim : 2,6-Dimethyl-3,5-dicarbomethoxy-4-(2-nitrophenyl)-1,4-dihydropyridine; 2,6-dimthyl-4-
(2-nitrophnyl)-1,4-dihydropyridine-3,5-dicarboxylate de dimthyle; 3,5-Pyridinedicarboxylic acid,
1,4-dihydro-2,6-dimethyl-4-(2-nitrophenyl)-, dimethyl ester; 3,5-Pyridinedicarboxylic acid, 1,4-
dihydro-2,6-dimethyl-4-(2-nitrophenyl)-, dimethyl ester (9CI); 3,5-Pyridinedicarboxylic acid, 1,4-
dihydro-2,6-dimethyl-4-(o-nitrophenyl)-, dimethyl ester (8CI); 4-(2-Nitrophenyl)-2,6-dimethyl-3,5-
dicarbomethoxy-1,4-dihydropyridine; Adalate; Adapress; Aldipin; Anifed; dimethyl 2,6-dimethyl-4-
(2-nitrophenyl)-1,4-dihydropyridine-3,5-dicarboxylate; dimethyl (4S)-2,6-dimethyl-4-(2-nitrophenyl)-
3,4-dihydropyridine-3,5-dicarboxylate
Rumus Bangun : C17H18N2O6
Kepadatan : 1.31g/cm3
Titik lebur : 171-175
Titik didih : 450.3C at 760 mmHg
Indeks bias : 1.584

Tanda Bahaya : Xn:Harmful;

2. Propanolol
Merupakan golongan obat yang mampu mengurangi curah jantung dengan jalan menghambat kerja
reseptor adrenergic , utamanya reseptor 1, pada otot jantung. Apabila reseptor 1 pada otot jantung
dihambat maka kekuatan dan frekuensi kontraksi otot jantung berkurang sehingga jumlah darah yang
dipompa keluar jantung per satuan waktu juga berkurang.
(FI IV hal 711, Martindale 28 hal 1325)
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak berbau, rasa pahit.
Kelarutan : Larut dalam air dan dalam etanol, sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut dalam
eter.
Stabilitas : Larutan dalam aqua akan mengalami oksidasi dari rantai samping, Isopropilamin diikuti
dengan penurunan pH dan perubahan warna, sedikit terjadi peruraian pada suasana basa. Larutan
paling stabil pada pH 3.
Sterilisasi : otoklaf/filtrasi
pH : 2,8 3,5 (dengan
Khasiat : pengobatan darurat pada aritmia berat.
Dosis : 1 mg/ml (DI 88 hal 839)
Rute : Intravena
3. Captropil
Merupakan golongan yang bekerja menghambat enzim pengubah angiostensin atau Angiostensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACEI). Angeostensin II adalah sebuah vasokonstriktor yang dapat
dibiosintesis dari angiostensin I. Apabila enzim yang mengubah angiostensin I menjadi angiostensin
II dihambat maka pembentukan angiostensin II juga terhambat dan vasokontriksi tidak terjadi lagi
Nama Resmi : CAPTOPRILUM
Nama Lain : Kaptopril
Rumus Kimia : C9H15NO3S
Berat Molekul : 217,28
Pemerian : Serbuk hablur putih atau hampir putih, bau khas seperti sulfida, melebur pada suhu
104o 110
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam metanol, dalam etanol, dan dalam kloroform
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

Indikasi : hipertensi ringan sampai sedamg ( sendiri atau dengan terapi thiazid ) dan hipertensi berat
yang resisten terhadap pengobatan lain; gagal jantung kongestif ( tambahan ); setelah infark miokard;
nefropati diabetic ( mikroalbuminuri lebih dari 30 mg / hari ) pada diabetes isulin.
Peringata : diuretika; dosis pertama mungkin menyebabkan hipotensi terutama pada pasien yang
menggunakan diuretika, dengan diet rendah natrium, dengan dialisis, atau dehidrasi; penyakit
vaskuler perifer atau aterosklerosis menyeluruh karena resiko penyakit renovaskuler yang tidak
bergejala; pantau fungsi ginjal sebelum dan selama pengobatan, dan kurangi dosis pada gangguan
ginjal; mungkin meningkatkan risiko agranulositosis pada penyakit vaskuler kolagen ( disarankan
hitung reaksi ); reaksi anafilaktoid ( untuk mencegah reaksi ini, penghambat ACE harus dihindarkan
selama dialisis dengan membrane high-flux polyacrilonitrile dan selama aferesis lipoprotein densitas
rendah dengan dekstran sulfat ).
Interaksi :
a. penghambat ACE : meningkatkan efek hipotensif
Kontraindikasi : hipersensitif terhadap penghambat ACE ( termasuk angiodema ; penyakit
renovaskuler ( pasti atau dugaan ); stenosis aortic atau obstruksi keluarnya darah dari jantung;
kehamilan.
Efek samping : hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual ( terkadang muntah ), diare (
terkadang konstipasi ), kram otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan, perubahan
suara, perubahan pengecap ( mungkin disertai dengan turunnya berat badan ), stomatis, dispepsia,
nyeri perut; gangguan ginjal; hiperkalemia; angiodema, urtikukaria, ruam kulit ( termasuk eritema
multiforme dan nekrolisis epidermal toksik ), dan reaksi hipersensitivitas ( telah dilaporkan suatu
kompleks gejala untuk penghambat ACE yang meliputi demam, serositis, vaskulitis, mialgia, antibody
antinuclear positif, laju endap darah meningkat, eosinofilia, leukositosis; mungkin juga terjadi ruam
kulit, fotosensitivitas atau reaksi kulit lain ), gangguan darah ( termasuk trombositopenia, neutropenia,
agranulositosis, dan anemia aplastik ); gejala-gejala saluran nafas atas, hiponatremia, takikardia,
palpitasi, aritmia, infark miokard, dan stok ( mungkin akibat hiotensi yang berat ), nyeri punggung,
muka merah, sakit kuning ( hepatoseluler atau kolestatik ), pankreatisis, gangguan tidur, gelisah,
perubahan suasana hati, parestesia, impotensi, onikolisis, alopesia.
Dosis : hipertensi digunakan sendiri, awalnya 12,5 mg 2 kali sehari; jika digunakan bersama diuretika
( lihat keterangan dibawah ); pada usia lanjut atau gangguan ginjal, awalnya 6,25 mg 2 kali sehari (
dosis pertama sebelum tidur ); dosis pemeliharaan lazim 25 g 2 kali sehari; maksimal 50 mg 2 kali
sehari ( jarang 3 kali sehari pada hipertensi berat ). Gagal jantung awalnya 6,25-12,5 mg di bawah
pengawasan medis yang ketat; dosis pemeliharaan lazim 25 mg 2-3 kali sehari; maksimal 150 mg
sehari. Profilaksis setelah infark miokard pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri ( asimtomatik
atau simptomatik ) yang stabil secara klinis, awalnya 6,25 mg, dimulai 3 hari setelah infark, kemudian
ditingkatkan dalam beberapa minggu sampai 150 mg sehari ( jika dapat ditolerir dalam dosis terbagi ).
Nefropati diabetic, 75-100 mg sehari dalam dosis terbagi; jika diperlukan penurunan tekanan darah
lebih lanjut, antihipertensi lain dapat digunakan bersama kaptopril; pada gangguan ginjal yang berat
awalnya 12,5 mg 2 kali sehari ( jika diperlukan terapi bersama diuretika, sebaiknya dipilih diuretika
kuat daripada tiazid )

Hewan percobaan yang disiapkan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) berjumlah 4. Tikus 1
digunakan sebagai hewan yang tidak diberi obat atau sebagai control . Tikus 2 yaitu hewan percobaan
yang diberi obat propranolol. Tikus 3 yaitu hewan percobaan yang diberi obat nifedipin. Tikus 4 yaitu
hewan percobaan yang diberi obat captropil.

Norwegia tikus (Rattus norvegicus) yang awalnya berasal dari Cina bagian utara. Setelah
serangkaian perkenalan, spesies telah menemukan jalan ke Eropa Timur pada awal abad kedelapan
belas. Pada tahun 1800, mereka terjadi di setiap negara Eropa. Catatan menunjukkan penampakan
pertama dari R. norvegicus di Dunia Baru terjadi pada 1770 sebagai penumpang gelap kapal. Hari ini,
Norwegia tikus (juga dikenal sebagai tikus coklat) dapat ditemukan di setiap benua di dunia kecuali
Antartika. (Nowak dan Paradiso, 1983; Silver, 1927).
Di Asia, R. norvegicus adalah berasal dari hutan dan daerah sikat. Hari ini, Namun, tikus
Norwegia menemukan habitat yang lebih disukai untuk menjadi bersama ekspansi yang cepat dari
populasi manusia. Hampir setiap kota pelabuhan di dunia memiliki populasi besar hewan pengerat ini.
Mereka menempati berbagai habitat termasuk pembuangan sampah, selokan, lapangan terbuka dan
hutan, ruang bawah tanah, dan hampir di tempat lain bahwa makanan dan tempat tinggal mungkin
ditemukan. Di mana saja bahwa manusia berada, R. norvegicus akan tindak paling mungkin.
(Hamilton, 1998; Nowak dan Paradiso, 1983; Parker, 1990)

Rattus norvegicus adalah anggota yang agak besar dari keluarga tikus. Rata-rata, tikus ini
mencapai hampir 400 mm hidung-untuk-ekor, dan berat 140-500 g. Laki-laki biasanya lebih besar
dari betina. Dalam populasi alami, tikus ini ditutupi dengan kasar, bulu kecoklatan (kadang-kadang
splotched dengan rambut hitam atau putih) di permukaan dorsal mereka, yang biasanya mencerahkan
menjadi warna abu-abu atau cokelat mendekati bagian bawah. Berbagai strain tikus ini dibesarkan di
penangkaran mungkin putih, coklat, atau hitam. Telinga dan ekor botak. Panjang ekor lebih pendek
dari panjang tubuh. Geraham yang lophodont dan dentary adalah 1/1-0/0-0/0-3/3. Telinga tikus
Norwegia biasanya lebih pendek daripada spesies terkait, dan tidak menutupi mata ketika ditarik ke
bawah. Tikus Norwegia dapat dengan mudah keliru untuk tikus hitam, bagaimanapun, punggung
temporal tikus Norwegia lurus, sedangkan yang dari tikus hitam melengkung.

Sistem kawin R. norvegicus paling tepat digambarkan sebagai polygynandrous. Hewan sosial,
tikus Norwegia cenderung berkembang biak dalam kelompok besar. Setelah perempuan memasuki
periode estrus enam jam, dia mungkin kawin sebanyak dari lima ratus kali dengan laki-laki bersaing.
(Parker, 1990)

Hewan coba yang telah disiapkan kemudian ditimbang bobot badannya. Bobot tikus 1
sejumlah 276,5 gram. Bobot tikus 2 sejumlah 372,5gram. Bobot tikus 3 sejumlah 355 gram. Bobot
tikus 4 sejumlah 255 gram. Hewan yang akan diujicobakan diperlakukan dengan kasih sayang, tidak
disakiti, dan tidak dibuat menjadi stress disebabkan karena perlakuan pada hewan uji akan
mempengaruhi hasil pengukuran.

Larutan obat disiapkan sesuai dengan dosis masing masing senyawa uji yang ditentukan
dosisnya berdasarkan dosis lazim pada manusia kemudian dikonversi kepada dosis tikus.

Sebelum diberikan larutan senyawa uji pada masing masing hewan yang akan diujicobakan,
hewan percobaan diukur terlebih dahulu tekanan darahnya menggunakan NonInvasive Blood Pressure
System dalam keadaan tenang dengan cara yang telah diatur oleh alatnya dengan membuat suhu
disekitarnya menjadi hangat dan tidak terdapat gangguan eksternal seperti bulu ekor tikus harus
dibersihkan dahulu sebelum diukur karena dapat mengganggu pembacaan tekanan darahnya.
NonInvasive Blood Pressure System adalah alat yang pokok pada percobaan ini. Alat ini
berfungsi sebagai pengukur tekanan darah hewan percobaan tanpa melukai hewan. NonInvasive Blood
Pressure System yang digunakan adalah CODA. Sistem CODA NIBP adalah sistem komputerisasi
yang secara otomatis melakukan cepat, simultan, beberapa pengukuran (6) enam parameter fisiologis:
tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, berarti tekanan darah, denyut jantung, aliran darah
ekor, dan volume darah ekor sampai dua (2) hewan. Sistem CODA dirancang untuk tikus, tikus, gerbil
dan hewan kecil lainnya dengan ekor. The CODA memanfaatkan Volume Tekanan Recording (VPR)
teknologi sensor. VPR adalah metode yang paling akurat untuk non-invasif mengukur tekanan darah
(BP) pada tikus sebagai sekecil 10 gram untuk tikus lebih besar dari 950 gram. VPR dilaporkan telah
berkorelasi 99% dengan langsung BP. Metodologi BP non-invasif terdiri dari memanfaatkan manset
ekor ditempatkan pada ekor menutup jalan aliran darah dan manset ekor menggabungkan sensor VPR
ditempatkan distal oklusi manset untuk mengukur parameter BP. Sebagai manset oklusi secara
perlahan kemps.langkah - langkah VPR manset karakteristik fisiologis darah kembali aliran darah
sistolik mengakibatkan nilai untuk sistolik dan diastolik BP, berarti BP, jantung denyut nadi, ekor
volume darah dan aliran darah ekor.
Tepat ukuran tikus restrainer sangat penting untuk pengukuran BP akurat. Restrainers
harus nyaman menahan hewan sementara tidak menciptakan stres dan / atau menghambat postur
normal dan santai pernapasan. Sebuah kerucut hidung gelap menguntungkan dalam mengurangi
pandangan hewan dan mengurangi stres.
Inti suhu tubuh sangat penting untuk pengukuran BP akurat dan konsisten.
Hewan harus memiliki aliran darah yang memadai ke ekor untuk pengukuran yang akurat.Hewan
dibius mungkin memiliki suhu tubuh lebih rendah dari hewan terjaga sehingga perawatan tambahan
harus diambil untuk menjaga tepat suhu inti tubuh hewan. Binatang itu harus hangat dan nyaman tapi
tidak pernah panas. Hewan panas akan meningkatkan laju respirasi dan menyebabkan stres yang dapat
mengakibatkan tidak konsisten dan akurat pembacaan BP.
Suhu lingkungan yang tepat sangat penting untuk tekanan darah yang akurat
pengukuran. Idealnya ruangan harus berada pada atau di atas 26 C. Jika ruangan terlalu dingin hewan
tidak akan termo-mengatur, aliran darah ekor akan berkurang. Bekerja pada permukaan atau di
sekitarnya saluran pendingin udara harus dihindari.
Persiapan hewan yang tepat diperlukan untuk pengukuran BP akurat. Itu
hewan harus diizinkan masuk restrainer secara bebas, restrainer disesuaikan untuk menahanhewan
nyaman (yaitu, hidung kerucut disesuaikan untuk menahan hewan nyaman sambiltidak
memungkinkan gerakan yang berlebihan), dan memungkinkan untuk menyesuaikan diri selama 10-15
menit sebelum untuk memperoleh pengukuran BP. A gugup, stres hewan mungkin telah berkurang
sirkulasi di bagian ekor. Sementara tikus pelatihan tidak diperlukan mungkin bermanfaat sebelum
memulai eksperimen.
Ketika memulai aplikasi CODA secara otomatis membuka Device Manager dan
mencari perangkat CODA terpasang. Setelah perangkat ditemukan, jalankan perangkat yang dipilih.
Pengendalian:
Bila menggunakan sistem CODA menahan / pemanasan, geser kerucut hidung ke depan dari
restrainer dan menghapus gerbang belakang. Tempatkan hewan restrainer sebaiknya dengan
memungkinkan untuk masuk secara bebas atau menggunakan sedikit kekuatan yang
diperlukan. Sementara memastikan ekor memperluas keluar bagian belakang dudukan menggantikan
gerbang belakang dan kencangkan mur jempol. Tempatkan hewan pada alur V pada hewan yang
Pemanasan Platform. Catatan: pemanasan blok tidak mungkin hewan hangat secukupnya dalam
sebuah ruangan di bawah 26 C terutama ketika ditempatkan dalam polikarbonat tebal
restrainers disertakan bersama unit CODA. Menggunakan perangkat penahanan dengan dinding tipis
untuk melakukan panas dari hangat selimut air (misalnya, aerasi 50ml kerucut tabung untuk tikus atau
tas kue untuk tikus tertutup sarung tangan hangat air / selimut) dapat meningkatkan aliran darah ekor
dan BPpembacaan. Sesuaikan kerucut hidung sehingga gerakan hewan terbatas tetapi hewan muncul
nyaman. Geser Occlusion Cuff di dekat pangkal ekor, harus geser bebas, tapi sesuai erat ketika tidak
bertekanan. Jika resistance ditemui ketika meluncur manset sampai ekor, STOP, jangan memaksa
manset lebih lanjut. Posisikan manset sebagai dekat pangkal ekor mungkin tanpa paksaan. Memaksa
manset akan menyebabkan oklusi pembuluh mengakibatkan pengukuran BP miskin. Bila
menggunakan sistem pengendalian CODA, mengamankan Occlusion Cuff dalam salah satu alur yang
terletak di bagian belakang dudukan. Slide yang VPR manset sampai ekor dengan ujung yang lebih
besar pertama, sampai mencapai Occlusion yang Manset. Jangan memaksa manset, jika resistance
dirasakan menggunakan ukuran manset berikutnya. Amankan VPR yang manset di dalam alur yang
berlawanan dengan yang digunakan untuk Occlusion Cuff. Personnel Manager-Memungkinkan
peneliti, teknisi, spesimen, dan hewan (Tikus, tikus, dll) yang akan dipilih / ditambahkan / dihapus
ketika mengatur percobaan. Set up eksperimen baru dengan mengikuti petunjuk untuk memilih para
peneliti, teknisi, dan spesimen. Sesi baru akan memulai proses untuk memperoleh pengukuran.
Untuk hewan unanesthetized 10 siklus aklimatisasi dianjurkan. Pengukuran siklus dapat diatur ke
nomor yang diinginkan pengukuran pada interval yang diinginkan. Volume ekor Minimum terdaftar
sebagai 15 secara default.Untuk hasil terbaik mengatur run-time 20 detik.Siklus akan dimulai setelah
mengklik "Finish".
Data dapat ditampilkan dan disimpan sebagai spreadsheet excel untuk diperiksa.
Setelah diukur menggunakan NonInvasive Blood Pressure Syste, hewan uji diberi senyawa uji
melalui per oral dengan pertolongan spuit injeksi dengan jarum berujung bola. Kemudian setelah
diberi senyawa uji di tunggu hingga 30 menit. Pengukuran selama 30 menit ini dimaksudkan agar
obat telah terdistribusi di seluruh jaringan sehingga obat menghasilkan efek yang maksimum. Berikut
hasil data tekanan data sebelum dan sesudah diberi larutan uji.
Dari data yang didapat menunjukan bahwa propanolol dapat efektif menurunkan curah kerja
jantung karena dapat menurunkan tekanan darah yang berasal dari 98/63 menjadi 89,75/62,875. Dan
menurut data yang didapat nifedipin tidak efektif menurunkan curah kerja jantung karena tekanan
darah yang didapat setelah pemberian nifedipin menjadi naik menjadi 68,375/56,875 dari 66/55,875
yaitu sebelum pemberian nifedipin. Dan menurut data yang didapat kaptropil juga tidak efektif
menurunkan curah kerja jantung karena tekanan darah yang didapat setelah pemberian kaptropil
menjadi naik menjadi 94/50 dari 84,625/66,125 yaitu sebelum pemberian kaptropil.

H. KESIMPULAN
1. Propanolol dapat efektif menurunkan curah kerja jantung karena dapat menurunkan tekanan
darah yang berasal.
2. Nifedipin tidak efektif menurunkan curah kerja jantung karena tekanan darah yang didapat
setelah pemberian nifedipin menjadi naik dari sebelum pemberian.
3. Kaptropil juga tidak efektif menurunkan curah kerja jantung karena tekanan darah yang
didapat setelah pemberian kaptropil menjadi naik dari sebelum pemberian.
4. Secara teori obat-obat Antihipertensi (Captopril, nifedipine, dan propanolol) memberikan efek
penurunan tekanan darah dibandingkan dengan NaCMC 1% sebagai pengontrol. Sesuai
literatur yang menyatakan bahwa Captopril, nifedipine, dan propanolol dapat menurunkan
tekanan darah pada manusia.

I. DAFTAR PUSTAKA
Bakri, S., Lawrence, G.S., 2008, Genetika Hipertensi, USU Press, Medan

Guyton, A.C., Hall, J.E., 2006. The Heart. In: Schmitt, W., Gruliow, R., eds. Textbook of
th
Medical Physiology. 11 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders

Pickering, T.G., Ogedegbe, G., 2008. Epidemiology of Hypertension. In: Fuster, V., et al.,
th
eds. Hursts the Heart. Volume 2. 12 ed. USA: McGraw-Hill

Sherwood, L., 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta

Tim Dosen Farmasi UGM, 2013, Petunjuk Praktikum Farmakologi Eksperimental II,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Ganong WF. Review of Medical Physiology. 22nd ed. Singapore: McGrawHill; 2005.
p. 148-70.

Tjay,Hoan,Tan.,2007. Obat-Obat Penting. Gramedia; Jakarta

Anda mungkin juga menyukai