Anda di halaman 1dari 15

PENERAPAN STANDAR PERENCANAAN OLEH CASE MANAGER DI

RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM dr. ZAINOEL ABIDIN

BANDA ACEH

A. Latar Belakang

Rumah sakit merupakan salah satu unsur yang strategis dalam upaya

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Prinsip peningkatan mutu

pelayanan antara lain adalah memenuhi kebutuhan pasien, mengukur dan

menilai pelayanan yang diberikan, memperbaiki proses pelayanan, dan

meningkatkan mutu pemberi pelayanan. Program peningkatan mutu pelayanan

dimaksudkan untuk mengubah budaya kerja seseorang, mengubah proses

pelayanan, dan meningkatkan outcome pelayanan. Sasaran outcome pelayanan

adalah outcome mutu pasien, outcome profesional dan outcome secara ekonomi

(Wiyono, 2008)

Selain itu sasaran outcome mutu pasien antara lain adalah mengurangi

keluhan dari pasien dan meningkatkan kepuasan pasien terhadap mutu

pelayanan yang diberikan. Namun pada kenyataannya masih banyak didapati

keluhan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang didapat, serta masalah

komunikasi dengan dokter penanggung jawab hanya sebatas memberikan terapi

saja. (Sunaringtyas, 2015).

Selain itu juga ketidakpuasan terhadap perawat yang mungkin

memberikan pelayanan yang tidak memuaskan terhadap pasien. Hal ini

mungkin terjadi karena kurangnya pemahaman perawat dalam melakukan


asuhan keperawatan sehingga intervensi yang diberikan juga kurang efektif.

Oleh karena itu, rumah sakit memerlukan strategi agar dapat melakukan proses

pelayanan yang berkelanjutan, dimana salah satu model pelayanan tersebut

adalah case management. (Sunaringtyas, 2015). Case Management merupakan

proses kolaboratif dari penelitian, perencanaan, fasilitasi dan advokasi untuk

memilih dan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan seorang individu melalui

komunikasi dan sumber daya yang tersedia guna meningkatkan hasil yang

berkualitas dan efektif biaya. (Case Management Society of America, 2010).

Case management telah mejadi metode yang menonjol dalam

pengkoordinasian pelayanan perawatan kesehatan untuk menjamin perawatan

efektif biaya, bertanggung gugat dan berkualitas. Proses case management

merujuk kembali pada program kesehatan masyarakat di awal tahun 1990-an,

dan selalu menjadi peran yang dominan dalam keperawatan kesehatan

masyarakat. Selama beberapa tahun, proses tersebut beragam dalam bentuk dan

fungsi, tetapi tema dasarnya tetap sama, tanggung jawab untuk memenuhi

kebutuhan pasien terletak pada satu individu atau tim bertujuan untuk memberi

pasien dan keluarganya akses kepelayanan, untuk memastikan koordinasi dari

pelayanan ini, dan untuk mengevaluasi efektivitas pemberian pelayanan.

(Smeltzer & Bare, 2002)

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Novitasari (2017),

program case management beroperasi secara efektif, untuk itu case manager

perlu memiliki keterampilan dan keahlian yang tepat untuk menjalankan peran

dengan baik. Case manager bertanggung jawab secara umum terhadap


koordinasi dan kesinambungan pelayanan pasien atau pada fase pelayanan

tertentu yang teridentifikasi dengan jelas. Case manager menangani setiap

kasus dengan mengidentifikasi penyedia, terapi, dan suasana perawatan yang

paling efektif.

Pelayanan yang diberikan berupa proses seleksi, penilaian klien,

identifikasi masalah/peluang, perencanaan, monitoring, hasil, penghentian

layanan, fasilitas, koordinasi, dan kolaborasi, kualifikasi, hukum, etika,

pembelaan, budaya kompetensi, pengelola sumber daya dan pelayanan,

penelitian dan pemanfaatan penelitian diharapkan dapat menjamin orang yang

mempunyai masalah akan memperoleh semua pelayanan yang dibutuhkannya

secara cepat dan tepat.

Oleh sebab itu agar masalah dari setiap pasien terselesaikan maka perlu

adanya perencanaan yang matang agar tindakan yang diberikan dapat sesuai dan

memuaskan pasien. Dalam proses keperawatan setelah dilakukan penegakan

diagnosa maka dilakukan perencanaan yang sesuai dengan masalah pasien.

Case manager harus mengidentifikasi segera, jangka pendek, jangka panjang,

dan kebutuhan yang sedang berlangsung, serta mengembangkan strategi

manajemen kasus yang tepat dan diperlukan tujuan untuk memenuhi kebutuhan

mereka. (Case Management Society of America, 2010)

Pada tahap perencanaan, fase-fase tersebut meliputi : (1) menentukan

prioritas pada diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif, (2) menetapkan

tujuan jangka pendek, jaangka menengah dan jangka panjang dari tindakan
keperawatan, (3) mengidentifikasi intervensi keperawatan spesifik yang sesuai

untuk pencapaian tujuan, (4) mengidentifikasi intervensi yang independent, (5)

menetapkan hasil akhir yang diharapkan, (6) mendokumentasikan diagnosa

keperawatan, masalah kolaboratif, tujuan, intervensi keperawatan, dan hasil

akhir yang diharapkan pada rencana keperawatan, (7) mengkomunikasikan

pada personil lain yang sesuai tentang data pengkajian yang mengarah pada

kebutuhan kesehatan yang dapat dipenuhi dengan baik oleh anggota tim

kesehatan lainnya. (Smeltzer & Bare, 2002)

Tahap perencanaan memberikan kesempatan bagi perawat, pasien dan

keluarga untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna mengatasi

masalah yang dialami pasien. Tahap perencanaan juga merupakan inti atau

pokok dari proses keperawatan sebab perencanaan merupakan keputusan awal

yang memberikan arah bagi tujuan yang ingin dicapai, hal yang akan dilakukan,

termasuk bagaimana, kapan, dan siapa yang akan melakukan tindakan

keperawatan untuk pasien dan keluarga. Disinilah peran case manager bukan

hanya berfokus pada perawatan pasien langsung, melainkan berfokus pada

pengelolaan perawatan dari seluruh beban kasus pasien dan berkolaborasi

dengan perawat dan personil tenaga kesehatan lain yang merawat pasien.

(Smeltzer & Bare, 2002)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan standar perencanaan oleh case manager di

ruang rawat inap rumah sakit umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana penerapan standar perencanaan oleh

case manager di ruang rawat inap rumah sakit umum dr. Zainoel Abidin

Badan Aceh.
PERAN CASE MANAGER DALAM MENUNJANG KONSEP PATIENT

CENTERED CARE DI RSUDZA BANDA ACEH

A. Latar Belakang

Patient Centered Care (PCC) adalah istilah yang banyak digunakan

dalam praktik medis yang biasanya dijelaskan dalam konteks komunikasi

praktisi pasien. Berbeda dengan layanan yang berpusat pada penyedia layanan,

yang mengendalikan dan menghasilkan keputusan hanya berada di tangan

penyedia layanan kesehatan, bukan berpusat pada pasien. Patient Centered Care

mempromosikan partisipasi aktif dari keputusan pasien mengenai kesehatan

dan perawatan kesehatan mereka. Selain itu, perawatan yang berpusat pada

pasien mengharuskan praktisi untuk memberikan perawatan sesuai dengan nilai

pasien dan juga untuk memenuhi keinginan pasien akan penyediaan informasi

dan tanggung jawab pengambilan keputusan bersama. Perawatan berpusat pada

pasien telah terbukti terkait dengan peningkatan kepuasan pasien dan kepatuhan

dan juga dapat meningkatkan hubungan antara pasien dan penyedia layanan

kesehatan.

Patient Centered Care (PCC) adalah paradigma baru dalam pelayanan

kesehatan yang memposisikan pasien sebagai pusat dari pelayanan. Konsep

PCC disebut juga pelayanan yang berpusat pada seseorang, berpusat pada klien,

masyarakat, pasien dan keluarga serta perawatan individual. Institute of

Medicine (IOM) mendefinisikan patient centered care sebagai perawatan yang

menghormati dan responsif terhadap pilihan, kebutuhan dan nilai-nilai yang


menjamin bahwa pasien memandu semua keputusan klinis. Definisi ini

menggambarkan pentingnya dokter dan pasien saling bekerja sama untuk hasil

terbaik. Implementasi PCC tidak hanya mengutamakan teknologi, tetapi lebih

memperhatikan pentingnya interaksi antar individu. Konsep PCC juga disebut

sebagai salah satu dimensi kunci dari kualitas pelayanan kesehatan karena

mengarah kepada peningkatan kepuasan pasien, pendapatan pelayanan

kesehatan dan status kesehatan serta menghasilkan kepuasan kerja yang lebih

besar bagi para profesional dan mengurangi tingkat kesalahan medis.

Implementasi PCC memerlukan kompetensi petugas dalam hal komunikasi dan

penilaian, konseling dan strategi dalam perubahan berperilaku, dukungan

manajemen diri terhadap penyakit dan kesehatan, serta koordinasi perawatan

dengan profesional kesehatan lain. (Marti, E & Adriani. S, 2015)

Terdapat tujuh dimensi PCC menurut Gerteis et al, yang menunjukkan

bahwa sistem perawatan harus : (1) menghormati nilai-nilai, pilihan dan

kebutuhan pasien, (2) menekankan koordinasi perawatan dan integrasi

perawatan, (3) menginformasikan, berkomunikasi, dan mendidik pasien serta

keluarganya, (4) memastikan kenyamanan fisik, (5) memberikan dukungan

emosional, mengurangi rasa takut dan kecemasan, (6) melibatkan keluarga dan

teman-teman, (7)dan mempromosikan perawatan yang berkesinambungan

diantara penyedia dan institusi. (Bleich. MR, 2015)

Sebagai perubahan paradigma, penerapan PCC bukan hal yang mudah

dilakukan. Berdasarkan survei kepuasan pasien rawat inap di rumah sakit

tempat dilakukannya penelitian, menunjukkan adanya keluhan pasien tentang


komunikasi antara dokter dan pasien/keluarga. Keluhan tersebut mencerminkan

bahwa implementasi PCC belum sepenuhnya dirasakan pasien. (Rukiyah,

Haryanti. Tita, Suhariah. Siti, 2016). Oleh sebab itu, diperlukan seorang yang

bertanggung jawab secara umum terhadap koordinasi dan kesinambungan

pelayanan pasien atau pada fase pelayanan tertentu yang teridentifikasi dengan

jelas agar PCC ini dapat terjalankan dengan baik. (Sunaringtyas, 2015)

Case Manager merupakan profesional di rumah sakit yang

melaksanakan manajemen pelayanan pasien. Suatu proses kolaboratif mengenai

asesmen, perencanaan, fasilitas, koordinasi asuhan, evaluasi dan advokasi untuk

opsi dan pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan pasien dan keluarganya yang

komperhensif, melalui komunikasi dan sumber daya yang tersedia sehingga

memberi hasil (outcome) yang bermutu dengan biaya efektif.

Case Manager berkolaborasi untuk memberikan pelayanan kesehatan

kepada pasien secara efektif dan efesien. Case Manager berperan aktif sebagai

penghubung antara pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan lain yang

dibutuhkan dalam mendapatkan perawatan. Case Manager juga berperan dalam

mengidentifikasi empat bidang utama yaitu tanggung jawab dengan tugas yang

diberikan, peran dan kewenangan, keterampilan dan dukungan, dan

membangun hubungan dengan stakeholder dan termasuk juga dengan pasien.

selain itu, pada standar case management terdapat salah satu point

dimana adanya standar pembelaan. Case Manager harus mengadvokasi klien di

jasa pengiriman, manfaat administrasi dan tingkat pembuatan kebijakan (Case


Management Society of America, 2010). Perawat adalah satu-satunya profesi

yang selalu berada disamping pasien yang mempunyai kesempatan besar untuk

melakukan advokasi kepada pasien. Pasien membutuhkan perlindungan dari

perawat ketika seseorang sakit, kekuatan fisik dan mentalnya menurun. Pasien

yang dalam kondisi lemah, kritis dan mengalami gangguan membutuhkan

seorang advokat yang dapat melindungi kesejahteraannya. Advokasi tidak

hanya untuk mereka yang kurang mampu melindungi diri sendiri, tetapi juga

ditujukan kepada pasien yang membutuhkan advokasi dalam hal penyediaan

data yang dibutuhkan dalam mengambil keputusan tentang pengobatan dan

proses terapi.

Ketika seorang case manager menerapkan hal itu, pasien akan merasa

dilayani dan dipedulikan karena perawat akan selaku datang ketika pasien

membutuhkan bantuan. Bentuk pelayanan psikologis yang memberikan

pelayanan kepada pasien berdasarkan rasa simpatik dan empati diantaranya

adalah segera melakukan tindakan perawatan ketika pasien menyampaikan

keluhan, membantu pasien dalam proses pemulihan, memberikan kenyamanan

bagi pasien dalam memenuhi kebutuhannya untuk minum obat dan makan

secara teratur.

Hal ini sesuai dengan dimensi PCC yaitu mengetahui tentang kemajuan

pasien dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan mereka. Pasien

berpartisipasi sesuai dengan yang mengetahui tentang kemajuan pasien dan

bertanggung jawab terhadap kebutuhan mereka, pasien berpartisipasi dalam


rencana perawatan, memberikan informasi tentang kondisi dan pengobatan

serta merawat dengan rasa peduli. Pengalaman yang lain adalah adanya

komunikasi yang baik dari petugas baik itu dokter maupun perawat. Pemberian

informasi dan edukasi merupakan bagian penting dalam PCC. Case manager

bisa menjadi jembatan penghubung antara komunikasi dokter dan pasien,

karena telah terbukti bahwa komunikasi membawa pengaruh yang baik pada

kepatuhan pengobatan, meningkatkan kepuasan pasien dan akhirnya membawa

manfaat bagi output pengobatan. Case manager juga harus memiliki

pengetahuan dan keterampilan khusus dalam memberitahukaninformasi kepada

pasien, sehingga dapat memberikan informasi tentang diagmosa medis,

prosedur dan proses terapi kedalam bahasa yang mudah dipahami dan

dmengerti oleh pasien.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran case manager dalam menunjang konsep Patient

Centered Care di RSUDZA Banda Aceh.

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengtahui peran case manager dalam mengaplikasikan konsep

Patient Centered Care di RSUDZA Banda Aceh.


PENGARUH DISCHARGE PLANNING BERBASIS TEKNOLOGI

INFORMASI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK PASCA

PEMASANGAN CAPD DI RSUDZA BANDA ACEH

A. Latar Belakang

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan

gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh

gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan

elektrolit, menyebabkan terjadinya retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam

darah. pada keadaan tertentu memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,

berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Hemodialisis sebagai salah satu

alternatif terapi pengganti ginjal pada pasien dengan gagal ginjal kronik dengan

tujuan untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme, protein dan koreksi

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen larutan

dialisat melalui selaput tipis (membran) semipermiabel yang bertindak sebagai

ginjal buatan yang disebut dializer. (Smeltzer & Bare, 2002)

Meskipun sebagian besar pasien yang memerlukan hemodialisis akan

menjalani prosedur ini dalam rawat jalan, tetapi dialisis dirumah merupakan

suatu pilihan bagi sebagain besar pasien lainnya. Namun demikian, tidak semua

pasien dapat menjadi calon terapi dialisis dirumah, mengingat prosedur ini

memerlukan pasien dengan motivasi yang sangat tinggi dan bersedia

bertanggung jawab atas resiko prosedur dialisis yang dijalaninya di samping


harus mampu untuk menyesuaikan setiap terapi guna memenuhi kebutuhan

tubuhnya yang selalu berubah.

Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis

peritoneal ambulatorik kontinue merupakan suatu bentuk dialisis yang dilakkan

pada banyak pasien dengan penyakit renal stadium terminal. CAPD ini bersifat

kontinue dan bisa dilakukan sendiri oleh pasien dan dilakukan dirumah sendiri.

Terkadang anggota keluarga dilatih agar dapat melaksanakan prosedur tersebut

bagi pasien. Tekniknya disesuaikan menurut kebutuhan fisiologik pasien akan

terapi dialisis dan kemampuannya memperlajari prosedur ini. Metode CAPD

harus dapat dipahami oleh pasien serta keluarganya dan diperlukan petunjuk

yang adekuat untuk menjamin agar mereka merasa aman serta yakin dalam

melaksanakannya. (Smeltzer & Bare, 2002)

Agar kualitas pasien CAPD bisa tercapai, dibutuhkan kualitas

penatalaksanaan asuhan yang baik oleh tenaga kesehatan, dengan melibatkan

pasien dan keluarga dalam memahami proses penyakit dan terapi yang

dijalankan yang disusun dalam discharge planning, yaitu mempersiapkan

pasien untuk mendapatkan kontinuitas perawatan dalam terapi yang dijalankan

maupun dalam mempertahankan derajat kesehatannya sampai pasien merasa

mampu dan siap kembali ke lingkungannya dan harus dimulai sejak pasien

mulai datang ke pelayanan kesehatan. (Haryanti, T.S, Afifah, E, Handayani, H,

2008)
Perawat sebagai salah satu profesi kesehatan memiliki peran yang

sangat besar karena memiliki waktu interaksi terlama dengan pasien di institusi

kesehatan, khususnya dalam memberikan informasi penting yang tersusun

dalam bentuk discharege planning, meliputi informasi dasar tentang CAPD.

Dalam discharge planning juga perlu dijelaskan tentang terapi diet yang bisa

diterapkan pada pasien, menjelaskan pentingnya perawatan dan tindak lanjut

untuk mengingatkan kembali teknik aseptik untuk menghindari infeksi, serta

memberikan pelatihan pada pasien dan keluarga.

Selama periode latihan, pasien diajarkan tentang materi anatomi dan

fisiologi dasar ginjal, proses penyakitnya, prosedur terapi pertukaran,

komplikasi yang mungkin muncul serta respon yang tepat terhadap komplikasi

tersebut, pemeriksaan TTV, perawatan kateter, teknik membasuh tangan, dan

yang paling penting siapa yang bisa dihubungi ketika terjadi masalah. Karena

konsekuensi peritonitis, pasien dan keluarganya harus mendapatkan pelajaran

tentang tanda-tanda peritonitis, tindakan preventif dan strategi penanganan dini.

(Smeltzer & Bare, 2002)

CD media perencanaan pulang merupakan alat bantu yang baik dalam

perencanaan pulang. CD media pembelajaran memudahkan pasien dan juga

menudahkan perawat dalam melaksanakan perencanaan pulang. Sesuai dengan

teori sebelumnya perencanaan pulang dilaksanakan dengan mekanisme untuk

memberikan perawatan berkelanjutan, informasi tentang kebutuhan kesehatan

setelah pulang, perjanjian evaluasi, dan instruksi perawatan diri. Perencanaan


pulang merupakan proses profesional perawatan kesehatan pasien, dan keluarga

serta melibatkan interaksi dari multi disiplin ilmu. Perencanaan harus berpusat

pada masalah pasien, meliputi tindakan pencegahan, terapeutik, rehabilitatif,

dan perawatan biasa termasuk kebutuhan non medis. Perencanaan pulang

berfokus pada proses mempersiapkan pasien untuk meninggalkan fasilitas

kesehatan/rumah sakit. Perencanaan pulang yang baik diharapkan

meminimalkan dampak dari suatu keadaan kesehatan misalnya penyakit dengan

perawatan yang kontinyu (terus menerus) dan untuk meningkatkan kepuasan

pasien dan keluarga terhadap sistem pelayanan kesehatan. (Haryanti, T.S,

Afifah, E, Handayani, H, 2008)

Pada kasus pasien pasca pemasangan CAPD maka perlu dilakukannya

pelatihan tentang cara beberapa hal terkait dengan terapi CAPD yang akan

dilakukan oleh pasien dirumah. Kebanyakan rumah sakit hanya memberikan

pelatihan dan juga buku panduan sebagai acuan bagi pasien dan keluarga

dirumah. Tetapi dengan dilakukannya discharge planning berbasis teknologi

dengan memberikan CD berupa hal hal yang penting terkait dengan perawatan

dan juga video-video yang berisikan baik cara melakukan terapi, cara mencuci

tangan, cara merawat kateter dan juga informasi-informasi penting lainnya,

maka pasien dan keluarga dapat dengan mudah mempelajarinya. Karena seperti

yang kita ketahui belajar dengan metode visual lebih mudah dimengerti oleh

pasien maupun keluarga.


B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh discharge planning berbasis teknologi informasi

pada pasien gagal ginjal kronik pasca pemasangan capd di RSUDZA

Banda Aceh?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh discharge planning berbasis teknologi

informasi pada pasien gagal ginjal kronik pasca pemasangan capd di RSUDZA

Banda Aceh

Anda mungkin juga menyukai