Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Istilah pengungsi pertama kali muncul pada saat perang dunia pertama. Hal ini dapat
dipahami secara logika, karena seperti yang kita tahu, bahwa perang telah mengakibatkan
banyak penderitaan dan kecemasan setiap warga negara, terutama mereka yang tinggal di
daerah zona perang. Kecemasan itu muncul dari rasa takut karena keamanan dan keselamatan
atas nyawa yang tidak terjamin oleh meraka yang merasakan secara langsung dampak atau
akibat yang ditimbulkan oleh perang. Rasa takut yang berdasar inilah yang membedakan
pengungsi dengan jenis migran lainnya, seberat apapun situasinya, dan juga dari orang lain
yang membutuhkan bantuan kemanusiaan.1 Secara tidak langsung, hak asasi mereka telah
dilanggar karena adanya perang. Salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan oleh warga
negara yang tinggal di zona perang tersebut adalah melarikan diri ke daerah atau negara yang
lebih aman untuk menjamin keselamatan dan keamanan mereka. Dengan begitu, pengungsi
dapat didefinisakan sebagai seseorang yang karena merasa dirinya terancam keselamatannya
melarikan dari dari negara asalnya ke negara tujuan untuk mencari perlindungan atas dirinya
dari konflik yang terjadi di tempat asalnya.
Selain karena peperangan, adanya pengungsi lintas negara juga bisa diakibatkan
karena negara tidak mampu memberikan perlindungan sebagaimana mestinya, bahkan negara
yang bersangkutan justru melakukan tindakan penindasan terhadap warga negaranya. Ketika
negara yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu memberikan perlindungan terhadap
warga negaranya seringkali terjadi seseorang mengalami penindasan yang serius atas hak-hak
dasarnya.2 Atas dasar perlindungan hak asasi para pengungsi, maka dilakukanlah suatu usaha
untuk membuat suatu perjanjian yang mengatur mengenai perlindungan hak asasi para
pengungsi yang berada di luar negaranya. Hingga akhirnya melalui konvensi 1951 tentang
Status Pengungsi dibentuklah United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
yang berarti Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi. Tujuan dibentuknya UNHCR adalah
melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi berdasarkan permintaan sebuah
pemerintahan dan mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses pemindahan tempat
menetap mereka ke tempat yang baru.
Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, menjabarkan definisi pengungsi sebagai
seseorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang
disebabkan oleh alasan an ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan
keanggotaan partai politik tertentu, berada diluar Negara kebangsaannya dan tidak
menginginkan perlindungan dari Negara teresebut.3 Menurut JRS, definisi yang diberikan
oleh konvensi 1951 tersebut, terlalu sempit. Oleh karena itu, JRS mengeluarkan definisi
pengungsi sebagai semua orang yang dianiaya berdasarkan ras, agama, keanggotaan dalam
kelompok sosial atau politik dan mereka yang menjadi korban dari konflik bersenjata,
kebijakan ekonomi yang keliru atau korban bencana alam serta demi alasan kemanusiaan,
termasuk juga dalam definisi ini adalah mereka yang disebut pengungsi internal, yakni warga
negara yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena alasan kekerasan yang
sama dengan pengungsi pada umumnya namun mereka tidak melintasi batas-batas negara.4
JRS (Jesuit Refugee Service) ini sendiri adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat
internasional milik Ordo Serikat Yesus yang berkantor pusat di Roma. Tujuan JRS adalah
menemani, melayani, dan membela hak-hak para pengungsi dan orang-orang yang terpaksa
meninggalkan tempat asalnya.

1
Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 52
2
Ibid
3
http://www.unhcr.or.id/id/siapa-yang-kami-bantu/pengungsi, diakses pada tanggal 2 Desember 2014 pada
pukul 2:37 WIB
4
http://jrs.or.id/refugee/, diakses pada tanggal 2 Desember 2014 pada pukul 2:37 WIB
Selain dikenal istilah pengungsi, ada juga yang disebut dengan pencari suaka. Definisi
dari pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan
perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses penentuan. Apabila permohonan
seorang pencari suaka itu diterima, maka ia akan disebut sebagai pengungsi, dan ini
memberinya hak serta kewajiban sesuai dengan undang-undang negara yang menerimanya.5
Dengan kata lain pencari suaka adalah istilah yang diberikan untuk mereka yang belum
mendapat status sebagai pengungsi.
Pada dasarnya, melindungi hak asasi setiap pengungsi dan pencari suaka adalah
tangung jawab setiap negara, tak terkecuali Indonesia, karena perlindungan terhadap
pengungsi dan pencari suaka ini sudah menjadi permasalahan internasional. Terlebih lagi
bagi Indonesia yang memilki wilayah laut yang luas dan garis pantai yang panjang serta
posisi yang strategis, telah menjadikan Indonesia salah satu tempat yang sering didatangi oleh
para imigran sebagai tempat transit. Oleh karena itu, diperlukan juga suatu peraturan
perundang-undangan yang mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi para
pengungsi dan pencari suaka agar hak-hak meraka tidak terlanggar. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa alasan para pengungsi dan pencari suaka berpindah tempat
adalah karena hak asasi mereka telah terlanggar. Apabila di tempat tujuan mereka tidak
mendapatkan perlindungan yang memadai, hanya akan melanjutkan penderitaan yang dialami
oleh mereka, dan hak asasi mereka kembali dirampas. Disinilah letak urgensi dibutuhkannya
suatu regulasi yang jelas mengenai status pengungsi di Indonesia. Namun kenyataannya,
sampai saat ini Indonesia masih belum meratifikasi konvensi 1951 tentang status pengungsi.
Hal ini mengakibatkan pemerintah Indonesia tidak mempunyai keleluasan untuk menentukan
status bagi para pengungsi, yang mengakibatkan hak para pengungsi tersebut tersendat oleh
regulasi yang belum jelas.

5
Ibid
ISI

Pengaturan mengenai perlindungan bagi para pengungsi secara internasional diatur


dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating Status of
Refugees) dan protokol tahun 1967 yang secara garis besar memuat ketentuan yang berkaitan
dengan definisi dan pengertian pengungsi, status hukum pengungsi termasuk hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pengungsi di negara dimana mereka menetap, serta etentuan lain yang
berkaitan dengan penerapan instrumen pengungsi baik dari sudut prosedur administratif
maupun diplomatik. Adapun hak-hak yang diatur dalam Konvensi 1951 meliputi :6
1. Tidak dibeda-bedakan
2. Kemerdekaan
3. Bebas mendapat akses ke pengadilan atas hukum di wilayah seluruh Negara Pihak
Konvensi
4. Hak Mendapatkan pekerjaan
5. Hak mendapatkan perumahan
6. Hak mendapatkan pendidikan
7. Hak mendapatkan pertolongan dan Bantuan umum
8. Kemerdekaan bergerak dalam wilayah Negara
9. Hak untuk tidak diusir dari suatu Negara, kecuali pengungsi merupakan suatu ancaman
terhadap keamanan Negara atau ketertiban umum
Baik Konvensi 1951 maupun protocol 1967 tidak secara rinci menjelaskan cara
Negara harus melaksanakan perlindungan terhadap pengungsi maupun pencari suaka. Oleh
karena itu, Negara peserta mempunyai kebebasan untuk menentukan lembaga dan prosedur
untuk menangani masalah pengungsi. Perlindungan status pengungsi ini juga diwujudakn
dengan pembentukan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) yang
merupakan organisasi internasional yang bersifat universal dan Sui Generis.7 Maksudnya
adalah organisasi ini memiliki karakteristik yang khusus yaitu mengenai pengungsi dan
keberadaanya sebagai organisasi internasional tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Disamping konvensi yang telah dibuat, ada juga prinsip yang digunakan dalam
memberikan perlindungan terhadap para pengungsi. Prinsip itu tidak dapat disimpangi
berlakunya oleh kekuatan hukum internasional yang berlaku atau yang ditetapkan kemudian
dan juga tidak dapat diubah oleh prinsip hukum internasional yang tidak sama sifatnya.8
Salah satu prinsip yang digunakan dalam penanganan pengungsi adalah prinsip non
refoulement, yang artinya tak satu orang pengungsi pun boleh dipulangkan kembali ke suatu
negara di mana kehidupan atau kebebasannya akan terancam atas dasar perbedaan ras,
agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau keyakinannya akan
haluan politik tertentu, atau dimana didapati alasan untuk mempercayai bahwa dia akan
menghadapi bahaya untuk mendapat siksaan.9
Indonesia sebagai anggota PBB, memiliki kewajiban untuk turut serta dalam
menegakan Hak Asasi Manusia, tak terkecuali hak asasi para pengungsi yang singgah atau
berada di Indonesia. Namun hingga, sampai saat ini, Indonesia masih belum melakukan
ratifikasi terhadap Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi. Hal ini memunculkan anggapan
bahwa pemerintah Indonesia tidak tanggap dalam menangani para pengungsi ataupun pencari
suaka. Sehingga penentuan status pengungsi masih dilakukan oleh UNHCR yang
membutuhkan waktu relatif lama.

6
Sri Setianingsih Suwardi, Aspek Hukum Masalah Pengungsi Internasional, Jurnal HI Vol. 2 No.1 Tahun 2004,
LPHI FH UI, Jakarta, hlm. 35
7
Atik Krustiyati, Penanganan Pengungsi Di Indonesia, Penerbit Brilian Internasional, Surabaya, 2010, hlm. 73.
8
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1994, hlm. 13
9
Pasal 33 ayat (1) Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi
Sebenarnya Indonesia telah merencanakan ratifikasi terhadi Konvensi tentang Status
Pengungsi sejak periode Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), yaitu
periode tahun 204-209 dan periode tahun 2010-2014. Pada periode RANHAM tahun 204-
209, ratifikasi kedua hukum pengungsi internasional tersebut direncanakan akan
direalisasikan pada tahun 2009. Namun rencana ratifikasi tersebut tertunda sampai dibuatnya
RANHAM periode tahun 2010-2014. Direncanakan kembali Konvensi 1951 akan diratifikasi
pada tahun 2013 sementara Protokol 1967 pada tahun 2014.Namun hingga sampai
Pemerinatahan yang dipimpin Pemerintahan Presiden Jokowi, ratifikasi terhadap konvensi
tersebut belum dilakukan. Ada beberapa alasan yang menyebabkan ratifikasi terhadap
konvensi tentang Status Pengungsi ini terhambat, diantaranya adalah :
1. Pemerintah Indonesia sulit untuk memenuhi beberapa pasal dalam Konvensi 1951 dan
Protokol 1967
Pasal-pasal yang sulit untuk dipenuhi oleh Pemrintah Indonesia dalam Konvensi 1951
terdiri dari Pasal 13, 14, dan 30, yaitu negara peratifikasi diwajibkan membantu atau
bahkan mempermudah pemindahan hak milk dan aset-aset pengungsi ke negara tempat
dimana pengungsi tersebut akan bertempat tinggal.
Selain itu, Pasal 17, 18 dan 19yang memberikan kebebebasan kepada pengungsi untuk
mendapatkan pekerjan yang menghasilkan upah, melakukan usaha sendiri. Sedangkan
pemerintah Indonesia sendiri, masih kesulitan dalam menciptakan lapangan pekerjan bagi
warga negaranya.
2. Keterlibatan UNHCR dalam penanganan pengungsi di Indonesia akan berkurang
UNHCR memiliki peran yang penting di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa di negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967
seperti Indonesia, UNHCR mempunyai fungsi untuk menentukan status pengungsi.
Sehingga, apabila Indonesia meratfikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, maka fungsi
tersebut akan beralih ke Indonesia, yang akan mengakibatkan pemerintah Indonesia perlu
membuat anggaran khusus.
3. Meningkatnya jumlah pengungsi dan kejahatan lintas batas negara
Dengan meratifikasi kedua regulasi tersebut, pengungsi akan merasa sangat aman jika
memasuki wilayah Indonesia, karena perlindungan dan hak-hak yang dapat mereka
terima dari pemerintah Indonesia. Sehinga secara tidak langsung, jumlah pengungsi di
Indonesia juga dapat semakin meningkat.
Namun selain adanya faktor penghambat bagi Pemerintah Indonesia untuk
meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1976, ada pula faktor pendukung yang mendorong
pemerintah Indonesia untuk meratifikasi kedua regualasi tersebut, yaitu tidak adanya hukum
nasional yang mengatur penanganan pengungsi di Indonesia. Hal ini membuat ketidakjelasan
tugas lembaga dan instansi yang terkait dalam penanganan pengungsi. Berdasarkan UU
Keimigrasian, pengungsi masih dikategorikan sebagai imigran ilegal. Sehinga pengungsi
masih diperlakukan sebagai kriminal seperti imigran ilegal lainya. Padahal, dari segi
kemanusian, pengungsi tidak dapat disamakan dengan imigran ilegal. Pengungsi berdasarkan
Konvensi 1951 dan Protokol 1967 memilki hak sama seperti warga negara lain di negara
mereka berada. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan perundang-undangan yang jelas
untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi para pengungsi. Selain itu, ada dua
keuntungan yang didapat Indonesia apabila meratifikasi kdua regulasi tersebut, yaitu :
1. Pemerintah Indoensia dapat menentukan sendiri status para pengungsi dan pencari suaka.
Dengan begitu, pemerintah Indonesia dapat langsung berkontribusi dalam penanganan
perlindungan pengungsi dan pencari suaka.
2. Akan adanya bantuan dan kerjasama internasional terkait penanganan pengungsi dan
pencari suaka. Sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan dengan komprehensif.
Berdasarkan data yang tertera hingga 30 Juni 2014, terdapat 10.116 pengungsi dan
pencari suaka yang terdaftar oleh UNHCR di Indonesia, dimana 6.286 orang merupakan
pencari suaka dan 3.830 orang merupakan pengungsi. Dari jumlah tersebut, terdapat 7.910
laki-laki dan 2.206 perempuan. Di antara pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar,
terdapat 2.507 anak-anak dimana 798 di antaranya merupakan anak-anak tanpa pendamping.
Para pengungsi dan pencari suaka yang terdapat di Indonesia kebanyakan berasal dari
Afghanistan, Myanmar, Sri Lanka, Pakistan, Iran, dan Irak.10 Berikut ini dipaparkan beberapa
kasus pengungsi lintas batas yang pernah terjadi di Indonesia.
1. Pengungsi dari Vietnam
Hal ini diawali dengan jatuhnya ibukota Vietnam Selatan, Saigon, ke tangan Vietnam
Utara, pada tanggal 10 Mei 1975 yang menimbulkan konflik. Hal ini mengakibatkan
terjadinya arus pengungsi dari Vietnam yang mendapat perlakuan Intimidasi di Negara
asalnya. Pengungsi ini disebut manusia perahu, karena meninggalkan vietnam dengan
perahu.11 Para pengungsi ini di tempatkan di sebuah pulau yang bernama Pulau Galang.
Pemerintah Indonesia menjadikan pulau ini sebagai tempat penampungan pengungsi asal
Indo-Cina semenjak tahun 1979. Dalam menanggulangi masalah pengungsi asal Vietnam
ini, Indonesia telah memberikan fasilitas serta melakukan beberapa upaya dengan
UNCHR untuk memulangkan para pengungsi ini ke negara asalnya.
2. Pengungsi dari Timor Timur
Ada suatu keunikan dari pengungsi Timor Timur yang berada di Indonesia, yaitu para
pengungsi tidak kehilangan perlindungan Internasional baik dari Indonesia maupun dari
Timor Timur. Karena masing-masing menghormati mereka sebagai warga negaranya.
3. Pengungsi dari Rohingnya
Para pengungsi yang berasal dari Rohingnya ini dianggap sebagai orang-orang yang tak
bernegara dan tidak diakui secara penuh kewarganegaraannya oleh pemerintah Burma.
Banyak hak-hak warga Rohingnya yang dilanggar di negara asalnya. Ada tiga pilihan
yang bisa diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menangani pengungsi Rohingya,
yaitu mengembalikan para pengungsi tersebut ke Myanmar, tetap menampung para
pengungsi tersebut di Indonesia, atau memindahkan mereka ke negara lain.
Walaupun Indonesia belum meratifikas Konvensi 1951 dan Protokol 1976, Indonesia
sebagai Negara yang berlandaskan pancasila, tetap menjunjung tinggi hak asazi manusia
setiap individu baik itu warga Negara Indonesia maupun warga Negara asing. Indonesia tetap
menerapkan asas non- refoulment sebagai kebiasaan Internasional. Atas perannya dalam
mengatasi pengungsi yang transit di Indonesia, Indonesia dinilai berhasil dalam membantu
menyelesaikan berbagai konflik regional.. Oleh karena itu, status perwakikan UNHCR di
Indonesia dinaikkan menjadi basis regional yang membawahi ASEAN dan wilayah Indocina.
Namun bagaimanapun, Indonesia tidak mampu untuk bergerak leluasa menyelesaikan
permasalahan pengungsi dan pencari suaka dalam membantu mengatasi masalah pengungsi
saat ini sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar pihak pemerintah
segara meratifikasi Konvensi Tahun 1957 dan Protokol 1976, agar ada kejelasan tentang
perlindungan terhadap para pengungsi dan pencari suaka yang berada di Indonesia.

10
http://suaka.or.id/2014/07/23/perkembangan-isu-pengungsi-dan-pencari-suaka-di-indonesia/, diakses pada
tanggal 2 Desember 2014 pada pukul 5:19 WIB.
11
Achmad Romsan, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, UNHCR, Bandung, 2003, hlm. 188
KESIMPULAN

Pengungsi adalah seseorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan
penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan an ras, agama, kebangsaan, keanggotaan
kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu, berada diluar Negara
kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari Negara teresebut. Sedangakan
Pencari Suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan
perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses penentuan.
Tujuan awal pengungsi berpindah dari tempat atau negara asalnya adalah karena hak-
hak meraka telah dilanggar. Sehingga mereka pergi ke tempat atau negara lain untuk mencari
perlindungan dan memulihkan hak-hak yang telah dilanggar tersebut. Indonesia adalah salah
satu negara yang menjadi tujuan utama para pengungsi dan pencari suaka untuk berlindung
dari negara asalnya. Oleh karena itu, sebagai negara yang menjunjun Pancasila dan Hak
Asasi Manusia, Pemerintahan Indonesia harus ikut berpartisipasi dalam perlindungan
pengungsi dan pencari suaka yang berada di Indonesia. Namun permasalahannya adalah
Indonesia hingga sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 yang
menjadi instrumen internasional dalam perlindungan terhadap Pengungsi dan Pencari Suaka.
Sehingga muncul ketidakjelasan regulasi yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk
berkontribusi dalam memberikan perlindungan kepada pengungsi dan pencari suaka tersebut.
Hal ini membuat hak para pengungsi dan pencari suaka menjadi tidak jelas. Status
Pengungsian seseorang hanya dapat ditentukan UNHCR sebagai lembaga dari PBB yang
bersifat internasional, apabila suatu negara belum meratifikasi kedua rezim tersebut.
Oleh karena itu penulis menyarankan agar Pemerintah Indonesia segera meratifikasi
Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Pencari Suaka, agar Pemerintah Indonesia
memiliki kelaluasaan untuk dapat berkontribusi secara maksimal dan cepat tanggap dalam
memberikan perlindungan terhadap pengungsi dan pencari suaka yang berada di Indonesia
karena konflik di negaranya. Hal ini harus dilakukan mengingat bahwa Indonesia adalah
negara berdasarkan falsafah Pancasila yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku atau Jurnal

Achmad Romsan, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, UNHCR, Bandung, 2003,


hlm. 188
Atik Krustiyati, Penanganan Pengungsi Di Indonesia, Penerbit Brilian Internasional,
Surabaya, 2010
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta,
1994
Sri Setianingsih Suwardi, Aspek Hukum Masalah Pengungsi Internasional, Jurnal HI Vol. 2
No.1 Tahun 2004, LPHI FH UI, Jakarta
Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2012

B. Rujukan Elektronik

http://www.unhcr.or.id/id/siapa-yang-kami-bantu/pengungsi,
http://jrs.or.id/refugee/
http://suaka.or.id/2014/07/23/perkembangan-isu-pengungsi-dan-pencari-suaka-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai