Anda di halaman 1dari 13

POTENSI MANGROVE SEBAGAI PELINDUNG ABRASI DAN PERANNYA

DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan


Lingkungan

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Maridi, M.Pd

Disusun oleh :

NURUL FATHONAH

S831702007

PROGRAM PASCA SARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN SAINS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara maritim memiliki garis pantai yang panjang, mulai
dai sabang sampai merauke. Jalur Pantura (Jalur Pantai Utara) adalah istilah yang
digunakan untuk menyebut jalan nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga
Ketapang, Banyuwangi di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, khususnya antara
Jakarta dan Surabaya. Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin
tambah mengkhawatirkan. Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura)
ekosistem terumbu karang dan pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai
lainya yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang
punah. Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan
gelombang dan ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena
sudah tidak ada lagi tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang.
Hutan bakau merupakan ekosistem ideal yang berfungsi sebagai habitat dari
berbagai jenis fauna yang khas hidup di daerah pesisir. Pohon-pohon bakau/mangrove
atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang
sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang
pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan
jalan raya karena sudah tidak ada lagi tanaman pantai yang dapat menahan laju
gelombang pasang. Runyamnya lagi, banyak kawasan hutan bakau yang jadi gundul
karena ulah para pemodal yang melakukan konversi lahan, apakah untuk kepentingan
industri, property ataupun bisnis pariwisata yang sebenarnya menyalahi peraturan tata
ruang kelautan daerah. Yang lebih aneh, perbuatan tersebut justru malah dibiarkan
oleh penguasa setempat karena dianggap bisa menambah pemasukan bagi pihak-pihak
yang memegang otoritas atau menaikan angka pendapatan asli daerah (PAD).
Menurut survei Kementerian Kelautan dan Perikanan, abrasi pesisir pantai
terparah terjadi di Pulau Jawa. Abrasi telah mengikis 10 meter dari bibir pantai dan
hutan mangrove yang berfungsi sebagai pelindung biota laut dan tempat peminjahan
ikan sudah hampir punah. Kerusakan Mangove di Pantura telah mencapai sekitar 67
persen. Di Jawa Tengah yang wilayah pantainya sepanjang 325 km atau lebih 50
persen panjang pantai Pantai Jawa sungguh mengkhawatirkan jika dibiarkan terus
terjadi. Sebelah barat Kabupaten Brebes dan Timur hingga Kabupaten Rembang
pesisir pantainya rusak berat akibat sampah dan limbah pabrik.
Tersedianya potensi sumberdaya alam di pesisir dan laut Jawa Timur,
mendorong kegiatan eksploitasi yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan.
Pembangunan kawasan Selat Madura dan pesisir selatan Kabupaten Pamekasan,
Sampang, Bangkalan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan Probolinggo.
Kegiatan eksploitasi yang berlebihan menyebabkan kondisi lingkungan di sebagian
pesisir Jawa Timur mengalami banyak tekanan seperti pencemaran terhadap sungai
dan laut, degradasi bakau, karang, padang dan akumulasi endapan lumpur akibat erosi
didaratan yang tidak terkendali.
Abrasi merupakan salah satu masalah yang mengancam kondisi pesisir, yang
dapat mengancam garis pantai sehingga mundur kebelakang, merusak tambak
maupun lokasi persawahan yang berada di pinggir pantai, dan juga mengancam
bangunan bangunan yang berbatasan langsung dengan air laut, baik bangunan yang
difungsikan sebagai penunjang wisata maupun rumah rumah penduduk. Mangrove
memiliki karakteristik akar tunjang yang kuat, dapat menahan hempasan air.
Mangrove menjadi solusi untuk melindungi pantai dari bahaya abrasi. Selain sebagai
pelindung, mangrove juga berperan dalam pembangunan berkelanjutan. Dimana
konservasi mangrove ini memiliki dampak jangka panjang yang baik bagi kehidupan
manusia, baik dari segi ekonomi, ekologi maupun sosial. Berdasarkan penjelasan di
atas, maka perlu adanya kajian tentang potensi mangrove sebagai pelindung abrasi
dan pelestarian serta pembangunan berkelanjutan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas ialah sebagai berikut.
1. Bagaimana bahaya abrasi bagi kehidupan manusia dan lingkungan?
2. Bagaimana peran mangrove sebagai pelindung abrasi?
3. Bagaimana potensi mangrove dalam pembangunan berkelanjutan?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, tujuan penulisannya ialah sebagai berikut:
1. Menjelaskan bahaya abrasi bagi kehidupan manusia dan lingkungan.
2. Menjelaskan peran mangrove sebagai penahan abrasi.
3. Menjelaskan potensi mangrove dalam pembangunan berkelanjutan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ekosistem Pantai
Ekosistem pantai merupakan daerah yang letaknya berbatasan dengan
ekosistem daratan, laut, dan daerah pasang surut. Ekosistem pantai dipengaruhi oleh
siklus harian pasang surut laut. Sebagai daerah perbatasan antara ekosistem laut dan
ekosistem darat, hempasan gelombang dan hembusan angin menyebabkan pasir dari
pantai membentuk gundukan ke arah darat, sehingga membentuk hutan pantai.
(Asriyana dan Yuliana, 2012).
Wilayah pesisir memiliki produktivitas yang sangat tinggi dengan tingkat
aksesibilitas yang sangat tinggi pula. Selain itu, morfologi yang datar dan akses yang
luas ke dunia luar menjadi daya tarik tersendiri bagi manusia untuk dijadikan sebagai
pusat-pusat pemukiman. Kondisi tersebut mengakibatkan rusaknya ekosistem pantai.
Pembangunan pemukiman atau kota, secara langsung telah mengubah ekosistem
pantai. Limbah buangan dari aktivitas perkotaan juga telah mencemari pantai.
Hilangnya tumbuhan pantai seperti mangrove, berakibat pada tingginya abrasi,
sehingga banyak pantai yang telah bergeser ke arat daratan. Sedimentasi juga terjadi
di pantai yang mengakibatkan terjadinya akresi.
Dampak dari perubahan ekosistem pantai antaranya, 1) Pencemaran di pantai
oleh sedimentasi maupun limbah dapat mengakibatkan terganggunya proses
fotosintesis pada fitoplankton, sehingga berdampak negatif bagi perikanan, 2) Abrasi
di pantai mengakibatkan bergesernya pantai ke arah daratan dan mengancam
keberadaan sarana dan prasarana pemukiman dan perkotaan, 3) Rusaknya ekosistem
pantai juga mengurangi estetika, sehingga merugikan sektor pariwisata, 4) Akresi
mengakibatkan terjadinya pelumpuran, sehingga mengurangi keindahan pantai dan
menghambat fotosintesis.

B. Abrasi
Abrasi pantai didefinisikan sebagai mundurnya garis pantai dari posisi
asalnya. (Triadmojo, 1999; 397). Sedangkan sedimentasi atau akresi ialah
bertambahnya daratan yang berbatasan dengan laut karena adanya proses
pengendapan, baik oleh material endapan yang dibawa oleh sungai maupun endapan
laut. Abrasi terjadi ketika gelombang yang sangat besar datang tegak lurus terhadap
garis pantai dengan waktu yang lama dapat mengikis pantai. Terjadi gelombang yang
besar pada musim-musim tertentu yaitu musim barat (Desember - Februari).
Kemungkinan lain juga disebabkan pasang surut (pasut) dengan tunggang air yang
tinggi, dapat terjadi abrasi pantai intensif, banyak lumpur terbawa ke laut mengendap
keperairan laut yang lebih dalam. Peristiwa ini berulang sebagai suatu fenomena alam
atau siklus pantai secara transversal yang cenderung musiman, sehingga akibatnya
pantai menjadi mundur atau terabrasi.
Menurut Pranoto, (2010), dengan adanya kerusakan pantai yang terjadi selama
ini diperlukan usaha penanganan yang serius. Pantai dikatakan rusak apabila
mundurnya garis pantai (erosi/abrasi) telah mengakibatkan kerusakan prasarana dan
sarana yang ada di pantai antar lain : a) Putusnya jalan yang dilalui kendaraan b).
Robohnya rumah-rumah permukiman penduduk c). Rusak atau hilangnya areal
persawaan, pertambakan, hutan bakau dan areal rekreasi pantai d) Rusaknya
bangunan-bangunan fasilitas pelabuhan d) Rusak/robohnya bangunan kantor, sekolah
dan hotel e) Rusak / robohnya bangunan peribadatan dan fasilitas umum. Demikian
juga halnya dengan majunya garis pantai (sedimentasi/akresi) akan berakibat pada
tertutupnya muara sungai sehingga menimbulkan banjir dari sungai tersebut.
Adapun faktor-faktor penyebabnya : a) Alami yaitu serangan gelombang dan
angin b) Kegiatan manusia antara lain : Penebangan hutan bakau, pengambilan karang
pantai dan pasir pantai, pembangunan pelabuhan atau bangunan pantai lainnya,
perluasan areal tambak ke arah laut, reklamasi pantai dan pembuatan bedungan di
sungai. Untuk menangani masalah kerusakan pantai ada beberapa cara antar lain (
Pranoto, 2010 ), 1) Non Struktur : penanaman pohon bakau (mangrove), pengisian
pasir 2) Struktur : dengan menggunakan bangunan pelindung pantai: perkuatan
disepanjang garis pantai menggunakan tembok laut, pengatur laju sedimen diarea
pantai baik sambung maupun lepas pantai, menggunakan bangunan tegak lurus pantai
untuk menangkap gerak sedimen sepanjang pantai, bangunan pantai yang diletakkan
disisi sungai dan pemecah gelombaang.

C. Mangrove
Mangrove merupakan tipe vegetasi yang terdapat didaerah pantai dan selalu
atau secara teratur digenangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,
daerah pantai dengan kondisi tanah berlumpur, berpasir atau lumpur pasir, hutan
mangrove tersebut merupakan tipe hutan yang khas, untuk daerah pantai yang
berlumpur dan airnya tenang (Eko, 2011).
Mangrove mempunyai sejumlah bentuk khusus yang memungkinkan untuk
hidup di perairan yang dangkal yaitu berakar pendek, menyebar luas dengan akar
penyangga, atau ujung akarnya yang khusus tumbuh dari batang atau dahan. Sistem
perakaran mangrove tersebut menurut Rusila et al. (1999) adalah sebagai berikut : 1)
Akar udara, struktur yang menyerupai akar, keluar dari batang, menggantung di udara
dan bila sampai ke tanah dapat tumbuh seperti akar biasa, 2) Akar banir/papan, akar
berbentuk seperti papan miring yang tumbuh pada bagian bawah batang, dan
berfungsi sebagai penunjang pohon, 3) Akar lutut, akar yang muncul dari tanah
kemudian melengkung ke bawah sehingga bentuknya menyerupai lutut, 4) Akar
napas, akar yang tumbuhnya tegak, muncul dari dalam tanah, pada kulitnya terdapat
celah-celah kecil yang berguna untuk pernafasan, 5) Akar tunjang, akar yang tumbuh
dari batang di atas permukaan dan kemudian memasuki tanah, biasanya berfungsi
untuk penunjang mekanis. Aneka spesies tanaman mangrove antara lain: Rhizhopora
mucronata, Rhizhopora apiculata, Bruguiera gymnorhiza, Bruguiera parviflora,
Ceriops tagal, Avicennia marina, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Xylocarpus
granatum, Heritiera littoralis.

D. Mangrove sebagai Pelindung Abrasi


Dilihat dari aspek fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai
pelindung kawasan pesisir dari hempasan angin, arus dan ombak dari laut, serta
berperan juga sebagai benteng dari pengaruh banjir dari daratan. Sistem perakaran
mangrove yang rapat dan terpancang sebagai jangkar, dapat berfungsi untuk meredam
gempuran gelombang laut dan ombak, serta cengkeraman akar yang menancap pada
tanah dapat menahan lepasnya partikel-partikel tanah. Dengan demikian bahaya abrasi
atau erosi oleh gelombang laut dapat dicegah.
Disamping itu, perakaran jenis tumbuhan mangrove juga mampu berperan
sebagai perangkap sedimen dan sekaligus mengendapkan sedimen. Sistem perakaran
mangrove efektif dalam menangkap partikel-partikel tanah yang berasal dari hasil
erosi di sebelah hulu. Perakaran mangrove menangkap partikel-partikel tanah dan
mengendapkannya. Dengan demikian endapan lumpur tidak hanyut oleh arus
gelombang laut. Hal ini dapat melindungi ekosistem padang lamun dan terumbu
karang dari bahaya pelumpuran.
E. Mangrove dalam Pembangunan Berkelanjutan
Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community Based
Management (CBM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya
alam, misalnya perikanan,yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan
masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya (Tarumingkeng, 2001). Pendekatan
ini sejalan dengan pelaksanaan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (PP
No.59 Tahun 2017 Pasal 2) dan didukung oleh 3 pilar pembangunan berkelanjutan
(Munashinge, 1993). Pada prinsipnya, ada tiga dimensi utama pembangunan
berkelanjutan yaitu lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.
1) Nilai Ekologi
Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting dalam
memainkan peranan sebagai mata rantai makanan di suatu perairan, yang dapat
menumpang kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan moluska. Perlu diketahui
bahwa hutan mangrove tidak hanya melengkapi pangan bagi biota aquatik saja, akan
tetapi juga dapat menciptakan suasana iklim yang kondusif bagi kehidupan biota
aquatik, serta memiliki kontribusi terhadap keseimbangan siklus biologi di suatu
perairan.
Kekhasan tipe perakaran beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti
Rhizophora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia sp. dan kondisi lantai hutan, kubangan
serta alur-alur yang saling berhubungan merupakan perlidungan bagi larva berbagai
biota laut. Kondisi seperti ini juga sangat penting dalam menyediakan tempat untuk
bertelur, pemijahan dan pembesarkan serta tempat mencari makan berbagai macam
ikan dan udang kecil, karena suplai makanannya tersedia dan terlindung dari ikan
pemangsa. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat bagi jenis-jenis ikan,
kepiting dan kerang-kerangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
2) Nilai Sosial
Ekowisata merupakan salah satu upaya pemerintah menghadirkan konsep
wisata tanpa mengabaikan lingkungan. Ekowisata merupakan konsep pengembangan
pariwisata yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya
pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan
pemerintah setempat, dan memberi peluang bagi generasi muda sekarang dan yang
akan datang untuk memanfaatkan dan mengembangkannya (UNESCO, 2009;
Sudiarta, 2006). Kawasan ekowisata mangrove di Jawa Timur ialah Mangrove
Wonorejo (Rungkut, Surabaya) , Banyu anyar (Sidoarjo) BJBR (Probolinggo),
Cengkrong (Trenggalek), dan Ujung pangkah (Gresik). Kawasan mangrove dapat
menjadi lokasi pendidikan konservasi. Banyak dari mahasiswa maupun pelajar untuk
melakukan studi lingkungan atau melakukan praktikum. Hal ini menandakan bahwa
konservasi mangrove memang sangatlah penting.
3) Nilai Ekonomi
Nilai penting yang terkait dengan aspek ekonomi dari mangrove adalah sangat
erat kaitannya dengan pola kehidupan sebagian besar masyarakat yang bertempat
tinggal di sekitar hutan mangrove, serta menggantungkan kehidupannya pada hutan
mangrove. Masyarakat tersebut tumbuh dan berkembang membentuk suatu sistem
sosial-budaya yang berkaitan erat dengan hutan mangrove, dan memanfaatkan hutan
mangrove untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari.
Perikanan tangkap merupakan produk mangrove yang bernilai ekonomi paling
tinggi (Hamilton dkk., 1989). Ikan yang menggunakan mangrove sebagai habitat tetap
relatif terbatas, namun sejumlah besar ikan dan spesies laut menggunakan mangrove
sebagai tempat berkembangbiak dan membesarkan anak. Ikan-ikan ini banyak
ditangkap nelayan di tepian pantai maupun di lepas pantai. Keterkaitan mangrove
dengan produktivitas perikanan telah banyak dilaporkan (e.g. Primavera, 1995).
Kawasan mangrove sangat diperlukan untuk perikanan pantai di daerah tropik.
Habitat ini merupakan tempat persembunyian utama dan tempat mencari makan
berbagai ikan dan kerang komersial yang penting. Pembabatan hutan mangrove, dapat
menyebabkan hancurnya perikanan pantai secara permanen (Bashan dkk., 1998).
Kawasan mangrove merupakan sumber kayu yang penting bagi masyarakat
pesisir. Penebangan kayu ditujukan untuk bahan baku pembuatan arang, kayu bakar,
dan bahan bangunan. Jenis pohon yang ditebang untuk pembuatan arang umumnya
Rhizophora spp. karena memiliki kalori yang cukup tinggi, sedangkan untuk kayu
bakar hampir semua pohon digunakan. Adapun untuk bahan bangunan, selain
digunakan Rhizophora spp., digunakan pula Sonneratia spp. dan Bruguiera spp.
Pemanfaatan tumbuhan mangrove untuk bahan makanan, namun kuantitas dan
kualitasnya relatif terbatas. Contoh jenis bahan pangan dari tumbuhan mangrove
masih dapat dijumpai di pasar. Buah Avicennia spp. biasa dimakan sebagai sayuran di
kawasan pantai utara Jawa Tengah. Tumbuhan mangrove menyediakan banyak bahan
makanan. Buah Bruguiera spp., Sonneratia caseolaris, dan Terminallia catapa
mengandung pati dan dapat menjadi sumber karbohidrat. Daun muda Avicennia
marina, Pluchea indica,dan hipokotil B. gymnorrhiza. Ekstraks galih kayu Avicennia
alba dan A. officinalis dapat digunakan sebagai tonik; buah Rhizophora spp. dan
Sonneratia caseolaris secara berturut-turut dapat dijadikan tuak dan sari buah. Nira
bunga N. fruticans dapat diolah menjadi gula merah dan tuak, karena kandungan
sukrosanya yang tinggi. Nipah juga dapat menghasilkan minyak goreng, daunnya
untuk kertas rokok, dan abunya untuk sumber garam (Bandaranayake, 1998).
Menurut Bandaranayake (1998), tumbuhan mangrove berperan sebagai
afrodisiak, asma, pembersih darah (buah), diabetes, diuretik, dispepsia, hepatitis, lepra
(buah, daun, akar), neuralgia, paralisis, cacingan, rematik, penyakit kulit, gigitan ular,
dan sakit perut (kulit kayu, buah, daun). Potensi tumbuhan mangrove sebagai bahan
obat sangat besar, pada saat ini kandungan metabolit sekunder tumbuhan mangrove
mulai banyak terungkap. Tumbuhan ini kaya akan steroid, triterpen, saponin,
flavonoid, alkaloid, dan tannin (Bandaranayake, 1995). Kandungan kimia tumbuhan
mangrove sangat berpotensi sebagai sumber senyawa baru agrokimia dan senyawa
bernilai obat (Bandaranayake, 1998). Tumbuhan mangrove juga dikenal sebagai
sumber utama tanin untuk bahan pewarna dan penyamak dalam dunia industri. Buah
Tanaman mangrove jenis Rhizophora mucronata (coklat merah) digunakan sebagai
pewarna batik. Menurut Lemmens dan Wulijarni-Soetjipto (1992), getah dan kulit
kayu Ceriops spp. secara tradisional diolah menjadi bahan pewarna kain batik dan
dikenal sebagai soga.

Batik Mangrove Rungkut


Beberapa motif pakem diantaranya yaitu Bruguiera Gymnorhiza,
Callophyllum inophyllum, Angry Puffu Fish, Gobie Fish, dan Blue Jelly. Pada motif-
motif pakem Batik Mangrove terdapat ornamen utama, ornamen tambahan, dan
ornamen isen. Ornamen utama dan tambahan yang digunakan pada Batik Mangrove
adalah ornamen tumbuh-tumbuhan dan ornamen binatang. Ornamen tumbuhan yang
digunakan antara lain, daun, bunga, dan buah yang berasal dari tanaman mangrove
dan ekosistem yang ada di sekitar hutan mangrove. Sedangkan ornamen binatang
yang digunakan antara lain, udang, ikan, kepiting, dan binatang-binatang lain yang
ada di sekitar hutan mangrove. Ornamen isen yang digunakan pada Batik Mangrove
antara lain biji bogem, gelembung air, titik-titik hujan, gelombang, dan joging track.
Asal dari pewarna alami batik mangrove berasal dari tumbuhan mangrove
yang dicampur dengan pewarna alami lainnya. Beberapa tanaman mangrove yang
dapat digunakan sebagai bahan pewarna alami adalah Bruguiera Gymnorhiza, jeruju
atau Acanthus ilicifolius, indigo , Caloptropis Gigantea, bogem atau Sonneratia
alba.Sesuai dengan pendapat Susanto (1980:70), zat warna alam yaitu zat warna dari
bahan alam, dari tumbuhan dan binatang. Warna asli yang dihasilkan dari tanaman
mangrove adalah warna coklat kehijauan, coklat muda, dan hijau kekuningan. Warna-
warna tersebut dihasilkan dari tanaman Sonneratia Casiolaris dan Cerbera Manghas.
Langkah-langkah pembuatan batik pada Batik Mangrove Rungkut Surabaya
tidak jauh berbeda dengan langkah-langkah pembuatan batik pada umumnya.
Perbedaannya terletak pada proses pewarnaan dan proses pelorodannya. Proses
pewarnaan pada Batik Mangrove dilakukan dengan dua cara yaitu dengan teknik
pencelupan dan pencoledan. Sesuai dengan pendapat Mifzal (2012:76), teknik
pewarnaan batik pada batik tulis ada dua, yaitu pencelupan dan pencoledan. Proses
pelorotan dilakukan dalam beberapa tahapan antara lain, tahap 1 memasukkan kain
kedalam larutan kanji yang telah dicampur dengan air dingin, tahap 2 memasukkan
kain kedalam larutan tawas yang telah dicampur dengan air dingin, tahap 3
memasukkan kain kedalam air mendidih hingga seluruh malam telah terlepas dari
kain, tahap 4 memasukkan kain kedalam larutan tawas untuk yang kedua kalinya,
tahap 5 memasukkan kain kedalam bak air bersih, dan tahap 6 memasukkan kain
kedalam larutan kanji yang telah dicampur dengan air panas. Sesuai dengan pendapat
Anshori (2011:45), nglorod ini adalah langkah untuk melarutkan malam pada
permukaan kain. Hal ini dilakukan di atas bejana yang berisi air panas mendidih.
Setelah proses pelorodan, langkah selanjutnya adalah menjemur dengan cara diangin-
anginkan.
Keunggulan dan kelemahan batik mangrove yaitu bahan baku pewarna berasal
dari pewarna alami, corak desain mangrove menjadi corak paten dari warga wonorejo,
rungkut, surabaya, memiliki warna yang unik, tekstur batik yang lembut dibandingkan
batik biasa. Sedangkan kelemahannya yaitu warna yang tersedia terbatas dan
membutuhkan perawatan khusus agar warna awet. Perawatannya yaitu dengan
mencuci menggunakan lerak (shampo rambut) yang dilarutkan dalam air,
menghindari rendaman terlalu lama, dicuci secara manual (bukan mesin cuci),
menjemur dengan terbalik, melapisi kain saat menyetrika dan memberi pengharum
pakaian.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, kesimpulan dari
pembahasan yang sudah dipaparkan ialah sebagai berikut.
1. Pantai dikatakan rusak apabila mundurnya garis pantai (erosi/abrasi) telah
mengakibatkan kerusakan prasarana dan sarana yang ada di pantai antar lain : a)
Putusnya jalan yang dilalui kendaraan b). Robohnya rumah-rumah permukiman
penduduk c). Rusak atau hilangnya areal persawaan, pertambakan, hutan bakau dan
areal rekreasi pantai d) Rusaknya bangunan-bangunan fasilitas pelabuhan d)
Rusak/robohnya bangunan kantor, sekolah dan hotel e) Rusak / robohnya bangunan
ibadah dan fasilitas umum. Demikian juga halnya dengan majunya garis pantai
(sedimentasi/akresi) akan berakibat pada tertutupnya muara sungai sehingga
menimbulkan banjir dari sungai tersebut.
2. Mangrove sebagai pelindung kawasan pesisir dari hempasan angin, arus dan ombak
dari laut, serta berperan juga sebagai benteng dari pengaruh banjir dari daratan.
Sistem perakaran mangrove yang rapat dan terpancang sebagai jangkar, dapat
berfungsi untuk meredam gempuran gelombang laut dan ombak, serta cengkeraman
akar yang menancap pada tanah dapat menahan lepasnya partikel-partikel tanah.
Disamping itu, perakaran jenis tumbuhan mangrove juga mampu berperan sebagai
perangkap sedimen dan sekaligus mengendapkan sedimen. Sistem perakaran
mangrove efektif dalam menangkap partikel-partikel tanah yang berasal dari hasil
erosi di sebelah hulu. Perakaran mangrove menangkap partikel-partikel tanah dan
mengendapkannya.
Mangrove memiliki 3 nilai penting untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan yaitu a) nilai ekologi, mangrove memainkan peranan sebagai mata
rantai makanan di suatu perairan, yang dapat menumpang kehidupan berbagai jenis
ikan, udang dan moluska dan menyediakan tempat/habitat untuk bertelur, pemijahan
dan pembesarkan serta tempat mencari makan berbagai macam ikan dan udang kecil,
b) nilai sosial, ekowisata bagi masyarakat karena keindahannya dan pendidikan
konservasi bagi pelajar untuk praktikum atau studi ekologi, c) nilai ekonomi,
pemanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari.
B. Saran
Pemerintah harus menegakkan hukum tata ruang kelautan daerah. Dimana daerah
yang menjadi daerah konservasi tidak boleh digunakan untuk kepentingan pembangunan
ekonomi. Keselamatan lingkungan dan ekosistem hendaknya dijadikan pedoman bagi
masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Suryono. 2013. Sukses Usaha Pembibitan Mangrove Sang Penyelamat Pulau.
Yogyakarta : Pustaka Press

Baderan, Dewi Wahyu. 2015. Diversifikasi produk olahan buah mangrove sebagai sumber
pangan alternatif masyarakat pesisir toroseaje, kabupaten pohuwato, provinsi
gorontalo. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon.Vol. 1, No. 2, hal. 347-351. ISSN: 2407-
8050

Djajati, Sri. 2015. Pengembangan Produk Olahan Mangrove dan Perikanan di Kawasan Pantai
Wonorejo Surabaya. Prosiding Seminar Nasional Research Month. ISBN: 978-602-
0856-43-8

Hakim, Buddin A. 2012. Efektifitas Penanggulangan Abrasi Menggunakan Bangunan Pantai


di Pesisir kota Semarang. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan.

Majid, Ilham. 2016. Konservasi Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Kota Ternate Terintegrasi
dengan Kurikulum Sekolah. Jurnal Bioedukasi. Vol. 4, No. 2. ISSN: 2301-4678

Paryanto. 2015. Pengambilan Zat Warna Alami Dari Buah Mangrove Spesies
Rhizopora mucronata untuk Pewarna Batik Ramah Lingkungan. Jurnal
Purifikasi. Vol. 15, No. 1

Pramudji. 2000. Upaya Pengelolaan Hutan Mangrove dilihat dari aspek perlindungan
lingkungan. Oseana.vol. 25, No. 3, hal. 1-8. ISSN 0216-
1877.www.osenanografi.lipi.go.id

Pramudji. 2001. Ekosistem hutan mangrove dan peranannya sebagai habitat berbagai fauna
aquatik. Oseana.vol. 26, No. 4, hal. 13-23. ISSN 0216-
1877.www.oseanografi.lipi.go.id

Sardiyatmo.2013. Dampak Dinamika Garis Pantai menggunakan Citra Satelit Multi Temporal
Pantai Semarang Provinsi Jawa tengah. Jurnal Saintek Perikanan. Vol. 8, No. 2, hal.
33-37

Sulistiyati, Titik. 2015. Kerupuk Mangrove Anti Diare dari Buah Bakau Rhizopora
Mucronata. Journal of Innovation and applied Technology. Vol. 1, No. 1. ISSN 2477-
7951

Triatmodjo. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset

Ukkas, Marzuki. 2009. Studi Abrasi dan Sedimentasi di Perairan Bua-Passimarannu


Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai. Jurnal Sumberdaya Perairan. Vol. 3, No.
1. ISSN 1978-1652

Utami, Veranita Hadyanti.2013. Identifikasi Kawasan Rentan Terhadap Abrasi di Pesisir


Kabupaten Tuban. Jurnal Teknik Pomits. Vol. 2, No. 2. ISSN: 2337-3539

Anda mungkin juga menyukai