PENANGGULANGANNYA
Korupsi di tanah negeri, ibarat, warisan haram tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari
sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih
berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab
korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terjadi dari aspek
moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya
pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk
berperilaku korup.
Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak
mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan, aspek managemen dan aspek organisasi yaitu ketiadaan
akuntabilitas dan transparasi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan
dan lemahnya penegakan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang
kurang mendukung perilaku anti korupsi.
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari
internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang
kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab
seseorang berbuat Korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas,
yakni3[3] :
1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya).
2. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya.
b. Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi. Pendapatan yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak masalah ekonomi membuka ruang bagi
seseorang untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah korupsi6[6].
c. Aspek Politis
Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak korupsi, yaitu
seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap para pemilih/anggota partai agar
dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan
fenomena yang sering terjadi. Terkait hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran
bahwa politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political
influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh pengaruh politik).
Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara
penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri di bidang ekonomi
pada rezim lalu dan pemberian cek melancong yang sering dibicarakan merupakan sederet kasus
yang menggambarkan aspek politik yang dapat menyebabkan kasus korupsi (Handoyo: 2009).
d. Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana
korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau
kesempatan terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut
pandang organisasi meliputi:
1 Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin
Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh pemimpin merupakan
contoh bagi bawahannya.
2 Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar
Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan jelas. Tujuan organisasi ini
menjadi pedoman dan memberikan arah bagi anggota organisasi dalam melaksanakan kegiatan
sesuati tugas dan fungsinya. Tatacara pencapaian tujuan dan pedoman tindakan inilah kemudian
menjadi kultur/budaya organisasi. Kultur organisasi harus dikelola dengan benar, mengikuti
standar-standar yang jelas tentang perilaku yang boleh dan yang tidak boleh. Peluang terjadinya
korupsi apabila dalam budaya organisasi tidak ditetapkan nilai-nilai kebenaran, atau bahkan nilai
dan norma-norma justru berkebalikan dengan norma-norma yang berlaku secara umum (norma
bahwa tindak korupsi adalah tindakan yang salah).
3 Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi yang diembannya, yang dijabarkan
dalam rencana kerja dan target pencapaiannya. Apabila organisasi tidak merumuskan tujuan,
sasaran, dan target kerjanya dengan jelas, maka akan sulit dilakukan penilaian dan pengukuran
kinerja.
4 Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam
sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi semakin
terbuka peluang tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Faktor politik
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika
terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih
dan mempertahankan kekuasaan.
Perilaku korup seperti menyuap, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi.
Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang
suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi,
tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstlelasi politik (Susanto: 2002).
Penelitian James Scott (Mochtar Masoed: 1994) mendeskripsikan bahwa dalam
masyarakat dengan ciri pelembagaan politik eksekutif dimana kompetisi politik dibatasi pada
lapisan tipis elit dan perbedaan antar elit lebih didasarkan pada klik pribadi dan bukan pada isi
kebijakan, yang terjadi umumnya desakan kulturan dan struktural untuk korupsi itu betul-betul
terwujud dalam tindakan korupsi pada pejabatnya.
Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa proses terjadinya korupsi dengan formulasi
M+D-A=C. Simbol M adalah monopoly, D adalah discretionary (kewenangan), A adalah
accountability (pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol tersebut dapat dikatakan bahwa
korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang
begitu besar tanpa pertanggung -jawaban.
f. Faktor Hukum
Faktor hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan
sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam
aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas tegas (non lext certa)
sehingga multi tafsir, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat
maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang
sehingga tidak tepat sasaran sehingga dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep
yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak
kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan
mengalami resistensi.
Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah: Pertama, Tawar-
menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di parlemen, sehingga
muncul aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktik politik uang dalam pembuatan hukum
berupa suap menyuap, utamanya menyangkut perundang-undangan dibidang ekonomi dan
bisnis. Akibatnya timbul peraturan yang elastis dan multi tafsir serta tupang-tindih dengan aturan
lain sehingga mudah dimanfaat untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan.
Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah: 2004) menyebut tindakan korupsi mudah
timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang mencakup; (a)
adanya peraturan perundang-undangan yang bermuatan kepentingan pihak-pihak tertentu (b)
kualitas peracuran perundang-undangan kurang memadai,
(c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sanksi yang terlalu ringan, (e) peraturan sanksi yang
tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya lembaga evaluasi dan revisi peraturan
perundang-undangan.
Kenyataan bahwa berbagai produk hukum di masa Orde Baru sangat ditentukan oleh
konstelasi politik untuk melanggengkan kekuasaan di era Reformasi pun ternyata masih
sajaterjadi. Banyak produk hukum menjadi ajang perebutan legitimasi bagi berbagai
kepentingan kekuasaan politik, untuk tujuan mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan.
Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah budaya sadar akan
aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan mengerti konsekuensi dari apa yang
ia lakukan. Kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha terhadap pejabat publik
dengan menggunakan uang sogokan., hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang
mempunyai motif koruptif, masyakat hanya menikmati sisa-sisa hasil pembangunan.
Fakta ini memperlihatkan bahwa terjadinya korupsi sangat mungkin karena aspek
peraturan perundang-undangan yang lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja.
Disamping tidak bagisnya produk hukum yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi,
praktik penegakan hukum juga masih dilihat berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum
dari tujuannya. Secara kasat mata, publik dapat melihat banyak kasus yang menunjukkan adanya
diskriminasi dalam proses penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-
sia, antara lain sebagai berikut :
1. Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi
penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya,
sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat
meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam
pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
2. Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu
perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat.
Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut
akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu
perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu
hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3. Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan
sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di
segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat.
Namun implementasinyaharus dilakukan secara terintregasi. Bagi pemerintah banyak pilihan
yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan.
Adapula strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif antara
lain :
1. Gerakan Masyarakat Anti Korupsi yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini
perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti
korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama
dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik
untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan
kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang
bersangkutan. Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus
memberikan dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
2. Gerakan Pembersihan yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang
tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi
yang ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar
struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai
posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
3. Gerakan Moral yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah
kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui
gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak,
menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan
menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga
pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda
sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korupsi.
4. Gerakan Pengefektifan Birokrasi yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam
pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang
sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan
korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan
bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan
siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.7[4]
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-sia,
antara lain sebagai berikut :
a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik
Pemda NAD (2004).
b. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan
pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta
(2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an
negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari
BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g. Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h. Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i. Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi
Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
j. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait
dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke
tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan
negara dan aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.