Anda di halaman 1dari 13

http://gusdayat.

com/2012/08/14/kisah-mualaf-berjuang-mempertahankan-iman/

Kisah Mualaf Berjuang Mempertahankan


Iman
14/08/2012 by gusdayat in hikmah

KISAH CINTA SEJATI WANITA MUALAF BERJUANG MEMPERTAHANKAN


IMAN

Sebelum mulai, izinkan aku mohon maaf bila ada pihak tak berkenan terutama keluargaku.
Untuk itu nama dan tempat disamarkan. Aku ucapkan terimakasih untuk Retno (samaran)
mahasiswi Universitas T yang telah sudi menulis.
Semoga menginspirasi pembaca atau menguatkan orang yang mengalami seperti aku. Allah
limpahkan rahmat dan Hidayah-NYa pada kita, amiin!.

Profile

Panggil aku Mawar usia 30-an lahir di kota P, pulau di seberang pulau Jawa sebagai bungsu
dari 4 bersaudara. Kami keluarga Cina generasi ke-4 imigran ke Indonesia. Kakek buyut
pendatang dari negeri jauh di utara pada awal abad 20. Menurut cerita, kakek buyut berjualan
kebutuhan pokok gula, garam beras dll, keluar-masuk kampong dengan pikulan. Bisnis
keluarga berkembang pesat setelah pemerintah menggalakkan usaha yang dilakukan bangsa
sendiri (pribumi). Saat itu ada istilah Ali-Baba. Ali panggilan pribumi dan Baba / pebisnis
Cina. Pengusaha pribumi diberi kemudahan izin usaha bahkan izin impor, tapi umumnya
kesulitan modal. Sementara banyak etnis Cina modalnya kuat membeli izin usaha dari
pribumi, sehingga memudahkan bisnis expor-impor ke Singapura, Malaysia dan Hongkong
yang dikuasai etnis kami. Bisnis keluarga makin besar, merambah semua bidang;
pertambangan, emas, perkebunan dan lainnya. Kekayaan keluarga kami diatas rata-rata
orang kaya Indonesia, above than ordinary rich.

Harta keluarga amat melimpah hingga orangtua cemas seandainya kami sekeluarga (tiba-
tiba) mati dan tidak ada yang mengurus harta kami. Untuk itu kami sekeluarga tidak pernah
melakukan perjalanan pesawat bersama-sama. Bila liburan bersama, biasanya kami dibagi 2-
3 flight. Papa-mama satu pesawat sisanya dibagi 2 flight. Sehingga bila terjadi musibah, ada
anggota keluarga yang tetap melanjutkan bisnis.

Aku bercerita tentang keluarga sebab sangat terkait dengan kisah selanjutnya.

Papa lahir dan dibesarkan di kota P. Setelah lulus SMA studi bisnis di negeri H (Hongkong).
Begitu kembali papa menjadi businessman handal, banyak relasinya di berbagai negara. Papa
rendah-hati, pendiam, bicara terukur dan seperlunya serta jarang marah. Mama dari pulau
lain yang menjadi karyawati perusahaan kakek sebelum bertemu papa. Mama orangnya
keras, pintar, lincah, banyak pergaulan hingga kadang kami fikir, papa sepertinya takluk pada
mama.

Banyak kebijakan perusahaan berasal dari ide mama dan selalu sukses. Keduanya memang
pasangan serasi dan saling mengisi.

Mengenal Islam

Masa kecilku penuh kebahagiaan. Dari SD hingga SMA aku sekolah swasta terkemuka,
siswanya banyak anak bupati, gubernur atau pejabat. Aku pun berbaur tanpa memandang
golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang ke rumah mereka (anak bupati/gubernur)
sehingga kenal dekat keluarganya dan kelak bermanfaat buat perusahaan kami.

Di sekolahku ada pelajaran agama untuk setiap pemeluknya. Jika ada pelajaran agama
tertentu, penganut agama lain diizinkan keluar, tetapi boleh juga tinggal. Misalnya ada
pelajaran Islam, aku lebih suka tinggal di kelas mendengarkan apa yang diajarkan.

Aku non-Muslim, setiap minggu ke tempat ibadah kami, tetapi aku lebih tertarik dengan
Islam. Ada semacam panggilan dari hati paling dalam, Awalnya kupikir hanya perasaan
ingin-tahu. Tapi setiap mendengar adzan, hati aku selalu bergetar.

Rumah kami sangat besar. Sering aku sendirian, orangtua sibuk di Jakarta dan hanya
beberapa hari di rumah dalam sebulan. Kakak-kakakku masih kuliah di LN, sehingga rumah
dengan 6 kamar besar, hanya dihuni aku sendiri. Pembantu, sopir dan satpam tinggal di
pavilion terpisah dengan rumah induk. Di kesunyian hati, aku merasa sejuk setiap mendengar
ayat Quran yang kadang tidak sengaja aku dengarkan di TV.

Aku makin tertarik dengan pelajaran Islam. Melihat ibu guru mengenakan kerudung dan
wajah bersih bersinar membuat hati merasa sejuk. Dengan melihat wajah ibu guru saja, aku
merasakan damai. Tanpa sadar akupun mencatat apa yang diajarkan, aku hapal ayat-ayat
pendek. Semua terjadi begitu saja dan tak bisa dicegah. Pernah ibu guru menghampiri aku
yang secara refleks sedang mencatat pelajaran tentang HAJI di papan tulis.

Beliau tahu aku non-muslim. Begitu mendekati tempat duduk aku. Jantung berdebar keras
membayangkan diusir dari kelas. Ternyata hanya tersenyum ramah melihat catatanku. Insya
Allah kelak Mawar bersama ibu melaksanakan ibadah Haji ya.
Hubunganku dengan Ibu Aisyah (samaran) makin akrab, aku tidak sabar menanti hari
pelajarannya. Hubungan itu bagai anak dan ibu. Meski aku juga tetap mengikuti pelajaran
agamaku, tapi lebih banyak melamun bahkan tidak mencatat sama sekali.
Sebagai gadis remaja tinggi 160 cm sedang mekar dan giat cari pacar. Banyak komentar
teman; tubuhku indah, proporsional, wajah oriental dan akan banyak menarik perhatian laki.
Tapi saat itu aku tak tertarik dengan pria seetnis. Sebaliknya setiap Jumat aku suka melihat
siswa muslim ibadah shalat Jumat, hati langsung bergetar membayangkan andai salah satunya
mau jadi pacarku. Dengan wajah bersih bersinar, basah tetesan air wudhu, melangkah ke
masjid di seberang sekolah Ah! Indahnya membayangkan wajah-wajah tersebut.

Aku tahu diri, mana ada pribumi yang mau menjadi pacarku. Banyak yang masih
membedakan ras. Pacaran dengan cina dianggap memalukan dan menjadi cemohan.
Aku pernah berpacaran dengan anak bupati. Dia memutuskan hubungan hanya karena
ayahnya calon Gubernur yang tidak mau anggota keluarga bisa menghambat pencalonan,
seperti anaknya berpacaran dengan cina. Alasannya sangat mengada-ada tapi aku sadar;
orangtuanya tentu tidak rela anaknya berhubungan terlalu jauh denganku yang juga beda
agama.
Tapi hatiku sudah bulat kelak punya suami pribumi bahkan bersedia masuk Islam.
Keputusan ini kelak membawa hidupku melewati perjalanan penuh ujian dan cobaan.

Studi ke Australia dan Amerika

Lulus SMA aku study ke Aussie (Australia) dan Amerika mengikuti 2 kakakku. Tak banyak
yang perlu diceritakan. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali dengan gelar Master dan
mengabdi untuk bisnis keluarga. Dalam waktu singkat profit perusahaan meningkat pesat,
terus membesar merambah banyak sektor bisnis. Aku punya akses ke para elite daerah,
karena semasa sekolah aku sudah mengenal keluarganya. Semua urusan perizinan aku
selesaikan dengan mudah.
Aku masih single di pertengahan usia 20-an. Banyak pria berusaha mendekatiku, dari
pengusaha muda sukses hingga pemilik perusahaan besar. Namun hatiku tidak bergetar sama
sekali. Mencari suami itu mudah tapi aku ingin mencari soulmate.

Romantisme dalam Islam

Suatu hari kantor mendapat staf baru dari kantor cabang di Jawa, 3 tahun lebih tua dariku,
wajah bersih dan etnis Jawa. Tutur-kata lembut, sopan, tinggi proporsional dan ahhh! Ini
dia. Dia muslim taat. Wanita sekantor tidak habisnya membicarakan dan berlomba
mendapatkan perhatiannya. Menurut laporan dia amat rajin, jujur, berprestasi hingga
dipromosikan ke posisi lebih tinggi dan satu divisi denganku.

Awalnya aku jaga image sebagai anak Big Boss. Lama-lama hati enggak bisa
bohong,..sedikit demi sedikit namun pastiaku jatuh cinta. Suatu saat kami semobil dari
kantor gubernur. Tiba-tiba dia meminta izin shalat Ashar di Masjid Raya. Dari dalam mobil,
kucermati ia berwudhu, melangkah ke masjid, shalatAhhh!. Andai saja aku kelak bisa
mengikuti di belakangnya.

Awalnya kami memanggil secara formal Pak dan Ibu. Tapi lama-lama secara tak sengaja
aku memanggil Mas karena aku sering melihat orang Jawa memanggil yang lebih tua,
suami atau kakak dengan sebutan Mas. Dia rikuh, tetapi lama-kelamaan terbiasa. Tapi itu
aku lakukan bila hanya berdua, tidak di kantor. Aku meminta dipanggil Dik bukan Ibu
Mawar.

Seperti pepatah Jawa, Witing tresno jalaran kulino terjemahan bebas Cinta tumbuh
karena terbiasa selalu bersama. Bayangkan bagaimana awal cinta kami!!!

Kami duduk di belakang sopir mobilku. Awalnya membahas berkas kerja, kadang tidak
sengaja tangan kami bersentuhan. Dia secara sopan segera menarik tangannya dan minta
maaf. Ahh!sebal rasanya. Padahal aku yang menginginkan. Tapi itu tidak berlangsung
lama, Akhirnya dia takluk. Aku biarkan tangannya memegang berkas lalu aku pura-pura
membahas sambil tanganku menyentuh jari dan tangannya. Aku tidak pandai pura-pura.
Dengan berani kugenggam jemarinya, lama-lama dia (sebut saja Mas Fariz) merespon,
menggenggam tangankuahh!!
Sering aku pura-pura minta supir kembali dari suatu tempat, seolah ada yang tertinggal
padahal hanya ingin berlama-lama dengan dia.

Suatu saat aku pura-pura ketinggalan sesuatu, meminta sopir ke rumah. Begitu memasuki
rumah orangtuaku, wajah Mas Fariz pucat. Dia gugup karena khawatir papa (Big Boss)
marah jika mengetahui pada jam kerja mampir ke rumahnya. Aku bilang tidak perlu takut,
bukankah anak Big Boss yang membawanya.

Setahun berlalu. Hubungan kami semakin erat tapi dia belum menyatakan cinta. Mungkin
takut ditolak apalagi beda agama. Hingga suatu saat dia menelpon mengajak bertemu di
restoran luar kota. Dia meminta datang sendirian tanpa sopir.

Di restoran itu dia menyatakan cintalangsung saja kuterima. Kukatakan aku bersedia
memeluk Islam dan sejak lama ingin masuk Islam, jadi mas Fariz semoga menjadi
pembimbingku. Airmatanya meleleh. Seumur hidup baru kali ini seorang pria berlinangan
airmata karena aku. Aku tidak kuasa menahan airmata dan yakin mendapatkan Soulmate.

Di kantor kami bekerja seperti biasa. Tapi di luar kantor kami sepasang kekasih. Dia
mengajari shalat dan sedikit doa. Dia memang lelaki taat, menjaga kesopanan dan tidak
pernah melewati batas. Sehingga kadang aku yang menggoda, namun dia selalu bilang,
sabar!tunggu waktunya. Seribu kali sayang, serapat apapun ditutupi, sedikit demi sedikit
bocor juga rahasia kami hingga papa tahu .

Tentangan Keluarga

Suatu hari tiba-tiba papa datang ke ruangan aku, padahal amat sangat jarang terjadi, jika ada
keperluan biasanya aku dipanggil. Mulanya papa tidak menanyakan hubungan aku dengan
mas Fariz, tetapi sedikit demi sedikit topiknya mengarah kesana. Akhirnya papa menanyakan
kebenaran hubungan itu. Aku tidak sanggup menjawab, wajah aku tertunduk. Papa menatap
dan menunggu jawaban aku.

Aku tidak sanggup berbohong atau menyangkal, sebaliknya jika bilang iya aku
khawatirkan karir Mas Fariz. Aku hanya bisa menangis Esoknya, Mas Fariz tidak hadir,
dia dipindahkan ke Jawa. Akupun kehilangan kontak.

Seminggu kemudian mas Fariz bercerita di telpon bahwa setelah papa menemuiku, dia
langsung menemuinya. Esok paginya dia harus kembali ke kantor lama. Keadaan semakin
parah, setiap karyawan di kantornya sudah tahu hubungan kami. Banyak tuduhan kalau mas
Fariz mengincar harta dan kedudukan dengan memacariku. Berulangkali dia sebut nama
Allah, bersumpah, cintanya kepadaku bukan karena itu.

2 minggu kemudian dia resign, tetapi kami masih berhubungan telpon. Dia mencari
pekerjaan di perusahaan yang punya cabang di kota P agar bisa menemui aku. 3 bulan
kemudian dia mendapatkannya dengan gaji jauh lebih kecil. Aku amat terharu, dia
korbankan karirnya demi aku.

Kami pun bebas berhubungan tidak peduli perkataan orang di kantor, tapi papa kembali
mengetahui dan kali ini mama turun tangan.
Mereka tidak bedakan ras dan tidak keberatan bergaul dengan siapapun, tapi tidak bisa
diterima jika aku masuk Islam dan mereka sudah curiga. Maka kujelaskan, aku sudah dewasa
untuk mengambil keputusan hidup tanpa tergantung papa-mama jawaban yang membuat
mereka murka.

Mereka berkata, banyak orang rela mati demi merasakan rumah mewah, sopir tersedia tiap
saat, mobil mewah, uang melimpah dan dihormati. Mereka katakan, tanpa mereka aku tidak
akan pernah bisa memperoleh kehidupan seperti ini. Aku hanya menangis. Tapi hatiku
bertekad apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkan Mas Fariz.

Aku giat mendalami Islam. Saat istirahat kantor, aku pergi ke tokobuku besar di Mal untuk
membaca buku Islam. Pernah aku mengajak rekan kantor ke tokobuku. Aku langsung ke rak
buku Islam, dia ingatkan kalau aku ada di bagian rak buku Islam. Aku bilang memang benar,
aku mau membaca tentang Islam.

Klimaks

Kedua kakak laki-laki aku menikah dan menetap di Jakarta menjalankan bisnis kami dan
papa-mama sekarang lebih banyak tinggal di kota kami bersama kakak perempuanku dan
aku. Tapi hubungan aku dengan papa-mama semakin renggang, kakakku pun sudah
terprovokasi dan menjauh.

Aku dianggap bukan bagian keluarga dan tak diajak makan bersama di meja makan.
Pembantu disuruh memanggilku untuk makan bila mereka selesai makan. Makanan yang
ada adalah sisaan mereka dan pembantu tidak diperbolehkan menambah. Akhirnya aku
makan makanan sisa.

Jika mereka makan ayam, aku makan ceker dan kepala saja. Bayangkan rasanya sakit hati.
Aku bersabar dan mas Fariz selalu mengingatkan untuk berbakti pada orangtua. Bisa saja aku
akan di restoran termahal di kota P.

Kakak perempuanku sebenarnya kasihan padaku, sehingga kadang dia menyimpan sebagian
makanan yang baru dimasak. Sehingga pada saat mama-papa selesai makan, diam-diam
dihidangkan untuk aku. Secara tidak terduga, mereka kembali ke meja-makan dan
memergoki. Langsung mama rebut piringnya dan melemparkan ke lantai. Sambil menyindir
tidak perlu kasihan sebab aku sanggup hidup tanpa diberi makan mama-papa.

Ohh..! Mereka rupanya sudah amat membenci. Hancur berkeping hati aku. Aku hanya
menangis tetapi tidak menyesalI dan aku akan tetap bertahan.

Mas Fariz menyarankan bicara baik-baik agar papa-mama luluh. Suatu malam ada
kesempatan mendatangi mereka dan berbicara. Dengan tutur baik aku meminta maaf. Aku
tumpahkan perasaan semuanya. Tapi justru itu membuat mereka bertambah murka. Mereka
tuduh aku kena sihir dan menyarankan aku sadar.

Ya Allah! Aku sehat, Insya Allah tidak ada satupun sihir. Semua keinginan murni dari
panggilan jiwa yang tidak bisa aku cegah. Aku jelaskan lagi, bahwa aku sudah dewasa
hingga apapun keputusan bisa kupertanggung-jawabkan. Aku bisa mandiri jika dikehendaki.
Pendirian mereka pun tetap bahkan menantang, jika sanggup hidup mandiri, sekarang juga
serahkan seluruh harta yang aku dapatkan selama hidup dengan mereka.
Karena tekad bulat, malam itu seluruh kartu credit, ATM, buku bank aku serahkan. Uang
yang aku punya hanya yang tinggal di dompet. Sepertinya tinggal menunggu waktu untuk
meninggalkan rumah. Esok paginya aku ada keperluan untuk membuka lemari besi tempat
penyimpanan surat berharga keluarga. Berulangkali mencoba, aku tidak bisa membukanya.

Ternyata nomor kombinasinya diubah. Padahal ada barang pribadi aku: Ijasah, perhiasan dan
lain. Aku telpon papa tapi jawabannya sinis. Papa menyindir kalau sanggup hidup mandiri,
mengapa mau membuka lemari besi keluarga, pasti ada barang yang mau dijual. Aku
dikucilkan. Mereka menyiksa dengan caranya sehingga aku menyerah. Aku mengadu ke mas
Fariz dan mengatakan akan minggat. Dia diam, lalu berpesan jangan sampai putus hubungan
keluarga.

Beberapa hari kemudian aku tinggalkan rumah dan kos di dekat kantor. Aku berpamitan baik-
baik pada mama-papa. Tetapi mereka menoleh pun tidak. Aku masih ada cukup uang di
dompet. Aku bersumpah tidak akan meminta uang mereka.
Aku bertekad hidup mandiri. Selama bekerja di perusahaan papa, secara formal aku digaji
sesuai dengan posisiku. Tapi disamping itu setiap bulan, aku mendapat uang-saku dari papa
hampir 20x lipat gaji resmi. Sehingga penghasilan sebulan cukup untuk hidup mewah selama
setahun. Seluruh simpanan bank, mencapai 10 digit. Mungkin cukup biaya seumur hidup.

Sekarang aku tetap bekerja dengan harapan masih digaji. Tapi akhir bulan aku tidak
mendapat sepeserpun. Saat kutanyakan ke pembayaran gaji, ada perintah menahan gajiku. Ya
Allah, mereka lakukan cara apapun agar menyerah. Saat itu juga kutinggalkan perusahaan
papa selamanya.

Start from Zero

Saat kuadukan ke mas Fariz dia teramat sedih dan meminta maaf, karena dia hidupku
menderita. Dia rela andai aku tak kuat untuk mundur. Aku peluk dia dan kupastikan
keputusanku tidak berubah. Akupun semakin ingin hidup bersamanya. Saat itu hanya dia
sandaranku. Dengan berurai airmata, dia tanya lagi, apakah rela menjadi muslimah dan
menjadi istrinya. Kuciumi tangannya kukatakan kukorbankan kehidupanku hanya untuk bisa
hidup bersamanya dan tidak akan menyesali.

Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan kalimat syahadat di sebuah masjid
disaksikan imam dan beberapa jemaah masjid. Dia mengajak segera menikah di kota
kelahirannya. Kebetulan tugasnya dipindahkan ke pulau Jawa.

Sebelum menikah kami datangi rumah papa-mama. Tapi satpam di pintu gerbang
mengatakan kalau dia diperintahkan tidak boleh membuka pintu bila kami datang.
Sebenarnya ia mau membuka pintu. Tapi aku larang, khawatir mencelakai pekerjaan Biarlah
aku saja yang menderita. Aku tinggalkan secarik surat yang isinya mohon doa restu bahwa
aku akan menikah dengan Mas Fariz. Aku beritahukan ke pak satpam aku sudah muslimah.
Matanya berkaca-kaca saat kukatakan aku mualaf.

Keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di pernikahan kami. Tapi setelah
mas Fariz bercerita, mereka memahami. Kami menikah secara sederhana. Keluarganya amat
sangat menerimaku dengan hangat tanpa mempermasalahkan keturunan Cina. Ibu mertuaku
amat sayang kepadaku. Aku amat sangat bahagia menjadi istrinya.
Aku hidup di rumah sederhana, kulalui dengan penuh kebahagiaan dan aku tidak mengeluh
sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan. Aku tidak lagi bekerja, karena aku ingin
mengabdi pada suamiku. Disamping itu semua ijasah masih tersimpan di lemari besi, aku
tidak bisa melamar pekerjaan. Aku pun ingin membuktikan bisa mandiri dengan suamiku.

Mas Fariz amat sangat menyayangiku tiap pagi sebelum berangkat kantor dia memelukku.
Tiap hari kubawakan lunch box makan siang karena aku tidak mau dia makan makanan
masakan orang lain. Aku sangat posesif, ingin memiliki dan melayani secara total. Tiap hari
aku bangun sebelum dia bangun dan tidur setelah dia benar-benar tidur untuk memastikan dia
sudah benar-benar tidak perlu aku layani lagi. Aku siapkan celana, baju, kaus kakinya tiap
pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga dia tidak perlu memikirkan pakaian apa yang harus
dia pakai. Bahkan aku potong kukunya bila sudah panjang. Dia kujadikan pangeran bagi
diriku.

Tiap malam sebelum tidur, kami ngobrol dan saling mengajarkan bahasa. Dia mengajari
bahasa jawa, sedangkan aku mengajari bahasa mandarin. Dia amat cepat belajar mandarin
dalam waktu singkat dia menguasai kata-kata yang umum diucapkan, kadang mengajakku
bicara mandarin di rumah. Memang perusahaan tempatnya bekerja milik etnis Cina dan
banyak berhubungan dengan keturunan Cina, sehingga bila berbahasa mandarin akan
memberi keuntungan tambahan.

Suatu saat dia pulang membawa motor, kantornya memberi pinjaman cicilan motor. Memang
hanya motor, tapi aku bahagia sekali dengan yang dia dapatkan. Berulangkali dia minta-maaf
tak bisa membeli mobil seperti yang pernah kumiliki. Aku katakan motor yang kita miliki
jauh lebih mewah dari mobilku dulu. Karena motor ini bukan sekedar dibeli dengan uang,
tapi juga dengan cinta.

Kehidupan perkawinan kami teramat indah, kalau di rumah nyaris kami tidak bisa berjauhan.
Tiap hari bagi kami adalah bulan madu. Setahun kemudian lahir anak kami. Bayi itu sebut
saja Faisal. Mas Fariz yang membacakan Azan dan iqomat sesaat setelah lahir. Aku merasa
lengkap kebahagiaanku. Setiap hari bertambah bahagia bisa merasakan 2 orang Fariz dalam
rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz kecil. Aku mencintai 2 orang yang
sama darah dagingnya.

3 tahun anak kami hadir. Mas Fariz bercita-cita mendatangi orangtuaku, oma-opanya Faisal.
Dia ingin perkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan papa-mama. Dia berharap
dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati orangtuaku. Tapi tiap menelpon, papa-mama
bersikap seperti dulu. Bahkan waktu kukatakan bahwa mereka punya cucu dariku, mereka
menjawab, kalau mereka tak merasa punya keturunan darikuOhh! malangnya anakku. Aku
teramat sedih, teganya papa-mama. Aku maklumi masih membenciku, tapi jangan pada
anakku, cucu mereka.

Tidak Putus Dirundung Malang

Dia yakin papa-mama akan menerima kami. Sebelum harapan terpenuhi, musibah mulai
datang .

Suatu hari suamiku pulang lebih awal karena merasa nggak enak badan, seperti masuk angin.
Aku menyuruhnya segera istirahat, tidur dan memberi obat penghilang sakit. Malamnya
tubuh panas menggigil. Keesokannya aku bawa ke dokter dan dikatakan hanya demam biasa
sehingga hanya diberi obat penurun panas. Tapi malamnya tubuh tetap panas, menggigil dan
mengigau. Dia menolak untuk dibawa ke RS bilangnya demam biasa.

Hari ke-4 kondisinya parah dan pingsan, dari hidung keluar darah. Di RS Hasil periksa
darah, trombosit tinggal 26.000 normalnya diatas 150.000. Suamiku kena demam berdarah,
Dokter menyalahkan kenapa tak segera dibawa ke RS lebih awal, karena serangan
terberatnya di hari 5. Kalau kondisi tidak kuat, amat berbahaya.

Hari ke 5 makin parah, napasnya berat, trombositnya tidak naik. Malam itu setengah
mengigau, dia memanggilku, aku genggam tangannya, aku dekati telingaku ke mulutnya, aku
dengar dia coba ucapkan sesuatu. Air matanya meleleh. Dia ucapkan Maafkan aku Aku
tenangkan dia, kalau tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku ikhlas mendampinginya. Setelah
mendengar kata_kataku dia tenang, dengan 1 tarikan napas dia ucapkan La ilaaha illa llaah
lalu meninggal dalam pelukanku.
Aku ingat ucapannya, jika Allah izinkan, dia ingin meninggal di pelukanku. Aku memarahi
dia, jangan bilang seperti itu. Tapi dia serius, kalau dia tak sanggup kalau aku
meninggalkannya. Ternyata Allah kabulkan. Orang yang aku jadikan sandaran hidup telah
pergi. Tidak terkira sedih hatiku. Andai tidak ingat anakku, aku ingin menyusul Mas Fariz.

Mas Fariz jujur dan baik, seluruh rekan kerjanya dan big boss hadir melayat. Kantor memberi
santunan 4x gaji, ditambah uang duka. Aku ditawari kerja di perusahaan tersebut. Tapi aku
rasa setengah nyawaku hilang. Selama 3 bulan berduka, aku tidak sanggup melakukan
apapun.

Sementara aku di rumah mertua agar Faisal ada yang mengasuh. Rumah dan motor dijual,
karena tidak sanggup kubayangkan kenangan Mas Fariz. Hampir setengah tahun di rumah
mertua, aku putuskan kembali ke kota asalku. Sebenarnya ibu mertua amat baik dan
penyayang. Tapi aku tahu diri tidak mungkin bergantung ke siapapun. Aku harus mandiri
demi anakku satu-satunya.

Di kota asalku aku mengontrak rumah dan membuka toko kecil. Mungkin karena masih
berduka dan terbayang suami hingga kurang mikirkan usahaakhirnya bangkrut. Uang habis
untuk membayar tagihan suplier.

Aku sebenarnya tidak pernah putus asa apapun aku jalani asal halal. Pernah jadi pelayan
restoran beberapa bulan dan berhenti karena anakku tak ada yang menjaga. Akhirnya aku
kehabisan uang tak sanggup bayar kontrakan. Dengan koper isi pakaian dan menggendong
anakku berjalan tanpa tujuan. Aku bingung akan kemana. Pernah terlintas di benakku untuk
kembali ke keluargaku. Tapi dengan kondisi ini mereka pasti merasa menang, tertawa
terbahak dan mengejekku seumur hidupku bahwa aku gagal memilih jalan hidup.

Dibawah Naungan Islam

Ditengah perasaan putus asa, kuteringat masjid tempat aku pertama kali mengucapkan
kalimat syahadat. Masjid itu bukan Masjid Raya di kota kami, tapi masjid tua bersejarah,
maka banyak jemaah berziarah. Aku berpikir, dulu aku memulainya dari masjid itu, sehingga
kalaupun jalan hidupku berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tersebut
Dan aku shalat mohon petunjuk. Anakku kelelahan tertidur di sampingku.
Aku tidak punya uang untuk membeli makanan dan hanya bisa menangis. Rupanya tangisku
didengar seorang bapak dan beliaulah imam masjid tersebut dan dia pula yang dulu
membimbing aku membaca syahadat. Aku tidak lupa dengan wajahnya tetapi dia pasti tidak
ingat, karena wajahku tidak sesegar dulu lagi. Sewaktu aku perkenalkan diriku dan aku
katakan bahwa aku dulu mualaf yang beliau bimbing, dia langsung ingat tapi juga kaget
dengan kondisiku seperti ini.

Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tidak ada lagi orang di
dunia ini yang aku jadikan sandaran hidupku.

Setelah mendengar kisahku dia menyuruhku jangan pergi tetap tinggal di masjid. Beliau
menyuruh seorang jemaah membelikan makanan untuk aku dan anakku. Sebentar kemudian
dia meninggalkan aku sambil berpesan akan segera kembali (rupanya dia mencari tempat
untuk aku tinggali). Tidak lama beliau kembali. Sambil tersenyum dia katakan, mulai malam
ini aku memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid disitu ada bangunan
tambahan terdiri beberapa ruangan. Biasa dipakai untuk gudang peralatan masjid, seperti
tikar, kursi dan lainnya. Salah satu ruang tampak sudah kosong. Dia menunjuk bahwa itulah
rumahku. Aku boleh menempati selama mungkin aku mau.

Ruang sebelahnya ditempati Pak Tua penjaga masjid, sehingga aku ada yang menemani.
Ruangan itu berukuran kurang lebih 2x2m. Pak Imam masjid menambahkan, aku diberi
honor sekedarnya jika mau membantu membersihkan masjid, sehingga cukup untuk makan.
Beliau tambahkan kalau aku bisa datang ke rumahnya sekedar membantu istrinya memasak.
Rumah beliau hanya beberapa ratus meter dari masjid.

Alhamdulillah, aku amat bersyukur ternyata Allah mendengar doaku. Aku ingat, bahwa Allah
tidak akan menguji hambanya melebihi beban yang sanggup dia pikul. Aku bersyukur
memperoleh tempat berteduh, walau hanya kamar kecil (jauh lebih kecil dibanding kamar
mandi saat di rumah orangtuaku). Ada lagi yang membuatku tenang yaitu aku tinggal dekat
rumah Allah, setiap merasa sedih, aku tinggal masuk masjid mengadukan langsung pada
Allah. Karena tinggal dekat masjid otomatis shalatku tidak pernah terlewatkan sekalipun.

Alhamdulillah, hidupku sedikit demi sedikit mulai tenang. Aku sering membantu istri Pak
Imam memasak di rumahnya. Imbalannya beliau selalu membekali makanan untuk aku bawa
pulang. Sehingga aku tidak perlu risau memikirkan makanan harian. Kalau Pak Imam
sekeluarga ada keperluan keluar kota, akulah yang dititipi menjaga rumahnya dan bisa tinggal
di rumahnya. Sebenarnya mereka menawarkanku tinggal bersama mereka. Tapi aku tahu diri
tidak mau terus menerus merepotkan orang lain.

Pekerjaanku setiap hari membersihkan halaman masjid, membersihkan kaca jendela,


Sedangkan Pak Tua mengepel lantai masjid. Tiap minggu aku mendapatkan honor
sekedarnya dari hasil kotak amal, tapi kadang aku tidak mendapatkan sepeserpun, karena
kadang sudah habis untuk keperluan masjid, tapi aku lakukan itu dengan senang hati dan
ikhlas. Sementara ini aku benar-benar ingin mengabdi pada Masjid ini sebagai tanda
terimakasih. Aku tidak mau bersusah-payah mencari pekerjaan. Aku percaya kelak masjid ini
akan memberi jalan memperoleh pekerjaan.

Kadang pada malam hari aku duduk di teras masjid, mengobrol dengan Pak Tua. Dia
bercerita, anak-anaknya ada di kampong, tapi dia tak mau merepotkannya. Selama masih
kuat, dia tak mau merepotkan orang lain. Lalu saat giliran aku bercerita, kadang aku bingung
harus cerita apa???

Apa aku ceritakan kalau dulu aku pernah naik kapal pesiar keliling EROPA, tidur di hotel
mewah di LAS VEGAS atau saat kuliah punya apartment mewah di Australia Ahh! Pasti
dia tertawa menganggap aku berkhayal. Jangankan tidur di hotel, uang yang aku punya tidak
lebih dari Rp 20.000,-

Dulu tiap minggu aku bisa beli peralatan makeup, eye-shadow, lipstick jutaan rupiah. Kini
makeup aku air wudhu sebelum shalat. Tapi justru banyak yang mengatakan wajahku tetap
bersih, cantik alami. Kadang orang berpikir aku masih memakai makeup. Yah! mungkin
Allah yang memakaikannya. Kecantikan dari dalam Inner Beauty Banyak yang bilang
dengan mata sipit dibalik kerudung, aku terlihat cantik.

Tanpa terasa hampir 2 tahun aku menetap disini, anakku sudah sekolah SD dekat masjid
milik yayasan dan tanpa membayar sepeserpun. Aku hanya membeli seragam dan alat
sekolah. Bahagianya hati melihat anak aku masuk sekolahohh! seandainya mas Fariz masih
ada dan melihat anak kita di hari pertama sekolah.

Anakku rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan sehingga sangat tahu diri. Tak pernah
sekalipun merengek minta dibelikan ini itu seperti layaknya anak lain. Pernah hatiku amat
pilu. Ketika dia pulang sekolah dengan kaki telanjang sambil menenteng sepatunya. Sambil
tertawa, tanpa mengeluh, dia justru menunjukkan sepatunya.

Ma, sepatu Faisal sudah minta makan Sepatunya robek depannya, seperti mulut minta
makan. Melihat dia tertawa, aku ikutan tertawa, walau hati ingin menangis. Andai dia tahu
dulu mama selalu memakai sepatu harga jutaan. kini, membelikan sepatu anakku yang murah
aku belum sanggup. Alhasil selama 2 hari anakku ke sekolah memakai sepatu robek, hingga
aku belikan sepatu bekas layak pakai.

Aku bersyukur punya anak amat tahu diri. Tidak mau membebani ibunya. Anak saleh akan
menjadi bekal amat bernilai buat orangtua. Pak Imam masjid kadang menengok dan
menanyakan keadaan kami. Dia sering cerita, bagaimana istri Muhammad SAW hidup jauh
lebih menderita, tapi tetap tabah. Beliau bilang, aku pasti akan menjadi ahli surga.
Berulangkali dia katakan, orang lain tidak akan sanggup menghadapi cobaan ini, tapi aku
tetap bertahan memegang keyakinan, meninggalkan kenikmatan dunia yang justru pernah
kuperoleh.

Suatu siang, aku melihat mobil datang ke halaman masjid. Dari dalam mobil keluar 2 orang
yang aku kenal. Yang satu Tante Grace, satunya Oom Albert. Mereka lawyer perusahaan dan
keluarga kami. Entah bagaimana mereka bisa mengetahui aku ada disini. Mereka membawa
sebundel amplop, mengajak aku berbicara. Aku lihat mata Tante Grace memerah menahan
airmata saat melihat tempat aku tinggal. Bahkan Oom Albert suara bergetar, lehernya tersekat
menahan sedih. Mereka diutus orangtua aku. Karena orangtuaku sudah tahu bagaimana
keadaan aku sekarang. Mereka katakan dalam amplop isinya surat bank, ATM, Ijasahku yang
bisa aku miliki lagi. Bahkan aku dijemput pulang ke rumah mama-papaku.

Sejenak aku bahagia, kupikir orangtuaku terbuka hatinya, aku bisa pakai uang yang banyak
untuk hidup lebih baik. Tapi dengan terpatah-patah Oom Albert melanjutkan, mama-papa
memberi syarat. Saat kutanyakan syaratnya. Keduanya nyaris tidak sanggup melanjutkan.
Tante Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya oom Albert mengatakan syaratnya
aku dan anakku harus kembali ke keyakinan lama. Saat itu juga aku langsung menjawab,
kalau aku tidak mau menerima amplop itu dan aku katakan agar dikembalikan ke papa.
Keduanya amat sangat minta maaf padaku, karena mereka tahu aku tersinggung. Tapi aku
juga sadar keduanya hanya menjalankan tugas. Bahkan Tante Grace katakan, andai mengikuti
nurani pasti mereka serahkan itu amplop padaku tanpa syarat apapun, tapi mereka terikat
profesi.

Keduanya pamit. Tapi tidak lama kemudian kembali lagi, aku pikir ingin membujuk.
Rupanya mereka berinisiatif fotocopi ijasah dan menyerahkan copy-nya padaku. Mereka
inisiatif sendiri resikonya kehilangan pekerjaan. Mereka bilang hanya itu yang bisa mereka
lakukan untukku.

Alhamdulillah. Sedikit demi sedikit Allah memberi jalan untukku. Akhirnya aku punya bukti
kalau aku pernah sekolah tinggi meraih Master bidang keuangan (finance) di luar negeri.

True Happiness

Rupanya Allah cukup menguji dan memberi rewards atas ketabahanku.

Suatu pagi 2 orang mengamati bangunan masjid, wanita kulit putih dan lokal. Pak Tua ada
di halaman Masjid, maka mereka menghampiri. Masjid kami memang unik, bangunan tua
dengan arsitektur Melayu Kuno dan sering dikunjungi. Biasanya Pak Tua menjadi juru-bicara
karena dia paling tahu sejarah masjid. Aku banyak mendapat cerita dari Pak Tua sehingga
aku tahu sejarah masjid kami.

Dari jauh tampak keduanya mengobrol dengan Pak tua, sampai akhirnya kulihat si Kulit
Putih kebingungan. Akupun menghampiri dan dengan sopan memperkenalkan diri serta
menawarkan bantuan.

Ternyata dia mahasiswi Arsitektur dari Australia dan ditemani mahasiswi Arsitektur
universitas T di kotaku sebagai penterjemah (panggil saja Retno). Rupanya bahasa Inggris
Retno kurang lancar hingga si Bule kebingungan mendengar terjemahan cerita Pak Tua.
Dengan sopan aku mengajukan diri membantu si Bule.

Dengan bahasa inggris sangat lancar, aku ceritakan semua hal tentang masjid. Aku ajak
berkeliling ke tiap sudutnya. Si Bule bertambah takjub saat kukatakan pernah study di
negerinya. Retno terus memandangiku setengah tak percaya. Setelah puas mendapat
informasi, sebelum pulang Retno berjanji menemuiku segera, ingin menanyakan banyak hal
tentang diriku. Dengan senang-hati akan kuterima kedatangannya kapan saja.

Beberapa hari kemudian Retno menemuiku. Dia amat ingin tahu siapa diriku. Aku ceritakan
semua perjalanan hidupku sampai saat ini. Dia amat bersimpati dan ingin menolong. Walau
tak mengharap pertolongan orang lain, tapi kuhargai niatnya. Dia bilang dengan pendidikan
dan kemahiran bahasa asing akan mudah mendapat pekerjaan, apalagi ada copy ijasah.
Seminggu kemudian dia datang membawa kertas dan amplop, menyuruh membuat surat
lamaran.

Informasinya Rektorat memerlukan tenaga honorer. Aku terharu ada orang peduli mau
membantu tanpa pamrih, aku ucapkan banyak terimakasih padanya. Bagiku dia seperti diutus
Allah untuk menolongku. Tidak lama kemudian aku mendapat kabar gembira, aku dipanggil
ke Rektorat untuk test dan wawancara. Sebelum berangkat aku shalat memohon kepada Allah
agar diberi kelancaran. Anakku aku titipkan pada Pak Tua yang kuanggap sebagai orangtua
sendiri.

Alhamdulillah, test berjalan lancar. Saat wawancara justru Bahasa Inggris lebih aku kuasai
dibanding pewawancara. Dia bilang English-ku perfect.

Beberapa hari kemudian dia datang dan tampak gembira sekali, katanya dalam beberapa hari
aku akan mendapat surat dari Rektorat yang isinya diterimanya aku sebagai honorer. Dia tahu
informasi karena temannya bekerja disana. Aku segera menuju masjid dan bersujud syukur
lama sekali. Kurasa aku lulus semua test yang diujikan Allah. Sering aku bertanya pada
Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang percaya pada keimananku hingga
perlu diuji dengan ujian amat berat.
Walau hanya honorer aku sangat bersyukur, yang penting aku memperoleh penghasilan
layak. Pekerjaan membantu Bagian Keuangan di Rektorat, memang sesuai dengan ilmuku.
Mulai banyak yang tahu kalau aku lulusan luar negeri. Setiap seminar yang memerlukan
makalah bahasa Inggris pasti aku yang diberi tugas penyusun makalah.

Aku banyak membantu penterjemahan litelatur asing untuk mahasiswa. Nyaris 3 tahun
terakhir, aku tidak pernah membeli baju baru. Dengan gaji sekarang aku bisa membelinya.
Aku amat sangat senang bukan main, bisa membelikan pakaian anak. Bahagia melihat anak
berpakaian layak. Pakaian sekolahnya sudah menguning, kini aku beli yang baru, putih bersih
dan sepatu baru. Sepatu lamanya robek dan kusimpan sebagai kenangan.

Tak lama kemudian aku mengontrak rumah. Sebelum aku meninggalkan Masjid tak lupa
pamitan ke rumah Pak Imam mengucapkan terimakasih atas pertolongannya, beliau katakan
yang menolong bukan dia tapi Allah yang menolongku. Aku memeluk dia lama sekali. Aku
katakan dahulu aku ucapkan syahadat di depannya dan aku tak akan pernah mengingkarinya
seumur hidupku, apapun yang terjadi.

Sebelum pergi kupandangi kamarku untuk terakhir kali, sempat beberapa menit tertegun,
membayangkan, mungkin kelak ruangan ini dipakai oleh orang yang senasib seperti aku..
Aku harap Semoga Allah memberinya kekuatan.

Setelah melewati segala cobaan, Allah terus-menerus memberi semacam rewards, belum
setahun bekerja, Rektorat memberi kabar statusku menjadi karyawan tetap. Beberapa dosen
senior menawari posisi asisten dosen. Rekan kerja mengatakan karirku amat bagus. Orang
berkualifikasi sepertiku amat dibutuhkan. Mereka bilang kesuksesan hanya menunggu waktu.

Aku hanya mengucap Alhamdulillah. Dahulu aku sering berdoa dengan linangan airmata
kesedihan, sekarang sering menangis saat berdoa, tapi kali ini aku menangis bahagia. Sampai
saat ini aku sendirian, aku bertekad membesarkan anak sebaik-baiknya. Aku masih merasa
istrinya mas Fariz. Seperti yang aku pernah katakan, dia bukan hanya suami, tapi soulmate
dan tidak tergantikan. Tetapi entah kalau Allah mempunyai rencana lain. Tiap memandang
anakku, aku seperti melihat mas Fariz. Seolah dia masih mendampingiku.

Alhamdulillah! kini aku mampu membeli motor. Di akhir pekan aku sering berboncengan
dengan anakku jalan-jalan atau sengaja lewat di depan rumah orangtuaku, sambil aku katakan
bahwa itu rumah opa-oma. Sering anakku bertanya, Ma kapan kita pergi ke rumah oma-opa?
Aku tersekat tak bisa menjawab sebab menahan airmata. Aku terus berdoa, semoga suatu
saat kelak orangtuaku dibukakan hatinya, jika tak mau menerimaku lagi, mohon diterima
anakku cucu mereka.

Wassalam, Mawar.

Anda mungkin juga menyukai