Anda di halaman 1dari 9

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1990. Official Methods of Analisis. Asosiaion of Official Analitic Chemist. Washington DC.
USA.
Cherney, D. J. R. 2000. Characterization of Forage by Chemical Analysis. Dalam Given, D. I., I.
Owen., R. F. E. Axford., H. M. Omed. Forage Evaluation in Ruminant Nutrition. Wollingford:
CABI Publishing : 281-300.
Danuarsa. 2006. Analisis Proksimat dan Asam Lemak Pada Beberapa Komoditas Kacang-kacangan.
Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1
Defano. 2000 . Ilmu Makanan Ternak. Gajah Mada University Press Fakultas Peternakan Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
Hafes. E. S. E.2000. Metode Analisis Proksimat. Jakarta : Erlangga.
Haris, L.E. 1970. Nutrition Research Technique for Domestic and Wild Animal. Vol. 1 Utah State
University. Logan. Utah.
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi
dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Karra , 2003. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University.Yogyakarta.
Khairul. 2009 . Ilmu
DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi. R. 2005. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.

Hartadi, S.Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, Tillman, A.D. 1993. Tabel Komposisi Pakan Untuk
Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Kamal, M. 1998. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak, jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Legowo AM, Nurwantoro. 2004. Diktat Kuliah Analisis Pangan. Semarang: Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro

Parakkasi. A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan.Universitas Indonesia Press, Bogor.
Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Biji Rumput dan Legum Makanan Ternak Tropik. BPFE
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Soedomo, R 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. PT Gramedia, Jakarta.

Soelistyono, H.S. 1976. Ilmu Bahan Makanan Ternak. Diponegoro University, Semarang.

Sutardi, Toha. 2009. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid 1. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tillman,A. D, H, Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar.


Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Utomo, R dan Soedjono, M. 1999. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

H.M, Yunus. 2008. Penelitian Tindakan Kelas.


http://myunus.com/page/27987/untukmu-guru-html. Diakses pada tanggal 1 Mei 2013.

Kadar abu

Analisa kadar abu bertujuan untuk memisahkan bahan organik dan bahan anorganik suatu
bahan pakan. Kandungan abu suatu bahan pakan menggambarkan kandungan mineral pada
bahan tersebut. Menurut Cherney (2000) abu terdiri dari mineral yang larut dalam detergen dan
mineral yang tidak larut dalam detergen Kandungan bahan organik suatu pakan terdiri protein
kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Kenyataannya,
kombinasi unsure-unsur mineral dalam bahan makanan berasal dari tanaman sangat bervariasi
sehingga nilai abu tidak dapt dipakai sebagai indeks untuk menentukan jumlah unsure mineral
tertentu atau kombinasi unsur-unsur yang penting ( cahyo, 2015). Pada bahan makanan yang
berasal dari hewan, kadar abu berguna sebagai indeks untuk kadar kalsium dan fosfor. Dengan
diketahuinya kadar abu, masih diperlukan analisis lebih lanjut untuk memisahkan 17 unsur
penting yang diperlukan ilmu makanan (cahyo, 2015).

Hasil yang diperoleh dalam analisis kadar abu dengan sampel kedelai sangrai yaitu
mengandung kadar abu 14,1 % dengan ditanurkan pada suhu 6000cc selama 3 jam sampai
sempurna menjadi abu. Metode yang digunakan sesuai dengan pendapat karra Halim (2015)
Membakar bahan dalam tanur (furnace) dengan suhu 600C selama 4-5 jam sehingga seluruh unsur
pertama pembentuk senyawa organik (C,H,O,N) habis terbakar dan berubah menjadi gas. Sisanya yang
tidak terbakar adalah abu yang merupakan kumpulan dari mineral-mineral yang terdapat dalam bahan.
Dengan perkataan lain, abu merupakan total mineral dalam bahan. Berdasarkan data yang diperoleh
bahwa kedelai sangrai mengandung abu 14,1 % yang selama ini di jadikan pakan ternak, diaman abu ini
merupakan zat organik yang tidak bisa terbakar. Karra(2007)menyatakan bahwa pemanasan di dalam
tanur adalah dengan suhu 400-600 derajat Celcius dan Halim (2006) menyatakan bahwa zat anorganik
yang tertinggal di dalam pemanasan dengan tanur disebut dengan abu(ash).
Jumlah abu dalam bahan pakan hanya penting untuk menentukan perhitungan bahan ekstrak
tanpa nitrogen (Sutardi, 2009). Kandungan abu ditentukan dengan cara mengabukan atau membakar
bahan pakan dalam tanur, pada suhu 4000 C sampai semua karbon hilang dari sampel, dengan suhu
tinggi ini bahan organik yang ada dalam bahan pakan akan terbakar dan sisanya merupakan abu yang
dianggap mewakili bagian inorganik makanan.

Kadar serat kasar

Serat Kasar

Prinsip utama dari serat dalam pakan adalah pada kemampuannya mengikat air, selulosa
dan pektin. Serat kasar adalah bagian dari pakan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan bahan
kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam sulfat (H2SO4 1,25%) dan
natrium hidroksida (NaOH 3,25%). Sedangkan serat makanan adalah bagian dari bahan makanan
yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim enzim pencernaan. Danuarsa, (2006) menyatakan
bahwa Serat kasar adalah semua zat organik yang tidak larut dalam H2SO4 0,3 N dan dalam
NaOH 1,5 N yang berturur-turut dimasak selama 30 menit. Kamal (1998) menyatakan analisis
kadar serat kasar adalah usaha untuk mengetahui kadar serat kasar dalam bahan baku pakan
pelaksanaan dilaboratorium biasanya dilakukan secara kimiawi dengan metode mendell.

Perhitungan kadar serat kasar = x 100 %

Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa
adalah komponen dinding sel tumbuhan yang tidak dapat dicerna oleh hewan monogastrik,
sedangkan hewan ruminasia dapat mencerna selulosa dan hemiselulosa karena adanya mikroba
rumen. Pada praktikum kali ini didapatkan hasil kadar serak kasar R0 (27,60 %), R1 (27,05), R2
(31,75) dan R3 (32,19). Ini membuktikan bahwa dengan penambahan perlakuan yaitu ditambah
hijauan rumput kumpai dan legum pada sampel, maka semakin tinggi pula kadar serat kasar yang
terkandung dalam sampel tersebut.

Penetapan kadar serat kasar

Cuplikan bahan pakan ditimbang sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass
600 ml, ditambahkan 200 ml H2SO4 1,25%, dipanaskan sampai mendidih selama 30 menit.
Bahan pakan disaring dengan saringan linen dengan bantuan pompa hampa. Hasil saringan
dimasukkan ke dalam beaker glass, ditambahkan 200 ml NaOH 1,25% lalu dipanaskan sampai
mendidih selama 30 menit. Bahan pakan disaring kembali dengan menggunakan crucible yang
dilapisi glass wool dengan bantuan pompa vacuum kemudian dicuci dengan beberapa ml air
panas dan dengan 15 ml etil alkohol 95%. Hasil saringan termasuk glass wool dimasukkan ke
dalam alat pengering dengan suhu 105 sampai 110oC selama semalam kemudian didinginkan
dalam desikator selama 1 jam. Crucible bersama dengan isinya kemudian ditanur dengan suhu
550 sampai 6000C sampai berwarna putih seluruhnya. Dinginkan crucible dengan menggunakan
desikator, lalu ditimbang.

Perhitungan :

Kadar serat kasar =

Keterangan : x = bobot sampel awal

y = bobot sampel setelah dikeringkan oven 105C

z = bobot sisa pembakaran 550 600C

Berdasarkan hasil praktikum analisis proksimat penentuan kadar serat kasar dapat diketahui
kadar serat kasar sebesar 32,77 %. Hal ini sesuai dengan pendapat Hartadi et al., (1993) bahwa
serat kasar dalam rumput gajah sebesar 33,40 %. Penentuan kadar serat kasar dilakukan dengan
cara melarutkan bahan organik selain serat kasar dengan menggunakan larutan H2SO4 0,3 N dan
NaOH 1,5 N dan dimasak dalam lemari asam. Hal ini sesuai dengan pendapat Soelistyono (1976)
menyatakan bahwa langkah pertama metode pengukuran kandungan serat kasar adalah
menghilangkan semua bahan organik kecuali serat kasar dengan penambahan H2SO4 (asam) dan
NaOH (basa). Legowo (2004) menambahkan bahwa serat kasar adalah semua zat organik yang
tidak larut dalam H2SO4 0,3 N dan dalam NaOH 1,5 N yang berturur-turut dimasak selama 30
menit.

Protein Kasar

Berdasarkan praktikum analisis proksimat penentuan kadar protein kasar diperoleh hasil protein
kasar sebesar 6,40 %. Hal ini sesuai dengan Hartadi et al., (1993) yang menyatakan bahwa kadar
protein kasar dari tepung rumput gajah kering sebesar 6,00 %. Kadar protein kasar dilakukan
dengan cara mengalikan 6,25 dari hasil N yang dihasilkan karena dalam hal ini protein
mengandung 16 % N. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutardi (2009) bahwa protein merupakan
salah satu zat makanan yang berperan dalam penentuan produktivitas ternak. Jumlah protein
dalam pakan ditentukan dengan kandungan nitrogen bahan pakan kemudian dikali dengan faktor
protein 6,25. Angka 6,25 d

4. Analisa Kadar Protein Kasar

Analisa protein dapat dilakukan dengan dua metode yaitu secara kualitatif terdiri atas reaksi xantoprotein,
reaksi Hopkins-cole, reaksi millon nitroprusida, dan reaksi sakaguchi. Secara kuantitatif terdiri dari
metode Khejedal, metode titrasi formol, metode lowry, metode spekrofotometer visiable ( buret ), dan
metode spetorofotometri.

enetapan nilai protein kasar dilakukan secara tidak langsung, karena analisis ini
didasarkan pada penentuan kadar nitrogen yang terdapat dalam bahan. Kandungan nitrogen yang
diperoleh dikalikan dengan angka 6,25 sebagai angka konversi menjadi nilai protein. Nilai 6,25
diperoleh dari asumsi bahwa protein mengandung 16% nitrogen (perbandingan protein : nitrogen
=100 :16 = 6,25:1). Definisi tersebut menurut Cherney : 2000 merupakan asumsi bahwa rata
rat kandungan N dalam bahan pakan adalah 16 gram per 100 gram protein
Penentuan nitrogen dalam analisis ini melalui tiga tahapan analisa kimia, yaitu:
1. Tahap Destruksi
Perubahan N-protein menjadi amonium sulfat ((NH4)2SO4). Sampel dipanaskan dengan
asam sulfat (H2SO4) pekat dan katalisator yang akan memecah semua ikatan N dalam bahan
pakan menjadi amonium sulfat kecuali ikatan N=N, NO dan NO2. CO2 dan H2O terus menguap.
SO2 yang terbentuk sebagai hasil reduksi dari sebagian asam sulfat juga menguap. Dalam reaksi
ini digunakan katalisator selenium/Hg/Cu. Destruksi dihentikan jika larutan berwarna hijau
jernih.
Zat Organik + H2SO4 CO2 + H2O + (NH4)2SO4 + SO2
2. Tahap Destilasi
Setelah larutan menjadi hijau jernih, labu destruksi didinginkan kemudian larutan
dipindahkan ke labu destilasi dan diencerkan dengan aquades. Pengencer-an dilakukan untuk
mengurangi reaksi yang hebat jika larutan ditambah larutan alkali. Penambahan alkali (NaOH)
menyebabkan (NH4)2SO4 akan melepas-kan amoniak (NH3). Hasil sulingan uap NH3 dan air
ditangkap oleh larutan H2SO4 yang terdapat dalam labu erlenmeyer dan membentuk senyawa
(NH4)2SO4 kembali. Peyulingan dihenti-kan bila semua N sudah tertangkap oleh asam sulfat
dalam labu erlenmeyer.
NH3 + H2SO4 (NH4)2SO4 + H2SO4

3. Tahap Titrasi
Kelebihan H2SO4 yang tidak digunakan untuk menangkap N dititrasi dengan NaOH.
Titrasi dihentikan jika larutan berubah dari biru ke hijau.
Anggorodi (2005) menyatakan protein adalah esensial bagi kehidupan karena zat tersebut
merupakan protoplasma aktif dalam semua sel hidup.

Perhitungan kadar protein: x 100 %

% Protein Kasar = kadar nitrogen x 6.25


Pada praktikum kali ini didapatkan % N dan % PK berturut turut R0 (-1.316%, -
8.2238%), R1 (-0.811%, -5.0669%), R2 (-1.089%, -6.8063%), R3 (0.312%, 1.9500%). Hasil ini
terjadi kesalahan yaitu pada saat membandingkan hasil titrasi dangan titer blanko tidak dilakukan
secara bersamaan. Jika kita lakukan secara bersamaan, otomatis cara yang kita gunakan adalah
sama, sedangkan jika dilakukan setelah atau sebelum membuat titrasi sampel, bisa
memungkinkan adanya perberdaan cara kita melakukan titrasi. Hal ini mengakibatkan hasil
yang didapatkan pun sangat jauh melenceng dari yang seharusnya.
. Kelemahan analisis proksimat untuk protein kasar itu sendiri terletak pada asumsi dasar
yang digunakan. Pertama, dianggap bahwa semua nitrogen bahan pakan merupakan protein,
kenyataannya tidak semua nitrogen berasal dari protein dan kedua, bahwa kadar nitrogen protein
16%, tetapi kenyataannya kadar nitrogen protein tidak selalu 16% (Soejono, 1990). Menurut
Siregar (1994) senyawa-senyawa non protein nitrogen dapat diubah menjadi protein oleh
mikrobia, sehingga kandungan protein pakan dapat meningkat dari kadar awalnya.
Lemak Kasar

Prinsip kerjanya yaitu Melarutkan (ekstraksi) lemak yang terdapat dalam bahan dengan
pelaut lemak (ether) selama 3-8 jam. Ekstraksi menggunakan alat sokhlet. Beberapa pelarut yang
dapat digunakan adalah kloroform, heksana, dan aseton. Lemak yang terekstraksi (larut dalm
pelarut) terakumulasi dalam wadah pelarut (labu sokhlet) kemudian dipisahkan dari pelarutnya
dengan cara dipanaskan dalam oven suhu 105C. Pelarut akan menguap sedangkan lemak tidak
(titik didih lemak lebih besar dari 105C, sehingga tidak menguap dan tinggal di dalam wadah).
Lemak yang tinggal dalam wadah ditentukan beratnya.
Pada praktikum ini dilakukan dengan metode sokhlet yaitu dengan memasukkan sampel
kedalam alat sokhlet. Hal ini sesuai dengan (Soejono, 1990) yaitu Kandungan lemak suatu bahan
pakan dapat ditentukan dengan metode soxhlet, yaitu proses ekstraksi suatu bahan dalam tabung
soxhlet.
Perhitungan kadar Lemak Kasar : x 100 %

Kadar Lemak hasil perhitungan diatas dari yang terbesar yaitu R3 (11.43%), R0 (9,34%),
R1 (9.33%) dan terkecil yaitu R2 (8.37%). Lemak yang didapatkan dari analisis lemak ini bukan
lemak murni. Selain mengandung lemak sesungguhnya, ekstrak eter juga mengandung waks
(lilin), asam organik, alkohol, dan pigmen, oleh karena itu fraksi eter untuk menentukan lemak
tidak sepenuhnya benar (Anggorodi, 1994). Penetapan kandungan lemak dilakukan dengan
larutan heksan sebagai pelarut. Fungsi dari n heksan adalah untuk mengekstraksi lemak atau
untuk melarutkan lemak, sehingga merubah warna dari kuning menjadi jernih (Mahmudi, 1997).
Lemak Kasar

Prinsip kerjanya yaitu Melarutkan (ekstraksi) lemak yang terdapat dalam bahan dengan
pelaut lemak (ether) selama 3-8 jam. Ekstraksi menggunakan alat sokhlet. Beberapa pelarut yang
dapat digunakan adalah kloroform, heksana, dan aseton. Lemak yang terekstraksi (larut dalm
pelarut) terakumulasi dalam wadah pelarut (labu sokhlet) kemudian dipisahkan dari pelarutnya
dengan cara dipanaskan dalam oven suhu 105C. Pelarut akan menguap sedangkan lemak tidak
(titik didih lemak lebih besar dari 105C, sehingga tidak menguap dan tinggal di dalam wadah).
Lemak yang tinggal dalam wadah ditentukan beratnya.
Pada praktikum ini dilakukan dengan metode sokhlet yaitu dengan memasukkan sampel
kedalam alat sokhlet. Hal ini sesuai dengan (Soejono, 1990) yaitu Kandungan lemak suatu bahan
pakan dapat ditentukan dengan metode soxhlet, yaitu proses ekstraksi suatu bahan dalam tabung
soxhlet.
Perhitungan kadar Lemak Kasar : x 100 %

Kadar Lemak hasil perhitungan diatas dari yang terbesar yaitu R3 (11.43%), R0 (9,34%),
R1 (9.33%) dan terkecil yaitu R2 (8.37%). Lemak yang didapatkan dari analisis lemak ini bukan
lemak murni. Selain mengandung lemak sesungguhnya, ekstrak eter juga mengandung waks
(lilin), asam organik, alkohol, dan pigmen, oleh karena itu fraksi eter untuk menentukan lemak
tidak sepenuhnya benar (Anggorodi, 1994). Penetapan kandungan lemak dilakukan dengan
larutan heksan sebagai pelarut. Fungsi dari n heksan adalah untuk mengekstraksi lemak atau
untuk melarutkan lemak, sehingga merubah warna dari kuning menjadi jernih (Mahmudi, 1997).
Lemak dan minyak merupakan salh satu kelompok yang ternasuk golongan lipida.sifat

yang khas dan mencirikan golongan lipida adalah daya larutnya dalam pelarut organic

(ether,benzene,kloroform)atau sebaliknya ketidaklarutannya dalam pelarut air.

Analisa lemak dan minyak lebih mudah dianalisa karena molekul lemak dan lemak relative lebih

kecil dan kurang kompleks dibandingkan dengan molekul karbohidrat dan protein.
Analisa lemak dan minyak umum yang dilakukan pada bahan makanan digolongkan

dalam 3 kelompok tujuan :

1. Penentuan kadar lemak atau minyak yang terdapat pada bahan makanan atau pertanian.

2. Penentuan kualitas minyak murni sebagai bahan makanan yang berkaitan dengan proses

ekstraksinya atau ada tidaknya pemurnian lanjutan seperti penjernihan (refining), penghilangan

bau (deodorizing), penghilangan warna (bleaching) dan lain-lain.

3. Penentuan sifat fisis atau kimia khas yang mencirikan sifat minyak tertentu.

Ekstraksi merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar lemak dalam suatu bahan. Sebagai

senyawa hidrokarbon lemak dan minyak pada umumnya tidak larut dalam air tetapi larut dalam

pelarut organic.pelarut yang umum digunakan untuk ekstraksi lemak adalah heksan, ether dan

klroroform

Berikut ini contoh beberapa jenis bahan pelarut yang sesuai untuk ekstraksi lemak yaitu :

a. Senyawa trigliserida yang bersifat nonpolar akan mudah diekstraksi dengan pelarut nonpolar

misalnya heksan atau petroleum eter.

b. Glikolipida yang polar akan mudah diekstraksi dengan alcohol yang polar.

c. Lesitin akan mudah larut dalam pelarut yang sedikit asam misalnya alcohol.

d. Fospolipida yang bersifat polar dan asam akan mudah larut dalam kloroform yang sedikit polar

dan basa. Senyawa ini tidak larut dalam alcohol.

Petoleum ether atau heksan adalah bahan pelarut lemak nonpolar yang paling banyak digunakan

karena harganya relative murah, kurang berbahaya terhadap kebakaran dan ledakan serta lebih

selektif untuk lemak nonpolar.

Ada 2 cara penentuan kadar lemak berdasarkan jenis bahan yang akan ditentukan :
1. Bahan Kering

Untuk penentuan lemak dari bahan kering, bahan dibungkus atau ditempatkan dalam thimble lalu

dikeringkan dalam oven untuk menghilangkan airnya. Pemanasan dilakukan secepatnya dan

dihindari suhu yang terlalu tinggi. Ekstraksi lemak dari bahan kering dapat dilakukan secara

terputus-putus atau berkesinambungan. Ekstraksi secara terputus dilakukan dengan soklet atau

alat ekstraksi ASTM (American society testing material ). Sedangkan secara berkesinambungan

dengan alat goldfisch atau ASTM yang telah dimodifikasi.

2. Bahan Cair

Penentuan lemak dari bahan cair dapat menggunakan botol Babcock atau dengan Mojonnier

Anda mungkin juga menyukai