BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Osteoporosis
Osteoporosis atau keropos tulang merupakan suatu penyakit
metabolik
tulang yang ditandai dengan penurunan kepadatan dan
kualitas
struktur tulang
yang bersifat progresif. Osteoporosis sering dijuluki
silent thief
mencuri massa
tulang secara diam
-
diam dan juga
silent disease
menimbulkan gejala bila
penurunan densitas tulang lebih dari 30% dan biasa gejala
yang ditimbulkan
berupa fraktur. Seseorang dikatakan osteoporosis, jika
T
-
score
hasil pemeriksaan
gold standardnya yaitu DXA <
-
2,5.
1
,
10
2.2
Klasifikasi Osteoporosis
Osteoporosis dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
osteoporosis primer
dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer dibagi lagi
menjadi 2 yaitu
Osteoporosis tipe 1 yang terjadi pada wanita
post
menopause dan osteoporosis
tipe 2 atau osteoporosis senil yang dapat terjadi pada pria
maupun wanita diatas
75 tahun yang disebut osteoporosis tipe 2. Osteoporosis tipe
1 ini erat kaitannya
dengan hormon estrogen dan biasa terjadi pada usia 51
-
75 tahun. O
steoporosis
tipe 2 banyak terjadi pada pria maupun wanita di atas 70
tahun.
1
,
11
8
Gambar 1
. Patogenesis osteoporosis
post
menopause
1
Hormon estrogen pada sel
-
sel tulang memiliki peran dalam
menurunkan berbagai sitokin yang bekerja meningkatkan
diferensiasi dan
maturasi osteoklas seperti IL
-
1, IL
-
6, TNF dan M
-
CSF yang dihasilkan
oleh
bone marrow stromal cells
dan sel mononuklear, meran
gsang osteoblas
untuk menurunkan pelepasan TGF dan juga bekerja
langsung pada
osteoklas untuk meningkatkan kerjanya. Wanita
post
menopause mengalami
penurunan kadar estrogen sehingga kerja osteoklas
meningkat baik secara
Menopause
estrogen
Bone marrow
Stromal cell
+
sel
mononuklear
Osteoblas
Sel Endotel
Osteoklas
absorbsi
kalsium di
usus
reabsorbsi
kalsium di
ginjal
IL
-
1, TNF
-
,
IL
-
6, M
-
CSF
TGF
-
NO
differensiasi
&
maturasi osteoklas
Hipokalsemia
PTH
resorpsi tulang
Osteoporosis
9
langsung maupun tidak langsung se
hingga terjadi peningkatan resorpsi
tulang.
1,2
Penurunan kadar hormon estrogen juga berpengaruh pada
absorbsi
kalsium di usus dan reabsorbsi kalsium di ginjal, di mana
keduanya
mengalami penurunan. Hal ini mengakibatkan kadar kalsium
di dalam darah
sediki
t atau biasa kita sebut dengan keadaan hipokalsemia.
Hipokalsemia
menstimulus pelepasan hormon paratiroid yang kerjanya
meningkatkan
resorpsi tulang guna meningkatkan kadar kalsium dalam
darah. Proses
seperti ini lama kelamaan menyebabkan osteoporosis pada
wanita
post
menopause.
1
,
11
2.3
Faktor Risiko Osteoporosis
2.3.1
Usia
Semakin bertambah usia
semakin tinggi resiko terkena osteoporosis.
Hal ini disebabkan karena tulang manusia mengalami proses
yang
dinamakan
modelling
dan
remodelling
yang berjalan baik pada masa
pertumbuhan, sehingga massa tulang terus bertambah.
Massa tulang pada
usia 30
35
tahun. Pada usia setelah 35 tahun, proses
modelling
tulang
sudah berhenti dan proses
remodelling
tulang berjalan tidak seimbang. Sel
osteoblas akan lebih cepat mati akibat sel osteoklas yang
menjadi lebih
aktif, sehingga proses resorpsi tulang juga akan me
njadi lebih aktif
dibandingkan dengan formasi tulang dan massa tulang akan
berkurang
10
sekitar 0,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Osteoporosis
Secara harfiah kata
osteo
berarti tulang dan kata
porosis
berarti
berlubang atau dalam istilah populer adalah tulang keropos. Zat
kapur,
kalsium adalah mineral terbanyak dalam tubuh kurang lebih 98%
kalsium
dalam tubuh terdapat di dalam tulang. Kelompok kerja WHO dan
konsensus ahli mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang
ditandai dengan rendahnya massa tulang dan memburuknya
mikrostruktural jaringan tulang menyebabkan kerapuhan tulang
sehingga
meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Keadaan tersebut tidak
memberikan keluhan klinis kecuali apabila telah terjadi fraktur (
Thief in
the night
)
[1]
.
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Fraktur osteoporosis
dapat terjadi pada tiap tempat meskipun fraktur yang berhubungan
dengan
kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang (lumbal), radius
distal
dan femur proksimal. Definisi tersebut tidak berarti bahwa semua
fraktur
pada tempat yang berhubungan dengan osteoporosis disebabkan
oleh
kelainan ini. Interaksi antara geometri tulang dan dinamika terjatuh
atau
kecelakaan (trauma), keadaan lingkungan sekitar, juga merupakan
faktor
penting yang menyebabkan fraktur. Hal ini semua dapat berdiri
sendiri
atau berhubungan dengan rendahnya densitas tulang
[1]
.
Menurut American Association of Clinical Endocrinologists
(AACE)
puncak pembentukan massa tulang (
Peak Bone Mass
) terjadi
pada usia 10-35 tahun dan sangat tergantung pada asupan kalsium
dan
aktivitas fisik. Gambar 2.1 (Meilnikow, 2005) menunjukkan
perbedaan
kepadatan tulang normal dengan yang keropos.
7
B.
Faktor - Faktor Risiko Osteoporosis
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab atau faktor-faktor
yang berisiko terkena osteoporosis, antara lain:
a)
Riwayat Keluarga
Seseorang termasuk berisiko tinggi bila orang tuanya juga
menderita osteoporosis. Faktor genetik ini terutama berpengaruh
pada ukuran dan densitas tulang. Wanita yang mempunyai ibu
pernah mengalami patah tulang panggul, dalam usia tua akan dua
kali lebih mudah terkena patah tulang yang sama
[15]
. Disamping itu
keluarga juga berpengaruh dalam hal kebiasaan makan dan aktifitas
fisik
[16]
.
b)
Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini
disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun
kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun
mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun
[1]
.
Pada
wanita postmenopause kerapuhan tulang terjadi lebih cepat
dibandingkan dengan pembentukkan tulang
[17]
.
8
Normal
Keropos
Gambar 2
.1 Konstruksi Tulang Normal dan Keropos
c)
Usia
Kehilangan masa tulang meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Semakin bertambah usia, semakin besar risiko
mengalami osteoporosis karena tulang menjadi berkurang kekuatan
dan kepadatannya.
Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah
usia antara 30 sampai 35 tahun. Patah tulang meningkat pada wanita
usia >45 tahun, sedangkan pada laki-laki patah tulang baru
meningkat pada usia >75 tahun. Penyusutan massa tulang sampai
3-6% pertahun terjadi pada 5-10 tahun pertama pascamenopause.
Pada usia lanjut penyusutan terjadi sebanyak 1% per tahun. Namun,
pada wanita yang memiliki faktor risiko penyusutan dapat terjadi
hingga 3% per tahun
[14,15]
. Selain itu, pada usia lanjut juga terjadi
penurunan kadar 1,25 (OH)2D yang disebabkan oleh kurangnya
masukan vitamin D dalam diet, gangguan absorpsi vitamin D, dan
berkurangnya vitamin D dalam kulit
[18]
.
d)
Aktifitas Fisik
Kurang kegiatan fisik menyebabkan sekresi Ca yang tinggi
dan pembentukan tulang tidak maksimum. Namun aktifitas fisik
yang terlalu berat pada usia menjelang menopause justru dapat
menyebabkan penyusutan tulang. Kurang berolahraga juga dapat
menghambat proses pembentukan tulang sehingga kepadatan massa
tulang akan berkurang. Semakin banyak bergerak dan olah raga,
maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa
[1,16]
.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa akivitas fisik
seperti berjalan kaki pada dasarnya memberikan pengaruh
melindungi tulang dan menurunkan demineralisasi tulang karena
pertambahan umur.
Hasil penelitian Recker et.al dalam Groff dan
Gropper (2000), membuktikan bahwa aktifitas fisik berhubungan
dengan penambahan kepadatan tulang spinal
[19,20]
. Aktivitas fisik
harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh atau anggota gerak
9
dan penekanan pada aksis tulang untuk meningkatkan respon
osteogenik dari estrogen
[20]
.
e)
Status Gizi
Zat gizi dan gaya hidup juga mempengaruhi kondisi tulang,
meskipun hal ini mungkin lebih berhubungan dengan variabel luar
seperti zat gizi dan aktifitas fisik yang tidak teratur. Perawakan
kurus cenderung memiliki bobot tubuh cenderung ringan merupakan
faktor risiko terjadinya kepadatan tulang yang rendah. Hubungan
positif terjadi bila berat badan meningkat dan kepadatan tulang juga
meningkat
[25]
.
f)
Kebiasaan Konsumsi Asupan Kalsium
Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan
komponen utama pembentuk tulang. Sebagai mineral terbanyak,
berat Ca yang terdapat pada kerangka tulang orang dewasa kurang
lebih 1 kilogram. Penyimpanan mineral dalam tulang akan mencapai
puncaknya (
Peak Bone Mass
atau PBM) sekitar umur 20-30 tahun.
Pada priode PBM ini jika massa tulang tercapai dengan kondisi
maksimal akan dapat menghindari terjadinya osteoporosis pada usia
berikutnya. Pencapaian PBM menjadi rendah jika individu kurang
berolahraga, konsumsi Ca rendah, merokok, dan minum alkohol
[16]
.
Kalsium dan vitamin D dibutuhkan untuk pertumbuhan
tulang yang kuat. Kalsium juga sangat penting untuk mengatur kerja
jantung, otot, dan fungsi saraf. Semakin bertambahnya usia, tubuh
akan semakin berkurang pula kemampuan menyerap kalsium dan
zat
gizi lain. Oleh karena itu, pria dan wanita lanjut usia membutuhkan
konsumsi kalsium yang lebih banyak
[22]
.
Konsumsi Ca yang dianjurkan National Osteoporosis
Foundation (NOF) adalah 1000 mg untuk usia 19-50 th dan 1200mg
10
untuk usia 50th keatas. Sumber - sumber kalsium terdapat pada
susu,
keju, mentega, es krim, yoghurt dan lain lain
[23]
.
g)
Kebiasaan Merokok
Wanita yang mempunyai kebiasaan merokok sangat rentan
terkena osteoporosis karena zat nikotin di dalamnya mempercepat
penyerapan tulang dan juga membuat kadar dan aktivitas hormon
estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan sel tulang tidak
kuat dalam menghadapi proses pembentukan tulang
[22]
.
h)
Penyakit Diabetes Mellitus
Orang yang mengidap DM lebih mudah mengalami
osteoporosis. Pemakaian insulin merangsang pengambilan asam
amino ke sel tulang sehingga meningkatkan pembentukkan kolagen
tulang, akibatnya orang yang kekurangan insulin atau resistensi
insulin akan mudah terkena osteoporosis. Kontrol gula yang buruk
juga akan memperberat metabolisme vitamin D dan osteoporosis
[15]
.
C.
Etiologi
Menurut etiologinya osteoporosis dapat dikelompokkan dalam
osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer
terjadi akibat kekurangan massa tulang yang terjadi karena faktor
usia
secara alami.
Osteoporosis primer ini terdiri dari dua bagian:
1.
Tipe I (Post Menopausal)
Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (usia 53-75 tahun).
Ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe
crush
,
Collesfracture
, dan berkurangnya gigi geligi. Hal ini
disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut,
dimana jaringan trabekular lebih responsif terhadap defisiensi
estrogen.
11
2.
Tipe II (Senile)
Terjadi pada pria dan wanita usia 70 tahun. Ditandai oleh
fraktur panggul dan tulang belakang tipe
wedge
. Hilangnya
massa tulang kortikal terbesar terjadi pada usia tersebut
[1]
.
Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang
disebabkan oleh penyakit atau kelainan tertentu, atau dapat pula
akibat
pemberian obat yang mempercepat pengeroposan tulang. Contoh
penyebab osteoporosis sekunder antara lain gagal ginjal kronis,
hiperparatiroidisme (hormon paratiroid yang meningkat),
hipertirodisme
(kelebihan horman gondok), hipogonadisme (kekurangan horman
seks),
multiple mieloma, malnutrisi, faktor genetik, dan obat-obatan
[1,26]
.
D.
Patogenesis
Tulang manusia terdiri atas 15% tulang trabekular dan 85% tulang
kortikular. Tulang tidak hanya berfungsi sebagai stabilitator, tetapi
juga
sebagai cadangan kalsium, fosfat, magnesium, natrium, kalium,
laktat, dan
sitrat. Kalsium merupakan mineral yang sangat penting bagi tubuh.
Bila
terjadi kekurangan kalsium tubuh, kadar kalsium dapat
dipertahankan
stabil melalui mobilisasi kalsium dari tulang
[14]
.
Tulang mengalami proses resorpsi dan formasi secara terus
menerus yang disebut sebagai
remodelling
tulang. Proses remodelling
tulang merupakan proses mengganti tulang yang sudah tua atau
rusak,
diawali dengan resorpsi atau penyerapan tulang oleh osteoklas dan
diikuti
oleh formasi atau pembentukan tulang oleh osteoblas.
Proses
remodelling
diawali dengan pengaktifan osteoklast oleh
sitokin tertentu. Sitokin yang berasal dari monosit-monosit dan yang
berasal sel-sel osteoblast (sel induk) itu sendiri sangat berperan pada
aktivitas osteoklas. Estrogen mengurangi aktivitas osteoklas,
sedangkan
bila kekurangan estrogen meningkatkan aktivitas osteoklas. Enzim
12
proteolitik, seperti kolagen membantu osteoklas dalam proses
pembentukkan tulang
[2]
.
Pada tahap resorpsi, osteoklas bekerja mengkikis permukaan
daerah tulang yang perlu diganti. Proses resorpsi ini ditandai dengan
pelepasan berbagai metabolit yang sebagian dapat dipergunakan
sebagai
pertanda (marker) untuk menasah tingkat proses dinamisasi tulang.
Pada proses pembentukkan osteoblast mulai bekerja. Sel yang
berasal dari sel mesenhim ini menyusun diri pada daerah permukaan
berongga dan membentuk matriks baru (
osteosid
) yang kelak akan
mengalami proses mineralisasi melalui pembentukkan kalsium
hidroksiapetit dan jaringan matrik kolagen
[27]
.
Dalam proses pembentukan tulang, hal yang sangat penting adalah
koordinasi yang baik antara osteoklas, osteoblas, dan sel-sel endotel.
Selama sistem ini berada dalam keseimbangan, pembentukkan dan
penghancuran tulang akan selalu seimbang. Pada usia reproduksi, di
mana
fungsi ovarium masih baik, terdapat keseimbangan antara proses
pembentukkan tulang (osteoblas) dan proses laju pergantian tulang
(osteoklas) sehingga tidak timbul pengeroposan tulang. Namun,
ketika
memasuki usia klimakterium, keseimbangan antara osteoklas dan
osteobals mulai mengalami gangguan, fungsi osteoblas mulai
menurun
dan pembentukkan tulang baru pun berkurang, sedangkan osteoklas
menjadi hiperaktif dan dengan sendirinya penggantian tulang
berlangsung
sangat cepat (
high turnover
).
Aktivitas osteoklas ditandai dengan terjadinya pengeluaran
hidroksiprolin dan piridinolincrosslink melalui kencing, serta asam
fosfat
dalam plasma. Hormon paratiroid dan 1,25 (OH)2 vitamin D3
mengaktifkan osteoklas sedangkan kalsitonin dan estradiol
menghambat
kerja osteoklas. Resopsi tulang menyebabkan mobilisasi kalsium
dan hal
ini menyebabkan berkurangnya sekresi hormon paratiroid akibatnya
pembentukkan 1,25 (OH)2 vitamin D3 serta resorpsi kalsium oleh
usus
berkurang
[14]
.
13
E.
Diagnosis
Pengukuran densitas tulang merupakan kriteria utama untuk
menegakkan diagnosis dan monitoring osteoporosis dengan
densitometri,
computed tomography scan (CT Scan), atau ultrasound. Diagnosis
osteoporosis dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan
fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada saat ini bakuan untuk diagnosis
osteoporosis diperoleh dengan menggunakan teknik
Dual Energy X-ray
Absorpsiometry
(DXA) yang mengukur kepadatan tulang sentral.
kelangkaan dan mahalnya DXA untuk sementara dapat digantikan
dengan
alat
Ultrasound Densitometry
atau
Quantitative Ultrasound
(QUS) yang
lebih murah, mudah dipindahkan dan tidak terdapat efek radiasi
tetapi
tidak dapat mengukur secara langsung BMD
[2]
.
Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan
mineral tulang adal
ah sebagai berikut :
a.
Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA),
menggunakan dua
sinarX berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang
belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada
bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian
yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya
mengizinkan sedikit sinar-x yang melewatinya.
DEXA
merupakan
metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral
tulang.
DEXA
dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang
hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya
menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal
dibandingkan dengan metode
ultrasounds.
Satuan : gr/cm
2
.
b.
Peripheral Dual-Energy X-ray Absorptiometry (P-DEXA),
merupakan hasil modifikasi dari
DEXA
. Alat ini mengukur
kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi
tidak dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang
seperti tulang belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang
belakang dan pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan
14
P-DEXA
tidak diperlukan. Mesin
P-DEXA
mudah dibawa,
menggunakan radiasi sinar-X dengan dosis yang sangat kecil dan
hasilnya lebih cepat dan konvensional dibandingkan
DEXA.
Satuan :
gr/cm
2
.
c.
Dual Photon Absorptiometry (DPA),
menggunakan zat radioaktif
untuk menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral
tulang belakang dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar
dengan dosis yang sangat rendah tetapi memerlukan waktu yang
cukup lama. Satuan : gr/cm
2
.
d.
Ultrasounds
, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika
hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka
dianjurkan untuk tes menggunakan
DEXA.
Ultrasounds
menggunakan gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral
tulang, biasanya pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan
gelombang suara melalui udara dan sebagian lagi melalui air.
Ultrasounds
dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak
menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu kelemahan
ultrasounds
adalah tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral
tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan
ultrasounds
juga lebih terbatas dibadingkan
DEXA.
Satuan : gr/cm
2
.
e.
Quantitative Computed Tomography (QCT),
adalah suatu model dari
CT-scan
yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu
model dari
QCT
disebut
peripheral QCT
(pQCT)
yang dapat
mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan
tangan. Pada umumnya pengukuran dengan
QCT
jarang dianjurkan
karena sangat mahal, menggunakan radiasi dengan dosis tinggi dan
kurang akurat dibandingkan dengan
DEXA, P-DEXA
atau
DPA.
Satuan : gr/cm
2[27]
.
Hasil pengukuran kepadatan tulang dapat disajikan dalam
beberapa bentuk, yaitu :
15
a.
T-
score
T-
score
hasil pengukuran kepadatan tulang dibandingkan dengan
nilai rata-rata kepadatan tulang sehat pada umur 30 tahun. Nilai
kepadatan mineral tulang selanjutnya dilaporkan sebagai standar
deviasi dari mean kelompok yang direferensikan.
1)
Nilai negatif (-) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai
kepadatan yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata
kepadatan tulang sehat pada usia 30 tahun.
2)
Nilai positif (+) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai
kepadatan mineral lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
kepadatan tulang sehat pada usia 30 tahun.
Tabel 2.1 menunjukkan kepadatan tulang berdasarkan T-
score
menurut
World Health Organization
(WHO).
Tabel 2.1 Kepadatan Tulang Berdasarkan
T-Score
Kategori
Nilai T-Score
Normal
-1 SD < 2.5
Osteopenia
-2.5 SD <-1
Osteoporosis
< -2.5
Osteoporosis parah
< -2.5 dan adanya satu atau
lebih fraktur
b.
Z-score
. Nilai kepadatan tulang yang diperoleh dibandingkan dengan
hasil yang lain dari kelompok orang yang mempunyai umur, jenis
kelamin dan ras yang sama. Nilai
Z-score
hasil pengukuran
kepadatan tulang diberikan dalam standar deviasi (SD) dari nilai
rata-rata kelompoknya. Nilai kepadatan mineral tulang selanjutnya
dilaporkan sebagai standar deviasi dari mean kelompok yang
direferensikan.
1)
Nilai negatif (-) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai
kepadatan yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata
kepadatan tulang yang lain dalam kelompoknya.
16
Jenis kelamin
Hormon
Keturunan
Asupan gizi
Empat faktor pertama adalah faktor-faktor yang tidak dapat diubah
oleh manusia,
sedangkan perbaikan pada faktor olahraga dan asupan gizi dapat
dilakukan untuk
mencegah terjadinya
osteoporosis
sejak dini.
Olahraga yang dilakukan seiring dengan terjadinya pembentukan
tulang adalah
penting untuk membantu pengendapan tulang yang tergantung pada
tegangan-
tegangan yang diberikan pada tulang. Kurangnya olahraga selama
pembentukan
tulang menyebabkan pembebanan kurang optimal dan mengurangi
massa tulang.
Massa tulang mulai menurun pada usia sekitar 40 tahun dengan laju
kira-kira 0,5%
per tahun. Selama periode menjelang
menopause
dan antara 5-7 tahun setelah
menopause
, perempuan akan mengalami peningkatan laju berkurangnya massa
tulang
hingga kira-kira 3-5% per tahun. Perioda berkurangnya massa tulang
ini secara
langsung dihubungkan dengan hilangnya hormon estrogen. Setelah
perioda ini, laju
pengurangan tulang melambat lagi menjadi 0,5-1% per tahun.
Berkurangnya massa
tulang pada pria konsisten pada laju 0,5-1% per tahun. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi pencapaian puncak massa tulang juga mempengaruhi
laju
berkurangnya atau hilangnya tulang
(bone loss)
. Faktor-faktor tambahan yang disebut
sebagai penyebab sekunder
(secondary causes)
yang dapat mempercepat laju
bone
loss
antara lain, yaitu:
Nikotin
Kafein
Alkohol
Terapi
steroid
Myeloma
Skeletal metastases
Terapi
anticonvulsant
Thyrotoxicosis
Proses penghancuran dan pembangunan kembali tulang oleh sel-sel
osteoclast
dan
osteoblast
merupakan suatu sistem yang seimbang dan terhubung sempurna.
Namun,
sejalan dengan bertambahnya umur manusia atau terjadinya kondisi-
kondisi tertentu,
keseimbangan sistem ini rusak dan kedua proses ini menjadi tidak
sejalan.
Peningkatan aktifitas
osteoclast
menyebabkan penghancuran tulang lebih banyak
dan/atau lebih dalam, sedangkan kecepatan
osteoblast
untuk membangun kembali
tulang tidak cukup cepat untuk mengisi semua lokasi tulang yang
dihancurkan.
2.5.
Klasifikasi Keropos Tulang
Keropos tulang atau
osteoporosis
diklasifikasi menjadi yang utama atau primer dan
yang sekunder. Keropos tulang primer berhubungan dengan penuaan
dan
berkurangnya fungsi gonadal, sedangkan keropos tulang sekunder
berhubungan
dengan penyakit kronis, terapi obat, atau gaya hidup.
Kekeroposan tulang primer dapat dibagi menjadi Tipe-1 yang terlihat
paling banyak
pada wanita-wanita yang telah menopause dan Tipe-2 yang terjadi
pada pria dan
wanita berusia di atas 75 tahun.
Keropos tulang Tipe-1 disebabkan tejadinya pergantian tulang yang
cepat.
Berkurangnya kadar estrogen yang terjadi saat menopause memacu
bertambahnya
jumlah dan umur dari
osteclast,
sehingga menambah luas dan dalam bagian tulang
yang harus dibangun kembali. Tulang
trabecular
memiliki metabolisme yang lebih
aktif dibandingkan tulang
cortical
, sehingga mengalami kehilangan yang lebih
banyak. Pada masa ini, sering terjadi kasus patah tulang belakang dan
pergelangan
tangan.
Keropos tulang Tipe-2 terjadi pada usia di atas 75 tahun. Keropos
tulang pada
kelompok populasi ini terjadi karena berkurangnya penyerapan
kalsium dan
pengaktifan vitamin D, rusaknya fungsi
osteoblast,
berkurangnya umur
osteoblast,
dan berkurangnya produksi hormon kelamin. Tulang-tulang
cortical
dan
trabecular
sama-sama terpengaruh oleh faktor-faktor tersebut. Pada masa ini,
terjadi peningkatan
kasus patah tulang pada manula.
2.6.
Hubungan Massa Tulang
dan Kekuatan Tulang
Bone mass
atau massa tulang adalah petunjuk penting dari kekuatan tulang.
Penelitian
terhadap
trabecular bone
dari
spine
telah menunjukkan korelasi positif antara
kekuatan kompresi dan rasio berat abu tulang terhadap volume.
Hubungan yang
serupa antara tekanan dan isi minera
l tulang telah diteliti pada bagian
femur neck.
Namun, variasi massa tulang memperkirakan hanya 40% sampai 50%
dari variasi
kekuatan tulang dalam penelitian-penelitia
n. Hal ini menunjukkan pentingnya aspek
kualitatif dari struktur tulang
(bone microarchitecture) )
dalam menunjukkan kekuatan
tulang.
Kerusakan-kerusakan kualitas struktur tulang tersebut dapat dibagi
menjadi:
Osteomalcia. Osteomalcia
adalah kegagalan atau tertundanya mineralisasi
dari matriks tulang yang baru terbentuk. Hal ini memiliki potensi
merusak
tulang. Patah tulang kadangkal terjadi oada tempat-tempat dengan
matriks
yang buruk dimineralisasi dan
osteomalcia
sering ditemukan pada pasien
dengan patah tulang pinggang.
2.7.
Diagnosis Keropos Tulang
Tujuan utama diagnosa
osteoporosis
adalah untuk mencegah kerusakan tulang atau
patah tulang akibat
osteoporosis
. Keropos tulang atau
osteoporosis
terjadi apabila
kerapatan massa tulang berkurang ke suatu kondisi dimana dapat
terjadi patah tulang
oleh tekanan yang lemah. Kondisi ini disebut sebagai ambang patah.
World Health Organization
atau WHO merekomendasikan urutan penentuan resiko
patah, yaitu:
1.
Pengukuran kerapatan massa/mineral tulang (BMD,
Bone Mass/Mineral
Density
) menggunakan DXA/DEXA. Pengukuran dilakukan pada tulang
pinggul/pinggang.
2.
BMD pasien dibandingkan dengan referensi BMD orang yang normal.
WHO
mendefinisikan referensi BMD sebagai
rata-rata dari BMD pinggul/pinggang
wanita etnis Kaukasia yang belum mengalami menopause.
3.
Resiko patah tulang diperkirakan dengan melihat simpangan baku
(
SD
,
standard deviation)
BMD pasien terhadap BMD referensi puncak massa tulang.
Setiap 1 simpangan baku di bawah normal sama dengan naiknya
kelipatan 2,5
dari resiko patah pata tulang pinggul/pinggang.
Pada tahun 1994, WHO merekomendasikan kriteria klasifikasi keropos
tulang
(osteoporosis)
berdasarkan pada pengukuran kerapatan massa/mineral tulang (BMD)
dari tulang belakang, pinggang, atau lengan. Hasil pengukuran dalam
unit
penyimpangan baku (SD) terhadap kondisi normal yang disebut
T-score
dan
Z-score.
Hubungan BMD (dalam
gr/cm
2
) dan
T-score
dapat dilihat dari persamaan di bawah
ini:
yn
yn
s
s
SD
BMD
MEAN
BMD
BMD
score
T
)
(
)
(
_
=
(2.1)
dimana: T_score
s
:
T-score
subyek
BMD
s
: BMD subyek
BMD(MEAN)
yn
: BMD rata-rata dari kelompok puncak massa tulang
BMD(SD)
yn
: simpangan baku BMD kelompok puncak massa tulang
T-score
adalah perbandingan BMD pasien terhadap BMD rata-rata dari
populasi
puncak massa tulang yang berjenis kelamin dan beretnis sama.
WHO telah menetapkan ukuran-ukuran berikut ini untuk menunjukkan
tingkat
keropos tulang dan tingkat resiko patah:
1.
Jika
T-score
lebih besar dari -1, rapat massa tulang masih normal
2.
Jika
T-score
berada di antara -1 dan -2,5, rapat massa tulang rendah dan disebut
sebagai
osteopenia.
3.
Jika
T-score
lebih kecil dari -2,5, subyek telah mengalami
osteoporosis.
4.
Jika
T-score
lebih kecil dari -2,5 dan disertai adanya patah tulang, subyek
mengalami keropos tulang parah
(severe osteoporosis).
Definisi
osteoporosis, osteopenia,
dan normal dimaksudkan untuk mengidentifikasi
pasien
pada resiko tinggi, sedang, atau rendah dari patah tulang.
Disamping
T-score,
terdapat pula parameter
Z-score
yang merupakan perbandingan
BMD pasien terhadap BMD rata-rata dari
populasi yang sama umurnya, sama jenis
kelaminnya, dan sama etnis/ras-nya. Bila referensi adalah dari populasi
wanita
Kaukasia dewasa, maka referensi tidak dapat digunakan untuk pria,
anak-anak, atau
wanita yang bukan etnis Kaukasia.
Pengelompokan penyakit tulang didasarkan pada informasi radiografi,
biokimia, dan
biopsi. Pengukuran mineral tulang tidak dapat menggantikan salah
satu dari ketiga
pengujian tersebut untuk membuat diagnosa yang khusus. Namun,
pengukuran
kerapatan mineral tulang dapat menambahka
n informasi-informasi sebagai berikut:
93 tahun).
Peranan asupan protein pangan pada osteoporosi
s masih
kontroversial. Protein adalah suatu komponen struktural
penting dari tulang
dan suplementasi protein dapat memperbaiki hasil medis
pada pasien patah
tulang panggul. Akan tetapi alasan kenapa asupan protein
dapat mengurangi
risiko patah pada tulang
panggul belum diketahui dengan jelas. Beberapa
peneliti menyatakan bahwa makanan yang relatif tinggi fosfor
dan protein di
negara
-
negara industri diketahui mengurangi absorpsi kalsium dan
memperburuk masalah defisiensi protein.
Hasil penelitian Sellmeyer
et al
. (2001), menunjukkan bahwa wanita usia
tua (>65 tahun) dengan konsumsi bahan pangan yang lebih
tinggi protein
hewani daripada nabati, lebih cepat menderita keropos tulang
paha dan lebih
besar menderita risiko kerusakan tula
ng panggul daripada yang
30
mengonsumsi
lebih rendah pangan hewani. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa peningkatan konsumsi protein nabati (sayuran) dan
penurunan
asupan protrein hewani akan dapat menurunkan kerapuhan
tulang dan risiko
kerusakan tulang panggul.
Akan tetapi, menurutnya, hasil ini masih harus
diperkuat dengan hasil penelitian prospektif lainny
a dan diuji secara
percobaan
acak.
Munger et al. (1999), yang melakukan suatu studi porspektif
mengenai
asupan protein dan resiko patah tulang panggul pada
wanita pasca
menopause, menunjukkan bahwa dengan mengosumsi lebih
banyak protein
hewani dapat menurunkan angka kejadian patah tulang
panggul pada wanita
pasca
menopause.
Sementara itu, konsumsi kopi dilaporkan dapat menyebabkan
adanya risiko
tinggi dalam
pengurangan massa tulang pada wanita. Akan tetapi, pada
umumnya studi hanya memfokuskan perhatian pada
kandungan kafein yang
ada. Sedangkan pada teh, yang juga mengandung kafein,
mempunyai
kandungan zat yang lain seperti flavonoid, yang dapat
mempengaruhi
massa
tulang dengan cara yang berbeda.
Dari hasil penelitian Hegarty
et al
. (2000), diketahui bahwa wanita manula
(65
-
76 tahun) yang meminum teh, ternyata mempunyai ukuran
kepadatan
tulang yang lebih tinggi daripada yang tidak meminum teh.
Kondisi ini
31
d
iduga karena adanya kandungan flavonoid yang dapat
melindungi tulang
dari serangan osteoporosis pada wanita manula.
Kebiasaan merokok merupakan suatu faktor risiko terjadinya
penurunan
kepadatan tulang, akan tetapi mekanismenya belum diketahui
dengan bai
k.
Hasil penelitian Krall dan Dawson
-
Hughes (1999), yang dilakukan pada
pria dan wanita manula, menunjukkan bahwa kebiasaan
merokok berkaitan
dengan kerapuhan tulang pada pangkal paha dan seluruh
tubuh dan salah
satu faktor yang berkontribusi adalah
kurang
efisiennya absorpsi kalsium.
Selanjutnya hasil penelitian Vogt (1999),
menemukan adanya zat
anti
esterogen
ik akibat merokok yang berperanan penting pada kerusakan
tulang.
C.
Perilaku
1. Perilaku
1
.1
. Definisi Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme
(makhluk hidup)
yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang
biologis semua
makhluk hidup mulai tumbuh
-
tumbuhan,
hewan
sampai dengan manusia itu
berperilaku, karena mereka me
mpunyai aktifitas
masing
-
masing
.
1.2.
Batasan Perilaku
Secara aspek biologis, perilaku adalah segala perbuatan atau
tindakan yang
dilakukan oleh organisme atau makhluk hidup yang
bersangkutan. Secara
32
singkat, aktivitas manusia dikelompokkan menjadi 2 yaitu
Aktivitas
-
aktivi
tas yang dapat diamati orang lain misalnya: berjalan
bernyanyi,
tertawa, dan sebagainya dan aktivitas yang tidak dapat
diamati orang lain
(dari luar) misalnya berfikir, berfantasi, bersikap dan
sebagainya.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud
perilaku manusia adalah semua kegiatan
atau aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung
maupun yang tidak
dapat diamati pihak luar
(Notoatmojo, 2007)
.
a
. Teori Skiner (S
-
O
-
R)
Skinner (1938), yang dikutip oleh (Notoatmodjo, 2007),
merumuskan
bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Dengan
demikian perilaku
manusia te
rjadi melalui proses: Stimulus
-
Organisme
-
Respon sehingga teori
Skinner ini disebut teori S
-
O
-
R.
2
jenis respon dalam teor
i Skinner:
1. Respondent respons
atau
reflexive
,
merupakan
respon
yang
ditimbulkan oleh rangsangan
-
rangsangan atau stimulus tertentu yang
disebut
eliciting stimulation
, karena menimbulkan respon
-
respon yang
relatif tetap. Misalnya, makanan lezat akan
menimbulkan nafsu untuk
makan, cahaya terang akan menimbulkan reaksi mata
tertutup, dan
sebagainya.
Respondent respons
juga mencakup perilaku emosional,
misalnya mendengar berita kecelakaan akan menimbulkan
rasa sedih,
mendengar berita gembira akan menimb
ulkan rasa suka cita, dan
sebagainya.
33
2. Operant respons
atau
instrumental respons
, merupakan respon yang
timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau
rangsangan
tertentu,
yang disebut
reinforcing stimulation
atau
reinforce
karena
berfungsi un
tuk memperkuat respon. Misalnya, apabila seorang petugas
kesehatan melakukan tugasnya dengan baik adalah sebagai
respon
terhadap gaji yang cukup, kemudian karena kerja yang baik
tersebut
menjadi
stimulus
untuk memperoleh promosi pekerjaan.
Jadi kerja yang
baik tersebut sebagai
reinforce
untuk memperoleh promosi pekerjaan.
Berdasarkan teori S
-
O
-
R tersebut, maka perilaku manusia dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Perilaku tertutup (
covert behavior
)
Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam
bentuk
terselubung atau tertutup (
covert
). Respon terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, dan sikap
orang yang
menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diam
ati secara jelas oleh
orang lain atau disebut juga
unobservable behavior
.
2. Perilaku terbuka (
overt behavior
)
Merupakan respon seseorang terhadap stimulus sudah dalam
bentuk
tindakan nyata atau praktik yang dapat diamati orang lain dari
luar.
Meskipun pe
rilaku dibedakan antara perilaku tertutup (
covert behavior
) dan
perilaku terbuka (
overt behavior
), tetapi sebenarnya perilaku adalah totalitas
yang terjadi pada orang yang bersangkutan. Dengan
perkataan lain,
perilaku adalah keseluruhan pemahaman
dan aktivitas seseorang yang
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui terapi apa saja yang dapat diterapkan pada lansia.
1.4 Manfaat
Lansia dapat mengetahui terapi apa saja yang dapat diterapkan pada dirinya.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Pengertian
Suatu bentuk pelayanan kesehatan yang terpadu dengan pendekatan medik
psikososial edukasional vokasional untuk mencapai kemampuan fungsional yang
optimal.
2) Program Okupasiterapi
Latihan ditujukan untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-hari, dengan
memberikan latihan dalam bentuk aktivitas, permainan, atau langsung pada aktiviats
yang diinginkan. Misalnya latihan jongkok-berdiri di WC yang dipunyai adalah harus
jongkok, namun bila tidak memungkinkan maka dibuat modifikasi.
3) Program Ortotik-prostetik
Bila diperlukan alat bantu dalam mendukung aktivitas pada lansia maka seorang
ortotis-prostetis akan membuat alat penopang, atau alat pengganti bagian tubuh yang
memerlukan sesuai dengan kondisi penderita. Dan untuk lansia hal ini perlu
pertimbangan lebih khusus, misalnya pembuatan alat diusahakan dari bahan yang
ringan, model alat yang lebih sederhana sehingga mudah dipakai, dll.
6) Program Psikologi
Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan keadaan
emosionalnya, yang mempunyai ciri-ciri yang khas pada lansia, misalnya apakah
seorang yang tipe agresif, atau konstruktif, dll. Juga untuk memberikan motivasi agar
lansia mau melakukan latihan, mau berkomunikasi, sosialisasi dan sebgainya. Hal ini
diperlukan pula dalam pelaksanaan program lain sehingga hasilnya bisa lebih baik.
Tujuan
a. Mengisi waktu luang bagi lansia
b. Meningkatkan kesehatan lansia
c. Meningkatkan produktifitas lansia
d. Meningkatkan interaksi sosial antar lansia
Jenis Kegiatan :
a. Psikodrama
Bertujuan untuk mengekspresikan perasaan lansia. Tema dapat dipilih sesuai
dengan masalah lansia.
c. Terapi Musik
Bertujuan untuk mengibur para lansia seningga meningkatkan gairah hidup dan
dapat mengenang masa lalu. Misalnya : lagu-lagu kroncong, musik dengan gamelan
d. Terapi Berkebun
Bertujuan untuk melatih kesabaran, kebersamaan, dan memanfaatkan waktu
luang. Misalnya : penanaman kangkung, bayam, lombok, dll
f. Terapi Okupasi
Bertujuan untuk memanfaatkan waktu luang dan meningkatkan produktivitas
dengan membuat atau menghasilkan karya dari bahan yang telah disediakan.
Misalnya : membuat kipas, membuat keset, membuat sulak dari tali rafia, membuat
bunga dari bahan yang mudah di dapat (pelepah pisang, sedotan, botol bekas, biji-
bijian, dll), menjahit dari kain, merajut dari benang, kerja bakti (merapikan kamar,
lemari, membersihkan lingkungan sekitar, menjemur kasur, dll)
g. Terapi Kognitif
Bertujuan agar daya ingat tidak menurun. Seperti menggadakan cerdas cermat,
mengisi TTS, tebak-tebakan, puzzle, dll
h. Life Review Terapi
Bertujuan untuk meningkatkan gairah hidup dan harga diri dengan
menceritakan pengalaman hidupnya. Misalnya : bercerita di masa mudanya
i. Rekreasi
Bertujuan untuk meningkatkan sosialisasi, gairah hidup, menurunkan rasa
bosan, dan melihat pemandangan. Misalnya : mengikuti senam lansia, posyandu
lansia, bersepeda, rekreasi ke kebun raya bersama keluarga, mengunjungi saudara,
dll.
j. Terapi Keagamaan
Bertujuan untuk kebersamaan, persiapan menjelang kematian, dan
meningkatkan rasa nyaman. Seperti menggadakan pengajian, kebaktian, sholat
berjamaah, dan lain-lain.
k. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga
sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga
mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah
keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang
dituntut oleh anggotanya.
Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi
dan kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah
tersebut digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga
mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masing-masing
terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk mempertahankan
keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan fungsi keluarga seperti
yang seharusnya.
Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1 (perjanjian), fase 2
(kerja), dan fase 3 (terminasi). Di fase pertama perawat dan klien mengembangkan
hubungan saling percaya, isu-isu keluarga diidentifikasi, dan tujuan terapi ditetapkan
bersama. Kegiatan di fase kedua atau fase kerja adalah keluarga dengan dibantu oleh
perawat sebagai terapis berusaha mengubah pola interaksi di antara anggota keluarga,
meningkatkan kompetensi masing-masing individual anggota keluarga, eksplorasi
batasan-batasan dalam keluarga, peraturan-peraturan yang selama ini ada. Terapi
keluarga diakhiri di fase terminasi di mana keluarga akan melihat lagi proses yang
selama ini dijalani untuk mencapai tujuan terapi, dan cara-cara mengatasi isu yang
timbul. Keluarga juga diharapkan dapat mempertahankan perawatan yang
berkesinambungan.
2) Teknik
a. Mencegah Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu sindroma penurunan densitas tulang (matrix dan
mineral berkurang), terapi rasio matrik dan mineral tetap normal. Osteoporosis terjadi
karena ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Densitas
mineral tulang berkurang sehingga tulang menjadi keropos dan mudah patah
walaupun dengan trauma minimal.
Contoh latihan yang harus dihindari :
1. Sit Up
2. Menyentuh jari kaki pada posisi berdiri
3. Duduk dengan punggung membungkuk
4. Mengangkat beban dengan ayunan punggung
d. Perlindungan sendi
Usaha perlindungan sendi dapat dilakukan dengan menghindari pemakaian
sendi secara berlebihan, menghindari trauma, mengurangi pembebanan, berusaha
menggunakan sendi yang lebih kuat atau lebih besar, dan istirahat sejenak disela-sela
aktivitas.
e. Konservasi Energi
Konservasi energy adalah suatu cara melakukan aktivitas dengan energy yang
relative minimal, namun dapat memperoleh hasil aktivitas yang baik. Teknik
konservasi energy dapat dicapai apabila dalam setiap aktivitas memperhatikan hal-hal
berikut :
1) Rencanakan aktivitas yang akan dilakukan sehingga tidak ada gerakan kejut yang
akan meningkatkan strees fisik atau emosional.
2) Atur lingkungan aktivitas sedemikian rupa sehingga pada waktu melaksanakan
aktivitas, energy dapat digunakan secra efisien
3) Jika mungkin, aktivitas dilakukan dalam posisi duduk
4) Jangan menjinjing atau mengangkat barang jika dapat didorong atau digeser.
5) Gunakan alat aktivitas yang relatife ringan
6) Lakukan aktivitas dengan cara yang sama karena akan membuat lebih efisien.
7) Dalam setiap aktivitas, harus sering diselingi istirahat. Salah satu pedoman adalah
sepuluh menit istirahat untuk setiap satu jam bekerja.
8) Bagi aktivitas menjadi beberapa bagian kemudian kerjakan pada waktu yang
berbeda.
g. Kegels Exercise
Upaya lain dalam meningkatkan otot dasar panggul adalah dengan latihan
kontraksi otot dasar panggul secara aktif. Petunjuknya sebagai berikut :
1) Posisi duduk tegak pada kursi dengan panggul dan lutut tersokong dengan rileks
2) Badan sedikit membungkuk dengan lengan menyangga pada paha
3) Konsentrasikan kontraksi pada daerah vagina, uretra, dan rectum
4) Kontraksikan otot dasar panggul seperti menahan defekasi dan berkemih
5) Rasakan kontraksi otot dasar panggul
6) Pertahankan kontraksi sebatas kemampuannya
7) Rileks dan rasakan otot dasar panggul yang rileks
8) Kontraksikan otot dasar panggul lagi, pastikan otot berkontraksi dengan benar tanpa
ada kontraksi otot abdominal, contohnya jangan menahan napas. Control kontraksi
otot abdominal dengan meletakkan tangan pada perut.
9) Rileks. Coba rasakan perbedaan saat berkontraksi dan rileks
10) Sesekali kontraksi dipercepat, pastikan tidak ada kontraksi otot yang lain
11) Lakukan kontraksi yang cepat beberapa kali. Pada latihan awal, lakukan 3X
pengulangan karena otot yang lemah akan mudah lelah
12) Latih untuk mengkontraksikan otot dasar panggul dan mempertahankannya sebelum
dan selama aktivitas tertawa, abtuk, bersin, mengangkat benda, bangun dari
kursi/tempat tidur, dan jogging
13) Target latihan ini adalah 10X kontraksi lambat dan 10X kontraksi cepat. Tiap
kontraksi dipertahankan selama 10 hitungan. Lakukan 6-8X dalam sehari atau setiap
saat dapat melakukannya.
3) Farmakoterapi
Pada lansia terjadi penurunan proses farmakokinetik dan farmakodinamik, yaitu :
a. Dengan pemberian dosis yang lazim KOP (Kadar Obat Plasma) akan lebih tinggi
oleh karena sistem eliminasi obat dalam hepar dan ginjal menurun.
b. Denga KOP yang sama dapat terjadi FOB (Fraksi Obat Bebas) lebih tinggi dari yang
lazim sebab kadar albumin pada lansia telah menurun terlebih-lebih pada waktu sakit
atau oleh karena pengangsuran tempat (Silent Reseptor) dari ikatan albumin oleh obat
lain (Polifarmasi).
c. Perubahan efek farmakodinamik obat bersamaan dengan penurunan mekanisme
regulasi homeostatik dapat menyebabkan bias besar dalam efek farmakoterapi.
Oleh karena itu, semua pemberian obat harus dimulai dengan dosis yang lebih
kecil, misalnya dosis standart dan dinaikkan perlahan-lahan dengan pemantauan
yang ketat. Dalam banyak hal diperlukan pengukuran KOP dalam darah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Menua merupakan proses fisologis dengan berbagai perubahan fungsi organ
tubuh dan bukan suatu penyakit. Adapun gangguan yang menyebabkan penderita
harus berbaring lama sedapat mungkin dihindarkan. Pemberian terapi merupakan
salah satu kunci keberhasilan dalam pemulihan kesehatan pada lansia. Seperti
pemberian modalilitas alamiah ataupun dengan menggunakan peralatan khusus
biasanya hanya menggurangi keluhan yang bersifat sementara, akan tetapi latihan-
latihan yang bersifat pasif maupun aktif yang bertujuan untuk mempertahankan
kekuatan pada sekelompok otot-otot tertentu agar mobilitas tetap terjaga sebaiknya
dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga pencegahan disabilitas primer
diminimalkan dan disabilitas sekunder bisa dicegah, dan pada akhirnya tidak terjadi
handicap.
3.2 Saran
Peran perawat sangat diperlukan untuk mempertahankan derajat kesehatan pada
lansia dalam taraf setinggi-tingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan
kesehatan. Dengan demikian, lansia masih dapat memenuhi kebutuhannya secara
mandiri. Oleh karena itu perkembangan ilmu dan praktika dalam pembelajaran sangat
penting untuk memenuhi kualitas sumber daya yang dibutuhkan.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA