Ridwan - Bab II
Ridwan - Bab II
STUDI PUSTAKA
Gambar 2.1 Peta fisiografi regional Pulau Jawa dan Madura (van Bemmelen, 1949).
Menurut van Bemmelen (1949) secara fisiografi (gambar 2.1), daerah penelitian
termasuk kedalaman Zona Bogor bagian timur. Zona Bogor berada di bagian selatan
Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta dan membentang dari barat ke timur, yaitu
kurang lebih 40 km. Zona Bogor ini merupakan daerah antiklinorium yang cembung
ke utara dengan arah sumbu lipatan barat-timur. Inti antiklinorium ini dari lapisan-
lapisan batuan berumur Miosen dan sayapnya ditempati batuan yang lebih muda yaitu
berupa boss. Batuan terdiri atas batupasir, batulempung dan breksi yang merupakan
endapan turbidit, disertai beberapa intrusi hypabisal, konglomerat dan hasil endapan
6
gunungapi. Disamping itu juga terdapat lensa-lensa batugamping. Endapannya terdiri
oleh akumulasi endapan Neogen yang dicirikan dengan endapan laut dalam.
Gambar 2.2 Peta geologi regional daerah penelitian termasuk ke dalam lembar
Arjaniwinangun (Djuri, 1973).
Menurut Djuri (1973), daerah penelitian masuk dalam Peta Geologi Lembar
Arjawinangun (gambar 2.2), menyebutkan dari batuan tertua sampai yang termuda
ini dibagi dua, yaitu: Anggota atas (Omtu) batupasir (bagian bawah) dan
7
batupasir gampingan, tuf, batulempung dan batulanau. Anggota Serpih terdiri
terdiri dari Anggota Halang Bawah (Mhl) dan Anggota Halang Atas (Mhu).
Anggota Halang Bawah terdiri dari breksi gunungapi yang bersifat andesitik
3. Di atas Formasi Halang secara selaras diendapkan Formasi Subang (Msc) yang
4. Kemudian secara tidak selaras diatas Formasi Subang terdapat Breksi Terlipat
(Qob) yang terdiri dari breksi gunungapi yang bersifat andesitik, breksi tufaan,
Pleistosen Bawah.
secara selaras. Endapan Gunungapi Tua terdiri dari breksi lahar, lava andesitik
Atas.
Gunungapi Muda (Qyu) yang terdiri dari breksi lahar, batupasir tufaan, lapili,
8
lava andesitik sampai basaltik. Endapan ini diperkirakan hasil dari produk
7. Produk termuda dari stratigrafi ini adalah endapan alluvium (Qa) yang
Tabel 2.1 Kolom stratigrafi berdasarkan peta geologi regional lembar Arjawinangun
oleh Djuri (1973).
9
2.3 Struktur Geologi Regional
Pola Meratus
Pola Sunda
Pola Jawa
Gambar 2.3 Pola struktur Pulau Jawa yang terdiri dari Pola Meratus, Pola Sunda, dan
Pola Meratus merupkan pola struktur yang dominan di Pulau Jawa (Pulunggono
dan Martodjodjo, 1994), diwakili oleh sesar Cimandiri di Jawa Barat, yang dapat
diikuti ke timurlaut sampai batas timur Cekungan Zaitun dan Cekungan Biliton. Pola
singkapan batuan pra-Tersier di daerah Luk Ulo (Jawa Tengah) juga menunjukkan
arah Meratus. Pola ini diperkirakan terbentuk sekitar 53 - 80 juta tahun yang lalu. Pola
10
Pola struktur dengan arah utara - selatan disebut sebagai Pola Sunda. Pola ini
diwakili oleh sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan
Arjuna. Pola Sunda diperkirakan terbentuk sekitar 32 - 53 juta tahun lalu. Pola Sunda
mengatakan bahwa sesar - sesar yang ada pada umumnya berpola regangan, dan dari
data seismik pada daerah lepas pantai Jawa Barat tepatnya di Cekungan Zaitun
menunjukkan arah Pola Sunda ini mengaktifkan Pola Meratus pada umur Eosen Akhir
- Oligosen Akhir.
Pola struktur dengan arah barat - timur disebut sebagai Pola Jawa. Pola Jawa ini
diwakili oleh sesar Baribis dan sesar - sesar dalam Zona Bogor yang berupa sesar naik
(van Bemmelen, 1949). Pola ini merupakan pola termuda yang mengaktifkan kembali
seluruh pola yang ada sebelumnya dan data seismik di Pulau Jawa bagian
utara menunjukkan bahwa pola ini masih aktif sampai sekarang. Disebutkan pula,
bahwa pola ini diakibatkan oleh tunjaman baru di selatan Jawa yang mengaktifkan
mengacu pada klasifikasi van Zuidam (1985) (tabel 4.1), yang terdiri dari beberapa
11
Tabel 2.2 Aspek utama peta geomorfologi (van Zuidam, 1985)
a Morfografi
Morfografi secara garis besar (tabel 4.2) memiliki arti gambaran bentuk
12
Tabel 2.3 Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (van Zuidam,
1985).
b Morfometri
13
Morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari suatu bentuklahan dan
terhadap analisis lahan untuk tujuan tertentu, seperti tingkat erosi, kestabilan
c Morfogenetik
Menurut Verstappen dan van Zuidam (1975) bahwa proses endogen dan
dengan jelas dan digunakan simbol warna. Warna - warna tertentu yang
14
2.4.2 Derajat Tingkat Pelapukan
perubahan akibat adanya proses pelapukan fisik dan kimia yang berperan dalam
individu atau kombinasinya, beserta sifat sifat keteknikan pada masing masing
derajat pelapukanya (ISRM, 1978). Derajat tingkat pelapukan dapat menjadi acuan
pembagi kondisi geologi teknik suatu daerah berdasarkan derajat pelapukan material
pembentuk suatu daerah penelitian. Satuan geologi teknik daerah penelitian untuk
tingkat pelapukan mengacu pada klasifikasi International Society for Rock Mechanic
(ISRM). Menurut ISRM (1978), secara garis besar derajat tingkat pelapukan
pelapukan serta struktur geologi pada massa batuan, seperti sesar, kekar, lipatan dan
15
bidang perlapisan. Selain lipatan, struktur tersebut disebut sebagai bidang lemah.
Selain itu, kestabilan lereng juga dipengaruhi oleh kehadiran air serta karakteristik fisik
dengan panggunaan desain empiris berdasarkan klasifikasi massa batuan (Franklin dan
Maerz, 1996).
2.4.4 Diskontinuitas
1993)
Diskontinuitas adalah suatu istilah untuk gabungan semua struktur pada material
geologi yang biasanya memiliki kekuatan Tarik dari 0 rendah, yang juga dapat
yang dimilikinya. Sifat sifat geometri yang dimiliki diskontinuitas, antara lain:
16
a) Kemiringan (dip/dip direction)
d) Bukaan (aperture)
e) Kemenerusan (persistence)
f) Set diskontinuitas
17
Dalam penelitian ini, metode kinematik yang digunakan untuk mengetahui
stereografis merupakan metode grafis yang digunakan untuk menunjukan jurus dan
kemiringan dari suatu bidang. Teknik stereografis banyak digunakan untuk membantu
bersamaan antara jurus dan kemiringan, baik muka lereng maupun bidang lemah pada
suatu stereonet akan segera dapat diketahui jenis dan arah keruntuhanya (gambar 2.5).
Berikut akan dibahas syarat syarat umum terjadinya keruntuhan utama pada
batuan:
Keruntuhan jenis ini akan banyak terjadi pada lereng batuan lapuk atau
Untuk kasus keruntuhan geser planar dengan bidang gelincir tunggal, syarat
18
o Kemiringan bidang gelincir lebih kecil dari kemiringan lereng.
o Sudut lereng lebih besar dari sudut garis potong kedua bidang
lemah.
lereng.
Namun demikian, sering kali tipe keruntuhan yang ada merupakan gabungan
dari beberapa keruntuhan utama sehingga seakan akan membentuk suatu tipe
keruntuhan yang tidak beraturan (raveling failure) atau seringkali disebut sebagai tipe
keruntuhan kompleks. Tipe keruntuhan tak beraturan antara lain overhanging failure,
Massa batuan (rock mass) merupakan tubuh atau massa batuan yang dipisahkan
oleh diskontinuitas. Massa batuan ini terdiri dari material geologi seperti tekstur,
Metode Rock Mass Rating (RMR) sering digunakan dalam kegiatan geologi
teknik. Metode RMR diperkenalkan oleh Bieniawski (1989). Metode RMR ini
19
Kekuatan batuan utuh (intact rock)
Kekuatan batuan utuh (intact rock) dalam RMR dinyatakan dengan Uniaxial
yang diperoleh dari hasil uji kuat tekan uniaksial. Pengujian ini dilakukan
permukaan sampel dari satu arah. Menurut Deere dan Miller (1966), nilai
UCS juga dapat diperoleh secara langsung berdasarkan nilai Schmidt rebound
hammer yang dikonversikan ke dalam tabel nilai kuat tekan dari alat tersebut.
batuan berdasarkan nilai presentase (%) inti bor pada pemboran dengan
20
diameter 57,15 mm atau lebih. Dipilih diameter 57,15 mm, karena ukuran ini
kondisi standar (normal) maka inti yang didapat tergantung pada kekuatan
terambil, dengan mengabaikan inti bor yang memiliki panjang kurang dari 10
(Gambar 2.6).
Namun jika menggunakan metode scanline sampling, nilai RQD tidak dapat
Priest dan Hudson (1976), bila inti bor tidak tersedia, nilai RQD dapat
21
Kondisi diskontinuitas ditentukan dari deskripsi tiap bidang diskontinuitas,
bidang diskontinuitas.
air ini akan mengurangi kuat geser antara kedua permukaan diskontinuitas.
Tabel 2.7 Parameter klasifikasi RMR dan nilai pembobotanya (Bieniawski, 1989)
Slope Mass Rating (SMR) merupakan system klasifikasi massa yang dirancang
khusus untuk lereng. Metode ini dikemukakan oleh Romana (1985). Sistem ini
22
mendasarkan pada hasil RMR dengan memberikan beberapa penyelarasan (Tabel 2.3).
Dengan:
(Tabel 2.4)
23
Tabel 2.9 Nilai pembobotan untuk metode ekskavasi lereng (Romana, 1985)
24