Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semmester Mata Kuliah Aspek Hukum Bisnis
Penulis
JOINT VENTURE
I. Pendahuluan
Usaha patungan atau yang biasa disebut Joint Venture merupakan suatu
pengertian yang luas. Dia tidak saja mencakup suatu kerja sama dimana masing-masing pihak melakukan
penyertaan modal (equity joint ventures) tetapi juga bentuk-bentuk kerjasama lainnya yang lebih
longgar, kurang permanen sifatnya serta tidak harus melibatkan partisipasi modal. Dengan
didiriknaya perusahaan joint venture yang (secara umumnya) modal-modal diperoleh
dari pihak-pihak yang tidak hanya dalam negara, tapi juga dari warga asing, atau biasa
disebut dengan PMA (Penanam Modal Asing).
Inti dari kedua definisi tersebut adalah bahwa kontrak joint venture merupakan :
1. Kerja sama antara pemodal asing dan nasional (umumnya)
Joint venture atau usaha patungan ini dikategorikan sebagai kegiatan penanaman
modal asing (PMA) sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 huruf (c) UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal).
Sesuai dengan Pasal 28 UU Penanaman Modal dan Pasal 2 Perpres No. 90/2007, maka
BKPM memiliki tugas utama untuk melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di
bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kelebihan
Kekuasaan dan hak suara didasarkan pada banyaknya saham yang ditanam oleh
masing-masing perusahaan pendiri
Perusahaan joint venture tetap memiliki eksistensi dan kebebasan masing-masing
Dapat memanfaatkan skala ekonomi dan spesialisasi
Sumber informasi akan semakin lengkap karena adanya perbaikan komunikasi dan
networking
Sumber keuangan akan semakin besar
Kredibilitas Joint Venture lebih diakui daripada perseorangan
Joint Venture lebih memungkinkan beroperasi secara global
Dapat meminimumkan resiko, tidak berat sebelah
Kekurangan
Peter Mahmud mengemukakan ada 10 hal yang harus diperhatikan oleh para pihak
sebelum kontrak joint venture ditandatangani, antara lain:
Pentingnya dibuat sebuah kontrak atau perjanjian pada pembentukan joint venture
adalah sebagaimana fungsi adanya perjanjian tersebut, yaitu :
1. sebagai peraturan mengenai hubungan hukum antara sesama pihak.
2. menjadi dasar untuk melaksanakan pimpinan yang dibutuhkan untuk
kepentingan bekerjasama, semuanya harus mengacu pada perjanjian yang telah
disepakati bersama.
3. sebagai dasar peraturan yang memungkinkan para pihak secara individual
mempunyai hak melakuakan perbuatan tertentu, tidak tergantung atau terpisah
dari joint venture.
Sementara itu kerugian yang dapat timbul dari suatu jenis joint venture bagi pihak
dalam negeri adalah sebagai berikut:
1. Manajeman tidak dapat dikuasai sepenuhnya oleh pihak domestik, melainkan harus
dibagi dengan pihak yang lebih mempunyai kemampuan
2. Training dan manegemant belum tentu diberikan dalam batas-batas kemampuan yang
memadai untuk standar asing
3. Transfer teknologi dari partner asing mungkin dilakukan dalam ukuran yang yang
kurang optimal , selain itu hasil dari penelitian dan pengembangan tidak akan
seluruhnya diberikan kepada joint venture
4. Kemungkinan transfer nilai harga dengan perusahan induk dalam dimensi yang besar
dapat dilaksankan dan hal itu dapat menimbukan kerugian bagi mitra lokal.
Sementara itu, bagi investor asing, kerugian itu dapat terjadi dalam wujud dan
keadaan berikut:
2. Teknologi harus terbuka bagi mitra lokal, walaupun masih ada yang dapat
disembunyikan dan yang tertutup
1. Pembatasan resiko
2. Malakukan sesuatu kegiatan bisnis tentunya penuh dengan resiko. Dengan adanya
joint venture, resiko yang akan timbul bisa dihadapi bersama
3. Pembiayaan
4. Dengan joint venture, pembiayaan suatu kegiatan bisnis yang diakukan dengan
sederhana dengan menyatukan modal yang dibutuhkan
5. Menghemat tenaga
6. Dilihat dari kekuatan tenaga kerja yang dbutuhkan, dengan penanganan yang
disatukan dengan joint venture akan mengurangi tenaga kerja yang butuhkan
dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan sendiri
7. Dengan adanya joint venture, rentabilitas (hal yang menguntungkan atau merugikan)
dari investasi-investasi yang ada dari para pihak dapat diperbaiki
8. Kemungkinan optimasi know-how
Jenis perjanjian joint venture
2. Joint venture internasional, apabila salah satu dari perusahaan itu adalah
perusahaan asing.
Bidang usaha yang wajib mendirikan perusahaan joint venture antara perusahaan
penanaman modal asing dengan warga negara Indonesia atau badan hukum indonesia,
dianut dalam pasal 8 ayat 1 surat keputusan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi /
ketua badan koordinasi penanaman Modal Nomor: 15/SK/1994 tentang ketentuan
pelaksanaan pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka Penanaman
Modal Asing. Bidang usaha wajib mendirikan perusahaan joint venture adalah sebagai
berikut : Pelabuhan, Produksi, tranmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum,
Telekomunikasi, Pelayanan, Penerbangan, Air minum, Kereta api, Pembangkit tenaga
atom, Mass media.
Yang menjadi faktor penyebab wajib mengadakan usaha patungan (joint venture)
adalah karena usaha-usaha tersbut tergolong penting bagi negara yang diperuntukkan
warganegaranya.
Antara
Dengan
Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 01 bulan Februari tahun 2014, antara:
Tn. Yunus Hidayat, 24 Tahun, Direktur Utama PT. Java Anima Darmaja yang
didirikan berdasarkan hukum Negara Republik Indonesia, NPWP 0123456789, yang
berkedudukan di Jl. Salemba 4, Bandar Lampung, Indonesia.
Tn. Michael, Presiden direktur, Singapore Chopstick Ltd, yang didirikan berdasarkan
hukum Negara Singapore, berkedudukan di Jl. Lion, Singapore.
Pimpinan antara PT. Java Anima Darmaja dengan Singapore Chopstick Ltd.
Dengan ini PARA PIHAK sepakat untuk mengadakan perjanjian joint venture. PARA PIHAK
akan mendirikan Perseroan Terbatas berdasarkan hukum negara Republik Indonesia untuk
mendirikan pabrik sumpit, penyediaan bambu, penyediaan bahan baku untuk sumpit, mesin
mesin, pengemasan dan pemasaran supit untuk ekspor keluar negeri. Dimana pendirian
pabrik sumpit ini tidak bertentangan dengan hukum di Indonesia dan peraturan
perundangan yang ada. Perseroan Terbatas yang didirikan oleh PT. Java Anima Darmaja
Singapore Chopstick Pte.Ltd bernama PT. Java Anima Darmaja Singapore. Untuk
selanjutnya disebut PT. Joint Ventura.
3. Semua setoran saham dalam mata uang dollar dan rupiah, berdasarkan kurs
pada saat penyetoran $1 = Rp 12.000,00 (dua belas ribu rupiah).
Lisensi Paten dan Merek Dagang jika ada penemuan baru yang diperoleh oleh
PT. Joint Ventura di Indonesia atau oleh pekerjapekerjanya atau rekan
rekannya selama berlakunya perjanjian joint venture ini, PT. Joint Ventura akan
memperbolehkan Singapore Chopstick Pte.Ltd untuk memakai paten tersebut di
luar Indonesia, tanpa
Masih lekang dingatan kita tentang kasus pertikaian berdarah yang terjadi di tanah
papua antara kaum asli papua yang merasa sebagai pemilik tanah yang asli sebagai kaum
yang terasingkan dan seakan numpang di tanahnya sendiri, dengan salah satu perusahaan
multinasional yang beroperasi di daerah papua yaitu PT. Freeport Indonesia (FI).
Msayarakat yang bertikai menuntut penutupan PT. FI karena dinilai tidak memberikan
keuntungan yang adil bagi warga local. Menurut mereka, sejak Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) Irian Barat 1969 dilaksanakan, Pepera telah melenceng jauh dari amanat rakyat
Papua. Kemudian, kontrak yang dilakukan Pemerintah Indonesia bersama PT. FI mereka
nilai tidak mengakomodasi hak rakyat Papua. Bahkan oknum-oknum yang ada di dalam
pemeritahan bekerja sama dalam kerjasama perusaan yang merugikan rakyat ini.
Lokasi pertambangan Freeport berupa gunung biji tembaga (Ertsberg), pertama kali
ditemukan seorang ahli geologi kebangsaan Belanda, Jean Jacqnes Dory pada 1936.
Kemudian ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 menemukan kembali Ertsberg. Freeport
pertama kali melakukan penambangan pada bulan Desember 1967 pasca-Kontrak Karya I
(KK I). Ekspor pertama konsentrat tembaga dimulainya pada Desember 1972 dan beberapa
bulan kemudian tepatnya Maret 1973, proyek pertambangan dan Kota Tembagapura ini
diresmikan Presiden Soeharto.
Lalu pertanyaannya, siapa yang menikmati hasil Freeport selama ini? Sebab
sumbangan ke APBN hanya Rp2 triliunan, saham pemerintah hanya 9,36 persen,
sisanya milik asing. Tentu saja yang mendapat keuntungan besar ini, mereka yang
terlibat dalam pengelolaan pertambangan itu. Menurut kantor berita Reuters (PR,
18/3 2006) dinyatakan bahwa para petinggi Freeport paling tidak menerima Rp126,3
miliar/bulan. Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekitar Rp87,5
miliar lebih per bulan dan President Directornya, Andrianto Machribie menerima Rp15,1
miliar per bulan. Di samping itu, juga bagi para pejabat Orba yang menangani Freeport turut
menikmatinya. Sebab, bukan tak mungkin KK I dan II diwarnai dengan berbagai permainan
sulap.
Walau memang sejak Juli 1996, ada dana satu persen dari laba kotor perusahaan
bagi warga lokal di Kabupaten Mimika, khususnya tujuh suku di dalam kawasan wilayah
konsesi Freeport. Tapi jelas tak seberapa dibanding jumlah hasil tambang yang telah
dikeruk dari perut ibu (sebutan perumpamaan gunung biji emas bagi orang Amungme
terhadap Ertsberg dan Grasberg). Terus yang tak bisa dipungkiri, dana ini menjadi sumber
konflik internal diantara mereka. Apalagi dana itu disinyalir sebagai media peredam setelah
ada kerusuhan Maret 1996. Bahkan sempat Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa)
awalnya menolak menerima dana itu. Sementara warga lokal dari adat lain yang ada di
sekitar perusahaan merasa berhak juga atas dana itu. Intinya: ada ketidakpuasan,
ketidakadilan, dan pengelolaan yang tak profesional.
Tapi sejatinya, konflik-konflik sekitar Freeport telah dimulai sejak perusahaan itu
berdiri. Misalnya, saat persiapan awal proyek Freeport sekitar 1960-1973 telah terjadi
konflik dengan masyarakat adat setempat berkaitan soal pengakuan identitas dan
pandangan hidup yang berhubungan dengan alam yang mereka anggap keramat. Misalnya
gunung-gunung berselimut salju (Nemangkawi atau panah putih) yang telah dikeruk itu
merupakan tempat bersemayamnya roh-roh nenek moyang mereka ketika meninggal dunia.
Terus yang perlu diingat pula, konflik pertama terjadi saat tim ekspedisi Forbes Wilson tahun
1960 meminta bantuan masyarakat sekitar membawa barang-barang keperluan rombongan
(porter), tetapi mereka tak dibayar. Kekecewaan dan merasa ditipu ini bisa menjadi awal
konflik.
Konflik berikutnya yang dikenal dengan konflik January Agreement yang dibuat
tahun 1974. Isinya menyangkut kesepakatan antara Freeport dengan masyarakat Suku
Amungme dalam kaitan pematokan lahan penambangan dan batas tanah milik perusahaan
dengan masyarakat adat setempat. Namun pada kenyataannya, diduga Freeport telah
mengambil tanah adat jauh di luar batas yang telah disepakati. Masyarakat adat semakin
tergerser dan menjadi kaum pinggiran (pheripheral saja). Konflik-konflik berkaitan dengan
January Agreement terus saja berlanjut sampai pembentukan Lemasa tahun 1992. Konflik
lainnya dipicu soal kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Papua memiliki 42 juta hektar hutan dengan keanekaragaman hayati yang sangat
kaya, seperti bahan tambang, minyak dan gas bumi, serta hutan dan laut yang berlimpah.
Walaupun kekayaan alam itu sudah dieksploratif secara ekstraktif selama puluhan tahun,
rakyat Papua yang bejumlah sekitar dua juta jiwa masih tergolong penduduk termiskin di
republik ini. Ironisnya, ketika sumber daya alam mereka menghasilkan uang bertriliun-triliun,
sekitar 80 % penduduknya masih hidup pada tingkat subsisten. Masih banyak warga yang
hanya memakai koteka. Data Badan Pusat Statisitik (BPS) pada tahun 2004 menunjukkan
penduduk miskin di Papua pada tahun 2002 mencapai 39 %. Angka ini akan menjadi lebih
besar karena sebagian besar penduduk miskin ini berada pada warga asli yang jumlahnya
sekitar 60 % dari total jumlah penduduk provinsi ini. Dalam laporan Conservation
Internasional Indonesia 2004 dikatakan warga Papua mempunyai tingkat kesehatan yang
memprihatinkan, angka kematian bayi di Papua cukup tinggi, yaitu 100 per seribu kelahiran
bayi hidup. Angka itu hampir tidak berubah sesudah otonomi khusus. Angka kematian ibu
juga paling tinggi di negeri ini, yaitu 60-700 per 100.000 kelahiran. Selain itu tingkat harapan
hidup juga rendah.
Dari sisi pendidikan, 44,13 % warga Papua buta huruf. Ketidakseimbangan dalam
bagi hasil penerimaan dan pengelolaan sumber daya alam dianggap sebagai biang keladi
kemiskinan dan ketertinggalan ini. Padahal, ketika republik ini mengalami krisis, produk
domestk regional bruto (PDRB) Papua melonjak dari Rp. 9 triliun pada tahun 1997 menjadi
Rp. 19 triliun pada tahun 1998. ini disebabkan total nilai tambah dari sector pertambangan
meningkat 38 %. Padahal, Papua merupakan propinsi dengan tingkat PDRB kempat
tertinggi stelah Riau, DKI Jakarta dan Kalimantan Timur.
Sejak 3 tahun yang lalu, angka kemiskinan penduduk Mimika hampir dua kali lipat
kemiskinan tingkat nasional. Dari jumlah penduduk sebanyak 131.715 jiwa kala itu,
penduduk miskinnya mencapai 32,75 %. Runyamnya, angka kemiskinan itu mengalaim
kemiskinan sepanjang tahun. Sektor pendidikan yang semestinya menjadi sektor paling
dasar, ternyata hanya membuat hati terenyuh. Di pedalaman-pedalaman, sekolah-sekolah
nyaris tidak memiliki guru. Sistim sekolah hancur. Akibatnya sekolah-sekolah sering
diliburkan. Walaupun ada kebijakan penerapan dana 1 persen dari PT. FI untuk masyarakat
sekitar, namun trenyata dana tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Dana kompensasi 1 persen berawal ketika pemerintah pusat, pemerintah Irian Jaya,
dan PT. FI merancang pola pembangunan masyarakat untuk memecahkan proses
pembangunan di Mimika. PT FI berkomitmen untuk mengalokasikan dana sebesar 1 persen
dari pendapat kotor tahunan selama 10 tahun guna mendukung program tersebut. PT FI
yang beroperasi sejak 1967 mulai mengucurkan dana tersebut pada tahun 1996. Dana itu
ditangani Tim Pengembangan Wilayah Timika Terpadu (PWT2). Masyarakat sendiri
mendirikan Yayasan Tujuh Suku (terdiri dari suku Amungme, Kamoro, Moni, Lani, Damal,
Mee / Ekari, Nduga). Tiap suku mengelola dana tersebut secara sendiri-sendiri. Nyatanya
uang menjungkirbalikan kearifan lokal yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat.
Kebersamaan yantg menjadi perilaku dasar pun mulai tergerogoti setelah mengenal uang.
Sepanjang sepuluh tahun ini (1996-2005), dana 1 persen yang telah dikucurkan PT
FI sebesar Rp. 1.615.635.852.591 (190.847.906 US$). Jika tahun 1996, dana 1 persen itu
sejumlah 25 miliar, maka pada tahun 2005 Rp. 393 miliar (tabel). Sebagian besar dana itu
digunakan untuk sektor pendidkan dan kesehatan. Sebagai contoh, tahun 2005 dana
pendidikan sebesar Rp. 63,32 miliar (24 %) dan dana kesehatan Rp. 70,61 miliar (27 %).
Sektor lainnya yang dibiayai dengan dana 1 persen itu antara lain pengembangan ekonomi
dan pengambangan desa, dukungan adat, dukungan agama, serta manajemen dan kapital
dengan jumlah yang variatif.
Penerimaan dana 1 persen (1996-2005)
Hingga kini, masih ada yang menilai Freeport belum memberi keadilan bagi pemilik
sumber daya alam yang mereka keruk selama ini. Sehingga kasus kasus seperti itu
seakan tak pernah berhenti. Bahkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam surat
keputusannya bernomor 08/MRP/2006 Tentang Keberadaan PT Freeport Indonesia yang
berisi empat poin, salah satunya merekomendasi kepada pemerintah agar Freeport ditutup.
Sebab mereka menilai, kasus Freeport bukan hal baru. Sejak ditandatanganinya MoU
antara pemerintah Indonesia dengan pihak manajemen Freeport di tahun 1967, terhitung
banyak kasus yang terjadi. Dari isu penembakan komunitas lokal oleh aparat keamanan di
lokasi pertambangan itu hingga perusakan ekosistem yang dilakukan perusahaan. Secara
kasat mata, fenomena konflik sekitar Freeport memberikan sebuah gambaran menarik
dicermati. Berbagai konflik yang berkaitan dengan eksistensi Freeport di Kabupaten Mimika
itu, bukanlah merupakan satu fenomena baru. Sebab tak mustahil konflik ini imbas
ketidakberesan penanganan perusahaan MNC selama ini sebagai warisan kebijakan
pemerintah Orde Baru (Orba).
Menurut kelompok kami joint ventur yang telah dijalani oleh PT. FI dengan indonesia
sangatlah merugikan Negara Indonesia khususnya Masyarakat Papua, karena yang meraup
keuntungan terbanyak ialah PT.FI sendiri, jika melihat dari keuntungan pihak asing (PT.FI)
sangatlah banyak dan sumbangan ke APBN hanya Rp 2 Triliun kurang dari 1% keutungan
kotor PT.FI. keuntungan tidak dimiliki oleh pihak modal domestik dalam joint venter ini,
masyarakat tidak mendapatkan dampakpositif dari kerja sama ini yang pada awal perjanjian
ingin mendapat keuntungan yang diantaranya, memanfaatan modal asing, memanfaatkan
manajemen orang asing, peralihan teknologi asing.
Semua perjanjian itu hanya perjanjian di atas kertas saja, ketika melihat kenyataan
yang dialami oleh Masyarakat Papua jauh dari perjanjian itu, bahkan tanah asli papua
dikuasai juga oleh PT.FI yang awalnya dilakukan perjanjian ternyata dilanggar oleh PT.FI,
yang menguasai pasar di luar negeri tetap pihak asing pihak domestik tiak mendapatkan
imbasnya, serta para Masyarakat sekitar oprasi hanya bekerja sebagai pegawai kasarnya
saja yang dalam bekerja taruhannya nyawa, mereka tidak diberikan keterampilan oleh PT.FI
dan Masyarakat sekitar semakin sengsara dengan adanya PT.FI ini karena kekayaan alam
disana sudah tercemar dan tidak bisa dimanfaatkan kembali, selai hal diatas tidak ada
pelayanan dan fasilitas public yang diberikan PT.FI kepada Masyarakat sekitar.
http://yaeldaa.blogspot.co.id/2013/07/pengertian-joint-venture-dan.html(data-diakses-06-12)
https://fumarolla.wordpress.com/2009/11/22/join-venture-di-indonesia/(data-diakses-06-12)
http://hamdaniphd.blogspot.co.id/2015/10/kelebihan-dan-kekurangan-joint-venture.html
http://nihayatulifadhloh.blogspot.co.id/2014/12/perjanjian-joint-venture.html(data-diakses-06-
12) NEHA IEFAZA Kamis, 04 Desember 2014
http://akbarmalawat-pengetahuan.blogspot.co.id/2012/10/joint-venture.html(data-diakses-06-
12)