Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Herpes Zoster


Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varisela-zoster (VZV) yang
menyerang kulit dan mukosa. Herpes zoster merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah
infeksi primer.1,2.

II.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko


Penyebarannya sama seperti varisela. Penyakit ini merupakan reaktivasi dari virus
setelah infeksi primernya dalam bentuk varisela. Terkadang varisela terjadi secara subklinis.1
Sekitar 4% penderita herpes zoster mengalami episode berulang setelahnya. Herpes zoster
yang berulang hampir khas terjadi pada penderita dengan sistem imun yang rendah. Sekitar
25% penderita dengan HIV dan 7-9% penderita yang mendapatkan transplantasi ginjal atau
jantung mengalami episode berulang.2 Walaupun reaktivasi herpes zoster dapat terjadi pada
usia berapapun, namun penyakit ini jarang ditemukan pada usia anak-anak, dan lebih sering
pada usia dewasa, biasanya pada orang tua diatas 60 tahun.2,4
Faktor risiko herpes zoster terdapat pada orang-orang yang mengalami penurunan
sistem imun seperti pada individu dengan HIV, sedang menajalani kemoterapi, mendapat
transplantasi sumsum tulang dengan menggunakan kortikosteroid, penderita kanker dengan
terapi imunosupresif, infeksi primer VSV pada infant dimana respon imun normal masih
rendah, penderita sindrom inflamasi rekonstitusi imun (IRIS), dan penderita leukimia
limpositis akut dan individu dengan keganasan lain.2,3

II.3 Etiologi
VZV merupakan virus dengan DNA berantai ganda berselimut yang termasuk dalam
famili Herpesviridae. Pada manusia, infeksi primer terjadi saat virus kontak dengan mukosa
saluran pernapasan atau konjungtiva. Dari tempat-tempat kontak tersebur virus lalu menyebar
ke seluruh tubuh melalui serat saraf sensoris menuju sel akar ganglia dorsal dimana virus
akan menjadi dorman.2
Reaktivasi VZV yang telah menjadi dorman, sering dalam puluhan tahun setelah
infeksi primer dalam bentuk varisela, menjadi herpes zoster. Penyebab pasti timbulnya
reaktivasi tersebut masih belum diketahui, akan tetapi mungkin penyebabnya adalah salah

1
satu atau kombinasi dari beberpa faktor seperti eksposur eksternal dengan VZV, proses
penyakit akut atau kronis (terutama infeksi dan keganasan), beberapa jenis pengobatan, dan
stres emosional.2
Alasan mengapa hanya satu akar ganglion dorsal saja yang mengalami reaktivasi
virus sementara tidak terjadi reaktivasi pada ganglia lain masih belum jelas. Menurunya
imunitas seluler diperkirakan meningkatkan resiko aktivasi kembali, dimana keadaan tersebut
meningkat sesuai dengan usia.2
Herpes zoster tidak dapat menular dari seseorang yang mengalami ke orang lain.
Namun VZV dapat menular ke orang lain yang belum pernah mengalami varisela atau cacar
air karena jika orang tersebut tertular VSV maka manifestasinya berupa varisela.3 VSV pada
orang yang mengalami herpes zoster berada pada vesikel herpes, dan orang dapat tertular
VSV jika menyentuh atau kontak dengan ruam maupun cairan pada vesikel yang melepuh,
namun pada saat vesikel belum terbentuk atau saat telah mengering menjadi krusta
merupakan saat dimana VSV tidak dapat menular lagi.3

II.4 Patogenesis
Infeksi VZV menyebabkan 2 sindrom yang berbeda. Infeksi primer, varisela, adalah
penyakit demam yang menular biasanya ringan. Setelah infeksi primer selesai, partikel virus
menetap di ganglia saraf perifer dimana virus menjadi dorman untuk beberapa tahun hingga
puluhan tahun. Pada periode tersebut, mekanisme pertahanan tubuh induk menekan replikasi
virus, akan tetapi VZV teraktivasi kembali saat mekanisme pertahanan tubuh induk gagal
menekan replikasi virus. Kegagalan tersebut dapat disebabkan oleh banyak keadaan, mulai
dari stres hingga imunosupresif berat, terkadang juga diikuti dengan trauma langsung.
Virema VZV terjadi saat infeksi primer, namun dapat juga muncul pada fase reaktivasi
dengan jumlah virus yang lebih sedikit.2
Setelah VZV teraktivasi kembali, terjadi respon inflamasi di akar ganglion dorsal
yang dapat diikuti dengan nekrosis hemoragik dari sel saraf menyebabkan kehilangan
neuronal atau fibrosis. Frekuensi efek pada kulit berkorelasi dengan distribusi sentripetal dari
lesi varisela. Pola ini menunjukkan latensi mungkin terjadi akibat penyebaran penularan virus
saat varisela dari kulit yang terinfeksi dari darah saat fase viremik dari varisela, dan frekuensi
dermatom yang terkena efek herpes zoster mungkin merupakan ganglia yang paling sering
terkena stimuli reaktivasi.2

2
II.5 Gejala Klinis
Daerah yang paling sering terkena adalah daerah toraks. Gejala prodromal dapat
berupa gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik seperti demam atau pusing. Gejala
lokal berupa gatal dan nyeri atau neuralgia pada daerah dermatom yang terkena. Nyeri yang
terjadi merupakan salah satu ciri khas dari herpes yang dapat dibedakan menjadi preherpetic
neuralgia dan post herpetic neuralgia karena nyeri dapat menetap setelah penyakit sembul
dapat berlangsung berbulan-bulan hingga menahun.1
Kemudian eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel herpetiformis dengan
dasar eritematus dan edema terbatas pada kulit yang terinervasi saraf sensoris yang terasa
nyeri. Vesikel tersebut berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi
pustul dan krusta. Terkadang vesikel mengandung darah yang disebut sebagai herpes zoster
hemoragik. Dapat pula menimbulkan infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus dengan
penyembuhan berupa sikatrik.1,2
Lesi biasanya unilateral, mengenai 1 dermatom, tetapi walaupun jarang herpes zoster
dapat terjadi pada lebih dari satu dermatom dan mungkin saja bilateral (zoster multiplex).
Frekuensi terjadinya zoster pada lebih dari satu dermatom meningkat pada populasi yang
imunokompromis. Terkadang pasien mengeluh nyeri pada distribusi dermatom tanpa adanya
lesi (zoster sine herpete).2
Lesi pada herpes zoster dimulai dengan makula eritem, kemudian di atas makula
eritem ini timbul vesikel dalam 1-2 hari, terdapat pustul dalam 2 hari, kemudian menjadi
krusta dalam 7-10 hari, krusta biasanya menetap selama 2-3 pekan. Lesi pada herpes zoster
berbentuk khas, yaitu berkelompok/herpetiformis.4

II.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dalam anamnesis
didapatkan keluhan berupa ruam atau vesikel berkelompok yang kemudian pecah disertai
nyeri. Selain itu dapat pula kronologis ruam seperti gejala prodromal yang dirasakan.
Pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami sedikit demam namun bisa berbeda pada tiap
individu, kemudian dapat dilihat pada inspeksi kulit kelainan berupa vesikel bergerombol
diatas kulit eritema yang sebagian dapat mengalami eksoriasi dan tertutup krusta.1,2

II.7 Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis banding dari herpes zoster adalah herpes simpleks dan varisela.

3
II.7.1 Herpes Simpleks
Gejala Efloresensi pada Herpes Zoster sama dengan Efloresensi pada Herpes simpleks
ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang bergerombol, di atas dasar kulit yang kemerahan.
Sebelum timbul vesikel, biasanya didahului oleh rasa gatal atau seperti terbakar yang
terlokalisasi, dan kemerahan pada daerah kulit. Herpes simpleks terdiri atas 2, yaitu tipe 1
dan 2. Namun, yang membedakannya dengan herpes simpleks yaitu Lesi yang disebabkan
herpes simpleks tipe 1 biasanya ditemukan pada bibir, rongga mulut, tenggorokan, dan jari
tangan. Lokalisasi penyakit yang disebabkan oleh herpes simpleks tipe 2 umumnya adalah di
bawah pusat, terutama di sekitar alat genitalia eksterna. Sedangkan Herpes Zoster bisa di
semua tempat, paling sering pada Servikal IV dan Lumbal II.5
II.7.2 Varisela
Gejala klinis berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah
menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini seperti tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah
menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta. Lesi menyebar secara sentrifugal dari badan ke
muka dan ekstremitas.1,5

II.8 Penatalaksanaan
II.8.1 Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan
kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun.
Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar.
Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.2
II.8.2 Pengobatan Khusus
1. Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya
valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir dapat diberikan peroral ataupun intravena.
Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral
yang dianjurkan adalah 5800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui intravena
biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau penderita yang
tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi herpes zoster
adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan 31000 mg/hari selama 7 hari, karena
konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat dipakai.
Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan
3200 mg/hari selama 7 hari.6,7

4
2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus
herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat atau golongan
acetaminofen. Analgetik Dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul.5,6,7
3. Topikal
Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk
mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan
kompres terbuka. Kalo terjadi ulserasi dapat diberikan salep antibiotik.5

II.9 Komplikasi
Penderita yang tidak disertai keadaan penurunan imunitas, biasanya tanpa komplikasi.
Komplikasi yang dapat terjadi ialah adanya vesikel yang berubah menjadi ulkus dengan
jaringan nekrotik.1

Neuralgia pascaherpetik
Nyeri merupakan komplikasi tersering herpes zoster yang membuat pasien menderita.
Pada fase akut, nyeri biasanya berkurang dalam beberapa minggu. Jika nyerinya masih
menetap lebih dari 3 bulan setelah hilangnya ruam zoster, maka diduga pasien mengalami
komplikasi neuralgia pasca herpes (NPH).Nyeri ini dapat berlangsung sampai beberapa
bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehidupan
sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang menderita herpes zoster di atas
usia 40 tahun, ruam yang meluas, dan intensitas nyeri akut yang lebih berat merupakan
indikator meningkatnya risiko terjadinya NPH.8
Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi, di antaranya ptosis
paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan neuritis optik.5,8
Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat penjalaran virus secara
per kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis
biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat
terjadi, misalnya di muka, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria, dan
anus. Umumnya akan sembuh spontan. Infeksi juga dapat menjalar ke organ dalam,
misalnya paru, hepar, dan otak.
Herpes Zoster merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh virus. Diperlukan
imunitas yang baik untuk mempercepat penyembuhan. Adapun obat-obatan yang diberikan,

5
bertujuan untuk mengatasi infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh
virus herpes zoster , mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik. 5

II.10 Prognosis
Lesi umumnya sembuh dalam 10-15 hari. Prognosis pada orang yang lebih muda dan
lebih sehat sangat baik, sementara pada lansia memiliki resiko komplikasi yang lebih tinggi.
Pada orang dengan imunokompeten pada umumnya baik dan sembuh tanpa komplikasi
namun pada orang dengan imunokompromis angka mortalitas dan morbiditasnya signifikan.1,
2

Herpes zoster jarang menimbulkan kematian pada pasien yang imunokompeten,


namun dapat mengancam nyawa pada penderita dengan sistim imun yang sangat rendah.
Herpes zoster pada pasien dengan sistim imun yang rendah dapat menyebabkan kematian
karena ensepalitis, hepatitis, atau pneumoitis. Resiko kematian pada penderita dengan sistim
imun yang sangat rendah berkisar antara 5-15%.2

II.11 Pencegahan
Pada anak dengan imunokompeten yang pernah menderita varisela maka tidak
diperlukan tindakan pencegahan. Pencegahan diberikan kepada mereka yang memiliki resiko
tinggi menderita varisela yang fatal seperti pada neonatus, pubertas, dan dewasa dengan
tujuan mencegah ataupun mengurangi gejala varisela. Biasanya pencegahan diberikan
melalui vaksin.3

6
DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko RP. Penyakit Virus. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi ke 5. Jakarta: Penerbit FK UI, 2007 : 110-112.

2. Janniger CK, dan Eastern JS. Herpes Zoster. [diperbaharui pada 16 Juni 2016; dikutip
pada 24 April 2017]. Dikutip dari: (http://emedicine.medscape.com/article/1132465-
overview).

3. Strauss S, et al. Varicella and Herpes Zoster. Dalam: Wolff K, Goldsmith L, editor.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine; edisi ke 7. New York: McGraw-Hill,
2008 : 1885-1898.

4. Kartowigno S. Sepuluh Besara Kelompok Penyakit Kulit; edisi ke 2. Palembang:


Universitas Sriwijaya. 2012 : 113-119.

5. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit; edisi ke 2. Jakarta: EGC; 2009.

6. Andrews. Diseases of the Skin Clinical Dermatology; edisi ke 9. Philadelphia: WB


Saunders Company. 2000 : 486-491.

7. Wilmana PF. Farmakologi dan Terapi; edisi ke 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 1995 : 617.

8. Mandal BK, dkk. Lecture Notes: Penyakit Infeksi; edisi ke 6. Jakarta: Erlangga Medical
Series. 2008 : 115 119.

Anda mungkin juga menyukai