Anda di halaman 1dari 7

BIRRUL WALIDAIN

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan
kita, Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam. Amma badu,

Kewajiban anak kepada orang tua pada masa hidupnya dan setelah matinya

Saudaraku, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa berbakti kepada orang tua adalah amalan yang
paling utama dan paling dicintai oleh Allah Ta'ala setelah kita beribadah kepada-Nya. Berbakti kepada orang tua
merupakan sebab kita mendapat-kan keridhaan Allah Ta'ala, mendapatkan surga-Nya dan merupakan sifat dan
amalan mulia para Nabi. Dari sini jelas bahwa orang tua memiliki hak agung yang wajib dipenuhi oleh sang anak
sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah dan balas budi kepada keduanya. Berbakti kepada orang tua tidak
hanya sebatas pada saat keduanya masih hidup, melainkan harus terus dilakukan setelah keduanya meninggal.

Berbakti kepada orang tua Pada masa hidupnya

Pertama: Mempergauli Keduanya dengan Baik di Dunia

Orang tua adalah manusia yang paling berhak mendapatkan pergaulan dengan baik. Hal itu tidak hanya terbatas
kepada orang tua yang baik dan taat saja, orang tua yang kafirpun wal iyadzu billah juga berhak mendapat-kan
pergaulan yang baik, karena kekufurannya tersebut kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan ketaat--an seorang
anak kepada orang tuanya merupakan kewajiban tersendiri. Allah berfirman:




( 14)








( 15)

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya selama dua tahun,
bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah tempat kembalimu dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan
tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. QS. Luqman [31]: 14-15

Dan dalam hadits yang shahih diriwayatkan:




j


.
.

.

.
.

Dan Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyalllahu'anhu berkata: Telah datang seseorang kepada Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam dan mengatakan, Aku akan membaiatmu untuk hijrah dan jihad dalam rangka
mengharapkan pahala dari Allah, maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bertanya kepadanya: Apakah
salah satu dari orang tuamu ada yang masih hidup? Orang tersebut menjawab, Ya masih hidup, bahkan
keduanya masih hidup. Rasulullah kemudian bertanya, Apakah kamu menginginkan pahala dari Allah?, maka
laki-laki tadi menjawab, Ya, aku mengharapkan pahala. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, kalau demikian
maka pulanglah kepada kedua orang tuamu dan pergaulilah mereka dengan sebaik-baiknya. (HR. Muslim: 2549)

Perhatikanlah ayat di atas, begitu tinggi kemuliaan orang tua, sampai-sampai orang tua yang kafirpun tetap
diperintahkan agar mempergaulinya dengan baik dan mentaatinya selama tidak memerintahkan kemaksiatan,
apabila kita diperintah untuk berbuat maksiat, maka pada saat itu kita tidak boleh mentaatinya. Dalam hadits
tersebut, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki agar berbakti kepada orang tua,
padahal ketika itu ia hendak pergi dalam rangka berjihad di jalan Allah.

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jihad meskipun memiliki kedudukan yang tinggi dan merupa-kan
dzirwatu sanamil Islam (puncaknya Islam), akan tetapi berbakti kepada orang tua harus kita dahulukan apabila
jihad tersebut hukumnya bukan fardhu ain.
Kedua: Mendakwahi Keduanya

Dengan selalu mendoakan kedua-nya serta antusias dalam menasehati, mengerahkan segala daya dan upaya agar
Allah memberikan hidayah Islam kepada keduanya apabila keduanya masih kafir, dan memberikan hidayah
kepada manhaj yang benar.

Inilah jalan yang telah ditempuh oleh para Nabi dan generasi awal umat ini, mereka bersemangat dan sangat
berharap agar orang tua mereka mendapatkan hidayah dan merasakan manisnya iman sebagaimana yang telah
mereka rasakan. Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencapai harapan dan tujuan yang mulia
tersebut.

Begitu banyak kisah yang dapat kita jadikan teladan di dalam masalah ini. Oleh karenanya, untuk melengkapi
pembahasan kita kali ini, kami suguhkan kepada para pembaca yang budiman dua contoh kisah yang mudah-
mudah-an kita bisa menuai pelajaran darinya.

Kisah pertama, adalah Khalilu ar-Rahman Nabi Ibrahim 'alaihis salaam, beliau sangat antusias menunjukkan
ayahnya, Azar yang kafir dan berusaha mendakwahinya dengan baik, dengan beraneka ragam cara, disertai
hujjah-hujjah naqli (dalil syari) maupun aqli (logika), dengan tarhib (peringatan) dan targhib (janji dan kabar
gembira).

Allah Ta'ala telah memberitakan kepada kita tentang hal tersebut, di antaranya adalah dalam firman-Nya:


( 41)

(42)


(43)

(44)



( 45)
( 46)

( 47)

Ceritakanlah (wahai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur`an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang
yang sangat membenarkan (perkara ghaib yang datang dari Allah) lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata
kepada ayahnya, Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan
juga tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu
penge-tahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutil-ah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan
yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan
yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Tuhan
yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan. Ayahnya berkata, Bencikah kamu kepada tuhan-
tuhanku, wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam. Ibrahim berkata, Semoga
keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia
sangat baik kepadaku dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama. QS. Maryam [19]: 41-47

Dan jika sang anak sudah berusaha secara maksimal untuk mengajak orang tuanya ke jalan yang benar, akan
tetapi orang tuanya tidak mengindahkan dakwahnya justru malah menentang-nya, maka sang anak tidak
tergolong durhaka kepada orang tua, selama cara dan jalan yang ditempuh tersebut benar, bahkan ia tergolong
anak yang cinta kepada orang tuanya, karena mengharapkan orang tuanya mendapatkan nikmat paling agung
yaitu hidayah. Oleh karena itu, hendaknya sang anak tidak putus asa dan berhenti dalam mendakwahi orang
tuanya.

Kisah kedua, adalah sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dimana ibunya yang dahulu masih dalam
kekafiran senantiasa menyakiti serta mengganggu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dengan lisannya,
walaupun demikian Abu Hurairah radhiyallahu'anhu tetap mempergaulinya dengan baik dan beliau sangat
semangat mendakwahinya agar mendapat-kan hidayah.

Marilah sejenak kita menyi-mak apa yang telah dilakukan oleh Abu Hurairah rahiyallahu'anhu, dan bagaimanakah
perjuangan beliau. Beliau menceritakan, Aku dahulu mendakwahi ibuku kepada Islam karena waktu itu dia
masih dalam keadaan musyrik. Pada suatu hari aku mendakwahinya, ternyata kudengar darinya pembicaraan
yang kurang baik tentang Rasulullah, maka aku mendatangi Rasulullah dalam keadaan menangis dan aku katakan
kepada Beliau, wahai Rasulullah, aku telah mendakwahi ibuku agar masuk Islam tapi ia enggan, bahkan berbicara
tentangmu apa yang tidak aku suka, oleh karena itu doakanlah agar Allah memberi petunjuk kepada ibuku.
Kemudian Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berdoa, Ya Allah berikanlah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah.
Setelah mendengar doa tersebut aku pun keluar menuju rumahku dengan penuh kegembiraan, tatkala sampai
rumah ternyata pintu tertutup. Tatkala aku sampai rumah dan ibuku mendengar suara sandalku, beliau
mengatakan, berhentilah di tempatmu, wahai Abu Hurairah. Pada saat itu aku mendengar suara air, beliau
mandi, mengenakan pakaiannya lalu membukakan pintu untukku seraya mengucapkan Wahai Abu Hurairah,
Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh.

Setelah mendengar perkataan ibunya tersebut, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata, Maka aku segera
kembali menemui Rasulullah dalam keadaan menangis karena kebahagiaan yang aku rasakan lalu kukatakan
kepada Rasulullah, Kabar gembira wahai Rasulullah, Allah telah mengabulkan doamu dan Allah telah memberi
petunjuk kepada ibuku, maka Rasulullah pun memuji Allah dan menyanjungNya seraya mengucapkan
kebaikan. (HR. Muslim: 2491)

Lihatlah Sahabat yang mulia ini, bagaimana usaha beliau yang begitu gigih dan tak kenal lelah dalam mendakwahi
ibunya. Beliau menempuh berba-gai cara untuk mencapai tujuan mulianya, dari mulai bersikap, berakhlak, dan
berbicara dengan baik, melalui pendekatan yang baik, sampai pada akhirnya ketika pintu dakwah seakan tertutup
setelah mendengar ucapan yang tidak baik dari ibunya tentang Nabi termulia, Rasulullah shallallahu'alaihi wa
sallam, beliaupun tidak lantas berputus asa, justru beliau mencari cara lain dengan mendatangi Rasulullah agar
diketukkan pintu langit, berdoa kepada Allah Ta'ala karena Dialah tempat kembali, tempat memohon dan
penentu keputusan, ditambah lagi dengan keyakinan Abu Hurairah yang mantap bahwa doa Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam apabila beliau mendoakan kebaikan kepada suatu kaum atau mendoakan kejelekan,
akan dikabulkan. Sehingga cara inipun ditempuh oleh Abu Hurairah radhiyallahu'alaihi wa sallam, yang pada
akhirnya pengharapan beliau terwujud yaitu ibunya tercinta masuk ke dalam agama Islam.

Inilah di antara contoh prak-tik orang-orang mulia dalam me-wujud-kan birrul walidain, maka hendaknya kita bisa
meneladani mereka. Allah Ta'ala berfirman:

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. QS. al-
Anam [6]: 90

Seorang penyair pun telah ber----senandung dalam syairnya,

Menirulah orang-orang mulia walaupun engkau tidak bisa seperti mereka,

Sesungguhnya meniru orang-orang mulia adalah sebuah keberuntungan.

Ketiga: Rendah hati di hadapan kedua orang tua, tidak mengangkat suara di hadapan keduanya
walaupun sekedar ucapan uf atau ah

Allah berfirman:




( 23)



(24

Dan Tuhanmu telah memerintah-kan supaya kamu tidak menyembah selain -Dia dan hendaklah kamu berbuat
baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu aku masih kecil. QS. al-Isra` [17]: 23-
24
Dan inilah Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau apabila masuk ke suatu tempat yang orang tuanya
tinggal di dalamnya, maka beliau mengucapkan kepada ibunya, Alaikissalamu warahmatullahi wabarakatuh,
wahai ibuku. Ibunya pun menjawab: Waalaikassalam warahmatullahi wabarakatuh. Abu Hurairah
mengatakan: mudah-mudahan Allah merahmatimu, sebagaimana engkau telah mendidikku sewaktu aku masih
kecil, dan ibunya pun menjawab, wahai anakku mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu
serta meridhaimu karena engkau telah berbakti kepadaku di masa tuaku. (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul
Mufrad: 14 dengan sanad yang hasan)

Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana bakti sahabat Abu Hurairah ini dan bagaimana beliau mengungkapkan rasa
syukurnya serta menunjukkan penghormatannya kepada ibunya? Di sisi lain, engkau juga akan mendapati betapa
sang ibu merasakan bakti anaknya sehingga dia sangat menyayangi sang anak. Allahu akbar! Inilah hakikat
kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu tatkala sang anak dan orang tua merasakan kebaikan, maka orang tua
akan mendapatkan haknya, begitu pula anaknya juga akan mendapatkan haknya.

Berbakti kepada orang tua setelah meninggalnya

Ketika orang tua telah meninggal dunia, maka tidak ada yang diharapkan dari yang hidup kecuali apa-apa yang
bisa memberikan manfaat kepada akhirat-nya, berupa pahala dan yang dapat menyelamatkannya dari siksa.

Di antara yang dapat memberikan manfaat kepada orang tua setelah meninggalnya yang dapat dilakukan oleh
sang anak dalam mewujudkan baktinya, adalah:

1. Amalan shalih yang dilakukan anaknya

Seorang anak hendaknya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah, karena setiap amal
shalih yang dikerjakan sang anak pahalanya akan sampai kepada kedua orang tua yang beriman walaupun ia tidak
mengatakan, amal ini aku hadiahkan untuk ibu atau ayahku, ataupun ucapan yang semisal, karena anak
meru-pakan bagian dari usaha orang tuanya, dan hal itu sama sekali tidak mengurangi pahala sang anak.
Sebagaimana yang Allah firmankan:

Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. QS. an-Najm
[53]: 39

Dan anak merupakan bagian dari usaha orang tuanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:

Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian
adalah termasuk bagian dari usaha kalian. )HR. at-Tirmidzi: 1358, Ibnu Majah: 2290 dan Ahmad: 6/162 (lihat
Shahih Ibnu Majah: 1854))

Dan apabila seorang anak menjalankan ketaatan, seperti shalat, puasa, dan amalan ketaatan lainnya, maka tidak
perlu sembari mengatakan, aku berikan pahala ibadah ini untuk kedua orang tuaku, karena pahala ibadah
tersebut akan sampai kepada orang tua, justru pengucapan tersebut tidak ada dasarnya dari Hadits Nabi
shallallahu'alaihi wa sallam maupun praktik para Sahabat.

2. Doa anak yang shalih kepada kedua orang tua dan memintakan ampunan atas dosa-dosanya

Allah berfirman:

Dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku
waktu kecil. QS. al-Isra` [17]: 24
Dan Rasulullah shallallahu'alaihi was sallam bersabda:

Apabila manusia meninggal dunia, maka terputus amalannya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya. (HR. Muslim: 1631)

3. Termasuk berbuat baik kepada orang tua setelah meninggalnya adalah dengan cara memuliakan
teman-temannya, sanak kerabat dan saudara-saudaranya

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

Kebaikan yang terbaik adalah jika seseorang menyambung orang yang disenangi bapaknya. (HR. Muslim: 2552)
Dalam hadits yang lain dari Abu Burdah radhiyallahu'anhu, beliau mengatakan: Aku datang ke kota Madinah lalu
datanglah kepadaku Abdullah Ibnu Umar seraya berkata: Taukah kamu kenapa aku datang kepadamu?, maka
aku menjawab: Aku tidak tahu. Maka beliau Ibnu Umar mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu'alahi wa sallam bersabda:

Barangsiapa ingin menyambung orang tuanya setelah meninggalnya, hendaklah ia menyambung teman-teman
(saudara) orang tuanya setelahnya dan sesungguhnya antara ayahku (Umar) dan ayahmu memiliki tali
persahabatan dan saling mencintai, maka aku ingin menyambung hal itu (setelah matinya, pent). (HR. Ibnu
Hibban: 2/175, termaktub dalam Shahih al-Jami: 5960)

Sungguh para Sahabat sangat memahami hal tersebut dan mereka sangat memperhatikannya. Sebagai penguat
hadits dan contoh di atas adalah apa yang dilakukan oleh Sahabat Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma juga,
bahwasanya beliau memiliki seekor keledai yang biasa beliau tunggangi dan imamah yang biasa untuk mengikat
kepalanya. Tatkala beliau berada di atas keledai-nya, tiba-tiba lewatlah seorang Arab badui, beliau-pun berkata
kepadanya, bukankah anda fulan anaknya fulan? Maka si badui pun berkata: benar, kemudian beliau
memberikan keledainya kepada badui tersebut sambil mengatakan: naikilah keledai ini dan pakailah imamah ini
untuk mengikat kepalamu. Mendengar hal tersebut, berkatalah sebagian sahabatnya, Mudah-mudahan Allah
mengampuni dosamu, kamu memberikan keledai yang senantiasa kamu tunggangi dan imamah yang senantiasa
kamu pakai untuk mengikat kepalamu, maka Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma mengatakan, aku
mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

Termasuk kebaikan yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan keluarga orang yang
dicintai orang tuanya setelah meninggalnya. (HR. Muslim: 2552)

Dan dahulu bapak orang badui tersebut adalah teman baik Umar.

4. Termasuk berbakti kepada orang tua setelah meninggalnya adalah dengan bersedekah berupa
ilmu, membangun masjid, menggali sumur, memberi mushaf, dll dari amal jariyah yang akan sampai
pahalanya kepada orang tuanya

Aisyah radhiyallahu'anha meriwayatkan, bahwasanya seseorang pernah berkata kepada Nabi shallallahu'alaihi
wa sallam, Sesungguhnya ibuku meninggal secara tiba-tiba dan tidak sempat berwasiat, dan aku mengira jika dia
bisa berbicara maka dia akan bersedekah, apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya dan apakah aku
juga akan mendapatkan pahala?, maka Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, Ya. Kemudian orang tadi
mengatakan, Aku bersaksi bahwa kebun yang berbuah ini aku sedekahkan atas namanya. (HR. al-Bukhari: 2605
dan Muslim: 1004)
Dan dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa ada seseorang yang
mengatakan kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, Sesungguhnya orang tuaku meninggal dan telah
meninggalkan harta dan tidak mewasiatkan apa-apa, apabila aku bersedekah dengan meniatkan untuk orang
tuaku, apakah hal itu akan menghapus dosanya?, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menjawab, Ya. (HR. al-
Bukhari: 2605)

Tentang hadits shahih ini, kita tetapkan apa adanya, akan tetapi walaupun sang anak tidak meniatkan pahala
untuk orang tuanya pun secara langsung pahala tersebut akan sampai, karena anak merupakan bagian dari usaha
orang tua, sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.

5. Menunaikan wasiatnya jika tidak melanggar syari, membayarkan hutangnya baik harta maupun
puasa nadzar

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa yang meninggal dan masih menanggung hutang puasa, maka walinya yang menunaikannya. (HR.
Bukhari, Muslim, dll)

Nasehat dan kabar gembira BAGI orang-orang yang berbakti kepada orang tua

Wahai para anak berbaktilah engkau kepada orang tua kalian, sesungguhnya doa mereka sangat mustajab
(terkabulkan), sebagaimana Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

Ada tiga doa yang tidak diragukan lagi akan pengabulannya, yaitu doanya orang terdhalimi, doanya orang
musafir, dan doanya orang tua kepada anaknya. (HR. Ibnu Majah: 3862, dan tercantum dalam Shahih al-Jami:
3033)

Maka kabar gembira untukmu wahai anak yang berbakti lagi berbuat baik kepada orang tuanya, apabila setiap
hari engkau keluar rumah, sedangkan ayah dan ibumu mendoakan kebaikan kepadamu. Dan sebalik-nya, kabar
kehinaan bagimu manakala engkau keluar rumah, sedangkan kedua orang tua mendoakanmu dengan kejelekan
dan laknat.

Kabar gembira bagi orang tua yang memiliki anak YANG shAlih

1. Amalannya akan terus bertambah dan mengalir sampai hari kiamat,

sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam :

2. Akan dinaikkan derajatnya di surga, disebabkan sang anak memintakan ampunan kepada Allah Ta'ala untuknya,

sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:

Sungguh seseorang akan diangkat der ajat-nya di surga, dia mengatakan: dari mana ini? Kemudin dikata-kan
kepadanya, ini adalah disebabkan istighfar anakmu yang shalih. (HR. Ibnu Majah: 3638 dll, lihat Shahih al-
Jami:1618)

3. Akan berkumpul di akhirat bersama anak cucu yang beriman, sebagaimana firman Allah :






Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (ditinggikan derajatnya sebagaai derajat bapak-bapak mereka dan
dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit-pun dari pahala amal
mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. QS. ath-Thuur [52]:21

Mudah-mudahan Allah Ta'ala menjaga kita dan kedua orang tua kita dari segala malapetaka dunia dan akhirat
serta menjadikan kita termasuk orang yang berbakti kepada kedua orang tua dan yang memberikan haknya di
masa hidupnya dan juga setelah meninggalnya. Amiin ya Rabbal alamiin.

pembahasan Birrul Walidain,

Anda mungkin juga menyukai