Anda di halaman 1dari 16

Penyakit Morbus Hansen Yang Disebabkan Oleh Mycobacterium leprae

Frischa Wibowo
102012512
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6
Frischa.wibowo@ukrida.civitas.ac.id

Pendahuluan

Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa adalalh 1,5m2 dengan berat kira-kira 15%
berat badan orang tersebut. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan
cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit sangatlah kompleks, elastis, bervariasi pada keadaan
iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh. Oleh sebab itu, segala bentuk
kelainan pada kulit berpengaruh besar bagi kesehatan seseorang secara keseluruhan.1
Dengan demikian, makalah ini dibuat untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian
yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus yang diberikan, yaitu kasus penyakit morbus
Hansen atau dikenal dengan lepra.

Skenario
Laki-laki usia 40tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putih pada lengan kiri
sejak 1 bulan. Tidak ada rasa gatal.

Langkah 1
Identifikasi Istilah yang Tidak Diketahui
Tidak ada.

Langkah 2
Rumusan Masalah

1
Seorang laki-laki (40th) dengan keluhan bercak putih pada lengan kiri sejak 1 bulan dan tidak
gatal.

Langkah 3
Analisis Masalah
MIND MAP

Prognosis Anam Pemeri Diagnosis


nesis ksaan (WD & DD)

Pencegahan Laki-laki (40th) terdapat bercak Patofisiologis


putih di lengan kiri, tidak gatal.

Terapi Gejala Epidemi Etiologi


klinis& ologi
komplikasi

Anamnesis
1. Identitas.2,3
- Nama
- Umur atau usia
- Jenis kelamin
- Nama orangtua
- Alamat
- Umur/pendidikan/pekerjaan orangtua
- Agama dan suku bangsa
2. Riwayat penyakit sekarang.2,3
- Keluhan utama
Keluhan/ gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat dan tidak harus sejalan
dengan diagnosis utama.
3. Riwayat perjalanan penyakit
Cerita kronologis, rinci, jelas tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan sampai
dibawa berobat. Apakah sudah pernah berobat sebelumnya, dan apakah membaik.
4. Riwayat penyakit dahulu.2,3
Apakah dulu pernah mengalami penyakit yang sama, atau adakah penyakit lain seperti
DM, dsb.
5. Riwayat penyakit keluarga.
Adakah keluarga keluarga yang menderita penyakit kulit serupa

2
6. Riwayat social dan kebiasaan.2,3

Pemeriksaan Fisik
Dimulai dengan pemeriksaan status generalis. Dilanjutkan dengan inspeksi dan
pemeriksaan pada lesi. Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit
juga harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan
menggunakan alat alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung
reaksi masing masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk
melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan
sebagainya.2,3
Kemudian, ada pemeriksaan saraf tepi dan tes fungsi saraf. Untuk saraf perifer, perlu
diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa
yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis,
N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan
kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan
yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak. Pada tipe lepromatous biasanya kelainan
sarafnya bilateral dan menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat
lesinya. Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan saraf
mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak. 2,3

Sementara itu, tes fungsi saraf terdiri atas tes sensoris, tes otonom dan tes motoris.
1. Tes sensoris = Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan
rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus
duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan
bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus
menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan
mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau
perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit
sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa
pada bagian tengahnya. 2,3
Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang
tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan
tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul. 2,3
Rasa suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas
(sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien
ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut
ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada
kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu,
maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu. 2,3
2. Tes otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.

3
Tes dengan pensil tinta
Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus
sampai ke daerah kulit normal. 2,3
Tes pilokarpin
Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin
subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat,
sedangkan daerah lesi tetap kering. 2,3
3. Tes motoris
Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan
jari kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas
diantara jari kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas
tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk
mengetahui ketahanan ototnya. 2,3
Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien
mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke
atas dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau
dorong ibu jari pada bagian telapaknya. 2,3
Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna
pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan
gerakan tersebut. 2,3
Periksa fungsi saraf peroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan
fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke
lateral, lalu nilai kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.
2,3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang terdiri atas pemeriksaan bakterioskopik, pemeriksaan
histopatologik, pemeriksaan serologik, dan pemeriksaan lepromin.
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang
paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping
telinga didapati banyak Mycobacterium leprae.1,4,5
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow
dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow
adalah histiosit yang dijadikan Mycobacterium leprae sebagai tempat berkembangbiak dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1,4,5

4
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan
alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh Mycobacterium leprae, yaitu antibody anti phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibody antiprotein 16kD serta 35kD. Pemeriksaan serologik adalah
MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick. 1,4,5
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk
diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap Mycobacterium
leprae.

Diagnosis Kerja (Working Diagnosis)


Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang
hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan
tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka
akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau
meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa
raba, rasa suhu, dan rasa nyeri. 1,4,5
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi
saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terpiganggu. 1,4,5
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian
yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf. 1,4,5
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka
kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan. 1,4,5

Diagnosis Banding (Differential Diagnosis)


Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel
melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula
putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun,
hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia. Gejala
klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering
terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata,
mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral
atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna,
puting susu, bibir dan ginggiva. 1,4,5
Ptiriasis versikolor, disebabkan oleh Malazessia furfur. Faktor predisposisi ada dua yaitu
faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun
penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.

5
Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh
Malazessia furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan
mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin. Gejala klinis Ptiriasis versikolor,
kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna warni, bentuk tidak teratur sampai
teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan
berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara
mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball). 1,4,5
Ptiriasis alba, bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya.
Diduga karena infeksi Streptococcus, tapi belum dapat dibuktikan. Ditandai dengan
adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta meninggalkan
area yang depigmentasi.
Pitiriasis rosea ialah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, dimulai dengan
sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi
yang lebih kecil di badang, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan
kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu. Gejala konstitusi umumnya
tidak terdapat, sebagian penderita mengeluh gatal ringan.

Etiologi
Mycobacterium leprae merupakan bakteria yang telah diketahui menyebabkan penyakit
lepra. Mycobacterium leprae merupakan bakteri aerob obligat, tahan asam, tidak dapat
dimasukkan sebagai gram positif ataupun negatif, dan tumbuh intraselular. Untuk melihatnya
dalam preparat, dibutuhkan pewarnaan Ziehl-Neelsen yang khusus untuk bakteri tahan asam.
Genom Mycobacterium leprae diketahui lebih pendek daripada genom Mycobacterium
tuberculosis. Dari keseluruhan genon yang Mycobacterium leprae miliki, yang berfungsi hanya
setengahnya sehingga enzim pernafasan yang dihasilkan hanya sedikit. Oleh sebab itulah bakteri
ini tidak dapat hidup diluar sel, karena tidak bisa mencukupi kebutuhannya sendiri sebagai
bakteri aerob obligat jika berdiri sendiri.4-7
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk
pecah pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan bentuk clumps.
Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya
biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian
atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan
seperti titik titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana
beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok
kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 60 BTA sedangkan kelompok
besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa
bentuk granular membentuk pulau pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA. 4-7

Epidemiologi
Pada masa kini, lepra atau morbus Hansen merupakan penyakit yang biasa dijumpai di
negara berkembang , endemik di seluruh benua, kecuali daerah antartika. Di Amerika, hanya
Kanada dan Chile yang bukan merupakan daerah endemik, sedangkan fokus endemiknya sendiri
ada pada Texas dan Lousiana. Insidens lepra juga amat sangat kecil di benua Eropa, akan tetapi
merupakan penyakit endemis di berbagai pulau Pasifik. Dan dua pertiga insidens lepra terjadi di
India. Indonesia sendiri menempati posisi ketiga dalam jumlah insidens lepra.4

6
Hasil penelitian dari populasi yang dipantau, penyakit lebra lebih banyak menyerang pria
daripada wanita, dengan rasio 2:1. Jika lepra tersebut mewabah, maka bentuk lepra yang
mendominasi adalah bentuk tuberkuloid. Sedangkan jika lepra bukan merupakan wabah, maka
bentuk yang mendominasi adalah bentuk lepromatoid. Lepra sering disebut sebagai penyakit
pedesaan, namun insidensnya juga ditemukan di perkotaan. Penderita lepra tipe tuberkuloid lebih
sedikit daripada penderita lepra lepromatosa, akan tetapi insidens kedua penyakit ini tinggi pada
orang-orang muda, kurang dari 35 tahun. Akan tetapi, usia tua tidak melindungi seseorang dari
penyakit ini. Masa inkubasi untuk lepra tuberkuloid adalah lebih dari 5 tahun dan untuk lepra
lepromatosa, bisa lebih dari 20 tahun.4

Patogenesis
Masuknya Mycobacterium leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama
adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh
molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan
ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel
T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To
menjadi Th1.5,8
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag (
fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari Mycobacterium lepra akan berikatan dengan C3
melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel
B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I
akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal
hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka
sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag
akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan
membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid
ini akan membentuk granuloma. 5,8
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4
dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan
IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast. 5,8
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1. 5,8
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum sum tulang dan
melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling
efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat tempat mikroba dan antigen asing masuk
tubuh serta organ organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk
bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya
peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator
CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan
yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu
satunya yang diekspresikan oleh DC matang). Mycobacterium leprae mengaktivasi DC melalui

7
TLR 2 TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda
lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap lepra. 5,8
Mycobacterium leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin
2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan
MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana
Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya
fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan
merangsang dia bekerja terus menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak
lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan
saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.
Sel schwann merupakan APC non professional.4,5,8
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap
sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari
kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi
lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity
Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. Mycobacterium leprae akan
berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang
cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi
pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada
respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (
penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi.1,4,5,8
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III.
Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada
pasien LL. Mycobacterium leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun
dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan
merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel. 1,4,5,8
Penelitian telah memberi bukti yang cukup meyakinkan mengenai pengaruh faktor genetik
dan lingkungan yang memperngaruhi kemungkinan seseorang terjangkit penyakit lepra. Sebuah
daerah pada kromosom 10p 13, termasuk didalamnya lokus PARK 2 dan PACRG yang berperan
dalam ekspresi penyakit Parkinson, ternyata juga merupakan faktor resiko yang memudahkan
seseorang terjangkit penyakit lepra. 4

Gejala Klinis
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat berupa
bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit kering
akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat (achromia, anestesia, atrofi, alopesia, anhidrosis).
Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata,
dan testis.1,4
Ridley menciptakan 6 pembagian dalam penyakit lepra. Dimulai dari yang resistensi tinggi
sampai resistensi rendah yaitu TT (polar tuberculoid), BT (borderline tuberculoid), BB
(borderline), BL ( borderline lepromatous), LLs (subpolar lepromatous), dan LLp (polar
lepromatouse). 1,4

8
Polar Tuberculoid Leprosy (TT)
Pada TT, imunitas terhadap lepra termasuk kuat, sesuai
dengan manifestasinya berupa penyembuhan spontan dan
sedikitnya kerusakan postur pada host. Lesi primer pada TT
adalah adanya plaque, terkadang dengan bentuk anular dengan
bagian tengah terhiperpigmentasi atau tampak bersih. Batas dari
plaque tampak jelas dan tegas. Khasnya, lesi mengalami
indurasi, elevasi, eritem, bersisik, kering, Karakteristik lesi itu
sendiri adalah hypestetic dan anhidrotik, dengan diameter yang
bisa mencapai 10 cm. biasanya lesi yang muncul hanya satu,
terutama pada pasien TT de novo, berbeda dengan TT yang naik tingkat menjadi BT yang
biasanya memiliki lesi lebih dari 1. Pada spektrum ini, imunitas yang kuat akan cukup untuk
menyembuhan penderita, namun terapi antibiotik tetap direkomendasikan. 1,4
Secara histologis, pada lesi de novo ditemukan tuberkel kecil dengan selubung limfositik
yang besar. Lesi yang mengalami peningkatan spektrum biasanya memiliki banyak sel Langhans
dan eksositosis menuju epidermis. 1,4

Borderline Tuberculoid Leprosy (BT)


Dalam BT, kekuatan imunitas pasien cukup untuk mempertahankan diri dari serangan
bakteri dan membatasi pertumbuhan bakteri tersebut, namun tidak cukup untuk menyembuhkan
dirinya sendiri. Pasien dengan BT biasanya tidak stabil, imunitas bisa menguat sehingga tipe
lepranya membaik menjadi TT atau bisa juga memburuk dan tipe lepranya menjadi BL. 1,4
Lesi primer untuk lepra tipe BT ini adalah plaque dan papul. Seperti pada TT, konfigurasi
anular umum ditemukan, dan sama-sama berbatas tegas serta jelas, tetapi
pada BT terdapat papul satelit di sekitar kongurasi anular tersebut. Pada
pasien dengan kulit gelap, biasanya hipopigmentasi tampak jelas. Berbeda
dengan TT, lesi pada BT hanya memiliki sedikit sisik atau bahkan tidak
ada sama sekali, eritem, indurasi, dan elevasi yang lebih ringan daripada
TT, namun diameter lesi bisa lebih besar dari lesi TT. Lesi BT bisa
mencakup seluruh ekstremitas sekaligus. Meskipun lebih banyak
ditemukan lesi yang multipel, tidak jarang ditemukan lesi soliter pada BT.
Hilangnya sensasi pada kulit, kelumpuhan, pembengkakan saraf biasanya
asimetris dan melibatkan tidak lebih dari dua saraf. Abses saraf biasanya
terjadi pada pasien pria. 1,4
Secara histologis, mantel limfositik tidak terbentuk sebesar pada TT, sel Langhans juga
lebih jarang atau bahkan tidak ada sama sekali. 1,4

Borderline Leprosy (BB)


BB adalah titik tengah dalam spektrum yang dibuat Ridley. Tipe ini adalah tipe yang paling
tidak stabil, pasien bisa mengalami perbaikan dan berubah menjadi tipe BT atau mengalami
penurunan dan menjadi tipe BL tanpa mengalami gejala klinis yang signifikan. Karakteristik
perubahan kulit adalah lesi anular dengan batas interior dan eksterior yang tegas, plaque besar
dengan pulau-pulau kulit normal, membentuk gambaran Swiss Cheese Appearance, atau lesi
dimorfik yang klasik. Karena tidak stabil, bentuk BB hanya ada dalam waktu singkat dan jarang
ditemukan pasien dengan lepra tipe ini. 1,4

9
Borderline Lepromatous Leprosy (BL)
Pada BL, imunitas pasien tidak kuat untuk mencegah proliferasi
bakteri, namun masih bisa untuk mengurangi kerusakan jaringan, terutama
jaringan saraf. BL merupakan tipe dengan gejala klinis yang sangat
variatif. Walaupun hanya ditemukan pada dua per tiga pasien BL, lesi
dimorfik klasik merupakan karakteristik yang paling umum, dengan
konfigurasi anular yang memiliki batas eksterior tidak jelas (seperti tipe
lepromatosa) dan batas interior yang tegas (seperti tuberkuloid). Plaque
dengan batas yang jelas atau tidak jelas, dengan punched out atau swiss
cheese- appearance dengan batas tegas di interior plaque juga merupakan
karakteristik BL. Lesi anular dengan batas tegas baik interior atau eksterior sangat tidak biasa.
Jika muncul juga lepromatous-like, papul yang tidak tegas, namun pasti diikuti dengan lesi
berbatas tegas di tempat lain.4
Rentang jumlah lesi bisa soliter, multipel, dan meluas. Secara umum, jika lesinya adalah
lesi anular dan plaque, meskipun banyak, biasanya asimetris. Namun jika lesinya adalah
lepromatous-like, jika banyak, biasanya simetris. Kelumpuhan saraf banyak dijumpai pada tipe
BL, mulai dari BL dengan defisit rendah sampai tinggi, baik motorik ataupun sensorik di
keempat ekstremitas. Keikutsertaan nervus ulnaris dan medianus yang terkadang simetris, juga
merupakan karakteristik BL. 1,4
Secara histologis, terdapat infiltrat limfositik yang pekat, dikelilingi banyak makrofag.
Respon klasik lainnya adalah laminasi perineurium dengan infiltrat limfositik. Pada tipe ini,
bakteri tahan asam dapat mudah ditemukan. 1,4

Lepromatous Leprosy (LL)


Pada LL, lemahnya sistim imun terhadap Mycobacterium lepra mengakibatkan mudahnya
proliferasi bakteri dan sirkulasi bakteri ke seluruh organ. Infiltrasi dermal difus selalu muncul
sebagai gejala preklinik nya. Non noduler LL yang difus juga banyak dimanifestasikan sebagai
pembesaran cuping telinga dan pembengkakan fusiformis pada jari-jari, yang nantinya akan
menyerupai penyakit rematik. Lesi yang paling umum adalah nodul
dengan batas yang tidak tegas dan jelas, diameter lebih dari 2 cm, dan
tersebar simetris. Kulit mungkin akan terlipat, membentuk tampilan
fascia leonina, kadang berhubungan dengan lesi nodulernya. Lesi
histoid, biasanya multipel, dengan batas sangat tegas, papul atau
nodul yang eritem, kadang bersatu menjadi plaque. Bentuk lesi yang
lebih jarang adalah lesi eritem dengan indurasi, kadang diikuti dengan
makula yang hipopigmentasi. 1,4
Alopecia pada alis adalah gejala umum, akan muncul cepat atau
lambat. Kulit kepala jarang terlibat, karena suhu yang lebih tinggi.
Deformitas sering terjadi. 1,4

Secara histologis, ada kesamaan dalam LLs dan LLp yaitu:


1. Lesi noduler memiliki makrofag dan sejumlah limfosit.
2. Mudah ditemukan bakteri tahan asam pada sel endotelial dan sel Schwann.
3. Sel plasma dan sel mast meningkat tidak konstan.
4. Giant-cells asing mungkin ditemukan dalam lesi tua. Pada LLs biasa ditemukan laminasi
pada perineureum sedangkan pada LLp perineureum tidak terusik.

10
Intermediate Leprosy
Merupakan lesi mula-mula, muncul sebelum host menciptakan reaksi imunologis untuk
menyembuhkan diri ataupun mempertahankan dirinya. Secara klinis, lesi yang tidak jelas ini
merupakan lesi dengan makula hipopigmentasi, baik dengan atau tanpa defisit sensoris. Dan jika
bakteri tahan asam berhasil ditemukan, jumlahnya hanya sedikit. Bukan termasuk penggolongan
Ridley, tetapi diterima luas oleh para ahli sebagai salah satu tipe kusta. 1,4
Pada lepra, terdapa lima tipe abnormalitas yang umum yaitu:
1. Pembengkakan saraf, terutama yang berada dekat kulit.
2. Hilangnya kemampuan sensoris pada lesi
3. Kelumpuhan saraf, baik disertai pembengkakan ataupun tidak, kadang disertai
kelumpuhan sensoris dan motoris, dan jika sudah kronis, disertai kontraktur.
4. Pola stocking-glove of sensory impairment, diawali dengan sensasi panas dan dingin
sampai akhirnya kehilanagn indra peraba, dimulai dari area akral ke arah tengah tubuh.
5. Anhidrosis pada telapak tangan dan kaki, menunjukkan tidak adanya kerja saraf simpatik.
Insensitivitas pada kornea merupakan bentuk wajar dari lepra. Pada BL dan LL, sejumlah
gangguan pada kornea dan ruang anterior sering terjadi, dan iritis adalah yang paling umum.
Pada LL juga sering ditemukan bentuk manik-manik pada saraf kornea, dapat menjadi tanda
yang mendukung diagnostik. 1,4
Pada semua pasien LL dan BL dengan infeksi yang menyebar, gejala yang ekstensif dapat
ditemukan. Pada saluran nafas atas, seringkali terjadi rhinitis, perforasi septik, hidung tersumbat,
dan pengerasan pita suara. Pada pria seringkali dijumpai keluhan impotensi dan infertilitas,
terutama pada tipe LL dan BL. 1,4
Pada wanita hamil, sering terjadi perubahan pada imunitasnya. Pada masa kehamilan, pasien
LL dan BL biasanya membentuk Eritema Nodusum Leprosum, namun setelah melahirkan,
mereka mengalami delayed-type hypersensitivity , yang bertujuan untuk mengurangi imunitas
sebelumnya dan mengembalikan imunitas tersebut belakangan. Akibatnya, pasien BL dan LL
yang menyusui memiliki Mycobacterium lepra yang aktif dalam susunya, namun tidak ada risiko
yang terdeteksi bagi bayi yang mengonsumsinya. Justru jika sang ibu diberi dapson, dapat
mengakibatkasn hemolisis pada bayinya. 1,4
Pasien multibasiler yang tidak menyelesaikan pengobatan ataupun yang menjadi resisten
dengan obat tersebut biasanya akan mengalami relaps dengan sejumlah manifestasi yaitu yang
serupa dengan gejala pertama kali mereka terjangkit lepra, terbentuk lesi histoid, ataupun
menjadi lebih imun daripada kondisi sebelumnya. Lesi histioid, merupakan variasi lesi pada tipe
lepromatous yang ditandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk
nodus yang berbatas tidak tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. 1,4
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu primer
dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai
reaksi terhadap Mycobacterium leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu
kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder
terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi
terutama karena kerusakan saraf.1,4
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung jari
bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,

11
telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis
lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari jari atau pergelangan tangan. Pada N.
Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung
(foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki,
claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah
cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta
servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada
N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.1,4
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada
alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh
rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian
bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan. 1,4
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit,
dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous dapat
timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus seminiferus testis. 1,4
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu tinggi,
gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular skin lesion
dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. 1,4
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ tubuh.
Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. 1,4
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan nyeri.
Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri.
Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis
epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil
Mycobacterium leprae di endotel kapiler. 1,4
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan
meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu tetapi
bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia. 1,4

Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.1,4,7,10
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-
aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.
Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit
kepala, dan vertigo. 1,4,7,10
Lamprene atau klofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.
Klofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA+/K+ ATPase. Efek
sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman (warna kulit akan
kembali normal bila obat tersebut dihentikan), diare, nyeri lambung. 1,10

12
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit
beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik. 1,4,7,10
Prednison, untuk penanganan reaksi lepra. Sulfas Ferrosus untuk penderita lepra dengan
anemia berat. VitaminA, untuk penderita lepra dengan kekeringan kulit dan bersisik (ichtyosis).
Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita lepra tipe PB I. 1,4,7,10
Regimen pengobatan lepra disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI. Untuk itu klasifikasi lepra disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB) = BI negatif
2. Multi Basiler (MB) = BI positif
Dengan memakai regimen pengobatan MDT = multi drug treatment. Kegunaan MDT untuk
mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita
dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. 1,4,7,10
PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian
obat sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas.
Anak-anak dan ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas
diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf
diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5). 1,4,7,10
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg


(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum
obat. 1,4,7,10
Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di


Diminum di depan rumah
petugas kesehatan

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di


(10-14 th) Diminum di depan rumah
petugas kesehatan

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan.
Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu
berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe PB
selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun. 1,4,7,10

13
Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari diminum 300 mg/bulan


diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum 150 mg/bulan


(10-14 th) diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah

Pengobatan reaksi lepra. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat
timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot , claw toes ,
dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan Prinsip
pengobatan Reaksi Lepra yaitu immobilisasi/istirahat, pemberian analgesik dan sedatif,
pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. 1,4,7,10
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat
penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan MDT (obat
lepra) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. 1,4,7,10
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative,
MDT (obat lepra) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan
pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison. Obat-obat anti reaksi, aspirin dengan
dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari,
Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling
dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide
juga jarang dipakai,terutama pada wanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan
sampai mencapai 50 mg/hari. 1,4,7,10
Pemberian kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan prednison
atau prednisolon. Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga
diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon
maksimal. 1,4,7,10
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert committe
pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:

Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin


Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau
resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:

14
Lama Jenis Obat Dosis
Pengobatan
6 Bulan Klofazimin 50 mg/hari
Ofloksasin 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg.hari
Diikuti dengan 18 Klofazimin 50 mg/hari
bulan dengan Ofloksasin 400 mg/hari
atau Minosiklin 100 mg/hari
Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy menyatakan
klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di atas.
1,4,7,10

Penderita yang menolak kofazimin


Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu klofazimin
pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin
100 mg/hari selama 12 bulan. 1,4,7,10
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga regimen
MDT-MB alternatif selama 24 bulan:
Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,
Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan
Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan
Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun MB,
obat ini harus dihentikan. 1,4,7,10
Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:

Rifampisin Klofazimin
Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan
Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan

Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik
sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering
terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus
difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus
dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada
penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.

Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan
tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf
serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan
sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi
kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau

15
panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa sehari-hari. Hal ini dimulai
dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka , atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam,
disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.

Prognosis
Pada lepra yang tidak di terapi, pasien-pasien yang dapat sembuh total hanyalah pasien
dengan lepra tipe TT atau pasien BT yang membaik tipenya menjadi TT. Selain itu, penyakit
akan menjadi progresif dan kerusakan saraf serta bagian lain dari tubuh tidak terhindarkan.
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, tetapi tidak menghentikan kerusakan saraf.
Pengobatan dengan kortikosteroid dapat membantu mengurangi perluasan kerusakan saraf. Yang
paling sulit adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan
kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis,
oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary
amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.

Kesimpulan
Lepra atau morbus Hanses merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae. Bakteri tersebut terutama menyerang sistim saraf perifer sehingga dapat mengakibatkan
paralisis saraf yang diserangnya. Manifestasi pada kulit salah satunya merupakan hasil dari
inflamasi yang disebabkan oleh reaksi imun tubuh. Diagnosis diperoleh melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang yang teliti. Jika tidak mendapatkan terapi yang adekuat, maka
dapat terjadi komplikasi seperti kebutaan sampai deformitas.

Daftar Pustaka
1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor.Ilmu penyakit kulit dan kelamin.Edisi 6. Jakarta:
Badan penerbit FKUI;2010. Hal. 73-88.
2. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Airlangga; 2005. Hal. 118-25.
3. Swartz MH. Textbook of physical diagnosis. Edisi 5. USA: Saunders-Elsevier; 2006. Hal.
137-54.
4. Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, et al, editor. Fitzpatricks dermatology in
general medicine. Edisi 7.USA: The Mcgraw-Hill Company;2008. Hal.1787-96.
5. Price SA, Wilson LM.Patofisiologi.Edisi 6.Jakarta:EGC;2006.Hal.1365-73.
6. Brooks GF, Carroll KC, Morse SA, Mietznei TA, Butel JS. Medical microbiology. Edisi
25. USA: The Mcgraw-Hill Company;2004. Hal 289-99.
7. Isselbacher KJ, Braunwald E, et al, editor. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Volume 1. Edisi 13. Jakarta:EGC;200. Hal 325.
8. Bratawijaya KG, Rengganis I. Imunologi dasar. Edisi 8. Jakarta:Penerbit FKUI;2009.
Hal. 399-450.
9. Kasus lepra Indonesia peringkat tiga dunia. 25 Juni 2009. Diunduh dari
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/25/brk,20090625-183778,id.html. 26
April 2011.
10. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2009.Hal.633-37.

16

Anda mungkin juga menyukai