Anda di halaman 1dari 18

HUKUM ACARA PERDATA

Disusun oleh:
Fathah Abdurahman : 11010115140489
Arya Janardana : 11010115140491
Daymona Shastilla Alaika : 11010115140513

Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
2017

i
Kata Pengantar

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat lepas dari hukum yang berlaku di
Indonesia. Setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan menggunakan hukum yang berlaku.
Dalam hal ini permasalahan perdata terhadap suatu putusan dapat diajukan upaya hukum
perlawanan putusan tersebut demi keadilan dan kebenaran. Maka dari itu sebagai mahasiswa
fakultas hukum, kami ingin membahas upaya perlawanan hukum dalam makalah ini. Kiranya
makalah ini dapat membantu khalayak umum dalam mengerti mengenai upaya hukum melawan
hasil putusan pengadilan. Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada
mahasiswa fakultas hukum sebagai bekal melakukan pemahaman atau pedoman bagaimana
peranan civitas hukum dalam permasalahan hukum perdata ini.
Dan tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kepada dosen
pembimbing, kami memohon saran dan kritik yang membangun. demi perbaikan pembuatan
makalah kami di masa yang akan datang.

Semarang, 17 Oktober 2017


Penyusun

ii
Daftar Isi

Halaman
Halaman Judul .................................................................................................................... i
Kata Pengantar .................................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
C. Tujuan .......................................................................................................................... 2

BAB 2 PEMBAHASAN

1. Upaya hukum pertama dan tatacara ............................................................................. 3


2. Upaya Hukum Banding ............................................................................................... 4
3. Pengajuan dan dampak banding .................................................................................. 5
4. Apa yang dimaksud dengan kasasi? ............................................................................ 6
5. Bagaimana proses hukum kasasi dan apa dampaknya bagi para pihak? ..................... 6

BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Dalam undang-undang diupayakan seadil-adil mungkin dalam pembuatannya dan juga


penerapan undang-undang tersebut. Dan juga tidak di kesampingkan hak dari pada terpidana. Ini
jelas terlihat dari kesempatan yang diberikan undang-undang dalam berbagai tingkatan. Misalnya
saja seseorang yang tidak puas dengan keputusan pengadilan maka dia mempunyai hak untuk
mengajukan kembali ketidaksetujuannya itu kepada pengadilan tinggi.
Namun semua itu ada syarat yang telah ditetapkan dalam UU, misalnya saja ada bukti yang
terbaru atau novum yang dapat meringankan atau bahkan membebaskan si terdakwa dari putusan
pengadilan pertama atau pengadilan negeri. Untuk pengajuan banding itu ada batasan waktu
yang jika melewati batasan tersebut maka putusan pengadilan negeri atau pengadilan tingkat
pertama telah disetujui oleh pihak yang telah di dakwa oleh pengadilan.
Jika sebuah keputusan pada tingkat banding juga tidak memuaskan salah satu pihak, maka
pihak yang merasa tidak puas dengan keputusan tersebut dapat mengajukan peninjauan kembali
(PK) pada tingkatan Mahkamah Agung (MA) dalam bentuk kasasi.
Maka dalam makalah ini kami mencoba membahas tentang procedure atau tatacara dalam
pengajuan banding dan kasasi atau lebih tepastnya tentang Upaya-upaya Hukum dalam undang-
undang pengadilan di Indonesia, pengertian dari upaya hukum dan bentuk-bentuk upaya hukum
yang telah digariskan oleh undang-undang (KUHAP) Dan juga, kami mencoba membahas dan
menjelaskan tentang hak dari para pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri
ataupun pengadilan tinggi.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa itu upaya hukum pertama? Bagaimana tata cara pelaksanaannya?


2. Apa itu proses upaya hukum banding?
3. Bagaimana pengajuan banding, dan bagaimana dampak banding terhadap perkara/putusan
yang sedang berjalan?
4. Apa yang dimaksud kasasi?
5. Bagaimana proses hukum kasasi dan dampaknya bagi para pihak?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu upaya hukum pertama dan bagaimana tata cara pelaksanaanya.
2. Untuk mengetahui apa itu upaya hukum banding.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengajuan banding serta bagaimana dampak banding terhadap
perkara/putusan yang sedang berajalan.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud kasasi.
5. Untuk mngetahui bagaimana proses hukum kasasi dan dampaknya bagi para pihak.

2
BAB II
PEMBAHASAN

KASASI
1. Upaya hukum pertama dan tata cara
Secara umum istilah verzet diartikan perlawanan. Perlawanan merupakan upaya hukum
terhadap putusan. Verzet tergolong upaya hukum biasa yang sifatnya menghentikan pelaksanaan
putusan untuk sementara. Selain verzet yang termasuk upaya hukum biasa adalah banding dan
kasasi.
Lebih khusus lagi, istilah verzet dalam Hukum Acara Perdata merupakan suatu upaya
hukum terhadap putusan verstek (putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya Tergugat). Untuk
menjatuhkan putusan verstek, Hakim harus memperhatikan ketentuan pasal 125 HIR terlebih
dahulu.
Sedangkan yang dimaksud derden verzet adalah perlawanan (dari) pihak ketiga. Memang
pada azasnya putusan pengadilan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat
pihak ketiga. Namun tidak tertutup kemungkinan ada pihak ketiga yang dirugikan oleh suatu
putusan pengadilan. Terhadap putusan tersebut, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
perlawanan (derden verzet) ke Hakim Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.
Caranya, pihak ketiga yang dirugikan menggugat para pihak yang berperkara (pasal 379
Rv). Apabila perlawanan tersebut dikabulkan maka terhadap putusan yang merugikan pihak
ketiga tersebut haruslah diperbaiki (pasal 382 Rv). Terhadap putusan perlawanan yang
dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri, dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, dan
peninjauan kembali.
Tata cara pengajuan verzet:
Tenggang Waktu untuk mengajukan Verzet / Perlawanan :
1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan diberitahukan (pasal 129 (2) HIR.

3
2. Sampai hari ke 8 setelah teguran seperti dimaksud Pasal 196 HIR ; apabila yang ditegur
itu datang menghadap.
3. Kalau tidak datang waktu ditegur sampai hari ke 8 setelah

2. Upaya hukum banding


Banding adalah upaya hukum bagi pihak-pihak yang tidak puas atau tidak dapat
menerima keputusan hakim dalam pemeriksaan tingkat pertama. Dari segi formal, pemeriksaan
banding merupakan upaya yang tersedia bagi pihak-pihak yang berkepentingan supaya putusan
peradilan tingkat pertama diperiksa kembali dalam peradilan tingkat banding.
Memahami tujuan dan maksud pemeriksaan perkara pada tingkat banding itu, maka
dalam menggunakan hak-nya melakukan upaya hukum banding disertai dengan alasan-alasan
permintaan banding. Dalam kaitan ini KUHAP tidak menyebutkan apa saja alasan-alasan yang
dapat diajukan sebagai alasan untuk membanding putusan pengadilan tingkat pertama. Perkara
pada tingkat banding tentulah bertumpu di dasarkan pada ketidak-setujuan atau keberatan dari
pihak-pihak yang berperkara atas putusan pengadilan tingkat pertama. Meskipun demikian,
biasanya pihak-pihak yang melakukan upaya banding membuat memori banding dan dalam
memori banding tersebut pembanding menguraikan hal-hal yang menjadi keberatannya atas
pertimbangan dan putusan pengadilan tingkat pertama. Satu hal yang perlu dicatat bahwa
memori banding dari pemohon banding tidak bersifat wajib .
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa biasanya Penuntut Umum atau terdakwa mealui
penasehat hukumnya mengajukan sejumlah keberatan atas putusan pengadilan tingkat pertama
dengan menuangkannya dalam memori banding dan materi dari memori banding tersebut tidak
ada suatu ketentuan yang menentukan format dan sistimatikanya seperti apa. Namun
kecenderungannnya, sebuah memori banding berisikan (1) alasan-alasan keberatan secara umum;
(2) alasan-alasan yang diuraikan sedemikian rupa dan terperinci dengan merujuk pertimbangan-
pertimbangan hukum putusan hakim tingkat pertama yang tidak disetujui; (3) mengajukan
alasan-alasan atas putusan pengadilan tingkat pertama terhadap hal tertentu saja, misalnya
adanya alat bukti yang tidak dipertimbangkan oleh hakim tingkat pertama yang mengadili
perkara dimaksud atau bisa juga alasan-alasan tertentu lainnya seperti penolakan atas alat bukti
yang diajukan terdakwa dan lain sebagainya yang dirasa sebagai hal yang tidak puas oleh pihak
yang berperkara.

4
Dengan adanya upaya banding yang diajukan oleh satu pihak atau kedua belah pihak
yang berperkara, maka suatu perkara bersangkutan belum berkekuatan hukum tetap. Disisi lain
putusan pengadilan tingkat pertama menjadi mentah dan bisa ditetapkan lain oleh pengadilan
tingkat banding. Wewenang pengadilan tingkat banding sama luasnya dengan wewenang
pemeriksaan perkara pada pengadilan tingkat pertama, hal ini terutama dikarenakan KUHAP
tidak memberikan batasan atas hal apa saja upaya hukum banding dapat dilakukan. Terhadap
kondisi serupa itu, sebagian kalangan hukum menyebut pemeriksaan perkara pada tingkat
banding sebagai pemeriksaan ulang atas suatu perkara yang telah diperiksa dan diputus
pengadilan tingkat pertama, meskipun ada kalanya alasan banding yang diajukan pihak yang
berperkara hanya berupa alasan tertentu saja
Upaya hukum banding dapat dilakukan terhadap semua putusan tingkat pertama dengan
beberapa pengecualian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 67 KUHAP.

3. Pengajuan dan dampak banding


Permohonan banding dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan
diucapkan, atau setelah diberitahukan, dalam hal putusan tersebut diucapkan diluar hadir.
Terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut diatas, tetap
dapat diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan Panitera, bahwa permohonan
banding telah lampau.
Pernyataan banding dapat diterima, apabila panjar biaya perkara banding yang ditentukan dalam
SKUM oleh Meja Pertama, telah dibayar lunas.Apabila panjar biaya banding yang telah dibayar
lunas, maka Pengadilan wajib membuat akta pernyataan banding, dan mencatat permohonan
banding tersebut dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding.
Permohonan banding dalam waktu 7 (tujuh) hari harus telah disampaikan kepada lawannya.
Tanggal penerimaan memori dan kontra memori band ing harus dicatat, dan salinannya
disampaikan kepada masing-masing lawannya, dengan membuat relas pemberitahuan/
penyerahannya.
Sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi, harus diberikan kesempatan kepada kedua
belah pihak untuk mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan dituangkan dalam akta.
Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas banding berupa
berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi. Biaya perkara banding untuk

5
Pengadilan Tinggi harus disampaikan melalui Bank Pemerintah atau Kantor Pos, dan tanda bukti
pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan.
Dampak banding dari perkara yang diajukan yaitu :
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri
- Mengubah atau Memperbaiki Amar Putusan Pengadilan Negeri
- Membatalkan Putusan Pengadilan Neger

4. Apa yang dimaksud dengan kasasi?


1. Pengertian dan Landasan Hukum Kasasi
Upaya hukum kasasi (cassatie/appeal in cassation) merupakan lembaga hukum yang dilahirkan
di prancis dengan istilah cassation dan berasal dari kata kerja casser yang berarti membatalkan
atau memecahkan adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung Repulik Indonesia (MA RI)
sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain, tetapi tidak berarti
merupakan pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat kasasi tidak dilakukan
suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi hanya diperiksa masalah-masalah
hukumnya/penerapan hukumnya. Sehingga yang dapat mengajukan permohonan kasasi dalam
perkara perdata adalah pihak-pihak berperkara atau wakilnya yang khusus dikuasakan untuk itu
(Pasal 44 ayat (1) huruf a UU no 3 tahun 2009).
Pada asasnya, landasan hukum kewenangan kasasi diatur dalam ketentuan pasal 24 A ayat (1)
perubahan ke-3 UUD 1945, pasal 20 ayat (2) UU no. 48 tahun 2009, penjelasan umum angka 2,
pasal 28 dan 30 UU no. 48 tahun 2009.
5. Bagaimana proses hukum kasasi dan dampaknya bagi para pihak?
2. Prosedur Permohonan Kasasi
Menurut Mahkamah Agung RI pada hakikatnya prosedural administrasi permohonan
kasasi adalah bahwa permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu paling lambat 8
hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan. Senada dengan pasal 245
KUHAP yang menyatakan tenggang waktu selama 14 hari untuk mengajukan permohonan.
Prosedural berikutnya adalah apabila biaya kasasi telah dibayar lunas semuanya, pengadilan
wajib membuat akta pernyataan kasasi tersebut dalam register induk perkara dan register kasasi,
kemudian akta ini diberitahukan kepada lawannya dalam waktu 7 hari. Perlu juga disampaikan
dalam kontek ini bahwa dalam mengajukan kasasi, pemohon kasasi harus mengajukan memori

6
kasasi dan berdasarkan ketentuan pasal 12 ayat (1) UU no. 37 tahun 2004 menentukan bahwa,
Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitra Pengadilan memori kasasi pada tanggal
permohonan kasasi didaftarkan.
Tanggal penerimaan memori kasasi tersebut, harus dicatat dalam suatu surat keterangan
panitera yang ditandatangani oleh panitera. Yang dimaksud sebagai tanggal permohonan kasasi
adalah tanggal pada waktu biaya perkara diterima oleh panitera yang bersangkutan. Sedangkan
apabila biaya perkara yang diterima melampaui tenggang waktu, maka permohonan kasasi
dianggap tidak ada. Dalam pidana juga pemohon harus menyerahkan memori kasasi dan alasan
mengajukan kasasi yang sesuai dengan pasal 248 dan 253 KUHAP.
Kemudian berdasarkan Ketentuan pasal 12 ayat (3) UU No. 37 tahun 2004: Termohon kasasi
dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada Panitra Pengadilan paling lambat 7 (tujuh)
hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi dan panitra Pengadilan wajib
menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah
kontra memori kasasi diterima.
Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004: Panitra
wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi beserta
berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas)
hari setelah tanggal permohonan kasasi di daftarkan.
Dalam praktik, berkas perkara dikirim kepada MA RI berupa bundel A dan bundel B. Dalam
waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan, barkas kasasi berupa bundel A dan B harus
sudah dikirim ke Mahkamah Agung. Pada dasarnya, bundel A merupakan surat-surat perkara
diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara
tersebut dan selalu di simpan di Pengadilan Negeri/Niaga serta terdiri atas:
- Surat permohonan;
- Penetapan Penunjukan Majelis Hakim;
- Penetapan hari sidang;
- Relaas-relaas panggilan;
- Berita acara sidang (jawaban/tanggpan dan bukti-bukti surat dimasukan dalam berita
acara);
- Surat kuasa khusus dari kedua belah pihak yang berperkara;
- Tanda bukti pengiriman biaya perkara kasasi;

7
- Penetapan-penetapan lainnya yang berkaitan dengan perkara (bila ada);
- Berita Acara Sita Jaminan/Penyegelan (bila ada);
- Lampiran-lampiran surat yang dimajukan oleh kedua belah pihak (bila ada)
- Surat-surat bukti Pemohon;
- Surat-surat bukti Termohon;
- Surat-surat lainnya;
- Naskah Asli Putusan.
Sedangkan bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara dan kasasi serta semua kegiatan
berkenaan dengan adanya permohonan kasasi dan akhirnya menjadi arsip perkara MA RI, yang
terdiri atas:
- Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Pengadilan Niaga kepada kedua belah pihak yang
berperkara;
- Akta permohonan kasasi;
- Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi;
- Memori kasasi dan/atau surat keterangan apabila pemohon kasasi tidak mengajukan
memori kasasi;
- Tanda terima memori kasasi;
- Relaas pemberitahuan kasasi kepada Termohon Kasasi;
- Kontra memori kasasi;
- Salinan putusan Pengadilan Niaga dan penetapan-penetapan Pengadilan Niaga; dan
- Surat-surat lain yang sekiranya ada.
Dalam menaksir biaya kasasi diperhitungkan dengan besarnya biaya kasasi yang ditentukan oleh
Ketua Muda. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung ditambah dengan biaya pemberitahuan,
berupa :
Biaya pemberitahuan pernyataan kasasi.
Biaya pemberitahuan memori kasasi.
Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi.
Biaya pemberitahuan bunyi kasasi.
Foto copy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, dikirim ke Mahkamah Agung.
Permohonan kasasi yang melampaui tenggang waktu atau penerimaan memori kasasi yang
melempaui tenggang waktu, harus dinyatakan tidak dapat diterima. Mengajukan memori kasasi

8
yang disertai dengan alasan-alasan merupakan syarat mutlak. Didalam risalah kasasi harus
dimuat keberatan-keberatan atau alasan-alasan kasasi yang berhubungan dengan pokok persoalan
perkara, jika tidak mengajukan risalah kasasi sudah tentu akan menyebabkan tidak diterimanya
permohonan kasasi.
3. Tugas Pengadilan Tingkat Kasasi dan Alasan Pengajuan Kasasi
Tugas pengadilan kasasi adalah menguji dan meneliti putusan pengadilan-pengadilan
bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus
yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan
tersebut. Oleh karena itu, maka dasar dari pembatalan suatu putusan yang oleh pengadilan kasasi
dianggap salah adalah pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh pengadilan yang
bersangkutan.
Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU
No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 adalah :

1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang


Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini tendens kepada kompetensi
relatif (relatieve competentie) dan kompetensi absolut (absolute competentie).
Konkretnya, yudex facti incasu Pengadilan Niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU
tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya tentang yudex factie tidak
berwenang/bukan merupakan kewenangannya. Sedangkan alasan kasasi disebabkan yudex facti
melampaui batas wewenang adalah bahwa yudexfacti telah mengadili tidak sesuai atau melebihi
kewenangan yang ditentukan dalam UU.
Kemudian, melampaui batas wewenang ini dapat juga di artikan bahwa yudexfacti dalam
putusannya telah mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat
gugatannya.

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku


Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara sederhana adalah salah
menerapkan ketentuan hukum formal/hukum acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan
tersebut dapat dilihat dari penerapan hukum yang berlaku.

9
Sedangkan melanggar hukum tendens kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah dan
tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang digariskan oleh UU.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan
Dalam doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini
lazim disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities), sehingga diancam pula
kebatalan formal (formele nietigheid atau formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh
menegaskan bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim dalam
melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk menyatakan
batalnya perbuatan hakim itu. Hanya perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim
tunduk pada pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak. Apabila batalnya putusan atau
perbuatan hakim sebagai akibat kelalaian ditentukan oleh undang-undang, maka terdapat
kebatalan formal (formele nietigheid atau formele nulliteit).
Kemudian, tentang kebatalan formal ini misalnya dapat disebutkan apabila sidang
pemeriksaan pengadilan tidak dilakukan terbuka untuk umum mengakibatkan batalnya putusan
menurut hukum (Pasal 19 ayat 1, 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009), begitu pula halnya
semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapakan dalam sidang
terbuka untuk umum dan apabila tidak dilakukan demikian akan batal (Pasal 13 ayat 1 dan 3
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 334 K/Sip?1972 tanggal 4 Oktober 1972.
Dari alasan-alasan tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa didalam tingkat kasasi tidak
diperiksa tentang duduknya perkara atau faktanya melainkan tentang hukumnya, sehingga
tentang terbukti atau tidaknya peristiwa tidak akan diperiksa. Penilaian hasil pembuktian tidak
dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Mahkamah Agung terikat pada
peristiwa yang telah diputuskan dalam tingkat terakhir, jadi pada tingkat kasasi peristiwanya
tidak diperiksa kembali. Oleh karena pada tingkat kasasi tidak diperiksa ulang duduk perkaranya,
maka pemeriksaan tingkat kasasi pada umumnya tidak dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ke-
3.
Dasar hukum bagi pengadilan kasasi yang dilakukan Mahkamah Agung diatur dalam
Pasal 10 ayat (3) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970, yang berbunyi:

10
Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh pengadilan-pengadilan lain
daripada MA, kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung. UU Mahkamah Agung No.
14 tahun 1985, mengatur Hukum Acara bagi Mahkamah Agung yang berhubungan dengan
tugasnya untuk memberi putusan dalam tingkat kasasi. Bab III UU no. 14 Tahun 1985, mengatur
tentang kekuasaan Mahkamah Agung. Pada Pasal 28, menyatakan sebagai berikut :
(1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :
a. Permohonan kasasi;
b. Sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. Permohonan peninjauan kembali
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana yang dimaksudkan ayat (1) Ketua
Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas dalam Mahkamah Agung.
Pada pasal 28 dinyatakan : Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan
Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan.
4. Putusan peradilan tingkat kasasi
Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi dan membatalkan putusan yang
dimohonkan kasasi tersebut, maka akan terjadi dua kemungkinan, yakni :
1) Kalau pembatalan itu didasarkan pada tidak berwenangnya pengadilan yang telah
mengambil putusan yang dimohonkan kasasi, maka berkas perkara akan dikirimkan kepada
pengadilan yang oleh Mahkamah Agung yang dianggap berwenang, untuk diperiksa dan
diputusi.
2) Kalau pembatalan didasarkan pada kesalahan dalam penerapan hukum, maka Mahkamah
Agung akan memutusi sendiri perkara itu. Dengan sendirinya putusan yang akan diambil oleh
Mahkamah Agung itu adalah final. Disini dikatakan bahwa hakim kasasi dalam memutusi
perkara tersebut duduk di atas kursi judex facti karena ia memutusi apa yang biasanya menjadi
wewenang judex facti (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi).
Menurut ketentuan hukum yang berlaku dan yurisprudensi konstan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, peradilan kasasi dalam putusannya terbatas memeriksa perkara terhadap aspek yuridis
semata-mata yaitu apakah benar yudex facti telah menerapkan hukum atau menerapkan hukum
tidak sebagaimana mestinya. Konkritnya, Mahkamah Agung Republik Indonesia memeriksa
terhadap penerapan hukumnya dan tidak terhadap peristiwa dan pembuktian sehingga
kedudukannya sebagaiyudex yuris. Dengan demikian, aspek peristiwa dan penilaian mengenai

11
hasil pembuktian yang bersifat penghargaan terhadap suatu kenyataan tidak dapat
dipertimbangkan/tidak tunduk dalam pemeriksaan kasasi sebagaimana ditegaskan putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2650 K/Sip/1982 tanggal 20 September 1983.
Putusan peradilan tingkat kasasi ini pada asasnya dapat di klasifikasikan ke dalam 3 (tiga)
golongan, yaitu :
1. Permohonan kasasi tidak dapat diterima
Hakikat permohonan kasasi haruslah didasarkan kepada ontvankelijkeheid (dapat
diterimanya) permohonan kasasi. Apabila suatu permohonan kasasi tidak memenuhi syarat
formal (formalitas) untuk mengajukan kasasi seperti dilampauinya tenggang waktu melakukan
kasasi, surat kuasa khusus kasasi tidak memenuhi syarat, tidak ada/terlambat mengajukan
memori kasasi, dan lain sebagainya, sehingga hal demikian dapat diklasifikasikan bahwa
permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima.
Adapun mengenai bunyi amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam aspek ini
hakikatnya dapat berbunyi, sebagai berikut:

- Menyatakan, bahwa permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ................... tersebut tidak
dapat diterima;
- Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara dalam Peradilan Kasasi ini
sebesar Rp ................ (..............)
2. Permohonan kasasi ditolak
Permohonan kasasi dari pemohon kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia dapat disebabkan bahwa yudex facti tidak salah menerapakan hukum, bahwa pemohon
kasasi dalam memori kasasi mempersoalkan tentang kejadian atau hal yang tidak merupakan
wewenang hakim kasasi, misalnya tentang penilaian hasil pembuktian, penghargaan atas suatu
fakta dan lainnya. Dapat pula permohonan kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia karena pemohon kasasi dalam mengajukan memori kasasi tidak relevan (irrelevant)
dengan pokok perkara.
Apabila permohonan kasasi ditolak, ammar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada
pokoknya, dapat berbunyi sebagai berikut:
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ... tersebut;
- Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam peradilan kasasi ini

12
yang ditetapkan sebesar Rp ......
3. Permohonan kasasi dikabulkan
Permohonan kasasi dikabulkan berarti bahwa alasan-alasan atau keberatan-keberatan
yang dikemukakan pemohon kasasi dalam memori kasasi oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia karena yudex facti dianggap telah salah atau tidak benar dan tepat dalam penerapan
hukum atau karena alasan-alasan hukum lain (Pasal 30, 52 Undang-undang Nomor 3 Tahun
2009). Dalam hal permohonan kasasi dikabulkan karena alasan dari pemohon kasasi atau karena
alasan hukum lain, Mahkamah Agung Republik Indonesia akan membatalkan putusan yudex
facti. Terhadap hal ini ada 2 (dua) kemungkinan sikap dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia, yaitu:
- Mahkamah Agung Republik Indonesia menyerahkan perkara tersebut ke pengadilan lain
yang berwenang memeriksa dan memutuskannya.
Aspek ini didasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 yaitu
mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 30 huruf a Undang-undang
nomor 3 Tahun 2009 bahwa pembatalan itu didasarkan kepada tidak berwenang/ melampaui
batas wewenangnya yudex facti yang dimohonkan kasasi, berkas perkara oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia akan dikirim kepada yudex facti yang dianggap berwenang untuk diperiksa
dan diputus.
- Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi
itu
Apabila permohonan kasasi dikabulkan dan putusan yudex facti dibatalkan karena alasan Pasal
30 huruf b dan c Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 dan menurut ketentuan Pasal 51 ayat 2
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus perkara
yang dimohonkan kasasi itu. Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
adalah final, yang menurut istilah R. Subekti disini dikatakan bahwa Hakim Kasasi dalam
memutus perkara tersebut duduk diatas kursi yudex facti karena ia memutusi apa yang biasanya
wewenang yudex facti (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi).

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kadilan yang diupayakan seadil-adilnya pada undang-undang sangat terlihat dalam implementasi
hukum di Indonesia. Pada dasarnya semua orang yang hidup itu mmiliki hak-hak dasar yang
harus mereka miliki dan tidak bisa direbut ole siapapun. Oleh karena itu, undang-undang kita
mengatur tentang hak-hak yang seharusnya didapatkan bahkan oleh seorang tersangka yang
sedang menjalani proses hukum. Setiap tersangka atau seseorang yang sedang menjalani proses
hukum jika merasa keberatan dengan apa yang diputuskan dipradilan maka dia mempunyai hak
untuk mengajukan kembali ketidaksetujuannya itu kepada pngadilan tinggi.
Jika sarat-sarat yang telah ditentukan dalam UU telah dipenuhi. Maka seorang terdakwa itu bisa
mengajukan banding. Dan jika hasil keputusan pada tingkat banding juga tidak memuaskan salah
satu pihak, maka pihak yang merasa tidak puas dengan keputusan tersebut dapat mengajukan
peninjauan kembali (PK) pada tingkatan Mahkamah Agung (MA) dalam bentuk kasasi.
Maka dalam makalah ini kami telah membahas tentang prosedur atau tata cara dalam pengajuan
banding dan kasasi atau lebih tepatnya tentang Upaya-upaya Hukum dalam undang-undang
pengadilan di Indonesia, pengertian dari upaya hukum dan bentuk-bentuk upaya hukum yang
telah digariskan oleh undang-undang (KUHAP) Dan juga, kami telah membahas dan
menjelaskan tentang hak dari para pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri
ataupun pengadilan tinggi.

14
DAFTAR PUSTAKA

M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 485)
UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan
Harahap, Yahya. 2012. Hukum Acara Perdata
HIR (Herzien Inlandsch Reglement)
H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata

15

Anda mungkin juga menyukai