Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH MANAJEMEN PRODUKSI PADA AGRIBISNIS

KASUS TERKAIT AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN

Disusun Oleh :

Septi Ambar Indra N 201410210311089

Lukman Duwi Rohman 201410210311090

M. Fahri Januarizal 201410210311091

Septiana Nur Untari 201410210311093

JURUSAN AGRIBISNIS

FAKULTA PERTANIAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatakan kepada Allah SWT, atas berkat rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga penyusun bisa menyelesaikan makalah dengan
judul Kasus Terkait Agribisnis Tanaman Pangan mata kuliah Manajemen
Produksi Pada Agribisnis dengan tepat waktu. Penyusun berharap semoga
makalah ini bisa bermanfaat dan diterima bagi pembaca. Selama penyusunan ini
penyusun memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Anas Tain, MM selaku dosen mata kuliah Manajemen Produksi
Pada Agribisnis.
2. Teman-teman kelas Agribisnis VII B, serta semua pihak yang telah
membantu terselesainya makalah ini.

Penyusun menyadari banyak sekali kesulitan dan kekurangan dalam


penulisan makalah ini. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya
agar menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini
bisa bermanfaat dan memperoleh hasil yang memuaskan.

Malang, Desember 2017

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai sekitar
251.160.124 juta jiwa (Ilmu Pegetahuan.com, 2013). Apabila kemampuan
produksi bahan pangan domestik tidak dapat mengikuti peningkatan
kebutuhannya, maka pada waktu yang akan datang Indonesia akan semakin
tergantung pada impor, yang berarti ketahanan pangan nasional akan menjadi
rentan karena tergantung pada kebijakan ekonomi negara lain (Suryana dalam
Usman, 2004). Padahal pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
esensial untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Tanpa pangan, manusia
tidak mungkin dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya untuk berkembang
dan bermasyarakat. Oleh sebab itu kecukupan pangan memiliki peran yang sangat
menentukan bagi keberlangsungan suatu bangsa atau negara. Ketahanan pangan
tidak semata-mata masalah ekonomi melainkan harus dipandang dalam kerangka
kenegaraan termasuk stabilitas dan ketahanan politik, pertahanan dan keamanan
nasional yang mantap.
Indonesia tahun 2004 telah menjadi salah satu negara importer terbesar di
dunia, bukan hanya beras tetapi juga bahan pangan yang lain. Sebelumnya pada
tahun 2002, Indonesia mengimpor 1 juta ton jagung, 0,9 juta ton gaplek, 3 juta ton
gandum, 0,8 juta ton kedelai, 0,8 juta ton kacang tanah, 1,6 juta ton gula, 1,2 juta
ton bungkil serta berbagai macam buah dan daging. Hal ini menunjukkan bahwa
teknologi yang digunakan di Indonesia tidak mampu mendukung ketahanan
pangan nasional (Wiranto dan Utomo dalam Usman, 2004)
Indonesia dalam kaitan dengan teknologi produksi pangan sebenarnya
tidak kalah dengan negara lain, dengan demikian masalah utama yang dihadapi
dalam produksi bahan pangan bukanlah ketersediaan teknologi, tetapi adopsi
teknologi oleh petani. Dengan pengalaman krisis tahun 1997/1998, maka
pemerintah mengubah kebijaksanaan ketahanan pangan sebagaimana dinyatakan
dalam GBHN 1999-2004 yaitu peningkatan ketahanan pangan dilaksanakan
dengan berbasis sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal, dengan
memperhatikan pendapatan petani-nelayan dan pelaku usaha skala kecil lainnya.
Ini berarti dalam mencapai ketahanan pangan sejauh mungkin harus dapat
dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Disamping itu, dengan makin terbatasnya
(bahkan berkurang) lahan yang dapat ditanami padi, maka dituntut percepatan
penganekaragaman bahan pangan.
Ketahanan pangan diarahkan agar kekuatan ekonomi domestik mampu
memproduksi pangan yang cukup bagi seluruh penduduk, terutama dari produksi
dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup aman, dan terjangkau dari
waktu ke waktu. Dengan pertambahan penduduk yang besar dan terus bertambah,
maka keperluan penyediaan pangan akan terus membesar. Selain jumlah pangan
yang dibutuhkan cukup besar, permintaan akan kualitas pangan, keamanan dan
keragamannya akan meningkat pula. Indonesia sebenarnya memiliki berbagai
jenis tanaman bahan makanan, yang mengandung karbohidrat, protein nabati dan
sayuran, tetapi karena sindroma beras telah memaksa pemerintah untuk selalu
impor beras meskipun ditentang oleh masyarakat, dengan alasan untuk cadangan
nasional dan tidak akan dilempar ke pasaran domestik (Mangoendihardjo, 2006).
Indonesia adalah negara agraris. Tetapi ironisnya, ketika harga beras
tinggi, petani adalah sektor pertama yang dirugikan. Walaupun petani
menghasilkan beras, tetapi mereka menjual dalam bentuk gabah dengan harga
yang murah (Wirianata, 2006). Menghadapi situasi yang demikian kiranya perlu
dirumuskan strategi ketahanan pangan sebagai alternatif, minimal sebagai
komplemen untuk meningkatkan ketahanan pangan, yakni (1)melakukan integrasi
pembangunan ketahanan pangan kedalam kebijakan ekonomi makro Indonesia
(2)merumuskan kebijakan alternatif apabila strategi kemandirian pangan atau
modifikasi dari swasembada pangan tersebut menemui hambatan. Salah satu
bentuk strategi reserve dalam pembangunan pertanian adalah pemberdayaan
institusional dalam penggunaan input pertanian (3) mengintegrasikan strategi
diversifikasi pangan dengan pengembangan food technology yang lebih membumi
dan terjangkau masyarakat luas.

1.2 Rumusan Masalah


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan Impor Beras Vietnam Ke Indonesia


2.1.1 Larangan Impor Beras
Larangan impor beras dimulai pada tahun 2005, karena impor beras yang
dilaksanakan tahun 2004 telah memberikan dampak yang positif terhadap masalah
perberasan di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan harga
gabah yang cukup baik, perdagangan beras antar wilayah atau pulau yang semakin
dinamis dan harga beras di dalam negeri yang cukup stabil. Disamping itu,
pelaksanaan ketentuan impor beras telah dapat meningkatkan motivasi petani
sehingga produksi padi tahun 2004 meningkat cukup signifikan.
Tidak perlunya Indonesia impor beras, menurut Menperdag Mari Elka
Pangestu adalah sebagai upaya dari pemerintah untuk dapat menaikkan harga
beras lokal khususnya ketika harga gabah petani turun. Sesuai keputusan
pemerintah selama tahun 2004 beras impor dilarang masuk ke Indonesia sehingga
selama tahun itu impor beras secara legal tidak ada sama sekali.
Larangan impor beras diharapkan merupakan kebijakan yang betul-betul
berpihak pada kepentingan rakyat dan bukan kebijakan politis semata. Mantan
menteri transmigrasi dan Perambah Hutan meminta pemerintah mempertahankan
kebijakan impor beras tersebut karena Indonesia sebenarnya mampu mencukupi
kebutuhan beras sendiri.
Dalam lawatan misi dagang ke Vietnam, Indonesia memperpanjang nota
kesepahaman tetap melanjutkan komitmen impor beras sebanyak satu juta ton.
Keputusan memperpanjang komitmen impor beras tersebut, sebagai antisipasi
adanya bencana Indonesia, tetapi pemerintah tetap prioritas kepada revitalisasi
pertanian dan bersiap untuk melakukan ekspor. Sehingga impor beras hanya
merupakan cadangan.
Direktur utama perum Bulog Mustafa Abu Bakar mengatakan
perpanjangan MoU ini demi menjalin hubungan sejarah yang bagus karena
puluhan tahun Vietnam telah membantu Indonesia dalam memenuhi kebutuhan
pangan Indonesia saat produksi beras tidak mencukupi. MoU ini tidak menuntut
kewajiban pembiayaan apapun dari Indonesia. Bisa direalisasikan tetapi bisa juga
tidak seperti halnya tahun 2008, Indonesia sama sekali tidak mengimpor beras
dari Vietnam meskipun sebelumnya ada kesepakatan serupa. Ini terjadi karena
produksi beras pada tahun 2008 bagus dan mencukupi.
Perpanjangan MoU impor beras 1 juta ton dilakukan pada 25 April 2009
ketika menteri perdagangan Marie Elka Pangestu, Dirut Perum Bulog, dan Kadin
melakukan pertemuan bisnis dengan wakil perdana menteri dan menteri
perindustrian dan perdagangan Vietnam di Hocimin City, Vietnam. Kesepakatan
yang tertuang dalam MoU kali ini efektif berlaku 1 Januari 2010 sampai 31
Desember 2012.

2.1.2 Sejarah Impor Beras


Campur tangan pemerintah dalam komoditas beras diawali sejak Maret
1933 yaitu di zaman pemerintahan Belanda. Saat itu, untuk pertama kalinya
pemerintah belanda mengatur kebijakan perberasan, yaitu dengan cara menghapus
impor beras secara bebas serta membatasi imopr secara lisensi.beras mempunyai
sejarah yang sangat panjang dalam percaturan ekonomi politik Indonesia. Hal ini
disebabkan keberadaanya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh
masyarakat Indonesia. Untuk hal itu lah campur tangan dari pemerintah untuk
menjamin keberadaan beras dengan harga yang terjangkau selalu dilakukan,
termasuk oleh pemerintahan kolonial Belanda saat itu.
Pemerintah kolonial Belanda mengintervensi kecukupan pasokan beras
dengan harga terjangkau terhadap komoditi ini melalui berbagai cara, termasuk
dengan pembangunan infrastruktur dan investasi teknologi pertanian dalam hal ini
produksi. Sementara dalam sisi stabilitas harga, pemerintah kolonial juga dari
waktu ke waktu membuka keran imopr bila dibutuhkan dan mentransportasinya
dari pulau ke pulau atau daerah yang membutuhkan, serta mendirikan suatu
lembaga pangan.8 Tanggal 25 April 1939, lahirlah suatu lembaga pangan yang
disebut Voeding Middelen Fonds (VMF). Lembaga ini berperan dalam
menstabilkan harga beras, yang merupakan cikal bakal dari Bulog.
Setelah kemerdekaan, beras terus menjadi komoditas sosial politik
strategis bangsa Indonesia. Namun pada masa era demokrasi terpimpin, dengan
dijadikamya poltik sebagai panglima, terdapat semacam pengabaian keberadaan
keterjangkauan komoditi beras. Akibatnya, ketiadaan komoditi ini pada daerah
beberapa perkotaan Indonesia menjadi salah satu alasan jatuhnya rejim Soekarno
pada tahun 1965.
Untuk mebangkitkan kepercayaan masyarakat, pada awal pemerintahan
rezim Orde Baru, membuka keran impor dan bantuan luar negri untuk impor
beras. Setelah kepercayaan ini diraih, dan stabilitas teraih, Orde Baru
merevitalisasi peran Bulog untuk menopang harga beras agar terjangkau, dengan
tugas dan struktur organisasi yang diperluas. Intervensi pemerintah dibidang
pertanian termasuk perberasan diperluas cakupanya ke sisi produksi dan
kesejahteraan petani. Sepanjang tahun 1970 sampai dengan 1980-an, investasi
besar-besaran pada infrastruktur pertanian, pengembangan benih unggul, pestisida
dan subsidi pada pupuk petani.
Pembangunan infrastruktur pertanian dan pengembangan teknik-teknik
pertanian, serta subsidi pada petani ini kemudian dikenal sebagai the green
revolution, revolusi hijau dibidang pertanian.dari revolusi hijau ini dihasilkan
peningkatan produksi beras secara besar-besaran, diamana produksi dalam negri
praktis berhasil memenuhi permintaan.
Pada puncaknya pada tahun 1984 Indonesia berhasil surplus dari produksi
beras, atau yang dikenal dengan swasembada pangan. Disaat yang sama revolusi
hijau pun menghasilkan peningkatan pendapatan masyarakat di pedesaan dan
memperkecil ketimpangan antara masyarakat desa dengan masyarakat kota,
walaupun pada saat itu ada penurunan tingkat produksi pertanian.
Impor yang dilakukan oleh Indonesia itu dilakukan oleh pemerintah untuk
menjamin ketersedian stok pangan nasional, agar tidak terjadi krisis pangan di
Indonesia yang bisa mengakibatkan mengganggu kesetabilan nasional. Impor
beras pun dilakukan samapai saat ini salah satu impor yang dilakaukan oleh
pemerintah yaitu berasal dari Vietnam dimana impor yang dilakukan oleh
Indonesia dari Vietnam telah terjalin dalam suatu nota kesepatakan MoU yang
telah disetujui oleh kedua belah pihak Negara baik itu Indonesia maupun
Vietnam. Dimana Vietnam bersedia untuk mensuplasi samapai 1 juta ton beras ke
Indonesia apabila dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia.
2.1.3 Kebiajakan Impor Beras Vietnam
Beras merupakan komoditas pangan yang memiliki kedudukan unik di
Indonesia karena berdimensi ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Tingkatpartisipasi konsumsi beras di Indonesia masih diatas 90%. Beras masih
menjadi sumber pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia.
Pemenuhan atas pangan dalam hal ini beras merupakan suatu
tanggungjawab bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Kebutuhan atas pemenuhan beras bagi masyarakat Indonesia setiap tahunya selalu
bertambah dikarenakan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia setiap tahun,
yang mengakibatkan kebutuhan atas pangan bertambah setiap tahunya. Selain itu,
permasalahan yang terjadi di Indonesia terdiri dari dua bentuk yaitu,
permasalahan secara berkala (transitory/occasional food insecurity) dan kronis
(chronic food insecurity). Permasalahan secara berkala terjadi karena misalnya
ada bencana alam, konflik sosial dan fluktuasi harga. Sedangkan permasalahan
kronis adalah, krisis yang terjadi berulang dan terus menerus. Krisis ini terjadi
karena terbatasnya akses terahadap ketersedian pangan disertai harga pangan
yang melambung tinggi.
Dengan adanya permasalahan seperti itu, stok beras nasional harus
mencukupi agar ketahanan pangan dapat terjaga. Salah satu bentuk untuk
memperkuat ketahanan pangan Indonesia dengan adanya permasalahan seperti itu,
Indonesia melakukan kerjasama dengan Vietnam. Kerjasama yang dilakukan
dengan Vietnam tersebut dituangkan dalam suatu Memorandum on Rice Trade
yang disepakati pada tanggal 5 April 2007 untuk masa kerja sama sampai dengan
31 Desember 2009. MoU on Rice Trade ini kemudian diperpanjang pada tahun
2009 untuk jangka waktu 2010-2012.
MoU on Rice Trade yang ditandatangani oleh Menteri Perdagangan
masing-masing pihak tersebut bertujuan untuk menjamin suplai kebutuhan beras
dalam negeri sampai 1 juta ton apabila dibutuhkan sebagai antisipasi apabila
terjadi kekurangan pasokan beras dalam negeri. Rencana yang dilakukan
pemerintah dalam melakuakan kerjasama antara Indonesia dengan Vietnam dalam
impor beras ini yaitu sebagai pemenuhan atau cadangan stok beras nasional
apabila Indonesia mengalami kekurangan stok beras nasional agar terciptanya
ketahanan pangan yang kuat agar tidak terjadi krisis pangan di Indonesia.
Menurut pemerintah, kebijakan impor beras bukan hanya untuk
mencukupi kebutuhan stok beras secara nasional saja, tetapi juga tidak
mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani yang masih rendah. Kebijakan untuk
mengimpor beras produksi luar negri sekarang ini hendaknya disertai dengan
perbaikan kebijakan beras nasional yang berpihak dan melindungi petani. Beras
impor yang masuk ke Indonesia tidak diperbolehkan masuk ke daerah yang
mengalami surplus. Beras impor yang masuk ke Indonesia itu diorientasikan
untuk memenuhi bagi daerah yang mengalami kekurangan stok beras seperti di
daerah Papua, Nusa Tenggara Timur, Jambi, Bengkulu dan lain-lain.
Dalam rapat konsultasi dengan pimpinan MPR, DPR, dan DPD di istana
negara, pemerintah tetap memegang agenda stok beras nasional sebanyak satu juta
ton. Konsekuensinya yaitu kemungkinan dan kelihatanya impor akan tettap
dilaksanakan. Isu impor beras yang dilakukan pemerintah ini menuai pro dan
kontra dari kalangan masyarakat. Impor yang dilakukan oleh pemerintah seperti
halnya buah simalakama bagi pemerintah, apabila impor itu tidak dilakukan oleh
pemerintah maka Indonesia akan kekurangan stok beras, yang mengakibatkan
Indonesia bisa terjadi krisis pangan yang menyebabkan masyarakat kelaparan dan
harga beras dipasaran akan semakin mahal. Tapi, disisi lain dengan pemberlakuan
impor beras tersebut melukai bagi para petani.
Tahun 2011, Bulog ditugasi mengimpor 1,6 juta ton beras agar stok akhir
beras nasional bisa minimal 1,5 juta. Dari 1,6 juta itu, Bulog sudah menjalin
kesepakatan dengan Vietnam 1,2 juta ton. Dari 1,2 juta ton, yang sudah ada
kepastian dan kesepakatan harga sebanyak 900.000 ton, sisa 300.000 ton masih
dalam taraf negosisasi, meski pemerintah Vietnam sudah memperhitungkannya
dalam perhitungan stok nasional mereka.Sisa 400.000 ton akan dibeli dari
Thailand. Sebanyak 100.000 ton sudah harus ada kesepakatan sekarang. Adapun
300.000 masih menunggu pembicaraan dan negosiasi.
Bulog mengaku keputusan impor adalah wewenang pemerintah. Tapi
Bulog juga tetap menyerap beras dari dalam negeri. Sebelumnya pemerintah
memutuskan cadangan beras Bulog tak boleh kurang dari 2 juta ton. Beras impor
yang datang ke Indonesia nantinya akan disimpan di gudang
sebagai stok pemerintah dan selanjutnya akan dikeluarkan untuk memenuhi
keperluan program Raskin dan operasi pasar.

2.1.4 Faktor Pendorong impor Beras


Dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa,
jumlah beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 1,4 juta ton. Kalangan
eksportir beras diluar negeri tidak menginginkan pertumbuhan industri pertanian
tanaman pangan berkembang pesat di Indonesia. Karena jika pertanian tanaman
pangan Indonesia berkembang pesat karena didukung oleh kebijakan yang tepat,
jelas peluang masuknya beras impor akan semakin sulit untuk melarang masuknya
beras impor kedalam negeri masih sulit, mengingat produksi beras yang
dihasilkan petani masih belum mampu memenuhi total kebutuhan konsumen
didalam negeri yang diperkirakan mencapai sekitar empat juta ton pertahun.
Pada tahun 2005, pemerintah Indonesia mengeluarkan Kebijakan
mengimpor beras sebanyak 69.900 ton, sementara pada tahun 2006 dengan alasan
untuk memenuhi stok beras di perum bulog, pemerintah kembali mengeluarkan
izin mengimpor beras sebanyak 110 ribu ton dan hingga batas waktu pengiriman
beras realisasi hanya 83.100 ton. Sekitar akhir tahun 2005 data perum bulog
menunjukkan stok beras yang dikuasai perum bulog diperhitungkan tidak akan
mencukupi untuk keperluan penyaluran sampai awal tahun 2006. Untuk
mengantisipasi menyusutnya stok beras di gudang bulog, pemerintah perlu segera
mengimpor bahan pangan pokok tersebut agar Indonesia terhindar dari krisis
beras awaltahun depan.

Tabel 1. Impor Beras Tahun 2007-2010


Tahun Jumlah CiF Value (US$)
2007 1.406.847.570 467.719.374
2008 289.689.411 124.142.806
2009 250.473.149 108.153.251
2010 687.581.501 360.784.998
Sumber : Badan Pusat Statistika

Impor beras dilakukan untuk memperkuat cadangan beras nasional,


cadangan beras yang cukup diperlukan untuk meujudkan ketahanan pangan
dalam rangka memenuhi hak masyarakat atas pangan. Memperkuat cadangan
beras nasional melalui impor dilaksanakan secara rutin setiap tahunya
mengindikasikan bahwa Indonesia sudah tidak lagi berswasembada beras.
Ketahanan pangan di wujudkan melalui impor beras menghasilkan suatu
kebijakan yang rentan, yang selalu mengakibatkan pro dan kontra. Disatu sisi
apabila pemerintah tidak mengimpor beras, Indonesia akan kekurangan cadangan
beras nasioinal yang mengakibatkan dapat memicu timbulnya krisis pangan yang
dampaknya dapat mengguncang satbilitas poltik atau ekonomi Indonesia. Tetapi
disisi lain, impor yang dilakukan oleh pemrintah tersebut berdampak terhadap
para petani Indonesia.

2.1.5 Ketentuan Umum impor dan Peraturan Impor Beras


2.1.5.1 Ketentuan Umum Impor
Dalam rangka mengantasipasi dampak liberalisasi dan Globalisasi
perdangangan internasional yang berkembang pesat saat ini, serta untuk
memberikan perlindungan bagi kepentingan ekonomi nasional dari pengaruh
negative pasar global, peningkatan taraf hidup petani, serta mendorong
terciptanya kondisi perdagangan dan pasar perdagangan dalam negri yang sehat
dan iklim usaha yang kondusif maka pemerintah melalui Departemen
Perdagangan, menerbitkan Peraturan Mentri Perdagangan Nomor 54/M-
DAG/per/10/2009 tanggal 09 oktober 2009 tetang ketentuan umum di bidang
impor.
Pokok ketentuan dalam permendag Nomor 54/M-DAG/per/10/2009,
antara lain,
1. Impor hanya dilakuakan oleh importer yang memilki Angka Pengenal
Importir (API). Namun importir tertentu dapat melakukan impor tanpa
mempunyai API berdasrkan atas pertimbangan dan alas an yang
ditetapkan oleh mentreri.
2. Barang yang di impor harus dalam keadaan baru dan dalam hal tertentu
menteri dapat menetapkan barang yang di impor dalam keadaan bukan
baru beradsarkan peraturan perundang-undangan, kewenagan menteri atau
usulan atau pertimbangan teknis dari instansi pemerintah lain.
3. Terhadap impor tertentu dapat di tetapkan pengaturan impor tersendiri,
kecuali barang yang secar tegas dilarang untuk impor berdasarkan
peraturan undang-undang
4. Penganturan impor barang atas barang tertentu ditetapkan atas
pertimbangan dan dalam rangka perlindungan keamanan, perlindungan
kosumen, perlindungan kesehatan: yang berkaitan dengan manusia dan
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Perlindungan social, budaya dan moral
masyarakat : perlindungan kepentingan pembangunan ekonomi nasional
lainnya, termasuk peningkatan taraf hidup petani-produsen, penciptaan
kondisi perdagangan dan pasar dalm negri yang sehat dan iklim usaha
yang kondusif, dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
5. Pelakasanaan pengaturan impor atas barang terntertu dilakuakan atas
mekanisme pengakuan sebagai importer barang tertentu yang melakukan
kegiatan impor untuk keperluan diperdagangkan atau di pindah tangankan,
kepada pihak lain.

2.1.5.2 Pertaturan Impor Beras


Berkaitan dengan komuditi beras maka di bawah ini akan dijelaskan
mengenai beberapa kebijakan yang berhubungan dengan kebijakan tata niaga
impor beras . kebiajakan yang akan diterangkan merupakan amanat dari undang-
undang No 7 Tahun 1996 tentang pangan dan peraturan pemerintah No 68 Tahun
2002 Tentang Ketahanan Pangan, sebagai peraturan pelaksanaan UU No 7 Tahun
1996. Kebiajakan tersebut antara lain :
a. Intruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009
Tentang Kebijakan Perberasan.
Inpres ini menrangkan bahwa dalam kebijakan stabilitas ekonomi
nasional dalam, meningkatkan pendapatan petani, peningkatan ketahanan
pangan, dan pengembangan ekonomi pedesaan. Kebijakan perberasan
dibuat sebagai akibat dari perkembangan nasional dan global dibidang
pangan, khususnya perberasan. Berkaitan dengan impor beras, bahwa
dalam menjaga kepentingan petani dan konsumen maka pemerintah
menetapkan kebijakan impor beras secara terkendali. Impor beras
dilakukan apabila ketresedian beras dalam negri tidak
tercukupi, untuk kepentingan memenuhi cadangan beras pemerintah, dan
atau untuk menjaga stabilitas harga dalam negri.
b. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
12/MDAG/04/2008 Tentang Impor Dan Ekspor Beras
Pertauran impor beras diterangkan dalam permendag Nomor
12/MDAG/04/2008 tanggal 11 April tentang ketentuan impor dam ekspor
beras. Permendag ini dibuat berdasarkan perhitungan bahwa bereas
merupakan komoditi yang strategis sebagai bahan pangan masyarakat
Indonesia. Sehingga kegiatan penyediaan, produksi, pengadaan dan
distribusi beras menjadi sangat penting untuk ketahanan pangan,
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani beras, kepentingan
konsumen, serta menciptakan kestabilan ekonomi nasional.

Permendag ini mebagi impor menjadi 3 bagian :


1. Impor beras untuk keperluan stabilisai harga, penanggulangan keadaan
bahaya, masyarakat miskin dan kerawanan pangan adalah pengadaan beras
dari luar negri sebagai cadangan yang sewaktu-waktu dpat dipergunakan
oleh pemerintah.
2. Impor beras untuk keperluan tertentu, adalah pengadaan beras dari luar
negri terkait dengan faktor kesehatan, konsumsi khusus atau segmen
tertentu dan pengadaan benih serta untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku/penolong industry yang tidak atau belum sepenuhnya dapat dipenuhi
dari sumber dalam negri.
3. Impor beras hibah adalah penagadaan beras dari luar negri oleh lembaga
atau organisasi sosial atau badan pemerintah untuk diberikan kepada
masyarakat Indonesia dan tidak diperjual belikan.
A. MELAMBUNGNYA HARGA KEDELAI

Harga kedelai yang telah mencapai harga Rp. 8.000,- membuat para produsen
tahu dan tempe kewalahan dalam memperoleh bahan baku pembuatan tahu dan
tempe. Dulu orang bangga makan Semur daging dan ayam opor, ketimbang
makan tahu tempe, tapi kini tahu dan tempe barang mahal dan langka. Namun
siapa sangka hari ini tahu dan tempe menjadi makanan elit atau bahkan nyaris
hilang dari pasar karena aksi mogok para produsen tahu dan tempe yang menuntut
diturunkannya harga kedelai yang melonjak cukup tinggi. Para produsen tahu
tempepun menyiasiati mahalnya harga kedelai yang melonjak cukup tinggi
tersebut dengan memperkecil ukuran tahu tempenya. Akankah tahu dan tempe
menjadi barang yang langka ataupun kalau ada harga bisa melebihi seekor ayam
potong?

Sebenarnya masalah kenaikan harga kedelai ini adalah ulangan kejadian tahun
2008. Pada saat itu, banyak pengusaha tahu dan tempe harus
menghentikan produksinya karena kenaikan biaya produksi yang tidak sebanding
dengan harga jual. Solusi yang diberikan pemerintah pada waktu itu adalah
mencari sumber impor kedelai dari negara lain selain AS. Penulis yakin solusi
untuk mengatasi kenaikan harga kedelai tahun ini juga sama, yaitu mengimpor
kedelai dari negara lain selain AS. Namun demikian, solusi itu tidak mengatasi
masalah mendasar dari industri ini yaitu kerentanan bahan baku dari fluktuasi
harga dan pasokan.

Pada dasarnya hampir semua industri berbasis produk pertanian di Indonesia


mempunyai masalah yang sama dengan industri tempe dan tahu. Hal ini
merupakan akibat ketidakjelasan tata kelola industri nasional secara menyeluruh.
Pelaku industri dan pemerintah cenderung mencari jalan keluar instan yang hanya
bersifat sementara, ada pun masalah fundamental tetap tidak terpecahkan.

Untuk mengatasi melonjaknya harga kedelai, pemerintahpun segera mengambil


langkah-langkah untuk dapat menurunkan harga kedelai dengan memberikan dan
memfasilitasi keleluasaan kepada Koperasi Pengrajin Tahu dan Tempe untuk
mengimpor langsung kedelai. Kementerian Perdagangan juga telah melakukan
pembicaraan dengan pengimpor kedelai untuk tidak mengambil keuntungan yang
tinggi di dalam situasi kedelai dunia yang sedang mendapatkan persoalan karena
kekeringan dan China mengimpor kedelai yang sangat besar lebih dari 60 juta
ton, lanjut Hatta.

Harga bahan baku kedelai impor dari Amerika Serikat (AS) naik sampai kisaran
Rp7.800-Rp8.000 per kilogram dari sebelumnya hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per
kilogram. Kondisi ini memaksa pengusaha tahu tempe untuk menghentikan
produksi mereka. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tahu dan tempe sejak
lama menyimpan masalah laten yaitu ketergantungan bahan baku terhadap kedelai
impor. Hal ini sebenarnya ironis mengingat tahu dan tempe sering disebut
makanan asli Indonesia, tetapi bahan bakunya justru diimpor dari AS. Penyebab
utama kenaikan harga bahan baku kedelai sebenarnya dipicu oleh kekeringan
yang melanda daerah pertanian utama di Midwest, AS. Departemen Pertanian AS
menyebutkan produksi kedelai turun dari 81,25 juta ton pada tahun musim panen
tahun 2011 menjadi 76,25 juta ton pada musim panen tahun ini.

Menko Perekonomian mengajak semua pihak untuk terus mendorong petani-


petani kedelai kita untuk terus meningkatkan produksi dan memanfaatkan, situasi
keadaan dunia yang sedang kekurangan ini.

B. AKAR PERMASALAHAN

Menteri Pertanian Suswono mengatakan melonjaknya harga kedelai saat ini akibat
petani beralih ke komoditas jagung. Komoditas jagung dinilai lebih menjanjikan
karena harganya lebih tinggi. "Jagung dan kedelai ditanam dalam waktu yang
sama. Saat ini petani cenderung beralih ke jagung. Sebab dengan harga kedelai Rp
5 ribu, petani berat untuk kedelai," kata Menteri Pertanian Suswono saat ditemui
di kantornya, Jakarta, Selasa, 24 Juli 2012.Pada Januari lalu harga eceran kedelai
hanya Rp 5.500 - Rp 5.600 per kilogram. Namun saat ini harganya sudah
mencapai Rp 8 ribu per kilogram.
Kenaikan harga kedelai juga disebabkan produksi kedelai di Amerika Serikat
menurun. Padahal, Negeri Abang Sam ini adalah penghasil kedelai terbesar di
dunia dan sumber ekspor kedelai ke Indonesia. Selain itu, kata Suswono, Cina
mulai membeli kedelai secara besar-besaran. Akibatnya, pasokan kedelai di pasar
dunia menipis

Harga kedelai yang melonjak ini membuat perajin tempe dan tahu berniat mogok
kerja. "Inilah persoalan ketika harga kedelai tinggi, maka produsen tempe dan
tahu yang akan berteriak. Karena kita masih impor kedelai 60 persen dan 40
persen lokal," ujar Suswono.

Bayangkan saja kebutuhan nasional kedelai 2,4 juta ton/tahun. Demand


(permintaan) sebesar itu hanya bisa dipenuhi di dalam negeri sekitar 600 ribu/
tahun. Terdapat kekurangan yang mencapai 1,8 juta ton/tahun.Ini adalah peluang
!!!! Peluang bagi penduduk anak negeri. Peluang itu bisa menciptakan ratusan
ribu pekerjaan baru bagi anak negeri. Bahkan bisa berdampak efek domino,
menggerakan ekonomi dalam negeri dalam skala luas.

Permasalahan kedelai ini dapat digolongkan dalam 5 kategori :

1. Kebijakan Pemerintah

Ini adalah masalah utama. Contohnya adalah kepemilikan lahan. Beberapa tahun
yang lalu, sudah ada RUU Lahan Pertanian abadi

Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA ) Winarno Tohir
mengatakan, RUU Lahan Pertanian Abadi yang disampaikan pemerintah kepada
DPR dan baru dibahas mulai awal tahun ini. Sayang, perkembangan
pembahasannya belum juga menunjukkan perkembangan.Agar ada kepastian
untuk ketersediaan lahan pertanian, sudah seharusnya RUU ini cepat
diselesaikan, ujar Winarno, Sabtu (15/11).Winarno menjelaskan, RUU Lahan
Pertanian Abadi dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang antara pertumbuhan
penduduk dengan ketersediaan lahan pertanian. Bila tidak, bukan tidak mungkin
Indonesia bakal kesulitan suplai pangan.Di dalam RUU tersebut, lanjut dia,
disebutkan ada jaminan untuk lahan pertanian. Itu dalam artian, masyarakat
diwajibkan menyediakan lahan pertanian baru bila ingin mengalihfungsikan lahan
pertanian yang ada untuk fungsi lain seperti diganti untuk perumahan. Jadi
prinsipnya boleh menggunakan lahan pertanian asal menggantikan lahan baru
untuk lahan pertanian yang dipakai, sambungnya.

2. Bea Masuk Kedelai

Selanjutnya, Menaikkan biaya masuk kedelai. Menurut saya, biaya masuk tarif
impor kedelai 5 % terlalu rendah. Dengan menaikkan biaya ini, maka harga
kedelai bisa mahal. Dan ini peluang bagi petani kedelai. Bukannya malah
menjadikan tarif impor menjadi 0 %. Dimana logikanya?

Malah hari ini, pemerintah telah menghapus bea masuk kedelai. Alasannya karena
darurat. Alasanyang tidak tepat. Masa darurat terjadi berkali-kali. Ingat tahun
2008, kita juga sudah pernah mengalaminya.

3. Tata Niaga Kedelai

Bila harga sedang naik, petani cendrung latah tanam kedelai. Hasilnya, harga
jeblok. Petani rugi. Tak mau lagi tanam kedelai. Ini adalah dilema. Menentukan
tata niaga kedelai bisa dijadikan ajuan bagi petani kedelai. Ada harga ekonomis
terendah bagi kedelai.

4. Pola Pikir

Saya sudah menjelasakan dalam tulisan mengenal musim tanam dan pola
tanam dan pola tanam padi sawah dan IP 400. Dengan cara sederhana,
menerapkan pola tanam yang benar maka hasil kedelai bisa tingkatkan. Bahkan
bisa swasembada kedelai. Tapi pola pikir pengambil kebijakan dan sebagian besar
para petani terbalik. Mereka ingin agar sawahnya, ditanam padi selama 1 tahun.
Bahkan kalau bisa menjadi IP 400. agar swasembada padi berkelanjutan. Pola
pikir terbalik juga terdapat pada SL PTT padi dan kedelai. Di daerah tertentu
dengan SL PTT padi, kadang poktan diberikan benih yang lama seperti Ciherang
(2000). Padahal, di daerah tsb sudah ada yang tanamin padi.
Demikian pula dengan kedelai. Ada daerah tertentu yang mendapatkan SL PTT
kedelai. Yang didapat varietas anjasmoro, padahal ada varietas lain seperti
grobogan yang jelas-jelas di daerah tsb sudah terbukti unggul. Akibatnya yaitu
hasil padi yang digadang-gadang malah hasilnya kurang. Jumlah air yang
dibutuhkan banyak. Hama dan penyakit padi meningkat. Dan banyak kerugian
lagi yang didapatkan. Bila ada contoh dari daerah tertentu seperti Grobogan.
Harusnya daerah lain mencontoh. Dan tugas pemerintah menyebarkan
keberhasilan daerah yang sudah bagus dalam hal ini penanganan kedelai.

5. Program Berkelanjutan

Pertama, mulai dari penciptaan kedelai lokal yang sesuai pasar. Memberi insentif
bagi para pemulia tanaman kedelai. Kedua, membuat sekolah khusus yang
berkaitan dengan kedelai. Didik tenaga-tenaga muda yang akan menjadi ahl-ahli
kedelai. Buat sekolah yang dibiayai oleh pemerintah. Ketiga, menciptakan
penangkar-penangkar benih kedelai. Dari adanya penangkar-penangkar inilah
akan tercipta ribuan tenaga kerja. Belum lagi, di kebun pangkar perlu pupuk
organik, pupuk kimia dll. Dari pupuk organik, akan tercipta ribuan tenagakerja
baru. Dari mulai proses distribusi akan ada tenaga kerja baru yang tercipta dst dst.
Keempat, menciptakan daerah unggul kedelai. Untuk jagung, provinsi Gorontalo
sudah menjadi pelopornya. Kelima, memetakan daerah-daerah yang lahannya
terlantar. Lahan-lahan ini bisa dijadikan lahan kedelai.

Faktor lain yang tak kalah penting, yaitu ketergantungan Indonesia terhadap
kedelai impor menjadikan industri pengguna kedelai terbelenggu oleh harga
komoditas ini di pasar global. Maklum, hampir 90% kebutuhan kedelai dalam
negeri masih harus dipasok dari beberapa negara, terutama Amerika Serikat (AS)
dan Amerika Selatan. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun
2011, total produksi kedelai produksi dalam negeri hanya mencapai 851.286 ton
atau memasok 29% dari total kebutuhan dalam negeri yang mencapai hampir 2,6
juta ton (lihat tabel).

Alhasil, sisa kebutuhan ditutup oleh kedelai impor yang mencapai 2,09 juta ton.
Hampir 80% di antaranya berasal dari AS (1,85 juta ton). Oleh karena itu, kondisi
di negara penghasil kedelai sangat berpengaruh pada pasokan dan harga. Tren
kenaikan harga kedelai saat ini, misalnya, dipicu oleh kekeringan di sebagian
wilayah AS, termasuk di sebagian setra pertanian. Departemen Pertanian AS
menyatakan, 1.300 kota di 29 negara bagian mengalami kekeringan sehingga
mengakibatkan kondisi lahan berada pada level terburuk sejak 1988. Saat itu,
produksi kedelai negara itu anjlok 20% dibanding tahun sebelumnya.

Katakanlah kekeringan di AS tidak terjadi. Problem lain yang menggelayuti


industri pengguna kedelai adalah tata niaga kedelai masih dikuasai oleh beberapa
perusahaan. Ada empat importir besar dan beberapa puluh distributor yang leluasa
menentukan harga. Jadi, tidak mudah mengubah system perdagangan yang sudah
mengakar ini.

C. MENANTI SOLUSI DARI PEMERINTAH

Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi krisis tingginya harga


kedelai. Sayang, kebijakan ini tak bisa otomatis menurunkan harga karena
pasokan kedelai sangat dipengaruhi beberapa faktor yang perlu solusi jangka
panjang. Dalam rencana kerja Kementerian Pertanian, untuk mencapai
swasembada kedelai pada 2014, maka produksi harus mencapai 2,7 juta ton.
Namun, upaya swasembada ini masih terkendala masalah lahan. "Swasembada
kedelai memerlukan tambahan lahan minimal 500 ribu hektare," kata dia. Saat ini
pihaknya sedang mengupayakan menambah lahan yang diinventarisasi oleh
Badan Pertanahan Nasional. Kementerian Pertanian dan BPN sepakat untuk
meretribusi lahan untuk kebutuhan pertanian. Dalam satu bulan ke depan,
pihaknya bersama BPN akan mengkaji lahan mana yang bisa didistribusikan
kepada petani. Namun, jika ternyata tak kunjung terealisasi, maka akan diterapkan
pola inti-plasma. Suswono juga punya rencana lain. Untuk menggenjot produksi
kedelai, maka akan dilakukan dengan sistem tumpang sari. Potensi penanaman
sistem tumpang sari ini bisa setara perluasan lahan 200 ribu hektare. Musim
kemarau dianggap cocok untuk mulai menanam kedelai.
Agar tidak bergantung pada penambahan lahan, Kementerian Pertanian akan
mengupayakan peningkatan produktivitas dari 1,3 ton per hektare menjadi 1,54
ton per hektare. Lalu pemberian bantuan benih unggul, meningkatkan penggunaan
pupuk, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. "Dalam dua tahun
masih memungkinkan untuk swasembada," katanya.

Aksi mogok para produsen tempe dan tahu selama tiga hari sampai akhir pekan
lalu memaksa pemerintah bergerak. Menjawab aspirasi para produsen tempe tahu
yang mengeluhkan harga kedelai yang makin tinggi sejak Mei 2012 lalu, lewat
Kementerian Perdagangan (Kemendag), pemerintah member solusi.

Pertama, menghapus bea masuk impor kedelai dari 5% menjadi 0% mulai


Agustus hingga Desember 2012, sebagai solusi krisis kedelai dalam jangka
pendek. Kedua, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan juga menyebutkan bahwa
pemerintah akan memfasilitasi Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Kopti) untuk
mengimpor kedelai sendiri, termasuk kemungkinan kerjasama dengan Perum
Badan Urusan Logistik (Bulog).

Meski pemerintah berharap solusi jangka pendek itu begitu manjur, para pelaku
industri kedelai menganggap kebijakan ini kurang efektif. Menurut Sutaryo,
Ketua Umum Induk Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Inkopti),
penghapusan bea masuk tak serta-merta bisa dinikmati oleh para perajin tempe
dan tahu. Sebab, kebijakan itu baru berlaku untuk kedelai impor yang masuk
mulai 1 Agustus 2012. Pengaruhnya ke harga baru bisa dirasakan pada
September atau Oktober nanti, tuturnya.

Sejatinya, tujuan para perajin tempe dan tahu mogok hanya satu: meminta agar
harga kedelai lebih stabil. Sutaryo yakin, jika komoditas kedelai diserahkan
sepenuhnya ke mekanisme pasar, sangat susah menciptakan stabilitas harga.
Alhasil, perlu ada pembenahan tata niaga yang mampu mengimbangi dominasi
importir besar supaya harga lebih stabil. Tapi, dia pesimistis, mengubah tata niaga
juga tak akan berumur lama. Setiap ganti pejabat dan pemerintahan, muncul
kebijakan baru. Karena itu, yang paling penting, pemerintah fokus menjalankan
strategi jangka panjang untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Tak
cukup menggembar-gemborkan target swasembada, tapi perlu ada program yang
nyata dan terarah. Salah satunya adalah mencari solusi untuk ketersediaan lahan
penanaman kedelai dalam jumlah besar. Sampai tahun lalu, lahan produksi kedelai
hanya 630.000 hektare. Indonesia butuh minimal 1,2 juta hektare tambahan lahan
untuk mencapai swasembada kedelai, ujar Benny A. Kusbini, Ketua Umum
Dewan Kedelai Nasional.

Selain itu, produktivitas tanaman kedelai lokal juga harus ditingkatkan. Sebagai
contoh, tingkat produktivitas pertanian kedelai di AS bisa mencapai 2,6 juta ton
per hektare. Sementara, rata-rata produktivitas tanaman kedelai di Indonesia baru
mencapai 800 kilogram (kg) hingga 1 ton per hektare. Kualitas hasil panen
kedelai juga perlu jadi perhatian. Menurut Rachmat Hidayat, Direktur Urusan
Perusahaan PT Cargill Indonesia, para produsen makanan lebih menyukai kedelai
impor asal AS lantaran warnanya putih dengan ukuran yang lebih besar dan
seragam. Beda dengan kedelai lokal yang ukurannya lebih kecil. Kedelai lokal
banyak diserap oleh produsen pakan ternak, katanya

Pengelolaan sektor pertanian lebih mudah untuk dikonsepkan daripada


dilaksanakan. Ada empat hal yang harus ditata dalam sektor pertanian, yaitu
inovasi teknologi pertanian, alih fungsi lahan, kelembagaan dan stabilisasi harga.
Inovasi teknologi pertanian di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan dengan
tingkat kemajuan luar biasa. Kemampuan beberapa perguruan tinggi dan lembaga
riset pertanian untuk mengembangkan bibit unggul dan teknik pengendalian hama
bisa diandalkan. Hanya saja respons pemerintah untuk menggunakan teknologi ini
sebagai prosedur standar dalam pengelolaan tanaman produktif tidak bisa
diharapkan. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman di beberapa
kota besar tidak terkendali sehingga berdampak pada produksi pertanian.

Perubahan peran Bulog sebagai lembaga yang mempunyai kemampuan mengatur


pasokan produk pertanian sangat mempengaruhi jumlah pasokan produk pertanian
yang strategis. Dalam kasus krisis tahu tempe, peran pihak swasta importir kedelai
sangat besar. Penulis yakin jika dampak kekeringan di AS sudah selesai dan
pasokan kedelai di sana normal, harga kedelai tidak akan turun serta merta karena
perilaku mencari untung dari para importir.
Kelemahan utama sektor pertanian adalah harga produk pertanian yang
fluktutatif. Hal ini juga terkait dengan peran Bulog yang tidak diberi kewenangan
untuk melaksanakan stabilisasi harga. Dalam pengelolaan sektor pertanian,
pemberlakuan kebijakan harga tetap diperlukan karena akan menjamin petani
bersedia menanam komoditas pertanian strategis seperti kedelai. Kebijakan harga
tetap jelas membutuhkan subsidi, namun mekanismenya bisa disesuaikan dengan
pemberian subsidi pada pengadaan bibit dan pupuk sehingga harga jual tetap
menguntungkan petani.

Berdasarkan paparan ini kita bisa melihat bahwa krisis tahu tempe, makanan yang
sering dianggap sepele ternyata solusinya tidak sepele. Selain itu, solusi masalah
ini akan menyelesaikan permasalahan lain di dalam sektor pertanian maupun
industri secara umum di Indonesia.
POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

Di Indonesia areal lahan sawah yang beririgasi mempunyai posisi yang sangat
strategis. Sebagian besar produksi padi dihasilkan dari areal yang strategis ini,
yang diperkirakan mencapai 6,7 juta hektar. Apabila areal ini berkurang dalam
jumlah besar , akan mempunyai dampak buruk terhadap produksi beras nasional
(Berita Indonesia, 2007). Areal padi sawah memiliki peranan penting untuk
menentukan keamanan pangan. Lebih dari 90% beras yang dikonsumsi di
Indonesia adalah produksi sendiri dan sekitar 95% dari produksi ini dihasilkan
dari lahan sawah (Ginting, 2005).

Hamparan lahan sawah memiliki berbagai peran yang sangat strategis. Ditinjau
dari segi ekologi dapat sebagai media hidup hewan air tawar, penghasil O2, untuk
konservasi tanah dan air, mencegah atau mengurangi terjadinya banjir. Lahan
sawah dapat juga sebagai obyek agrowisata. Potensi ingi sangat penting untuk
menjamin kelangsungan hidup manusia.

Cepatnya proses pembangunan mempunyai implikasi terhadap peningkatan


pemanfaatan lahan subur, tidak terkecuali lahan sawah. Adanya alih fungsi lahan
dari lahan sawah ke yang bukan sawah berakibat banyak hal yang sangat berharga
hilang bagi Negara, seperi penurunan lahan subur, adanya peningkatan investasi
di bidang infrastruktur untuk irigasi, hilangnya kesempatan kerja bagi petani yang
kehilangan sawahnya, pengurangan areal tanaman pangan dan dampak lebih
lanjut mengancam keamanan sistem pangan nasional.

Data Menteri Pertanian menunjukkan bahwa dari tahun 1982 sampai tahun 1985
dan dari tahun 1998 sampai tahun 1999 diperkirakan terjadi alih fungsi lahan
sawah ken non padi atau areal pertanian mencapai 246.000 ha. Konversi ini
diperuntukkan untuk perumahan 30 %, industri 7%, lahan kering 20%,
perkebunan 25%, kolam 3% dan penggunaan lainnya 15 %. Dalam periode 5
tahun seperti yang disebutkan diatas jelas ditunjukkan bahwa laju konversi hampir
50.000 ha per tahunnya. Sangat disayangkan, sebagian besar lahan sawah yang
mengalami alih fungsi lahan sekitar 90% terjadi di Jawa (Jawa Barat, Jojakarta
dan Jawa Timur) yang diperkirakan 60% dari produksi padi nasional (Suprapto,
2000). Selanjutnya disebutkan pula bahwa untuk menutupi atau mengganti lahan
subur yang hilang di Jawa dengan mengembangkan lahan baru di luar Jawa,
ternyata tidak mudah.Tambahan pula terkait dengan masalah biaya,dan
kebanyakan lahan yang ada di luar jawa tidak seproduktif tanah atau lahan yang
ada di Jawa.

PRODUKSI, KEBUTUHAN DAN KETAHANAN PANGAN BERAS

Produksi atau persediaan beras merupakan sumber utama untuk kebutuhan dan
terpenuhinya kebutuhan menunjukkan tingkat ketahanan pangan beras itu sendiri.
Apabila persediaan lebih rendah dari kebutuhan maka ketahanan lemah, untuk
menutupi kebutuhan harus ada impor. Apabila persediaan sama dengan kebutuhan
ketahanan pangan khususnya beras masih dalamkondisi berimbang atau pas-
pasan, belum stabil sehingga impor masih perlu dilakukan. Apabila persediaan
melebihi dari kebutuhan, apalagi surplusnya itu banyak dan berkelanjutan
misalnya sampai bisa mengekspor beras, berarti ketahanan pangan beras mantap
dan kuat. Sebenarnya situasi ini yang diinginkan oleh Negara. Indonesia terkait
dengan ketahanan pangan beras situasinya belum mantap, impor beras masih
sangat sering dilakukan. Sebagai gambaran mengenai keseimbangan antara
produksi dan kebutuhan beras di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Keseimbangan Produksi dan Kebutuhan Pangan Beras Tahun 2001 -


2004 (ton)

Selama empat tahun dari tahun 2001 2004 terjadi defisit beras. Hal ini berarti
untuk memenuhi kebutuhan mau tidak mau harus dilakukan impor paling tidak
sejumlah defisit untuk setiap tahun yang bersangkutan (Tabel 1). Dari sumber lain
juga didapatkan bahwa pada tahun berikutnya yaitu tahun 2005 masih terjadi
impor beras 16 ribu ton, tahun 2006 impor 150 ribu ton dan tahun 2007 mencapai
500 ribu ton. Pada tahun 2008 tidak terjadi impor dan pada tahun 2009 sudah
memancangkan bendera swasembada beras (Anon, 2011). Namun pada tahun
2010 kembali terjadi impor beras sebanyak 1,2 juta ton dan pada tahun 2011
diperkirakan impor meningkat deiroyeksikan menjadi 1,75 juta ton. Sejumlah
Lembaga Internasional menyatakan Indonesia bakal menjadi Importir beras ke
empat terbesar di Dunia (RMOL, 2011).

Berdasarkan kenyataan di atas, perencanaan secara matang perlu dilakukan untuk


kestabilan ketahanan pangan beras secara berkelanjutan. Dalam tulisan ini
dikemukakan contoh Daerah Bali terkait dengan ketahanan pangan. Gambaran
mengenai ketahanan pangan daerah Bali atas dasar kemampuan produksi dan
konsumsi beras diuraikan dengan data statistik yang tersedia serta menggunakan
asumsi-asumsi yang dapat diterima.

Jenis data di antaranya berupa luas panen, produktivitas, dan produksi beras
periode tahun 2006-2010. Selain itu, data jumlah penduduk dibutuhkan untuk
konsumsi beras pada periode tahun yang sama. Asumsiasumsi yang digunakan
untuk membantu perhitungan berturut-turut diantaranya adalah rata-rata laju
pertumbuhan penduduk 2,0%/tahun, ratarata konsumsi beras 135 kg/jiwa/tahun,
dan rendemen beras 55% dari bobot gabah berat kering giling (GKG).
Selanjutnya, dibuat proyeksi melalui perbandingan antara produksi dengan
konsumsi beras serta menghitung keseimbangannya selama periode 2006-2010.
Nilai proyeksi perbandingan produksi dengan konsumsi beras (p:k) > 1 berarti
terjadi surplus beras dan situasi ini yang senantiasa selalu diharapkan; apabila
nilai p:k=1 berarti terjadi keseimbangan; dan p: k < 1 berarti defisit. Hasil
perhitungan keseimbangan produksi dan konsumsi beras daerah Bali periode
2006-2010 ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Keseimbangan Produksi dan Konsumsi Beras di Daerah Bali Tahun 2006
2010
Pada tahun 2006, Bali masih mengalami surplus beras sekitar 6 ribu ton (Tabel 2).
Namun, tahun-tahun berikutnya terjadi defisit pada kisaran 700 - 32.000
ton/tahun. Berdasarkan pendekatan demikian, dapat dikatakan bahwa Bali
mengalami defisit beras sejak tahun 2007, yang berarti persediaan beras untuk
Bali harus didukung oleh Provinsi lain.

Berdasarkan gambaran tersebut, beberapa alternatif solusi dibutuhkan dalam


kerangka ketahanan pangan daerah atas dasar kemampuan produksi, sebelum
regulasi impor beras dilakukan yaitu : (a) Menekan laju konversi lahan sawah
sampai di bawah 100 ha/tahun melalui regulasi insentif terhadap petani sawah; (b)
Meningkatkan luas tanam padi sampai IP 4 (indeks panen empat kali dalam satu
tahun) dan produktivitas tanaman ditingkatkan sampai 10 ton/ha GKP melalui
perbaikan teknik budidaya dan penggunaan varietas unggul baru (VUB); (c)
Mengendalikan laju pertumbuhan penduduk sampai di bawah 1 % per tahun
melalui program Keluarga Berencana (KB) dan (d) Melaksanakan program
keanekaragaman pangan yang dimulai dari penduduk perkotaan.

KENDALA DAN STRATEGI MEMPERTAHANKAN KETAHANAN


PANGAN BERAS

Pemilikan lahan sempit dan pendapatan yang rendah


Pemilikan lahan sawah di Bali dan juga di Indonesia rata-rata kurang dari
setengah hektar. Pemilikan lahan yang sempit berakibat pendapatan petani rendah,
yang sudah tentu tidak mencukupi kebutuhan keluarga untuk hidup. Situasi ini
mendorong petani untuk memanfaatkan lahannya ke sektor non pertanian yang
lebih menjanjikan memberikan pendapatan yang lebih tinggi. Pendapatan petani
dari lahan sawah baru cukup sesuai untuk keluarga atau petani,apabila petani atau
keluarga memiliki lahan sawah 2 ha atau minimum 1 ha (Sumarno dan
Kartasasmita, 2008).

Kenyataannya sangat sulit untuk menyetop alih fungsi lahan sawah

Fakta menunjukkan, bahwa alih fungsi lahan sawah memang terus berlangsung.
Ironi memang disatu pihak negara harus memiliki ketahanan pangan bahkan
kedaulan pangan, namun disisi laini alih fungsi lahan lahan sawah terus
berlangsung. Situasi ini jelas dapat mengancam ketahanan pangan sekaligus
kedaulatan pangan beras. Oleh karena itu memang sangat perlu adanya regulasi
untuk melindungi lahan sawah sehingga ada lahan sawah abadi untuk
mengasilkan beras secara berkelanjutan. Adanya perencanaan tata ruang wilayah
yang mantap baik regional maupun nasional yang memposisikan lahan sawah
sebagai ruang yang abadi akan sangat mendukung kebijakan ini.

Adanya pandangan bahwa lahan pertanian hanya berfungsi untuk menghasilkan


produk pertanian

Sebagain besar masyarakat beranggapan bawah lahan pertanian termasuk lahan


sawah di dalamnya hanya berfungsi untuk menghasilkan produk pertanian atau
beras saja. Pendapat ini dapat memotivasi bahwa alih fungsi lahan sawah
merupakan suatu hal yang biasa terjadi. Padahal lahan pertanian itu memiliki
fungsi yang sangat banyak untuk menopang kehidupan umat maunusia. Fungsi-
fungsi tersebut adalah sebagai penghasil produk pertanian, antisipasi banjir,
pengendali erosi tanah,memelihara pemasukan cadangan air tanah, antisipasi
CO2, pendingin udara, pendaur ulang sampah organik dan juga sebagai
pemelihara biodiversitas tanah dan bahkan telah diidentifikasi bahwa lahan
pertanian memiliki 30 jenis fungsi yang sanat perlu untuk dilindungi (Salama,
2010). Fungsi Pertanian yang vital ini harus ditularkan kepada masyarakat secara
terus menerus untuk mendapat persepsi dan langkah yang sama, bahwa alih fungsi
lahan sawah itu harus dihindari.

Peningkatan produksi melalui penterapan paket teknologi

Peningkatan produksi sangat penting untuk mengkompensasi produksi yang


hilang akibat adanya alih fungsi lahan. Santosa et al. (2009) mengemukakan
bahwa penterapan paket teknologi dapat meningkatkan produksi sampai 12,39 ton
per hektar sementara di tingkat petani rata-rata hanya 8 ton per hekar. Hal ini
berarti tejadi peningkatan produksi sebesar 50 % lebih, yang berarti pula dapat
menutup 50% areal yang mengalami alih fungsi. Meskipun demikian alih fungsi
lahan tetap dihindari.

Fenomena iklim ekstrim

Disadari bahwa belakangan ini kondisi sumbedaya air semakin terbatas, akibat
perubahan prilaku iklim,terjadinya anomali iklim seperti peristiwa El Nino yaitu
iklim kering yang lebih kering dari normalnya (Boer, 2003), serta perubahan
kondisi wilayah tangkapan air. Di pihak lain, keberlanjutan program
pembangunan, menuntut adanya dukungan persediaan sumberdaya air yang
semakin meningkat. Oleh karena itu, semua pihak yaitu sektor-sektor pengguna
air termasuk masyarakat petani dihadapkan pada permasalahan ketersediaan
sumberdaya air yang semakin terbatas. Atas dasar permasalahan ini, maka konsep
pembangunan pertanian ke depan tidak cukup hanya menekankan pada
peningkatan produksi, tetapi juga sekaligus menyangkut upaya pengaturan dan
pemakaian air yang hemat serta melakukan konservasi terhadap sumberdaya air.
Oleh karena konservasi terhadap sumberdaya air merupakan kunci utama untuk
keamanan pangan secara berkelanjutan (Santosa, 2008).

Gangguan organisme penyerang tanaman

Dalam usaha untuk meningkatkan produksi beras sering pula terkendala oleh
adanya Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Seperti contoh di Bali tahun
2007, OPT yang menyerang tanaman padi terdiri dari 14 jenis hama dan 7 jenis
penyakit, diantaranya yang dominan serangannya adalah penggerek batang (1.799
ha), Tikus (739 ha), penyakit Tungro (1.304.50ha), Ulat Grayak (270 ha) dan
Hama putih palsu/HPP (128 ha)(BPS Bali,2010). Dalam tahun-tahun berikutnya
serangan OPT ini berpeluang serangannya semakin meningkat. Oleh karena itu,
usaha pengendalian hendaknya diprogram lebih mantap atas dasar Pengendalian
Hama Penyakit Terpadu.

Diversifikasi bahan pangan

Solusi yang lain, dianjurkan untuk melakukan diversifikasi bahan pangan (non
beras) lebih intensif seperti jagung, kedelai, kacang tanah, umbiumbian dan
mengerjakan lahan kering lebih intesif, terutama untuk bahan pangan ini. Seperti
disebutkan di atas di Indonesia lahan kering jauh lebih luas dibanding lahan
sawah. Lahan kering meliputi 87,16 juta hektar (Utomo, 2002) sementara lahan
sawah hanya 7,78 juta hektar (BPS Indonesia, 2002). Oleh karena itu lahan kering
memiliki peluang yang sangat baik untuk dikembangkan ke depan.
Ginting, M.2005. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Pertanian Padi Sawah Terhadap Pendapaan Petani (Studi Kasus di Desa Munte
Kabupaten Karo).Tesis.Program Pascasarjana Sumatera Utara.

Iqbal, M. 2007. Fenomena dan Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam


Pengendalian Konversi Lahan Sawah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat.
Puat Analisis Sosial EkonomiDan Kebijakan Pertanian. Jalan A.Yani No.70,
Bogor 16161.

RMOL. 2011. Miris: Indonesia Masih Impor Beras.


www.rakyatmerdekaonline.com.

Salama, S.H.2010. Alih Fungsi lahan dan Krisis Pangan. Metro News.
http//metronews. fajar.co.id/read/84302/19/alih-fungsi-lahan-dan-kri

Santosa, I G.N. 2008. Conservation of WaterResources is as The Key To Realoze


Sustainable Water Use,Food Security and Poverty Alleviation.Procedings
INWEPF 5 th Steeering Meeting and Symposium on Efficient and Sustainable
Water Use to Address Poverty Alleviation and Food Security. Bali- Indonesia.

Santosa, I G.N., Menaka Adnyana, G., Kartha Dinata, K. dan Alit Gunadi, I G.
2009. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Tehadap Pemanfaatan Sumberdaya Air
Untuk Menunjang Ketahanan Pangan. Laporan Penelitian Hibah Penelitian
Strategis Nasional Tahun 2009. Fakultas Pertanian Universitas Udayana.

Sumarno dan U.G. Kartasasmita. 2008. Kemelaratan Bagi Petani kecil di Balik
Kenaikan Produktivitas Padi. Sinar Tani. http//www.sinartani.com/agriwicana.

Suprapto,A. 2000. Land and Water Resources Development in Indonesia.Director


General Agriculture Infrastructure Minister of Agriculture, Indonesia.
http://www.fao.org/ docrep/005/ac623eog.htm

Utomo. 2002. Pengelolaan Lahan Kering untuk Pertanian Berkelanjutan. Makalah


Utama. Disampaikan pada Seminar Nasional IV Pengembangan Wilayah Lahan
Kering dan Petemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Tanah Indonesia. Tanggal 27-28 Mei
2002 di Hotel Lombok Raya Mataram NTB. Mataram.
BPS Indonesia. 2002. Badan Pusat Statistik Jakarta. Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai