Anda di halaman 1dari 11

A.

Milaria
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat yang
ditandai oleh adanya vesikel milier. Sinonim untuk penyakit ini adalah
biang keringat, keringat buntet, liken tropikus, prickle heat. (Djuanda,
2013)
Berdasarkan survey yang dilakukan di Jepang didapatkan 5000
bayi baru lahir menderita miliaria.Survey tersebut mengungkapkan
bahwa miliaria kristalina terjadi pada 4,5% nenonatus dengan usia
rata-rata 1 minggu dan miliaria rubra terjadi pada 4% neonatus
dengan usia rata-rata 11-14 hari. Dari sebuah survey yang dilakukan
di Iran ditemukan insiden miliaria pada 1,3% bayi baru lahir.
Untuk beberapa etiologi penyebab milaria dapat diakibatkan:
pertama dari Immaturitas saluran ekrin. Kedua, penyesuaian diri
terhadap iklim tropis. Ketiga ,kondisi panas dan lembab .Keempat
latihan, beberapa stimulus untuk berkeringat dapat menyebabkan
miliaria.Kelima obat Bethanecol yang dapat menyebabkan keringat,
Keenam mikroorganisme bakteri yaitu Staphylococci. Ketujuh yaitu
radiasi ultraviolet.
Secara patogenesis didefinisikan miliaria sebagai penyakit
obstruksi yang jinak dengan tanda vesikopustula. Penyakit ini
mengkhawatirkan orang tua karena onset dan penyebarannya yang
akut (Silverman, 2011).
Selain itu dapat pula ditemukan patogenesis berdasarkan tempat
predileksi yaitu Miliaria Kristalina, Disebabkan oleh terjadinya
penyumbatan di lapisan paling atas epidermis yaitu di stratum
korneum khususnya antara dua lapisan sel tanduk. Untuk Miliaria
Rubra Disebabkan oleh penyumbatan saluran keringat pada
epidermis yang dalam (acrosyringium) yaitu pada stratum spinosum
sehingga keringat keluar dan masuk ke dalam epidermis bagian
bawah. Miliaria Profunda Disebabkan oleh penyumbatan pada
bagian distal duktus atau pada dermal-epidermal junction (papilla

1
dermis). Miliaria Pustulosa merupakan varian dari miliaria rubra yang
mengalami respon inflamasi atau terjadi infeksi sekunder atau
setelah terjadi serangan berulang-ulang miliaria rubra (Amiruddin,
2013).
Manifestasi secara umum, pasien biasa mempunyai keluhan yang
dirasakan adalah gatal yang disertai timbulnya vesikel atau bintil,
terutama muncul saat berkeringat, pada lokasi predileksi, kecuali
pada miliaria profunda (Levin, 2014).
Pada manifestasi klinis miliaria kristalina terdiri atas vesikel miliar (1-
2 mm), sub korneal tanpa tanda inflamasi, mudah pecah dengan
garukan, dan deskuamasi dalam beberapa hari dan mempunyai
tempat predileksi pada badan yang tertutup pakaian. Gejala subjektif
ringan dan tidak memerlukan pengobatan. Kedua Milaria rubra,
merupakan jenis tersering,untuk manifestasi klinisnya terdiri atas
vesikel miliar atau papulo vesikel di atas dasar eritematosa sekitar
lubang keringat, tersebar diskret dan mempunyai gejala subjektif
gatal dan pedih pada di daerah predileksi. .Milaria profunda
Merupakan kelanjutan miliaria rubra, berbentuk papul putih keras
berukuran 1-3 mm, mirip folikulitis, dapat disertai pustul. Predileksi
pada badan dan ekstremitas. Sedangkan untuk miliaria pustulosa
berasal dari miliaria rubra, dimana vesikelnya berubah menjadi
pustul (Levin, 2014).
Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan
histopatologik dapat ditemukan sesuai lokasi predileksi jenis miliaria.
Pada miliaria kristalina, terdapat vesikel intrakorneal atau subkorneal
yang berhubungan dengan saluran keringat dan sumbatan keratin.
Pada miliaria rubra, vesikel spongiotik terdapat di dalam stratum
spinosum, di bawah sumbatan keratin dan infiltrat radang kronis
terdapat di sekitarnya. Pada miliaria profunda, terlihat sumbatan
pada daerah taut dermoepidermal dan pecahnya saluran keringat
pada dermis bagian atas dan juga adanya edema intraseluler

2
periduktal pada epidermis (spongiosis) serta infiltrat radang kronis
Pada miliaria pustulosa, terdapat campuran infiltrat dengan sel-sel
mononuklear dan lekosit polimorfonuklear dan sumbatan ekrin.Untuk
penegakan diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaaan fisik. (Amiruddin, 2013)
Untuk penatalaksanaan farmako dan non-farmako prinsipnya adalah
mengurangi pruritus, menekan inflamasi, dan membuka retensi
keringat. Untuk penatalaksanaan non-farmako dapat dilakukan
modifikasi gaya hidup, yaitu: Memakai pakaian yang tipis dan dapat
menyerap keringat, menghindari panas dan kelembaban yang
berlebihan, menjaga kebersihan kulit dan mengusahakan ventilasi
yang baik. Sedangkan untuk tatalaksana farmakoterapi dapat
dilakukan pemberian terapi topikal maupun sistemik. Pada terapi
topikal dapat diberikan, bedak kocok atau likuor faberi yang
mengandung kalamin dan antipruritus lain (mentol dan kamfora)
diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu.Terapi berfungsi sebagai
antipruritus untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya miliaria
profunda. Untuk pengobatan sistemik diberikan bila gatal dan
diperlukan. Pemberiannya dapat berupa Antihistamin sedatif:
klorfeniramin maleat atau setirizin selama 7 hari atau Antihistamin
non sedatif: loratadin 1 x 10 mg per hari selama 7 hari. (Djuanda,
2013).
Prognosis umumnya bonam, pasien dapat sembuh tanpa
komplikasi. Untuk Upaya promotif, preventif, rehabilitaif dapat
dilakukan konseling dan edukasi yang dilakukan dengan
memberitahu keluarga agar dapat membantu pasien untuk
menghindari kondisi hidrasi berlebihan atau membantu pasien untuk
memakai pakaian yang sesuai dengan kondisinya, menjaga ventilasi
udara di dalam rumah, menghindari banyak berkeringat, memilih
lingkungan yang lebih sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup dan
mandi air dingin dan memakai sabun. (IDI, 2014)

3
B. Reaksi Gigitan Serangga
Reaksi gigitan serangga (insect bite reaction) adalah reaksi
hipersensitivitas atau alergi pada kulit akibat gigitan (bukan terhadap
sengatan/stings) dan kontak dengan serangga. (IDI,2014)
Inisidens pada gigitan serangga dapat mengenai semua umur,
tetapi bayi dan anak-anak lebih rentan terkena gigitan serangga
dibandingkan dengan orang dewasa dan frekuensi yang sama pada
pria dan wanita dan juga lingkungan sawah, perkebunan.
Gigitan hewan serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat, bugs, dan
kutu, yang dapat menimbulkan reaksi peradangan yang bersifat lokal
sampai sistemik. Insekta termasuk bagian dari artropoda. Dimana
insekta terdiri dari : a. Anoplura (misal : Lice/kutu), ada 2 spesies
yaitu Phthirius pubis dan Pediculus humanus, b. Coleoptera
(terdapat 5 famili yang memproduksi bahan kimia yang dapat
menyebabkan inflamasi, yaitu : Meloidae (misal : kumbang),
Staphylinidae, Coccinellidae, and edemeridae) c. Diptera (misal :
lalat) d. Hemiptera ( hama ) e. Hymenoptera ( lebah dan tawon ) f.
Lepidoptera ( kupu-kupu dan ngangat ) g. Siphonaptera ( kutu/fleas)
( Wilson et.al 1999).
Untuk manifestasi klinis pasien datang dengan keluhan gatal, rasa
tidak nyaman, nyeri, kemerahan, nyeri tekan, hangat atau bengkak
pada daerah tubuh yang digigit.Kebanyakan penderita datang sesaat
setelah merasa digigit serangga, namun ada pula yang datang
dengan delayed reaction, misalnya 10-14 hari setelah gigitan
berlangsung. Keluhan kadang-kadang diikuti dengan reaksi sistemik
gatal seluruh tubuh, urtikaria, dan angioedema, serta dapat
berkembang menjadi suatu ansietas, disorientasi, kelemahan, GI
upset (cramping, diarrhea, vomiting), dizziness, sinkop bahkan
hipotensi dan sesak napas. Gejala dari delayed reaction mirip seperti
serum sickness, yang meliputi demam, malaise, sakit kepala,
urtikaria, limfadenopati dan poliartritis.

4
Untuk manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik
tanda patognomonis, dapat ditemukan: 1. Urtika dan papul timbul
secara simultan di tempat gigitan, dikelilingi zona eritematosa. 2. Di
bagian tengah tampak titik (punctum) bekas tusukan/gigitan, kadang
hemoragik, atau menjadi krusta kehitaman. 3. Bekas garukan karena
gatal. Dapat timbul gejala sistemik seperti takipneu, stridor,
wheezing, bronkospasme, hiperaktif peristaltic, dapat disertai tanda-
tanda hipotensi orthostatik. Pada reaksi lokal yang parah dapat
timbul eritema generalisata,urtikaria,atau edema pruritus, sedangkan
bila terdapat reaksi sistemik timbul reaksi anafilaksis. (IDI, 2014)
Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan darah
lengkap untuk melihat eosinofil, khususnya jika pasien demam dan
dicurigai terjadi infeksi bakteri sekunder. Juga dapat dilakukan tes
tusuk dengan alergen tersangka. Tes serologi dapat membantu
untuk diagnosis arthropod-borne disease, serta pemeriksaan
histopatologis untuk melihat infiltrat eosinofil pada perivaskular.
Untuk penegakan diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Selain itu untuk membantu diagnosis dapat dilihat
dari klasifikasi berdasarkan waktu. Klasifikasi berdasarkan waktu
terjadinya antara lain ; pertama yaitu reaksi tipe cepat dan terjadi
segera hingga 20 menit setelah gigitan, bertahan sampai 1-3 jam.
Kedua, reaksi tipe lambat, pada anak terjadi lebih dari 20 menit
sampai beberapa jam setelah gigitan serangga sedangkan pada
orang dewasa dapat muncul 3-5 hari setelah gigitan. Ketiga Reaksi
tidak biasa pada reaksi ini terjadi sangat segera, mirip anafilaktik.
Untuk penatalaksanaan klinis baik farmakoterapi dan non
farmakoterapi pada kasus insect bite prinsip penanganan kasus ini
adalah dengan mengatasi respon peradangan baik yang bersifat
topika maupun sistemik. Terapi topikal yang terdiri dari mentol,
phenol, atau camphor mungkin diberikan untuk penanganan awal,
dapat juga diberikan antihistamin oral seperti diphenyhidramin 25-50

5
mg untuk mengurangi rasa gatal. Histamin meningkatkan
permaebilitas kapiler dan ini merupakan efek sekunder terhadap
pembuluh darah kecil. Akibatnya protein dan cairan plasma keluar
ke ruangan ekstrasel dan menimbulkan udem. Efek ini jelas
disebabkan oleh peranan histamin reseptor H1. Antihistamin
bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan
lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan. Topikal
steroid mungkin juga sangat membatu untuk reaksi yang sensitif
terhadap gigitan tersebut. Terapi topikal Kortikosteroid potensi
sedang-kuat: misalnya krim mometason furoat 0,1% atau krim
betametason valerat 0,5% diberikan selama 2 kali sehari selama 7
hari. Pasien dengan gigitan yang banyak dan reaksi berat dapat
dianjurkan istirahat total dan diberikan steroid sistemik dosis sedang.
Infeksi sekunder dapat dikontrol dengan pemberian terapi topikal
dan antibiotik oral. Terapi yang dapat diberikan secara sistemik yaitu
antihistamin sedatif berupa klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari
selama 7 hari atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 7 hari atau
Antihistamin non sedatif berupa loratadin 1 x 10 mg per hari selama
7 hari. Untuk terapi non faramakologis pada reaksi peradangan lokal
dapat dikurangi dengan sesegera mungkin mencuci daerah gigitan
dengan air dan sabun, serta kompres es. Lalu atasi keadaan akut
terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi saluran
napas. Penanganan pasien dapat dilakukan di Unit Gawat Darurat.
Bila disertai obstruksi saluran napas diindikasikan pemberian
epinefrin sub kutan dilanjutkan kortikosteroid. (IDI, 2014)
Untuk prognosis umumnya bonam. Quo ad sanationam untuk reaksi
tipe cepat dan reaksi tidak biasa adalah dubia ad malam, sedangkan
reaksi tipe lambat adalah bonam
Upaya promotif, preventif, rehabilitaif per individu secara
komprehensif dapat dilakukan dengan konseling dan edukasi
keluarga diberikan penjelasan mengenai menjaga kebersihan

6
lingkungan tempat tinggal, memakai baju berlengan panjang dan
celana panjang, upaya pencegahan dapat memakai mosquito
repellent agar terhindar dari gigitan serangga (IDI, 2014). Untuk
upaya Pencegahan pada gigitan serangga juga dibutuhkan yaitu
insect repellents untuk mencegah gigitan ataupun sentuhan pada
kulit. Efektifnya penangkal ini karena nontoksik, nonalergen,
noniritan, tidak merusak pakaian, mudah digunakan dan murah.
Iinsect repellents yang sangat efektif adalah diethyltoluamide.
C. Dermatitis Atopik (DA)
Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan kulit berulang dan
kronis dengan disertai gatal. Pada umumnya terjadi selama masa
bayi dan anak-anak dan sering berhubungan dengan peningkatan
kadar IgE dalam serum serta riwayat atopi pada keluarga atau
penderita. Sinonim dari penyakit ini adalah eczema atopik, eczema
konstitusional, eczema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo
Besnier. (Djuanda,2013)
Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama di seluruh dunia dengan prevalensi pada anak-
anak 10-20%, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3% (Leung ,
2007). Rasio gender sangat bervariasi antara studi, dilaporkan lebih
banyak terjadi pada wanita dengan perbandingan 1,3:1. Data
mengenai penderita dermatitis atopik pada anak di Indonesia belum
diketahui secara pasti. Berdarsarkan data unit rawat jalan Penyakit
Kulit Anak di RSU Dr. Soetomo didapatkan penderita dermatitis
atopik baru yang berkunjung tahun 2006 sebanyak 116 orang
(8,14%), pada tahun 2007 sebanyak 148 orang (11,05%) dan tahun
2008 sebanyak 230 orang (17,65%) (Zulkaranain, 2009).
Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan
patogenesisnya sangat komplek berdasarkan penyebabnya dibagi
menjadi faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen yang
berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas akibat

7
peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondsiisi
kulit yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis.
Faktor eksogen pada DA, antara lain adalah trauma fisik-kimia-
panas, bahan iritan, allergen debu, tungau debu rumah, makanan
(susu sapi, telur), infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan
suhu dan kelembaban), serta hygiene lingkungan. Faktor endogen
lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen
cenderung menjadi faktor pencetus (Boediardja, 2006).
Manifestasi Klinis yaitu pasien datang dengan keluhan gatal
yang bervariasi lokasinya tergantung pada jenis dermatitis atopik.
Gejala utama DA adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari,
tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akan menggaruk. Pasien biasanya juga mempunyai riwayat sering
merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan. Lalu
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda patognomonis yaitu
pada kulit penderita DA diteumakan kering pada perabaan,
pucat/redup ,jari tangan teraba dingin dan terdapat papul, likenifikasi,
eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi dan krusta pada lokasi predileksi
(Djuanda, 2013).
Pada Lokasi predileksi dibagi menjadi beberapa tipe yaitu tipe bayi,
anak, dan remaja/dewasa. Pada tipe bayi biasanya ditemukan di
daerah dahi, pipi, kulit kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai,
serta lutut anak merangkak wujud lesi eritema, papul vesikel halus,
eksudatif, krusta. Pada Tipe anak ditemukan pada lipat siku, lipat lutut,
pergelangan tangan bagian dalam, kelopak mata, leher, kadang-
kadang di wajah wujud lesinya papul, sedikit eksudatif, sedikit
skuama, likenifikasi, erosi. Kadang-kadang disertai pustul.Tipe remaja
dan dewasa Ditemukan pada lipat siku, lipat lutut, samping leher, dahi,
sekitar mata, tangan dan pergelangan tangan, kadang-kadang
ditemukan setempat misalnya bibir mulut, bibir kelamin, puting susu,

8
atau kulit kepala. Untuk Lesinya dapat berupa plak papular
eritematosa, skuama, likenifikasi (Djuanda et.al, 2013).
Untuk Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan IgE
serum bila diperlukan dan dapat dilakukan di pelayanan primer. Lalu
dapat dilanjutkan dengan dilakukan pemeriksaan penunjang lanjutan
bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan untuk menegakkan atopi,
misalnya skin prick test/tes uji tusuk pada kasus dewasa (James,
2000).
Untuk diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik harus terdiri dari 3 kriteria mayor dan 3 kriteria
minor dari kriteria Williams (1994) berikut ini.Kriteria mayor: pruritus,
dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak, dermatitis di
fleksura pada dewasa, dermatitis kronis atau berulang, riwayat atopi
pada penderita atau keluarganya. Kriteria minor: terdiri atas : xerosi,
infeksi kulit (khususnya oleh s. aureus atau virus herpes simpleks),
iktiosis/ hiperliniar palmaris/ keratosis piliaris, pitriasis alba, dermatitis
di papilla mamae, white dermogrhapism dan delayed blanch respons,
kelilitis, lipatan infra orbital dennie-morgan, konjungtivitis berulang,
keratokonus, katarak subskapsular anterior ,orbita menjadi gelap
,muka pucat atau eritem , gatal bila berkeringat , intolerans terhadap
wol atau pelarut lemak, aksentuasi perifolikular, hipersensitif terhadap
makanan, perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan
atau emosi , tes kulit alergi tipe dadakan positif, kadar ige dalam serum
meningkat , mulai muncul pada usia dini Pada bayi, kriteria diagnosis
dimodifikasi menjadi:1. Tiga kriteria mayor berupa: a. Riwayat atopi
pada keluarga b. Dermatitis pada muka dan ekstensor c. Pruritus .
Serta tiga kriteria minor berupa: a. Xerosis/iktiosis/hiperliniaris
palmaris, aksentuasi perifolikular b. Fisura di belakang telinga c.
Skuama di scalp kronis (Perdoski, 2011).
Untuk kasus dermatitis atopik dapat dilakukan penatalaksanaanm
klinis farmakoterapi dan non farmakoterapi. Penatalaksanaan non

9
farmakologis dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, yaitu dapat
mencari tahu dan menemukan faktor risiko, menghindari bahan-bahan
yang bersifat iritan termasuk pakaian seperti wol atau bahan sintetik,
memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab,
menjaga kebersihan bahan pakaian, menghindari pemakaian bahan
kimia tambahan, membilas badan segera setelah selesai berenang
untuk menghindari kontak klorin yang terlalu lama, menghindari stress
psikis, menghindari bahan pakaian terlalu tebal, ketat, kotor, Pada
bayi, menjaga kebersihan di daerah popok, iritasi oleh kencing atau
feses, dan hindari pemakaian bahan-bahan medicatedbaby oil,
menghindari pembersih yang mengandung antibakteri karena
menginduksi resistensi. Selain Untuk mengatasi keluhan gejala DA
dapat diberikan farmakoterapi dengan pemberian Topikal setiap 2 kali
sehari. Pada lesi di kulit kepala, diberikan kortikosteroid topikal,
seperti: Desonid krim 0,05% atau fluosinolon asetonidkrim 0,025%
selama maksimal 2 minggu. Pada kasus dengan manifestasi klinis
likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan
betametason valerat krim 0,1% atau mometason furoat krim 0,1%.
Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian
antibiotik topikal atau sistemik bila lesi meluas. Pemberian oral
sistemik dapat diberikan antihistamin sedatif:klorfeniramin maleat 3 x
4 mg per hari selama maksimal 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per
hari selama maksimal 2 minggu. Dan pula Antihistamin non sedatif:
loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.Untuk
Prognosis pada umumnya bonam, dapat terkendali dengan
pengobatan pemeliharaan (Djuanda et.al, 2013). Upaya promotif,
preventif, rehabilitaif per individu secara komprehensif dapat dilakukan
konseling dan edukasi berupa pemberitahuan bahwa penyakit bersifat
kronis dan berulang sehingga perlu diberi pengertian kepada seluruh
anggota keluarga untuk menghindari faktor risiko dan melakukan
perawatan kulit secara benar.

10
DAFTAR PUSTAKA
1. Amiruddin, Muh Dali, 2003. Miliaria pada Anak. In : Ilmu
Penyakit Kulit. Makassar : Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FK Unhas. p.404-8.
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews
Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
Saunders Elsevier.
4. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 2014. Panduan Praktik Klinik bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Jakarta
5. Levin, N.A. 2014. Dermatologic manifestation of miliaria.
Medscape. May 21, 2014.
http://emedicine.medscape.com/article/1070840-overview#a0199
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
7. Silverman, Robert, Nail and Appendageal Abnormalities,
Schachner, Lawrence, A., Hansen, Ronald, C. In : Pediatric
Dermatology. 2011. Volume 1. Edition 2. New York : Churchill
Livingstone. p.644.
8. Wilson DC, King LE. Arthropod Bites and Stings. in: Freedberg
IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, Fitzpatrick
TB, eds. 1999. Dermatology in General Medicine 5th Volume II. New
york: McGraw-Hill; 1999.p.2685-91
9. Zulkarnain, I., 2012. Pola Penyakit Kulit Penderita Anak di
Instalasi Rawat Inap Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo
Surabaya Periode 20022006 (Pediatric Dermatoses Pattern at
Dermato-Venereology Ward Dr. Soetomo Hospital Surabaya Period
20022006).

11

Anda mungkin juga menyukai