Anda di halaman 1dari 15

Pengetahuan apriori dalam filsafat Barat sejak jaman Immanuel Kant, merupakan suatu

pengetahuan yang tidak bergantung pada suatu pengalaman tertentu, berlawanan dengan
pengetahuan posteriori, yang berasal dari pengalaman. Ungkapan Latin a priori ("dari apa yang
sebelumnya") dan sebuah posteriori ("dari apa yang setelah") digunakan dalam filsafat yang pada
dasarnya membedakan antara argumen sebab dan argumen akibat.
Kejadian pertama yang terekam dari frasa tersebut terdapat dalam tulisan-
tulisan/dokumentasi/karya seorang ahli logika bernama Albert of Saxony pada abad ke-14. Dalam
tulisannya, argumen apriori disebut "berasal dari sebab ke akibat" dan argumen posteriori "berasal
dari akibat menuju sebab". Definisi serupa diberikan oleh banyak filsuf dikemudian hari termasuk
oleh G.W. Leibniz, dan ungkapannya terkadang masih tampak menggunakan makna tersebut
dalam konteks nonfilosofis. . Harus diingat pula, bahwa ahli logika abad pertengahan
menggunakan kata "sebab" dalam konteks silogisme (cara berpikir) yang sesuai dengan attia
Aristoteles dan bukan diartikan sebagai sesuatu yang datang lebih awal atau sebelum (prius)
terjadi. - (Menunjukkan penafsiran kata sebab oleh ahli sesuai cara berpikir Aristoteles) -. Hal
ini disebabkan karena penggunaan ungkapan demonstratio propter quid ("demonstrasi karena
suatu hal") yang setara dengan demonstration a priori | dan demonstratio quia ("demonstrasi
sesuatu, atau karena") sebagai ungkapan yang setara dengan demonstratio a posteriori. Oleh
karena itu, sumbernya jelas merujuk pada perbedaan pandangan Aristoteles antara pengetahuan
dasar atau penjelasan tentang sesuatu terhadap pengetahuan tentang fakta belaka.
Perbedaan terpendam bagi Kant adalah antitesis (pertentangan) kebutuhan antara kebenaran
deduktif (penetapan kebenaran pernyataan dengan membuktikan bahwa pernyataan itu telah
tercakup dalam pernyataan lain yg telah ditetapkan kebenarannya) dan mungkin terhadap
kebenaran induktif (penetapan kebenaran suatu hal dengan cara mempelajari kasus atau kejadian
yg berhubungan dengan hal itu). Penerapan awal untuk berlaku pada penilaian apriori, yang
didapatkan dari pengalaman independen dan bersifat universal; dan penerapan akhir berlaku pada
penilaian posteriori, yang bergantung pada pengalaman sehingga harus mengakui kemungkinan
timbul pengecualian. Dalam Kritik tentang Alasan Murni (Critique of Pure Reason), Kant
menggunakan sebagian perbedaan tersebut untuk menjelaskan kasus khusus dalam pengetahuan
matematis, yang dianggapnya sebagai contoh dasar pengetahuan apriori.
Meskipun penggunaan apriori untuk membedakan pengetahuan seperti yang kita miliki dalam
matematika relative baru, minat para filsuf dalam pengetahuan semacam itu hampir sama tuanya
dengan filsafat itu sendiri. Tidak ada yang kebingungan dengan anggapan bahwa seseorang dapat
memperoleh informasi dengan melihat, merasakan, atau mendengarkan, namun filsuf yang secara
serius menganggap bahwa kemungkinan belajar hanya dengan pemikiran belaka, sering kali
menganggap diperlukan penjelasan khusus untuk hal tersebut (perolehan informasi). Plato
mempertahankan pendapatnya dalam Meno dan Phaedo miliknya bahwa pembelajaran kebenaran
geometris hanyalah ingatan akan pengetahuan yang ada dalam eksistensi sebelumnya ketika kita
dapat merenungkan suatu bentuk atau gagasan secara langsung. Agustin dan para pengikut abad
pertengahannya bersimpati dengan maksud/tujuan Plato namun tidak dapat menerima rincian
teorinya. Dia menyatakan bahwa gagasan tersebut ada dalam pikiran Tuhan, yang dari waktu ke
waktu memberikan pencerahan intelektual (ilham) bagi manusia. Descartes, melangkah lebih jauh
pada arah yang sama, berpendapat bahwa semua gagasan yang dibutuhkan untuk pengetahuan
apriori merupakan bawaan dalam setiap pikiran manusia. Bagi Kant, teka-teki tersebut dapat
menjelaskan kemungkinan penilaian apriori yang juga bersifat sintetis (missal, bukan sekadar
penjelasan suatu kensep), dan solusi yang dia ajukan berupa doktrin bahwa ruang, waktu, dan
kategori (misalnya kausalitas), tentang bagaimana kita dapat membuat suatu penilaian, adalah
bentuk yang dipaksakan oleh pikiran berdasarkan pengalaman.
Dalam masing-masing teori yang ada, kemungkinan pengetahuan apriori dijelaskan oleh sebuah
pendapat bahwa kita memiliki kesempatan istimewa untuk mempelajari pokok bahasan
pengetahuan tersebut. Pengertian yang sama juga terdapat dalam teori pengetahuan apriori yang
sangat-tidak platonis, yang diucapkan oleh Thomas Hobbes dalam bukunya De Corpore dan
diadopsi pada abad ke-20 oleh para empiris logis. Menurut teori ini, pernyataan kebutuhan dapat
dibuat secara apriori hanya karena hal tersebut merupakan produk sampingan dari peraturan kita
sendiri untuk penggunaan bahasa.

EPISTIMOLOGI
Pertanyaan pertama terhadap teori pengetahuan adalah pertanyaan apakah terdepat/ada suatu hal
yang merupakan pengetahuan valid; sebagaimana dinyatakan oleh kaum skeptis. Seandainya
keraguan kaum skeptis tersebut dapat ditemukan, pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan
pengetahuan (yang dainggap valid) tersebut, manusia dapat meyatakan/menuntut secara adil
melampaui dirinya sendiri ataukah terbatas pada fenomena dimana pengetahuan tersebut harus ada
(tampak) dalam batasan indera dan pemahaman manusia. Secara epistimologi, mereka yang paham
bahwa apa yang kita tahu adalah suatu hal yang sebagaimana adanya, terlepas dari pikiran kita,
disebut sebagai realistis; dan bagi mereka yang percaya bahwa kita tidak dapat mendapatkan
pengetahuan realistis absolut, melainkan hanya perwujudan masuk akal dari pengetahuan itu,
disebut sebagai fenomenalis.
Kaum skeptis terdahulu di masa kuno adalah Sophist dan Cynics; dan kaum skeptis modern yang
paling terkenal adalah David Hume. Sedangkan representasi terbaik bagi teori fenomenalis terbaik
adalah Immanuel Kant dan Herbert Spencer.
Harus diperhatikan, bahwa kaum realis dan fenomenalis, sepakat bahwa terdapat suatu
kenyataan/realitas absolut, dan tidak sepakat hanya terhadap pertanyaan, apakah kita dapat
mengetahui sifat mutlak yang dimiliknya; sedangkan kaum idealis percaya bahwa tidak ada
kenyataan/realitas yang tidak berhubungan dengan pikiran. Bagaimanapun, teori pengetahuan
kaum idealis terlalu beragam dan kompleks bagi kita untuk dirangkum dalam buku ini.
Teori pengetahuan secara umum (termasuk teori kaum idealis), terbagi menjadi teori yang
menyatakan bahwa kecerdasan atau akal memiliki peran utama terhadap suatu pengetahuan valid,
juga rasionalistik; dan kemudian teori yang menggunakan panca indera sebagai dasar atau prinsip
dasar pengetahuan, juga empirisistik. Dalam filosofi modern, para filsuf Continental seperti Rene
Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm von Leibniz, termasuk sebagai rasionalis yang
luar biasa; dan kaum empirisitis adalah para filsuf Inggris seperti John Locke, George Berkeley,
dan David Hume. Sedangkan Immanuel Kant mengakui bahwasanya akal dan pemahaman
intelektual dibutuhkan untuk semua pengetahuan yang bersifat valid.
Pada abad ke 20, khususnya di Britania Raya dan Amerika, pemikiran para filsuf menunjukkan
tendensi/kecenderungan untuk memusatkan terhadap konsepsi/paham epistemologis (cabang
keilmuan filsafat tentang dasar dan batas pengetahuan), sebagaimana diungkapkan pada
pernyataan berikut:
1. Terdapat dua jenis pengetahuan, pertama adalah pengetahuan apriori (dapat diketahui tanpa
adanya acuan suatu peristiwa yang berasal dari pengalaman atau obeservasi panca indera
tertentu) dan yang kedua adalah pengetahuan posteriori/empiris (pengetahuan yang
memerlukan dan juga dikuatkan oleh observasi/pengamatan tertentu).
2. Seluruh pengetahuan yang termasuk dalam golongan alami-ilmiah merupakan
pengetahuan posteriori, yang bergantung pada kepastian pengamatan. Dalam pengetahuan
ilmiah, hanya logika dan matematika murni yang tergolong dalam pengetahuan apriori.
3. Kepastian teoritis menjadi suatu hal yang mungkin hanya dalam bidang logika dan
matematika. Masih terdapat ruang bagi kemungkinan dimana pengetahuan umum kita akan
dunia luar dan generalisasi ilmu pengatahuan alam dapat mencapai suatu kepastian yang
cukup bagi seluruh tujuan. Dan bahkan bagi teori yang berdasarkan aplikasi praktis,
tidak dapat dinyatakan secara pasti secara teoritis.
4. Kesepakatan terhadap tesis ini (khususnya yang dirumuskan secara singkat dalam tulisan
ini), sama sekali tidak bersifat universal; dan apakah kecenderungan terhadap pendapat ini
akan tetap dipertahankan merupakan suatu hal yang tidak dapat diramalkan.
Epistimologi merupakan suatu subjek yang sulit dan rumit untuk dipahami. Seleksi historis
mungkin dapat memberikan pengantar yang baik bagi pemahaman tersebut. Tulisan-tulisan dan
konsep milik Kant yang terkenal sebagai kontributor epistimologi, secara singkat ditulis dalam
buku karangan George Berkeley yang berjudul Principle of Human Knowledge dan buku karangan
Alexader Dunlop Lindsay yang berjudul Immanuel Kant.

RATIONALISME
Dalam ilmu filsafat, rasionalisme merupakan suatu metode penyelidikan/penelitian yang
menganggap alasan sebagai sumber kajian utama dan pengujian terhadap pengetahuan itu sendiri.
Berbanding terbalik dengan empirisme yang tidak setuju dengan adanya pengalaman sensoris.
Rasionalisme berpendapat bahwa realitas itu sendiri memiliki struktur rasional yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain dan merupakan suatu kebenaran bahwa pemikiran dapat memahami hal
tersebut secara langsung (khususnya dalam bidang logika, matematika, serta etika dan metafisika).
Dalam etika, konteks rasionalisme bergantung pada natural light (kebenaran alamiah?),
sedangkan dalam bidang teologi, rasionalisme menggantikan ilham/wahyu yang bersifat
supranatural dengan alasan.
Matematika selalu menjadi inspirasi bagi rasionalisme, dan kaum rasionalis telah menekankan
keunggulan deduktif atas semua metode dalam hal penentuan kepastian. Menurut doktrin ekstrim
kaum rasionalis, seluruh kebenaran yang berasal dari ilmu fisika dan bahkan sejarah pada
prinsipnya dapat ditemukan dengan pemikiran murni dan ditetapkan sebagai konsekuensi dari
premis nyata. Pandangan ini berlawanan dengan beragam system yang beranggapan bahwa pikiran
merupakan hal yang bersifat tabula rasa (kosong, polos) yang kemudian dipengaruhi dunia luar
dan membentuk dirinya sendiri dari cara menyikapi pengaruh yang ada.
Perbedaan ringkas dan langsung diantara rasionalisme dan empirisme sangat sukar ditemukan,
karena keduanya mengakui sensasi dan refleksi. Sebagai contohnya adalah Locke yang merupakan
seorang rasionalis dengan kepekaan/rasa/sensasi yang paling lemah, beranggapan bahwa materi/
ide dari pengetahuan manusia bersumber dari instropeksi atau pengalaman, namun pengetahuan
itu sendiri terdiri dari keterkaitan diantara keduanya, yang merupakan fungsi dari suatu alasan.
Sebagian besar para filsuf yang tergolong rasionalis mempertahankan anggapan bahwa materi
pengetahuan berasal dari pengalaman, namun berasal dari anggapan deduktif (lihat pengertian di
halaman satu) suatu konsep dasar. Sikap ini mungkin dipelajari dalam studi Rene Descartes,
Gottfried Wilhelm Leibnizm dan Christian von Woff. Hal ini didasari oleh prinsip dasar Descartes
dimana pengetahuan haruslah bersifat jelas, dan dapat memberikan ilmu filsafat karakter yang
dimiliki ilmu matematis, yaitu sifat kepastian dan demonstratif, yang berasal dari prinsip apriori.
Sanggahan oleh David Hume pada hubungan sebab akibat, berdampak secara langsung pada
pandangan baru rasionalisme Kant, yang berargumen bahwa pengetahuan dengan analisis semata
merupakan suatu kesalahan. Kant berpandangan bahwa konsep apriori itu nyata, namun tetap
diperlukan dukungan data empiris apabila apriori digunakan sebagai pengembangan pengetahuan.
Etika rasionalisme merupakan aplikasi dari epistimologi rasionalisme dalam lingkup moral.
Tujuan utama dari gagasan moral adalah untuk diturunkan, dan prinsip pertama dari moral itu
sendiri dianggap jelas(contoh: the Golden Rule). Selanjutnya diakui bahwa akal sehat memberikan
motif yang memadai bagi perilaku moral. Dalam etika rasionalisme, akal bertolak belakang dengan
perasaan atau kepekaan rasa moral.
Rasionalisme relijius menegaskan pendapat mengenai akal sehat terhadap wahyu dan wewenang.
Prinsip dasar dari agama yang dianggap sebagai bawaan atau terbukti secara nyata dan wahyu yang
ada merupakan hal yang tidak diperlukan. Rasionalisme relijius disini menekankan pada
pentingnya hal yang bersifat alamiah sebagai sanggahan bagi wahyu keagamaan.

PENALARAN KESIMPULAN
Penalaran adalah proses mental yang dimana kita mengalami kemajuan dari suatu fakta yang
diketahui atau dari prinsip kebenaran fakta lain yang berbeda dari titik awal (hipotesis). Trasnsisi
atau perubahan dasar selalu ditemukan dalam pengetahuan awal kita. Hal ini dianggap atau
diasumsikan benar, dan di dalamnya dapat ditemukan dasar dan penilaian bagi kemajuan hal-hal
lainnya. Perbedaan penalaran nampak dalam mediasi/penengah; dimana pada saat kita memiliki
kesimpulan bahwa suatu hal benar karena hal lainnya juga benar. Pengetahuan yang berasal dari
penalaran karenanya disebut sebagai mediasi/penengah dan berlawanan dengan pengetahuan
immediate (latin) yang dimana pengetahuan tersebut didapatkan dari ingatan dan
persepsi/tanggapan indera/perasaan serta ingatan. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah
bagaimana mentalitas dapat membenarkan kemajuan pada mentalitas itu sendiri? Bagaimana ktia
dijamin bahwa kita dapat mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak kita ketahui? Pertanyaan Mill
tersebut bukan hanya mempertanyakan apakah setiap penalaran silogisme termasuk dalam
golongan petition principia atau tidak; tapi menyangkut seluruh penalaran, termasuk penalaran
induktif dan deduktif. Permasalahannya timbul apabila hasil yang ada tidak termuat dalam titik
awal/hipotesis, sehingga kemajuan yang ada tidak dapat dibenarkan; dan jikalau hasil tersebut
dinyatakan, penalaran tidak akan menunjukkan hal yang baru. Pandangan Leibniz menyatakan
bahwa seluruh penalaran adalah analisis, sebuah gambaran dan penjelasan mengenai fakta yang
ada dalam pikiran. Kant menyimpulkan bahwa pemikiran juga merupakan suatu perpaduan,
penyusunan baru dan penambahan materi dimana itu berasal, dan Kant menggunakan kesimpulan
tersebut sebagai permasalahan yang mendasari bukunya Critique of Pure Reason, dengan
menjawab pertanyaan bagaimana suatu penilaian sintetis (perpaduan) dapat menjadi hal yang
memungkinkan. Jawaban Kant pada dasarnya identic dengan apa yang diberikan oleh Aristotle,
yang dimana pikiran atau akal itu sendiri memasuki proses pemikiran sebagai premis-premis, atau
dengan kata lain, sebuah kebenaran yang baru, akan tercapai melalui aktifitas pikiran yang bersifat
kreatif. Mampu atau tidaknya satu fakta dapat dikaitkan dengan fakta lainnya secara logis,
bergantung pada tingkat kecerdasan atau kemampuan berpikir seseorang untuk menemukan
keselarasan/persamaan mendasar atau identitas dari fakta yang ada. Penalar yang dianggap baik
adalah penalar yang dapat melihat secara mendalam dan mendeteksi identitas yang masih samar
(belum jelas). Seperti contohnya Newton ketika ia melakukan penalaran pada apel yang jatuh
hingga pergerakan alam semesta. Pada hakikatnya, penalaran kemudian didefinisikan sebagai
proses pencarian kemiripan/kesamaan mendasar atau mencari pokok-pokok identitas diantara
berbagai hal.
Hal ini mengikuti apa yang telah dikatakan sebelumnya bahwa penalaran bukanlah proses
pemikiran yang dapat terlepas dari pengaruh pengalaman. Para pemikir pada akhir abad ke 18
hingga modern tetap percaya bahwa nalar dianggap sebagai sebuah organ atau kemampuan khusus
yang dapat menghasilkan kebenaran tertinggi terhadap suatu kepastian terlepas dari pengalaman
biasa. Bagaimanapun, Kant menggunakan kata understanding / pemahaman (Verstand) sebagai
kemampuan berpikir dalam menafsirkan pengalaman, dan menggantikan kata reason / nalar/akal
sebagai suatu pendekatan ilusi dan sia-sia bagi pemikiran untuk dapat berdiri sendiri terlepas dari
pengalaman yang diberikan.
Terlepas dari terminologi ini yang pada umumnya tidak diikuti, hasil dari pengajaran Kant adalah
untuk menunjukkan kedekatan dan hal yang mendasari hubungan antara pemikiran dan persepsi
akan rasa / pancaindera, dan di sisi lain apa yang biasa kita sebut dengan tanggapan akan suatu
pengalaman, terjalin cepat dengan proses nyata suatu penalaran. Penalaran bukanlah suatu hal yang
bergerak dalam ruang hampa udara, dan juga bukan suatu fungsi yang terpisah dan berbeda. Entah
bagaimana caranya, penalaran memutarbalikkan kebenaran itu sendiri dalam pikiran kita. Namun
di sisi lain, nalar merupakan suatu fungsi daya penerimaan yang bersifat universal; nalar menerima
materi/masukan dari setiap pengalaman yang kita terima, dan dengan sendirinya menyatukan,
mengkoordinir, dan menciptakan suatu system kehidupan dari pengalaman yang ada. Deduksi dan
induksi seringkali disebut sebagai hal yang terpisah dari penalaran. Bagaimanapun, penalaran
selalu memiliki proses tunggal yang sama. Sebagaimana kita tahu, di dalam penalaran terdapat
proses penghubungan bagian-bagian dari pengalaman dengan mencari elemen identik dari
pengalaman tersebut. Hal ini menunjukkan, bahwa kita dapat berbicara dalam lingkup universal,
umum, atau secara prinsip. Dan dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa ketika kita melakukan
penalaran, maka kita bersatu khususnya melalui prinsip dan hukum yang bersifat umum. Kini,
perbedaan antara deduksi dan induksi terletak pada titik awal dan arah yang dituju. Jika kita telah
memiliki suatu hukum yang bersifat umum (berangkat dari hukum yang ada), dan kita mengarah
pada kasus tertentu, maka kita menggunakan deduksi. Lain halnya jika titik awal kita berupa suatu
kasus khusus, maka kita menggunakan penalaran induktif untuk mencari hukum universal dari
keterkaitan yang ada. Dalam kedua kasus tersebut, struktur kesimpulan yang ada tetaplah sama,
dan tetap mengandung koneksi khusus, berdasarkan wawasan kita terhadap hukum universal atau
prinsip yang dinyatakan dalam kesimpulan tersebut.
Mengacu pada prinsip universal ini, kita juga membedakan penalaran dengan transisi ide ke ide
dari proses asosiatif. Sebagian besar kesadaran kita yang biasa dideskripsikan sebagai proses
berpikir dapat memunculkan banyak gagasan walaupun tanpa adanya pemahaman akan hukum
dasar atau keterkaitan (koneksi) universal. Namun hal tersebut hanyalah terlintas dalam pikiran
kita. Dalam penalaran, pikiran haruslah terjaga (sadar) sepenuhnya; penalaran menentukan tujuan
pasti sebelumnya, dan kemudian berlanjut dengan meningkatkan perhatian dan analisis untuk
menemukan dasar atau pokok yang dibutuhkan dalam suatu keterkaitan (koneksi). Proses ini
berlanjut pada penggunaan gabungan/asosiasi pokok koneksi yang ada untuk memenuhi
tujuannya; dengan begitu jika kita mendefinisikan penalaran sebagai proses
asosiasi/penggabungan, kita harus menambahkan bahwa asosiasi tersebut menggiring dan
mengendalikan setiap tahapan dalam meraih tujuan itu sendiri. Harus seberapa besar tingkat
kesadaran dan kejelasan arah tujuan sebelum kita menyebutnya proses penalaran? Dapatkah
binatang disebut pantas untuk memiliki akal/nalar? Pertanyaan ini masih belum terjawab. Tingkat
kesadaran arah tujuan akan pemikiran, kejelasan akan pemahaman universal secara khusus,
ditenttukan oleh kita sendiri. Kita mungkin dapat berargumen bahwa beberapa arah pemikiran
kita sebagaimana pemahaman-pemahaman akan pengertian universal dapat terpenuhi, jikalau
penalaran itu ada, tanpa menentukan kapan dan dalam kondisi apa hal tersebut terjadi dalam setiap
pikiran mahluk hidup. Tidak diragukan lagi, apa yang kita sebut sebagai penalaran terhadap
kesadaran akan tetap berlanjut dengan proses mental asosiatif dan naluriah yang terlihat mekanis
dan irasional, dan keterkaitan diantara dua golongan pemikiran ekstrimis mungkin dapat ditengahi
dengan adanya proses yang dapat diamati secara langsung. Bagaimanapun juga keberlanjutan ini
tidak dapat memberikan suatu pembenaran untuk dapat menolak perbedaan atau untuk
menjelaskan proses pemikiran ekstrimis lainnya.
EMPIRISME
Empirisme (dari Bahasa Latin empeira: pengalaman), dalam filsafat, merupakan sebuah sikap
yang menyatakan sepasang doktrin:
1. Bahwasanya semua konsep berasal dari pengalaman yang didapatkan.
2. Bahwasanya semua jenis pengetahuan yang berdasarkan fakta, berasal dari pengalaman.
Sehingga seluruh klaim/pernyataan terhadap pengetahuan hanya dapat dibenarkan hanya
dengan pengalaman.
Empirisme berargumen bahwa pengetahuan berasal dari penalaran apriori (melibatkan definisi
pembentukan atau pengasumsian prinsip-prinsip yang ada) tidaklah nyata atau dibatasi oleh
kebenaran analitis. Karenanya, metafisikawan yang mencoba menggabungkan konten saintis
dengan validitas apriori logis dianggap mustahil. Demikian halnya tidak ada yang disebut sebagai
metode rasional; sifat alamiah dunia tidak dapat diketahui dengan menggunakan nalar murni
atau refleksi.
Dalam praktiknya, terdapat tiga tipe empirisme yang diketahui, bergantung pada seberapa besar
tingkat pengakuan penganut pahamnya mengenai konsep apriori maupun konsep proposi.
Empirisme absolut tidak mengakui konsep apriori maupun konsep proposi, meskipun mereka
mungkin mengenal kebenaran analitis apriori seperti halnya definisi tautologika (tautologicals:
pernyataan yang bersifat benar namun diungkapkan kembali dengan kata yang berbeda).
Substantive Empiricist (Kaum empiris yang sesungguhnya) membedakan konsep apriori yang
bersifat formal dan kategorial. Konsep formal apriori ini diterima keberadaanya dan dibatasi
oleh cara interaksi dari ide atau gagasan yang ada; sedangkan konsep kategorial apriori seperti
hubungan sebab akibat, tidak diterima. Kaum substantive Empiricist berargumen bahwa setiap
proposisi/dalil apriori sebenarnya merupakan tautology (pengulangan), walaupun dibutuhkan
deduksi untuk mengungkapkan hal tersebut. Partial Empiricist menyatakan bahwa ide non-formal
tertentu mungkin dapat dikategorikan sebagai apriori. Contohnya adalah konsep alamiah sebab
dan akibat, moralitas, dan lain-lain. Bagaimanpun juga, setelah pernyataan ini dikeluarkan oleh
kaum Partial Empiricist, mereka melakukan verifikasi tiap harinya proposisi terhadap fakta yang
ada dengan cara empiris.
Dalam sejarahnya, kaum empiris Barat (Western Empiricist) merupakan kaum Sophist Latin kuno,
yang memfokuskan pertanyaan mereka pada entitas nyata yang terkait seperti manusia dan
masyarakat luas, tidak seperti pendahulu mereka yang mendalami bidang yang bersifat spekulatif.
Kaum filsuf kuno dengan kaum empiris memiliki kecenderungan dengan Stoics dan Epicureans,
bagaimanapun juga mereka tetap menaruh perhatian pada pertanyaan etika.
Sebagian besar kaum filsuf Kristen pada abad pertengahan adalah kaum empiris. Pemikir terkenal
pada abad ke 14, William dari Ockham, berargumen bahwa setiap pengetahuan duniawi tercapai
melalui penerimaan indrawi. Pada abad ke 16, empiris asal Inggris, Francis Bacon, percaya pada
data-data pengamatan alamiah untuk mendapatkan gambaran dari dunia itu sendiri. Pada tahap ini
ia menetapkan dasar dari metode saintifik. John Locke pada abad ke-17, dipercaya sebagai empiris
unggulan di era post-renaissance. Filsuf berikutnya yang menganut beberapa prinsip empirisme
adalah pastur kelahiran Irlandia, George Berkeley di abad ke 17 dan 18, Scot David Hume pada
abad ke 18 dan Britons John Stuart Mill pada abad ke 19 dan Bertran Russel pada abad 20. Mill
(yang menyangkal bahwa dirinya seorang empiris) dan Russel menyatakan dalam suatu
kesempatan, bahwasanya kebenaran matematis atau konsep logika pada dasarnya adalah empirical
(termasuk paham empiris).
Argumen filosofis yang berlawanan dengan Empirisme pada umumnya adalah argumen kaum
rasionalis, dimana diskusi mereka terpusat apakah pengetahuan bersifat bawaan atau diperoleh
sendiri.
Kelompok Empiris lain diluar tradisi Anglo-Saxon, adalah Logical Positivist of the Vienna Circle.
Kelompok ini berpendapat bahwa pendapat metafisika tidaklah berarti karena mereka pada
dasarnya tidak dapat diverifikasi.
Gagasan berikut mungkin dapat dikategorikan sebagai pengaruh dari Empiris, walaupun tidak
semuanya harus digagas oleh kaum pemikir Empiris:
1.Pengalaman merupakan hal yang jelas dalam suatu isolasi, atau secara atomistic, tanpa adanya
referensi alamiah ataupun keadaan dari subjek tersebut. Karenanya pengalaman dapat
dideskripsikan tanpa harus mengikutsertakan pemikiran mengenai pengalaman tersebut.
2. Orang yang mengalami pengalaman merupakan pihak yang menerima data/masukan yang
kemudian terbentuk atas ketidakpedulian intelektual dari aktivitasnya; orang yang tidak
memberikan apapun bagi pengalaman tersebut, namun mendapatkan segalanya dari pengalaman
itu.
3. Seluruh metode merupakan metode saintifik/ilmiah. Untuk menemukan sifat alami
duniawi, dibutuhkan pengembangan metode dari eksperimen dimana seluruh pernyataan akan
pengetahuan dibuktikan/diuji dengan pengalaman, karena hanya pengalaman yang dapat
memvalidasi hal tersebut.
4. Reduksionisme: dimana seluruh fakta di dunia dapat direduksi/diperkecil hingga
jumlahnya sama dengan fakta yang telah dikonfirmasi oleh pengalaman.
Pengaruh empirisme dapat terlihat pada tesis Nominalisme, dimana kenyataan/realita bergantung
pada hal tertentu dan tidak bersifat universal. Nominalis berendapat bahwasanya tidak terdapat
realita yang tidak berasal dari bagian realita/kenyataan itu sendiri.
Dalam bidang metafisika Empirisme menghasilkan karakteristik pandangan hubungan sebab
akibat, yang nampaknya menjadi konsekuensi yang hampir tidak terelakkan/terhindar terkait
teorinya mengenai pengetahuan. Menurut metafisikawan empiris, dunia terdiri dari serangkaian
objek dan situasi yang terkait, disatukan oleh keteraturan dibandingkan oleh kebutuhan. Dan tidak
berhubungan dengan sebab diluar nalar atau takdir. Menurut pandangan ini, sains/ilmu,
menginvestigasi/mengamati hubungan/koneksi dan kemudian mengarah pada suatu prediksi yang
berdasarkan keteraturan yang diamati. Selanjutnya, penilaian terhadap nilai tidak terdapat dalam
sains, dikarenakan menurut kaum Empiris, penilain merupakan pilihan subjetif dari
investigator/pengamat.
REDUKSIONISME
Dari jenis yang ada merupakan koleksi atau kombinasi dari entitas sederhana/jenis dasar atau suatu
bentuk ekspresi yang menunjukkan bahwa entitas tersebut itu didefinisikan secara lebih mendasar.
Dengan demikian ide/gagasannya adalah wujud fisik merupakan kumpulan dari atom; dan atau
pikiran yang merupakan kombinasi dari tanggapan atas rasa, merupakan bentuk reduksionisme.
Berikut adalah dua bentuk umum reduksionisme yang telah dinyatakan oleh filsafat abad 20:
1. Logical Positivist telah menetapkan bahwa ungkapannya merujuk pada benda atau keadaan
yang ada; dan dapat didefinisikan ketika melakukan pengamatan objek secara langsung.
Karenanya setiap pernyataan suatu fakta sebanding dengan pernyataan yang telah
diverifikasi secara empiris. Secara khusus, teori entitas dari sains telah dinyatakan dapat
didefinisikan/diuraikan melalui pengamatan objek fisik, maka dari itu hukum ilmiah
sebanding dengan perpaduan dari laporan pengamatan.
2. Para pendukung persatuan keilmuan/sains telah menyatakan bahwa entitas teoritikal
tertentu seperti biologi atau psikologi, dapat didefinisikan/diuraikan dalam ilmu dasar
lainnya seperti fisika; atau dengan kata lain, hukum-hukum yang tercantum pada ilmu
tersebut dapat dijelaskan pula oleh ilmu lain yang lebih bersifat mendasar.
Versi reduksionisme menurut Logical Positivist juga menyiratkan bahwa persatuan/kumpulan
bidang keilmuan merupakan entitas teoretis yang dapat didefinisikan dalam beragam keilmuan
serta dapat membentuk dasar dari berbagai hukum ilmiah. Walaupun versi reduksionime sudah
jarang diterima dewasa ini, dikarenakan kesulitannya menjelaskan perbedaan karakter diantara
pernyataan teoretis dan observasional dalam sains, pertanyaan mengenai kesanggupan untuk dapat
mereduksi suatu bidang ilmu menuju bidang ilmu lainnya masih menjadi topik kontroversial.

POSITIVISME
Positivisme seringkali digunakan untuk menunjukkan karakterisasi sebuah angka dari posisi
teoritis dalam filsafat sebagaimana pengunaannya sering digunakan pula dalam ilmu sosial.
Keberagaman yang signifikan selalu menjadi ciri khas dari istilah ini, dan kekhasannya nampak
dalam ungkapan filsuf Perancis di abad ke 19, Auguste Comte, yang menggunakan istilah ini dan
mengelaborasikannya dengan konsep yang ia tulis. Dua karya terbesarnya terkait positivisme
adalah Course of Positive Philosophy (1830-1842) dan System of Positive Philosophy, or Treatise
on Sociology Intituting the Religion of Humanity (1851-1854). Walaupun banyak gagasan Comte
bukan berumber asli dari dia, karyanya merupakan representasi besar pertama terhadap formulasi
sistematis dari positivisme modern. Sistem miliknya menstimulasi perkembangan berbagai bidang
inti seperti logika, filsafat sains, psikologi dan sosiologi.
Filsafat Positif Sebagai Filsafat Sains. Salah satu tujuan dari prinsip Comte adalah untuk
mengubah seluruh filsafat menjadi filsafat sains, yang dia sebut sebagai filsafat positif. Tujuan
utama dari filsafat positif miliknya adalah untuk membedakan disiplin keilmuan dan
mengkoordinasi penemuan umum dari keilmuan dasar (basic science) seperti matematika,
astronomi, fisika, kimia, biologi, dan sosiologi. Dengan tercapainya tujuan tersebut, filsafat dapat
mengarahkan dan mempercepat arah dan kemajuan sains khusus (special sciences)
Filsafat positif sebagai filsafat sains, merupakan tahap akhir dari perkembangan filsafat. Melalui
sejarah, manusia mencoba untuk memahami aturan yang berlaku dalam dunia fenomena. Pada
pemikiran tahap awal, tahap teologis, manusia menerjemahkan kejadian dan aturan fenomena yan
ada sebagai suatu hal yang bersifat supranatural. Pad tahap berikutnya, tahap metafisika, aturan
dijelaskan dengan menggunakan referensi atau acuan pada kekuatan yang bersifat abstrak. Hanya
dalam tahap akhir ini, tahap positif, pikiran manusia menemukan pencarian awal dan akhir
terhadap penyebab / gejala yang ada; ketimbang mencoba untuk menemukan keterkaitan tetap dari
kemiripan maupun rangkaian antar fenomena. Dalam hal ini aturan yang berlaku pada setiap
fenomena dapat ditemukan.

Peran dari Nalar dan Metode Matematis Ilmiah dan Filsafat Positif
Sebagai pemahaman yang jelas mengenai positivisme Comte dan filsafat sains/ilmiah yang telah
berkembang sejak jamannya, penting untuk diketahui bahwa Comte dengan tegas menolak untuk
setuju mengenai paham teori pengetahuan kaum empiris. Walaupun pengetahuan valid harus
berdasarkan pengamatan fenomena, pengamatan dan induksi dalam pandangan Comte tidak akan
pernah dapat menemukan aturan yang berlaku dalam fenomena tersebut. Seluruh pengamatan dan
fenomena pada faktanya harus dibimbing oleh dugaan teori mengenai aturan yang ada. Di masa
lampau, teori teologis dan metafisika merupakan sebuah pernyataan dari penggunaan penalaran,
walaupun tidak sempurna. Dalam tahap positif, nalar datang dengan formulasinya tersendiri
mengenai hipotesis ilmiah yang mengarah pada penyelidikan ilmiah. Untuk kemudian diuraikan
sebagai pemahaman dengan metode hipotesis-deduktif, sebagaimana telah tercantum dalam
konsep awal dan mendasar metode saintifik/ilmiah milik Comte.
Comte menganggap matematika sebagai landasa/pilar baik untuk filsafat positif, maupun metode
positif. Berbeda dengan geometri dan mekanis yang dianggap sebagai ilmu alam, analisis
matematika, karena sifatnya yang logis dan rasional, merupakan metode ilmiah yang ideal.
Positivisme dan Fenomena Sosial.
Comte berusaha untuk menerapkan metode ilmiah pada studi fenomena sosial, dengan demikian
dapat membawa sisa kelas/kelompok fenomena dalam lingkup pengamatan/observasi ilmiah. Dia
percaya bahwa dalam ilmu positf atau fisik sosial atau bahkan sosiologi, dapat ditemukan hukum
yang menentukan aturan sosial dan kemajuan.
Comte mengemukakan bahwa umat manusia diatur oleh suatu hukum tetap mengenai hidup
berdampingan dan rangkaian kehidupan lain, selayaknya fenomena alam. Karenanya, beberapa
gagasan metafisika seperti kebebasan dan kehendak dalam hidup manusia tidak berlaku lagi,
karena hal tersebut bukanlah entitas yang dapat diamati.
Comte berpendapat bahwa para manusia dengan pengetahuan terhadap hukum tetap yang
menentukan aturan dan perubahan sosial sebagaimana yang terjadi di alam, mereka akan tetap
bertindak sesuai dengan kesadaran mereka. Ketika seorang manusia salah memahami bahwa
kehidupan manusia dapat diatur atau diubah sesuka hati, dia pada nyatanya hanya akan
menghambat hukum historis, mencipatakan ketidakharmonisan, menghambat kemajuan, dan
mencegah dirinya sendiri dan yang lain untuk dapat bersatu dalam aturan yang berlaku.
Pernyataan ini tidak berarti menyatakan bahwa Comte percaya bahwa umat manusia harus
menerima apa adanya. Pengetahuan terhadap hukum ini justru akan membuat manusia dapat
memprediksi fenomena dan berhasil dalam tindakannya baik di alam maupun masyarakat. Melalui
karir Comte, dengan tujuan utamanya untuk menyusun ulang tatanan kemasyarakatan Barat dan
menciptakan ketetapan permanen yang bebas dari kekacauan dan revolusi. Sistem filsafatnya yang
menyeluruh telah dirancang secara khusus dan tidak terpisahkan dari pencapainnya.

LINGKARAN WINA (VIENNA CIRCLE), GERMAN, WIENER KREIS


Merupakan sebuah kelompok para filsuf, peneliti, dan ahli matematika yang dibentuk pada tahun
1920an yang rutin berkumpul di Wina untuk melakukan investigasi Bahasa dan metodologi ilmiah.
Pergerakan filsafat yagn terkait dengan Lingkaran itu merupakan suatu bentuk gabungan
positifisme logis, empirisme ilmiah, neopositifisme, dan persatuan pergerakan keilmuan.
Pekerjaan para anggotanya, walaupun tidak disebutkan secara anonym dalam berbagai kasus, ciri
khasnya tetap nampak, yang pertama dilihat dari perhatiannya terhadap bentuk teori ilmiah, yang
dipercayai bahwa struktur logis dari berbagai teori ilmiah tertentu dapat disebutkan secara spesifik
terlepas dari kontennya. Kedua mereka merumuskan prinsip verifiability (prinsip untuk dapat
dilakukan verifikasi) atau kriteria dari suatu makna, yang mengklaim dimana sebuah
proposisi/usulan berlandaskan pengalaman atau hasil observasi. Untuk alasan ini, pernyataan
terhadap etika, metafisika, agama, dan estetika dianggap tidak berarti. Ketiga, dan juga sebagai
produk/hasil dari dua poin sebelumnya adalah sebuah doktrin dari dukungan gabungan berbagai
bidang ilmu. Sehingga tidak terdapat perbedaan mendasar yang terdapat diantara bidang keilmuan
fisika dan biologi atau diantar ilmu alam dan sosial.
Penemu sekaligus ketua kelompok ini adalah Moritz Schlick, yang merupakan seorang
epistimologis dan filsuf ilmiah. Anggotanya diantara lain adalah Gustav Burgmann, Rudolf
Carnap, Hebert Feigl, Phillip Frank, Kurt Godel, Otto Neurath, dan Friedrich Weismann; dan sisa
anggotanya berasal dari rumpun yang sama. Filsafat empiris Gesselschaft (Society fo Empirical
Philosophy), yang ditemui di Berlin adalah Carl Hampel dan Hans Reichenbach. Deklarasi formal
maksud dan tujuan grup tersebut dikumandangkan pada 1929 dengan manifesto publikasinya
adalah Wissenschaftliche Welauffasung: Der Wiener Kreis (Scientific Conception of the World:
The Vienna Circle), dan dalam tahun yang sama, putaran congress pertama mengambil tempat di
Praha. Pada tahun 1938, dengan terjadinya Perang Dunia II, memberikan dampak tekanan politis
besar pada kelompok tersebut hingga akhirnya dibubarkan, banyak dari anggotanya melarikan diri
ke negara AS dan Britania Raya.

FILSAFAT ANALITIS
Filsafat analitis, juga disebut sebagai filsafat linguistic, merupakan sebuah pergerakan yang
dominan di lingkup filsafat Anglo-Amerika Serikat pada pertangahan abad 20, dapat dikenali
dengan mudah dari metode yang digunakan, yang dimana menitikberatkan perhatiannya pada
Bahasa dan analisis terhadap ungkapan konsep di dalamnya. Perwakilan sekolah Analytic
cenderung mempertahankan gagasan bahwa tujuan dari filsafat adalah therapeutic / pengobatan -
- bertujuan untuk menghilangkan ketidakjelasan dan kebingungan, dengan harapan bahwa banyak
permasalahan filsafat tradisional dapat dipecahkan.
Filsuf Analitis dan Bahasa telah mengalami kemajauan dalam berbagai pandangan yang berbeda.
Sebagai contohnya adalah Ludwig Wittgenstein (1889-1951) yang berkebangsaan Austria, dengan
dua karya besar yang ia tuliskan yaitu Tractarus Logico-Philosophicus dan Philosophical
Investigationyang dimana tulisan kedua merupakan sangkalan bagi tulisan pertamanya.
Filsafat analitis, yang berkembang diantara tahun 1945 dan 1960, merupakan pengembangan dari
Logika Positifisme pada tahun 1930an, yang kemudian mengihami pada suatu bentuk pemikiran
Realisme dan Pluralisme kepada pemikir Inggris, yaitu Bertrand Russel dan G.E.Moore. Russel
memberikan inspirasi bagi Positifisme (desakan pada pengetahuan berdasarkan fakta yang dapat
diverifikasi oleh metode empiris ilmiah); sementara Moore, seorang dengan determinasi untuk
menghindari hal yang tidak bisa dimengerti dalam wacana filsafat, dan penolakannya pada
kepercayaan terhadap takhayul, merupakan ketua antisipasi dari Filsafat Analitis dan Bahasa pada
tahun 1945 hingga 1960.
Contoh sosok terkemuka dalam gerakan ini adalah Wittfenstein, seorang pemikir Inggris bernama
Gilbert Ryle (1900-76) dan L.J. Austin (1911-60). Rumusan gamblangnya berawal ketika
Wittgenstein kembali setelah beberapa periode menarik diri untuk mempelajari filsafat di tahun
1929. Ketika filsuf muda yang paling cerdas berkomitmen pada Positivisme Lingkaran Wina
(Vienna Circle) dalam Bahasa Inggris di tahun 1936 yang dituangkan dalam tulisan A.J. Ayer
Language, Truth and Logic, gagasan baru Wittgenstein dilahirkan, namun terbatas dalam lingkar
sosial mahasiswa Cambridge.
Penaklukan Oxford dari segi filsafat ditandai dengan dirayakannya symposium Austin yang
diadakan pada tahun 1946. Buku The Concept of Mind karangan Ryle merupakan buku penting
pertama di masa itu. Pandangan/pola pikir Wittgenstein kala itu tidak umum tersedia hingga
akhinya buku karangannya yang berjudul Philosophical Investigations diterbitkan pada tahun
1953 dan disusul buku karangannya yang lain. Di Amerika Serikat, pengaruhnya dengan cepat
tersebar setelah tahun 1945 dengan bantuan dari rekan belajarnya di Cornell.
Penurunan kampus tersebut secara jelas nampak pada awal tahun 1960tahun kematian Austin
dan publikasi buku berjudul Word and Object karya pengarang Amerika bernama W.V. Quine,
sebuah pengembangan konstruktif dan orisinil terhadap Positifisme di tahun 1930an. Hal tersebut
juga merupakan gema dari kemunculan seorang ahli bahasa/linguist berkebangsaan Amerka
Serikat, Noam Chomsky. Renovasi radikal Noam Chomsky terhadap keilmuan bahasa, yang secara
tidak langsung menolong filsuf Analitis Inggris amatiran.
Awal mula dari filsafat Analitis tidak muncul secara instan dari kepercaannya terhadap bahasa
yang menjadi objek kajian filsafat. Melainkan keyakinan yang terbentuk dari banyak filsuf
terdahulu, khususnya ketika mereka duduk sebagai akademisi dan professional. Hal tersebut juga
diterima oleh mereka yang menganggap bahwa pemikiran dan pengetahuan merupakan inti dari
filsafat, menyadari bahwa semua, khususnya pemikiran primitive membutuhkan artikulasi
linguistic/bahasa. Ciri yang membedakan filsafat Analitis adalah tesisnya yang menyatakan bahwa
permasalahan filsafat tradisional dapat dipecahkan, atau diuraikan dengan memperhatikan secara
seksama kata dan kalimat yang digunakan dalam diskusi dan menyatakan sesuatu.
Para filsuf Analitis mengakui adanya kesewenang-wenangan dan kemustahilan prinsip verifikasi
yang dinyatakan oleh para filsuf Positifisme terdahulu, yang menyiratkan bahwa terdapat
penegasan hal-hal yang bersifat empiris atau fakta konseptual.
Pada tempatnya, mereka berargumen bahwa bahasa merupakan fenomena sosial dan fungsional,
juga merupakan sebuah seni kehidupan umat manusia. Bukan hanya kalkulus abstrak yang
esensinya telah diungkap untuk selama-lamanya dengan logika matematika modern. Namun
bahasa/lingusitik juga digunakan dalam berbagai cara untuk berbagai tujuan. Bahwasanya tidak
ada dasar dari hal atau paradigma tersebut, ungkapan signifikan yang memaksa bahwa segala hal
harus direduksi dan tidak untuk diatur adalah suatu hal yang tidak masuk akal. Para filsuf Analitis
yang mengumandangkan keyakinan Moore terhadap akal sehat, mengalami perdebatan dimana
sebagian beranggapan bahwa keyakinan tersebut merupakan suatu tanda kebingungan konsep,
terdapat kesalahpahaman peraturan dimana hal tersebut nyatanya mengatur penggunaan kata-kata
dalam hidup keseharian, dimana terdapat kata-kata yang dapat digunakan secara tepat dalam
praktiknya, dan terdapat kata-kata yang menyebabkan pembiaran terhadap analogi yang salah
namun menarik. Dari hal tersebut dapat diliha bahwa cara ideal untuk menyelesaikan
permasalahan filsafat adalah dengan memberikan arti yang seragam pada kata-kata yang bersifat
ambigu.
Filosofi sejati, pada hakikatnya adalah semacam terapi bagi kaum intelek yang kebingungan secara
konseptual.
Wittgenstein menerapkan pada konsepsi barunya akan bahasa yang diperlebar hingga
permasalahan dalam yang dalam ceramahnya menjelaskan pemahaman pemrosesan metal,
penderitaan, sakit dan kesengajaan. Konsep Ryle dalam Concept of Mind menawarkan versi yang
lebih sederhana mengenai gagasan Wittgenstein terhadap subjek tersebut, yang pada akhirnya
mengarah pada paham perilaku (behaviorism) sebagian besar kaum Positivis, namun tetap dikemas
dalam detail yang lebih menarik. Austin menulis secara brilian mengenai ketidaktegasan persepsi,
kebenaran, janji dan tanggungjawab. Melalui tulisan akan ketidaktegasnnya tersebutlah dia sukses
menghindari paradoks teori filsafat yang dimana filsafat itu tidak boleh mengemukakan suatu teori.
Ketika Wittgenstein berfilsafat terbatas hanya mengenai bahasa sejauh hal tersebut dibutuhkan
untuk pengobatan/ therapeutic bagi filsuf yang kebingungan, para filsuf Oxford cenderung
mempelajari bahasa tersebut untuk kebaikannya sendiri. Pandangan Ryle mengenai filsafat sebagai
konsep geografis mengusulkan suatu kemungkinan terhadap atlas yang komprehensif. Austin,
dalam bukunya yang terakhir, How to Do Things With Words (1962), memberikan gambaran
sketsa mengenai sistematika teori penggunaan bahasa. Walaupun pengaruh Ryle dan Austin telah
melewati masanya, pengaruh Wittgenstein tetap hidup dalam filsafat kontemporer.

PRAGMATISME
Sekolah filsafat pragmatisme di Amerika Serikat mendominasi pada sekitar abar 20. Prinsip azas
manfaat, kemampuan kerja dan praktis dari ide, kebijakan, dan proposal merupakan karakteristik
yang ditemukan. Hal ini memfokuskan diri pada prioritas akan tindakan/reaksi terhadap doktrin,
atau pengalaman terhadap prinsip yang bersifat tetap; pragmatism juga berpendapat bahwa
gagasan/ide mendapatkan arti dari konsekuensi mereka sendiri, dan kebenaran dari verifikasinya.
Sehingga ide/gagasan merupakan instrument inti dan rencana dari sebuah aksi.
Posisi pragmatis pada awalnya tersistematis ole filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders
Perice (1839-1914) dan William James (1842-1910), yang setuju pada penerapan alamiah
mengenai pengertian/pemahaman namun berbeda dengan doktrin yang ada. Bagi Perce,
pragmatisme utamanya merupakan investigasi dari metode yang sesuai dengan prosedur ilmu
alam, sebuah doktrin yang menyederhanakan (reduktif) pemahaman mengenai unsur teoritis yang
menerima dampak dari pengalaman. Peirce adalah seorang dengan pemikiran teoritis, yang
terpengaruh oleh Immanuel Kant dan aku empirisitis Inggris. Berbeda dengan James yang
bergerak ke arah yang lebih bersifat praktis dan moralistis. Kenyataan akan kepercayaan, termasuk
kebenaran, memberikan pandangan bagi James bahwa dua hal tersebut merupakan hal yang
diperlukan dalam menghadapi permasalahan kehidupan secara efisien. Keunggulan/kebaikan inti
mengenai kepercayaan bagi hidup seseorang menjadi pembenaran bagi orang tersebut. James
kemudian menulis: dalam prinsip pragmatis, jika hipotesis bahwa Tuhan bekerja dengan
memuaskan, dalam arti kata yang lebih luas maka hipotesis tersebut dianggap benar. Implikasi
anti-rasional dari pernyataan tersebut mengejutkan banyak kritikus, diantaranya G.E. Moore dan
Bertrand Russel, yang melihat hal tersebut sebagai sebuah penipuan terhadap diri sendiri.
Kepercayaan terhadap keagamaan menunjukkan efek penghiburan tertentu dan menjadi sebuah
fakta yang tidak dapat diperdebatkan. Bahkan rekan James yang merupakan seorang pragmatis,
termasuk Peirce, menarik diri dari pencarian faedah ini dengan kebenaran.
Kontroversi mengenai kebenaran tetap berlanjut. Catatan Peirce sendiri mengenai kebenaran
adalah: bahwa pada akhirnya ditakdirkan untuk disepakati oleh semua yang
mengamati/menyelidiki; dalam pandangannya, kebenaran merepresentasikan sebuah batasan
opini ilmiah. Tapi definisi Peirce gagal mencatat bahwa untuk fakta tersebut terdapat
keterbatasan akses untuk diamati. Tujuan sebenarnya dari definisi adalah untuk menekankan peran
dari motivasi penyelidikan praktis dalam pembentukan suatu konsep dan penilaian terhadap
kebenaran secara mendasar.
Aspek praktis mengenai pragmatisme disusul oleh karya John Dewey (1859-1952), seorang fiilsuf
dan pengajar teori bekebangsaan Amerika. Dewey mengembangkan apa yang ia lohat sebagai
sikap baru dalam menghadapi/menyikapi pengalaman. Dalam pandangannya, fenomena
pengalaman, (yang dimana kaum empiris seringkali cenderung menganggapnya sebagai refleksi
mekanis pasif duniawi), merupakan proses sosial yang bersifat aktif. Mengetahui, menurutnya
adalah suatu proses untuk mendapatkan jawaban bagaimana. Penelitian memberitahu kita
bagaimana untuk mengubah situasi menjadi lebih baik; dan pengetahuan merupakan suatu jaminan
yang ditegaskan oleh penelitian. Wawasan ini mungkin lebih berdampak bagi lingkup pendidikan
ketimbang lingkup filosofi, khususnya setelah kaum positifis logika meninggalkan jejaknya dalam
bidang ilmu filsafat. Bagaimanapun, tekanan khusus pada praktek dan teknik mendapatkan
keunggulannuua dalam filsafat Amerika selama pertengahan abad 20. Hal itu mendominasi karya
Ludwig Wittgenstein (1889-1951) selanjutnya, yang melihat kepemilikan atas bahasa apapun
sebagai kunci utama dari teknik-teknik yang ada; W.V. Quine berargumen bahwasanya
pertimbangan bahwa adanya perubahan model teori sebagian besar adalah pragmatis dan bukan
merupakan hasil pendiktean/doktrin oleh konsep terdahulu dan interaksinya dengan pengalaman
mentah. Gambaran akan kebenaran yang menjadi perhatian bagi karya Quine, dan filsuf lain yang
terpengaruh olehnya, adalah bahwa kebenaran individual itu sendiri merupakan hal sekunder. Hal
tersebut merupakan hasil turunan dari karya para anggota teori terdahulu, yang efisien dalam
praktiknya. Sementara para kaum positivis berharap untuk mengurangi konten dari teori ilmiah,
Pandangan instrumental semacam ini mengakui peranan dari teori mereka yang tidak dapat
direduksi, namun masih melihat kenyataan yang mendasari karya mereka dalam praktiknya.

Anda mungkin juga menyukai