Anda di halaman 1dari 12

DESKRIPSI PERAWATAN BBLR DENGAN METODE

KANGURU DAN EFEKNYA PADA BBLR DI RUANG


PERINATOLOGI RSUP DR. KARIADI SEMARANG

Nuniek Wulansari,Amin Samiasih, SKp,M.Si.Med, Ns. Pawestri, S.Kep, M.Kes

Abstrak

Perawatan Metode Kanguru merupakan cara yang efektif untuk memenuhi


kebutuhan BBLR yang paling mendasar yaitu kehangatan, air susu ibu,
perlindungan dari infeksi, stimulasi, keselamatan, dan kasih sayang dibandingkan
perawatan konvensional. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan perawatan
BBLR dengan menggunakan perawatan metode kanguru di Ruang Perinatologi
RSUP Dr. Kariadi Semarang. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kuantitatif, dengan desain penelitian deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 10 bayi
BBLR dengan pengambilan sampel secara consecutive sampling dan 14 perawat
dengan pengambilan sampel secara total sampling. Hasil penelitian menunjukkan
57% responden perawat belum melaksanakan PMK sesuai protap, 82% faktor
predisposisi BBLR dengan PMK karena faktor ibu, 100% responden BBLR tidak
mengalami peningkatan energi, tidak menunjukkan peningkatan imaturitas
imunologis, pergerakannya lebih aktif, dan berat badannya meningkat setelah
PMK, serta 80% responden BBLR mendapatkan ASI. Berdasarkan hasil tersebut,
perlu dilakukannya PMK bagi BBLR sesuai protap di ruang Perinatologi,
mengadakan pelatihan dan sosialisasi PMK bagi tenaga medis, paramedis, dan
orang tua bayi, serta meningkatkan lama pemberian PMK.

Kata kunci : Perawatan BBLR, Metode Kanguru, Efeknya pada BBLR

Abstract

Kangaroo Mother Care is more effective to satisfy LBW infants basic need that is
warmth, mothers milk, infection protection, stimulation, safety, and affection
than the conventional care. The purpose of this mini thesis was to describe LBW
infants treatment with Kangaroo Mother Care at The Perinatology Room of Dr.
Kariadi Public Hospital. The research used quantitative research with descriptive
research design. There were 10 LBW infants respondents, used consecutive
sampling method and 14 nurse respondents, used total sampling method. The
result showed that 57% of nurse respondents had not run Kangaroo Mother Care
prescribed by the procedure, 82% factor of LBW infants predisposition with
Kangaroo Mother Care was caused by mother, 100% LBW infants respondents
did not raise energy improvement, 100% LBW infants respondents did not
indicate immunological immaturity, 80% LBW infants respondents get mothers
milk. 100% LBW infants respondents moved more actively and gained weight
after Kangaroo Mother Care. According to the research it is recommended to
apply Kangaroo Mother Care for LBW infants at Perinatology Room prescribed
by the procedure, conduct training and socializing Kangaroo Mother Care to
doctors and nurses, parents, and expand duration of Kangaroo Mother Care.

Key words : LBW Infants Treatment, Kangaroo Mother Care, The Effect for
LBW Infants

PENDAHULUAN
Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada 2005 menyebutkan bahwa di
Indonesia terdapat 38,85% kematian neonatus yang disebabkan oleh BBLR.
Berdasarkan rekap data kelahiran hidup di kota Semarang bulan Januari-
September 2011, jumlah bayi lahir dengan BBLR sebanyak 129 dan bayi
prematur sebanyak 34 dengan angka kematian bayi BBLR sejumlah 24 dan bayi
prematur sejumlah 20, berarti angka kematian BBLR sebanyak 18,6% dan bayi
prematur sebanyak 58,8% (Dinkes Semarang, 2011). Di ruang Perinatologi RSUP
Dr. Kariadi Semarang, BBLR menjadi penyebab kedua kematian neonatus
setelah asfiksia. Pada 2010 didapatkan data bayi lahir dengan BBLR sebanyak
130 dan 47 yang meninggal selama menjalani perawatan, berarti sebanyak
36,15% kematian neonatus di ruang perinatologi disebabkan oleh BBLR
(Perinatologi RSDK, 2011).

Di Indonesia, perawatan BBLR masih memprioritaskan pada penggunaan


inkubator, tetapi keberadaannya masih sangat terbatas. Disamping itu dengan
menggunakan inkubator, bayi dipisahkan dari ibunya sehingga menghalangi
kontak kulit langsung antara ibu dan bayi yang sangat diperlukan bagi tumbuh
kembang bayi (Depkes RI, 2008). Perawatan dengan metode kanguru (PMK)
merupakan cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan BBLR yang paling
mendasar yaitu kehangatan, air susu ibu, perlindungan dari infeksi, stimulasi,
keselamatan, dan kasih sayang (WHO, 2003). Menurut Conde Aguedelo, dkk.
(2007), dibandingkan perawatan konvensional PMK terbukti dapat menurunkan
angka kejadian infeksi, penyakit berat, masalah menyusui, dan ketidakpuasan ibu
serta meningkatkan hubungan antara ibu dengan bayi.

Di ruang perinatologi RSUP Dr. Kariadi Semarang sudah menerapkan perawatan


metode kanguru, akan tetapi selama ini belum ada penilaian mengenai
pelaksanaan perawatan metode kanguru di ruang perinatologi apakah sudah
berjalan sesuai dengan prosedur tetap yang berlaku. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan perawatan BBLR dengan menggunakan perawatan
metode kanguru di Ruang Perinatologi RSUP Dr. Kariadi Semarang.

METODOLOGI
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif, dengan desain
penelitian deskriptif. Jumlah sampel sebanyak 10 bayi BBLR dengan
pengambilan sampel secara consecutive sampling dan 14 perawat dengan
pengambilan sampel secara total sampling. Penelitian dilakukan di ruang
Perinatologi RSUP Dr. Kariadi Semarang. Alat pengumpulan data dengan
menggunakan lembar observasi. Data dianalisis secara univariat, yaitu dengan
menggunakan ukuran pemusatan mean, median, dan modus serta ukuran
penyebaran nilai minimum, maksimum, dan standar deviasi untuk data numerik,
sedangkan data kategorik dengan menggunakan frekuensi dan rasio.

HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian terhadap pelaksanaan PMK oleh responden perawat sesuai
prosedur tetap dinilai berdasarkan 34 variabel seperti tercantum pada tabel 1, lalu
dilakukan skoring dan didapatkan nilai minimal 29, maksimal 34, median 32. Cut
off point yang digunakan nilai median karena data berdistribusi tidak normal. Pada
pengujian data dengan Saphiro Wilks didapatkan signifikan pada 0,006 (p<0,05).
Jika nilai yang didapatkan responden > 32 dikategorikan pelaksanaan PMK baik
sesuai prosedur tetap dan jika 32 dikategorikan pelaksanaan PMK kurang baik.
Dari keempat belas responden diperoleh hasil nilai > 32 ada 6 orang (43%) dan
32 ada 8 orang (57%).
Tabel 1
Pelaksanaan PMK sesuai Protap (Responden Perawat)
NO KOMPONEN PMK f %
1. PERALATAN YANG DIBUTUHKAN
1. Baju kanguru untuk perlekatan 14 100
2. Topi dan diapers untuk bayi 14 100
3. Baju kimono/ hem besar/jas pelindung untuk ibu 14 100
4. Timbangan bayi 14 100
5. Termometer 14 100
6. Peralatan emergensi (oksigen, saturasi oksigen, isap lendir, alat untuk 14 100
pemeriksaan GDS, stetoskop, alat resusitasi) 14 100
7. Kursi yang nyaman untuk PMK 14 100
8. Wastafel 14 100

2. PERSIAPAN PASIEN
1. Kesiapan Ibu
a. Komunikasi Edukasi tentang PMK 14 100
b. Adaptasi ibu pada bayi 13 93
c. Personal hygiene baik 13 93
2. Kesiapan bayi
a. Kondisi bayi telah stabil 14 100
b. Hemodinamik stabil 14 100
Frekuensi jantung, perfusi jaringan, frekuensi nafas, suhu tubuh
normal
3. Kesiapan Perawat
a. Pengetahuan tentang PMK 14 100
b. Pengalaman memberikan PMK 12 86
c. Menyediakan waktu 13 93
d. Observasi efek PMK 13 93
3. PROSEDUR PMK
1. Jelaskan pada orang tua/informed consent 14 100
2. Kebersihan diri dan cuci tangan 14 100
3. Baju bayi dilepaskan, bayi hanya mengenakan diapers dan topi. Lalu 14 100
kenakan baju kanguru
4. Pegang belakang leher dan punggung bayi, tangan mencegah leher fleksi 14 100
atau hiperekstensi, tangan lain memegang bokong
5. Baju ibu bagian atas juga dilepas (anjurkan ibu untuk mengenakan 14 100
pakaian atasan dan bawahan)
6. Lekatkan/posisikan bayi didada ibu diantara kedua payudaranya dengan 14 100
posisi kepala menoleh ke kanan/kiri dan cegah leher fleksi atau
hiperekstensi
7. Lekatkan baju kanguru agar melekat kuat pada ibu sehingga bayi tidak 14 100
jatuh
8. Ibu kemudian mengenakan baju atasan/hem yang besar atau jas 14 100
pelindung/kimono
9. Selama PMK anjurkan ibu untuk menyusui bayinya, memberikan stimulus 13 93
atau rangsangan suara maupun sentuhan pada bayinya
10. Ajarkan ibu untuk mengenali tanda-tanda bahaya selama PMK dan segera
melaporkannya ke perawat atau dokter 14 100

4. HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN SELAMA PMK


1. Sulit bernafas, sianosis (kebiruan), nafas cepat (retraksi), tangis merintih 14 100
2. Bernafas sangat lambat atau sangat perlahan 14 100
3. Apneu atau nafas berhenti yang sering dan lama 14 100
4. Bayi teraba dingin, suhu tubuhnya di bawah normal meskipun dijaga 14 100
kehangatannya
5. Sulit minum : bayi tidak bangun untuk minum, berhenti minum atau 14 100
muntah
6. Kejang 8 57
7. Diare 7 50

Sebanyak 82% faktor predisposisi BBLR yang dilakukan PMK disebabkan oleh
faktor ibu, seperti terdapat dalam tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2
Faktor Predisposisi BBLR yang Dilakukan PMK
Faktor predisposisi Faktor ibu Faktor janin Faktor plasenta Faktor lingkungan
f % f % f % f %
Golongan sosial ekonomi rendah 6 35 0 0 0 0 0 0
Usia ibu > 35 tahun 2 12 0 0 0 0 0 0
Preeklamsia/Eklamsia 4 23 0 0 0 0 0 0
Ketuban pecah dini 0 0 0 0 2 12 0 0
Kehamilan kembar 0 0 1 6 0 0 0 0
Perkawinan tidak sah 1 6 0 0 0 0 0 0
Aktivitas fisik berlebihan 1 6 0 0 0 0 0 0

100% responden BBLR tidak mengalami peningkatan energi, terdapat pada tabel
3,4. 100% tidak menunjukkan peningkatan imaturitas imunologis, terdapat pada
tabel 5. 100% pergerakannya lebih aktif dan berat badannya meningkat setelah
dilakukan PMK, 80% responden mendapatkan nutrisi ASI dan 20% mendapat
ASI dan formula. Seperti terdapat pada tabel 6, 7, dan gambar 1.
Tabel 3
Kestabilan Suhu, RR, HR BBLR yang Dilakukan PMK (n=10)
Mean Median Modus Min Max SD
Suhu 36,89 36,92 36,64 36,64 37,14 0,196
RR 48,80 49,70 42,8 42,8 52 2,863
HR 139,70 139,80 122,4 122,4 149,4 7,650

Tabel 4
BBLR yang Mengalami Periodik Apneu
No Periodik Apneu f %
1 Mengalami periodik apneu 0 0
2 Tidak mengalami periodik apneu 10 100
Total 10 100
Tabel 5
Nilai Laboratorium BBLR yang Dilakukan PMK (n=10)
Mean Median Modus Min Max SD
Hemoglobin 12,26 11,75 9,23 9,23 15,60 2,299
Leukosit 12,57 9,66 7,08 7,08 31,10 7,573
Trombosit 238,20 237,50 92,0 92,0 418,0 101,57
Natrium 135,00 134,50 134 129 148 5,228
Kalium 4,23 4,15 4,1 3,4 4,9 0,488
Klorida 103,70 102,50 100 97 114 5,498
GDS 89,70 78,00 54 54 157 35,790

Tabel 6
Status Nutrisi BBLR yang dilakukan PMK
No Status Nutrisi f %
1 ASI 8 80
2 Susu formula 0 0
3 ASI dan susu formula 2 80
Total 10 100

Tabel 7
Aktivitas BBLR yang Dilakukan PMK
No Aktivitas f %
1 Bayi lebih aktif 10 100
2 Bayi kurang aktif 0 0
Total 10 100

Gambar 1
Diagram Peningkatan Berat Badan BBLR

2000

1500

1000

500

0
resp1 resp2 resp3 resp4 resp5 resp6 resp7 resp8 resp9 resp10

BB sebelum PMK BB sesudah PMK


PEMBAHASAN
Responden perawat yang melakukan PMK sesuai prosedur tetap sebanyak 6 orang
(43%) sedangkan yang tidak sesuai sebanyak 8 perawat (57%). Pada saat
persiapan pasien, terdapat 1 responden perawat yang tidak melakukan adaptasi ibu
pada bayi, 1 responden tidak memperhatikan personal hygiene ibu, 2 responden
tidak mempunyai pengalaman dalam memberikan PMK, 1 responden tidak
menyediakan waktu, dan 1 responden tidak melakukan observasi efek PMK. Pada
responden 6 dan 7 telah mengetahui tentang PMK dan cara pelaksanaannya, tetapi
belum mempunyai pengalaman melakukannya sehingga ketika melakukan PMK
sudah sesuai prosedur pelaksanaan tetapi tidak melakukan adaptasi pada ibu, tidak
menyediakan waktu dan mengobservasi efek PMK serta tidak menganjurkan ibu
untuk menyusui selama PMK. Adaptasi ibu pada bayi sangat diperlukan karena
ibu dengan bayi yang mempunyai berat kurang dari normal ataupun prematur
merasa takut untuk memegang pertama kalinya karena bayi terlihat kecil dan
lemah. Adaptasi ibu pada bayi secara terus menerus akan meningkatkan
kepercayaan diri ibu sehingga mempunyai keberanian untuk memegang bayinya
dan melakukan PMK (Depkes RI, 2008). Personal hygiene ibu harus dijaga untuk
mencegah penularan penyakit ke bayi. Ibu yang melakukan PMK harus menjaga
kebersihannya dengan mandi tiap hari, berganti pakaian, mencuci tangan, kuku
harus dipotong dan bersih (KMC India Network, 2004). Ada 6 responden yang
tidak memperhatikan kejang dan 7 responden tidak memperhatikan diare pada
bayi yang dilakukan PMK. Ketika ditanya, 13 responden menjawab tidak
mengetahui jika kejang dan diare termasuk hal-hal yang harus diperhatikan
selama bayi dilakukan PMK.

Proverawati (2010) menyebutkan penyebab terjadinya BBLR secara umum


bersifat multifaktorial sehingga kadang mengalami kesulitan untuk melakukan
tindakan pencegahan. Pada penelitian ini faktor predisposisi tertinggi (82%)
disebabkan oleh faktor ibu. Hasil penelitian pada bayi yang menjadi responden
didapatkan data lahirnya bayi dengan BBLR bisa disebabkan oleh satu atau lebih
faktor penyebab. Hal ini didapatkan pada responden 1 karena ibu dengan
preeklamsia berat dan usia ibu > 35 tahun; responden 4 karena ibu dengan
kehamilan kembar dan ketuban pecah dini; responden 7 karena usia ibu > 35
tahun, eklamsia, dan sosial ekonomi ibu yang rendah; responden 8 dan 9
disebabkan ibu preeklamsia berat dan sosial ekonomi rendah, responden 10
dikarenakan ibu mengalami ketuban pecah dini serta sosial ekonomi ibu rendah.

Keadaan sosial ekonomi meliputi kondisi ekonomi sosial ibu yang rendah,
aktivitas fisik yang berlebihan, dan perkawinan tidak sah. Ada 6 responden BBLR
dengan faktor predisposisi sosial ekonomi ibu yang rendah. Proverawati (2010)
menyebutkan golongan sosial ekonomi rendah merupakan kejadian tertinggi
karena keadaan sosial ekonomi, karena pada ibu dengan sosial ekonomi yang
rendah menyebabkan ibu kurang memperhatikan kesejahteraan janinnya selama
kehamilan, keadaan gizi yang kurang baik, dan pengawasan antenatal yang kurang
sehingga menimbulkan masalah kehamilan seperti preeklamsi, ketuban pecah
dini, ataupun perdarahan antenatal. Kejadian prematuritas pada bayi yang lahir
dari perkawinan yang tidak sah ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan
bayi yang lahir dari perkawinan sah (Proverawati, 2010).

Sebanyak 4 responden lahir dengan BBLR dikarenakan ibu mengalami


preeklamsi atau eklamsi. Penelitian yang dilakukan oleh Alfaina Wahyuni dan
Firma Nur Rachmawati (2005) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada 90 BBLR
didapatkan preeklamsi berat merupakan predisposisi BBLR terbanyak (32,3%).
Kehamilan dengan preeklamsi ataupun eklamsi menyebabkan aliran darah dari ibu
ke janin melalui plasenta menjadi terganggu, akibatnya nutrisi dan pasokan
oksigen ke janin kurang. Usia ibu > 35 tahun mempunyai resiko melahirkan bayi
BBLR. Perempuan yang hamil di atas usia 35 tahun beresiko terjadi hipertensi
yang memicu preeklamsia atau eklamsia (Manuaba, 2007). Hal ini terjadi pada 2
responden.

Keadaan pertumbuhan dan perkembangan BBLR yang dilakukan PMK


didasarkan pada penilaian peningkatan kebutuhan energi, imaturitas imunologis,
status nutrisi, dan aktivitas. Semua responden BBLR (100%) yang dilakukan
PMK tidak mengalami peningkatan kebutuhan energi. Penilaian ini didasarkan
pada kestabilan suhu semua responden yang dilakukan PMK dan tidak mengalami
stress fisik, dilihat dari pernafasan yang normal (40-60x/menit), tidak terjadi
periodik apneu, dan denyut jantung normal (100-160x/menit) pada semua
responden. Bayi yang tidak menggunakan energi tambahan untuk aktivitas
bernafas, minum, dan pengaturan suhu tubuh, energi tersebut dapat digunakan
untuk pertumbuhan dan perkembangan. Goldstein dan Makhoul (2004)
melakukan penelitian secara randomized controlled trial tentang efek PMK
terhadap respon neurobehavioural didapatkan bayi mempunyai rata-rata
kardiovaskular dan suhu dalam batas normal, tidak ditemukan episode apnea,
bradikardi, nafas periodik, dan pernafasan yang teratur bila dibandingkan yang
mendapat terapi konvensional (inkubator).

Semua responden BBLR (100%) tidak mengalami peningkatan imaturitas


imunologisnya dilihat dari hasil laboratorium hemoglobin, leukosit, trombosit,
elektrolit (natrium, kalium, klorida), dan gula darah sewaktu yang tidak
memenuhi standar nilai normal laboratorium RSUP Dr. Kariadi Semarang. Pada
bayi baru lahir yang sehat dengan usia gestasi > 34 minggu mempunyai nilai
hemoglobin normal dalam rentang 14-20 g/dl sedangkan bayi prematur
mempunyai nilai normal sedikit lebih rendah, kemudian akan mengalami
penurunan pada minggu ketiga. Untuk bayi aterm mencapai titik terendah pada 11
g/dl pada usia 8-12 minggu dan bayi prematur 7-9 g/dl pada umur 4-8 minggu.
Hal ini disebut physiologic anemia of infancy (Gomella, 2009). Anemia fisiologis
pada neonatus kurang bulan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
penurunan sel darah merah pada saat lahir, peningkatan kehilangan darah akibat
pengambilan sampel darah untuk laboratorium, rentang masa hidup sel darah
merah yang lebih pendek, produk eritropoetin yang tidak memadai, dan
pertumbuhan tubuh yang cepat (JNPK-KR, 2008). Umur mulai dilakukan PMK
juga akan berpengaruh terhadap keberhasilan PMK. Semakin dini dilakukan PMK
maka akan mempunyai efek yang lebih baik pada bayi. Hal ini terlihat pada
responden 2 yang dilakukan PMK pada usia 7 hari mempunyai nilai hemoglobin
15,6 g/dl setelah dilakukan PMK selama hari dan responden 8 dengan kadar
hemoglobin 15,5 g/dl setelah dilakukan PMK selama 5 hari.

Sebanyak 8 responden mempunyai nilai trombosit yang normal yaitu >


150.000/mmk dan 2 responden mempunyai nilai trombosit < 150.000/mmk tanpa
adanya perdarahan yaitu pada responden 5 dan 8. Akan tetapi pada responden 8
jika dibandingkan pada nilai trombosit sebelum PMK mengalami kenaikan yaitu
dari 101.000/mmk menjadi 140.000/mmk. Pada responden 5 dapat disebabkan
oleh perilaku ibu yang berusaha untuk menggugurkan kandungannya dengan
minum obat karena hamil di luar nikah sehingga berpengaruh pada kondisi janin.
Penyebab trombositopeni antara lain adalah hipoksia kronik intrauterin dan
penggunaan obat (Gomella, 2009).

Sebagian besar responden BBLR (80%), yaitu sebanyak 8 responden


mendapatkan ASI tanpa tambahan susu formula, sedangkan 2 responden (20%)
mendapat ASI ditambah susu formula. Pada bayi yang mendapatkan tambahan
susu formula disebabkan ibu yang tidak menunggui bayinya selama 24 jam di
rumah sakit. Penelitian yang dilakukan oleh Suradi dan Yanuarso (2000),
Mohrbacher & Stock (2003) menyebutkan PMK menyebabkan peningkatan
produksi ASI, peningkatan lama menyusui dan kesuksesan menyusui. Semua
responden (100%) mengalami pergerakan yang lebih aktif setelah dilakukan
PMK. Penelitian yang dilakukan oleh Feldman dan Eidelman (2002) pada 73 bayi
preterm yang dilakukan PMK secara termitten dan diikuti perkembangannya
selama 6 bulan, memberikan dampak positif pada perkembangan
neurophysiological, kognitif, dan perkembangan motorik serta proses parenting.

PENUTUP
Penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebanyak 8 responden perawat
(57%) belum melaksanakan PMK sesuai prosedur tetap pelaksanaan PMK di
ruang Perinatologi RSUP Dr. Kariadi Semarang dan hanya 6 responden (43%)
yang telah melaksanakannya sesuai prosedur tetap, 82% faktor predisposisi BBLR
yang dilakukan PMK, tertinggi diakibatkan oleh faktor ibu dengan penyebab
terbanyak karena sosial ekonomi ibu yang rendah (35%) dan preeklamsi/eklamsi
(23%), semua responden BBLR (100%) tidak mengalami peningkatan kebutuhan
energi, pergerakannya lebih aktif, dan mengalami peningkatan berat badan setelah
PMK, semua responden (100%) tidak menunjukkan imaturitas imunologis yang
meningkat berdasarkan hasil laboratorium karena hanya kadar kalium, klorida,
dan gula darah sewaktu yang mengalami nilai normal setelah PMK, sebagian
besar responden BBLR (80%) yang dilakukan PMK hanya mendapatkan ASI
tanpa tambahan susu formula.

Hasil penelitian ini sangat bermakna bagi keberhasilan pelaksanaan PMK


sehingga peneliti menyarankan agar perawat senantiasa meningkatkan
pengetahuan tentang PMK dan selalu menerapkan PMK sesuai protap yang
berlaku bagi BBLR di instansi tempat kerja, memberikan pendidikan kesehatan
pada ibu/orang tua bayi dengan BBLR maupun ibu hamil yang beresiko
melahirkan bayi BBLR agar mempunyai pemahaman lebih baik mengenai PMK
dan perawatan bayi BBLR. Bagi instansi rumah sakit harus mensosialisasikan dan
mengadakan pelatihan tentang PMK kepada tenaga paramedis dan medis,
membuat kebijakan mengenai pelaksanaan PMK di ruang perawatan bayi level
I,II,III.

1.
Nuniek Wulansari : Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Fikkes Universitas
Muhammadiyah Semarang.
2.
Amin Samiasih, SKp, M.Si.Med : Dosen Keperawatan Fikkes Universitas Muhammadiyah
Semarang.
3.
Ns. Pawestri, S.Kep, M.Kes : Dosen Keperawatan Fikkes Universitas Muhammadiyah
Semarang

KEPUSTAKAAN

Alimul A.,A. (2003). Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika.

Badan Pusat Statistik. (2005). Survei Sosial dan Ekonomi Nasional. Jakarta: BPS.
Conde-Aguedelo A., Diaz-Rozello J.L., Belizan J.M. (2007). Kangaroo Mother
Care to Reduce Morbidity and Mortality in Low Birth Weight Infant.
Cochrane Collaboration Library.

Data Ruang Perinatologi RSUP Dokter Kariadi Semarang. (2010). Tidak


dipublikasikan.

Data Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2011). Tidak dipublikasikan.

Departement of Reproductive Health and Research. WHO. (2003). Kangaroo


Mother Care : Practical Guide (1st ed.). Geneva: WHO.

Depkes RI. (2008). Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dengan Metode
Kanguru. Jakarta:Health Technology Assessment Indonesia. Depkes RI.

Feldman, R, A.I. Eidelman. (2002). Comparison of Skin-to-Skin (Kangaroo) and


Tradisional Care : Parenting Outcomes and Preterm Infant Development.
Pediatrics 110 (1 Pt 1) : 16-26.

Gomella Lacy, T. (2009). Neonatology : Management, Procedures, On-Call


Problems, Diseases, and Drugs. United States of America : The McGraw-
Hill Companies,Inc.

Indrasanto Eriyati, dkk. (2008). Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal
Emergensi Komprehensif (PONEK): Asuhan Neonatal Esensial. Jakarta:
JNPK-KR, IDAI, POGI.

Manuaba, I.B.G; I.A Chandranita Manuaba; I.B.G Fajar Manuaba. (2007).


Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.

Proverawati Atikah, & Ismawati Cahyo, S. (2010). BBLR : Berat Badan Lahir
Rendah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Unicef-WHO. (2004). Low Birth Weight : Country, Regional, and Global


Estimates. New York : Unicef-WHO.

Anda mungkin juga menyukai