Anda di halaman 1dari 8

APEL KOTA MALANG

Disusun oleh
M. Ihsan Kurniawan
Muthmainnah
Suharnie
Vifi Nurul Choirina

Magister Manajemen Agribisnis


Universitas Gadjah Mada
2015

`
BAB I

PENDAHULUAN

Apel pertama kali ditanam di Asia Tengah, kemudian berkembang luas wilayah
yang lebih dingin. Apel yang dibudidayakan memiliki nama ilmiah Malus domestica
yang menurut sejarahnya merupakan keturunan dari Malus sieversii dengan sebagian
genom dari Malus sylvestris (apel hutan/apel liar) yang ditemui hidup secara liar di
pegunungan Asia Tengah, di Kazakhstan, Kirgiztan, Tajikistan, dan Xinjiang, Cina,
dan kemungkinan juga Malus sylvestris. Tanaman ini masuk ke Indonesia sekitar
tahun 1930-an dibawa oleh orang Belanda dari Australia kemudian menanamnya di
daerah Nongkojajar (Kabupaten Pasuruan). Pada tahun 1953, Bagian Perkebunan
Rakyat (sekarang : Lembaga Penelitian Hortikultura) mendatangkan beberapa jenis
apel dari luar negeri, termasuk Rome Beauty dan Princess Noble. Selanjutnya, sejak
tahun 1960 tanaman apel sudah banyak ditanam di Batu untuk mengganti tanaman
jeruk yang mati diserang penyakit. Sejak saat itu tanaman apel terus berkembang
hingga sekarang di dataran tinggi Kota Batu, Poncokusumo (Malang) dan Nongkojajar
(Pasuruan) dan masa kejayaannya pada tahun sekitar 1970an. Balai Penelitian
Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) saat ini memiliki koleksi plasma
nutfah apel sekitar 73 varietas, dan diantaranya terdapat 10 varietas apel harapan.

Buah apel selain dapat dijual langsung juga dapat dioleh lebih lanjut menjadi
produk-produk yang memiliki nilai lebih seperti dodol apel, sari apel, cuka apel, keripik
apel, dan sirup buah apel.

Dengan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Malang maka sudah selayaknya
pengembangan apel diarahkan kepada pengembangan agroindustri yang tidak hanya
fokus kepada on farm tetapi juga off farm. Agroindustri memiliki potensi mendorong
pertumbuhan yang tinggi karena dapat mempercepat transformasi struktur
perekonomian dari pertanian ke industri. Agroindustri diharapkan dapat menjadi
wahana untuk mengatasi kemiskinan karena daya jangkau dan spektrum kegiatannya
yang sangat luas. Dan tidak kalah pentingnya, agroindustri dapat diselaraskan dengan
pembangunan nasional berkelanjutan yang dapat memberikan pengaruh yang sangat
besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti mengatasi kemiskinan,
peningkatan pemerataan, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan kesempatan

1
berusaha, dan pengembangan kegiatan pelestarian lingkungan, sehingga tujuan
pembangunan yang berkelanjutan dapat dicapai (Soekartawi, 2000).

2
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komoditas ini memiliki peran penting bagi dinamika kesejahteraan dan


perekonomian masyarakat kabupaten malang bukan hanya bagi pelaku agribisnisnya
tetapi juga masyarakat umum. Perkembangan apel juga menjadi pendorong
perkembangan sektor pariwisata karena keindahan tanaman ini juga menjadi magnet
yang menarik wisatawan untuk berkunjung. Namun penelitian yang dilakukan oleh
Hanani, dkk pada tahun 2012 di Poncokusumo merupakan salah satu daerah
penghasil buah apel di Kabupaten Malang menunjukkan bahwa hasil olahan apel yang
dapat diproduksi secara kontinyu hanya sari apel sedangkan untuk untuk produk
olahan dodol apel, cuka apel, dan sirup buah apel masih belum berproduksi secara
kontinyu dan optimal.

Potensi yang dimiliki dalam agroindustri apel juga belum dikelola dengan baik.
Dari sisi on farm, Dalam kurun waktu tahun 2005-2010 terlihat terjadinya
kecenderungan penurunan dalam jumlah tanman apel, produktivitas dan produksi
apel. Pada tahun 2005 jumlah tanaman apel 2.604.829 pohon dan yang produktif
sebesar 2.204.800 pohon dengan produktivitas 28,02 kg/pohon sehingga diperoleh
total produksi apel sebesar 1.235.569,92 kuintal. Pada tahun 2006 jumlah tanaman
apel menurun menjadi 2.523.538 pohon dari jumlah tersebut yang produktif 2.102.113
pohon sehingga diperoleh produksi total sebesar 1.255.450 kuintal. Kenaikan
produksi ini dimungkinkan karena terjadi kenaikan produktivitas per pohon naik
menjadi 29,70 kg/pohon. Pada tahun 2007 produktivitas tetap tetapi jumlah tanaman
yang menghasilkan meningkat sehingga produksi total juga meningkat, tetapi kondisi
ini tidak dapat dipertahankan dan terus menerus mengalami penurunan hingga pada
tahun 2010 produktivitas apel hanya17 kg/pohon, jumlah tanaman menghasilkan
sebesar 1.974.366 pohon dan produksi total sebesar 842.799,00 kuintal.

Hasil penelitian oleh Baladina, dkk pada tahun 2012 terhadap respon petani
terhadap industrialisasi apel menunjukkan hanya 55% petani apel yang menyatakan
ingin terlibat aktif dalam industrialisasi pertanian, sedangkan sisanya menolak dengan
alasan usaha tani (on farm) telah cukup menyita waktu, tenaga dan pikiran sehingga
mereka tidak ingin menambah beban lagi untuk menjalan industrialisasi pertanian.

3
Kondisi ini mengakibatkan ketidakmampuan apel lokal bersaing dengan apel
impor. Beberapa waktu yang lalu, Apel impor asal California, Amerika Serikat yang
berjenis Granny Smith dan Gala yang diduga terkontaminasi bakteri Listeria
mococytogenes telah ditarik dari pasaran. Namun, hal tersebut tidak berpengaruh
nyata terhadap penjualan apel lokal. Hal ini disebabkan Indonesia mengimpor apel
tidak hanya dari california tetapi juga dari Washington State, China, Jepang, Selandia
Baru, Australia, Nepal dan Argentina. Pengaruh impor terlihat pada pertengahan
tahun 2014 yang berdampak negatif bagi petani buah apel lokal. Harga jual apel
malang pada saat itu Rp6.000 Rp6.500/kg dibandingkan tahun 2013 seharga
Rp9000/, untuk ukuran yang lebih kecil harga jual hanya Rp2.500/kg. Hal tersebut
disebabkan oleh melimpahnya apel impor yang harganya jauh lebih murah. Di tingkat
eceran harga buah apel malang Rp22.000/kg, sedangkan apel impor Rp18.000/kg.
Pada tahun 2014 pengajuan impor mengalami kenaikan sampai 817.250 ton dari
tahun sebelumnya 289.485 ton. Hal ini apabila tidak segera ditanggulangi akan
membuat petani apel beralih untuk mengembangkan lahan pertanian lain seperti tebu
dan sayuran. Yang sudah terlihat dari menurunnya luas areal perkebunan apel Malang
tahun 2014 terhitung hanya sekitar 2.000 hektare (ha) atau menyusut lebih dari 71,5%
dibandingkan tahun 1980-an yang masih 7.000 ha. Melimpahnya impor buah
disebabkan beberapa hal yaitu :

1. Rendahnya bea masuk (BM), yang ditetapkan berdasarkan skema Most Favored
Nation (MFN), sebagai wujud kerjasama multilateral dalam World Trade
Organization (WTO). BM apel 5%, misalnya, berlaku jauh sebelum dimulai ACFTA.
Hal ini menurunkan daya saing apel Malang beberapa tahun terakhir.
2. Longgarnya aturan impor. Standar mutu yang ketat belum diberlakukan. Produk
impor yang membahayakan konsumen pun lolos. Riset yang dilakukan oleh
Setyabudi, dkk (2008) menunjukkan terdapat kontaminasi formalin dan pestisida
pada buah impor di pasar tradisional dan swalayan. Formalin berkadar 0,10 -
122,11 ppm ada pada apel, durian, pir, dan kelengkeng. Karena itu, standar mutu
buah impor perlu diperketat.
3. Dibukanya banyak pelabuhan ekspor-impor pangan yang memudahkan
tersebarnya buah impor dari berbagai negara masuk ke wilayah Indonesia,
sehingga perlu penataan ulang fungsi pelabuhan dengan tujuan memudahkan
pengawasan impor ilegal dan melindungi pasar domestik.

4
4. Lemahnya sistem logistik dan infrastruktur di Indonesia.
5. Penanganan pasca panen buah tropis yang musiman kurang memadai.
6. Gudang penyimpanan buah tropis merupakan fasilitas langka. Stok, mutu, dan
harganya berfluktuasi sepanjang tahun
7. Pengelolaan buah yang banyak dikonsumsi rakyat dan buah unggulan ekspor
belum sebanding dan optimal. Buah belum menjadi tanaman utama petani yang
berlahan terbatas. Pedagang dan eksportir enggan berinvestasi jangka panjang di
budidaya buah. Kondisi ini semakin memperkecil stok buah nasional.
Perbandingan antara impor dan produksi apel lokal disajikan pada tabel 1.

Tahun Apel Lokal (Ton) Impor Apel (Ton)

2008 160.794 146.655

2009 262.009 141.239

2010 190.609 155.277

2011 200.173 199.484

2012 313.727 214.245

Permasalahan tersebut dapat diatas dengan melakukan berbagai pendekatan


yang melibatkan stakeholder terkait yaitu :

1. Pemeliharaan dilakukan didasarkan dengan standar baku teknis dimana


pemupukan tidak didasarkan pada fluktuasi harga dipasar dimana ketika harga
tinggi maka pemupukan dilakukan dengan optimal cenderung berlebihan
sedangkan pada saat harga turun maka pemupukan dilakukan seadanya. Paling
sedikit tanaman apel membutuhkan unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, Ca, Mg
dan S) dan unsur hara mikro (Fe, Zn, Mn, Cu, B, Mo). Sumber utama unsur hara
makro adalah pupuk kimia sedangkan sumber unsur mikro berasal dari bahan
organik dan pupuk kimia.Unsur hara makro N, P dan K digunakan tanaman
terutama untuk membentuk organ vegetatif dan generatif sehingga dibutuhkan
dalam jumlah paling banyak. Untuk memenuhi kebutuhan ketiga unsur tersebut,
tanaman perlu diberi tambahan pupuk kimia secara berimbang yang diaplikasikan
secara teratur setiap 2 3 bulan. Untuk menjaga kegemburan tanah dan
memenuhi unsur hara mikro/unsur lainnya, disarankan dilakukan penambahan 20

5
40 kg/pohon bahan organik dan pengapuran jika ph tanah <5,5 pada setiap akhir
kemarau. Rekomendasi dosis pupuk untuk tanaman apel disajikan pada tabel 2.

Umur (tahun) Dosis Pupuk (g/pohon) Interval Aplikasi


0-1 50-100 Setiap 2 bulan
>12 100 200 Setiap 3 bulan
>23 200 300 Setiap 3 bulan
>34 300 400 Setiap 3 bulan
>45 400 500 Setiap 3 bulan
>5 500 Setiap 3 bulan

2. Meningkatkan kualitas dan standarisasi produk apel dengan memberikan label


halal dan izin dari dinas kesehatan pada produk-produk olahan apel yang
dihasilkan serta menerapkan SNI pada produk yang dihasilkan yaitu SNI
8024:2014 tentang apel dan SNI ISO 9000 : 2008 tentang Sistem Manajemen Mutu.
3. Mengikuti pelatihan-pelatihan peningkatan ketrampilan serta program
pendampingan teknologi yang diadakan oleh instansi terkait sehingga dapat
memanfaatkan teknologi tepat guna yang telah berkembang.
4. Mengikuti acara-acara pameran dan promosi yang dilaksanakan baik lokal
maupun regional dalam rangka memperkenalkan produk yang dihasilkan ke
masyarakat serta menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.
5. Bergabung dan berperan aktif dalam asosias/kelompok tani/koperasi serta
membangun kemitraan dengan perusahaan-perusahaan maupun
asosiasi/kelompok tani/koperasi dari daerah-daerah lain yang dapat memberikan
berbagai keuntungan antara lain meningkatkan posisi dalam penetapan harga ,
mempermudah dalam akses permodalan untuk penambahan fasilitas produksi,
pengolahan maupun pemasaran dalam rangka peningkatan skala usaha.
6. Melakukan pemasaran dengan menggunakan pendekatan Social Marketing
Approach (SMA) untuk menumbuhkan rasa bangga kepada produk apel lokal
dibandingkan dengan apel impor.

6
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Daya saing apel lokal terhadap apel impor masih sangat lemah yang terlihat
dari pembatasan apel asal California, Amerika Serikat yang berjenis Granny Smith
dan Gala tidak membantu meningkatkan harga apel lokal. Yang terjadi adalah harga
apel lokal pada periode tersebut sebesar Rp6.000,00 Rp6.500,00 per kg
dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp9.000,00 per kg. Melimpahnya impor
buah apel ini disebabkan rendahnya bea masuk, longgarnya aturan impor, dibukanya
banyak pelabuhan ekspor-impor pangan, lemahnya sistem logistik dan infrastruktur di
Indonesia, gudang penyimpanan buah yang langka dan mahal, serta pengelolaan bua
yang belum optimal.

Untuk meningkatkan daya saing apel lokal terhadap apel impor maka perlu
dilakukan beberapa hal yaitu peningkatan mutu melalui penerapan teknik budidaya
yang baik dan penerapan standarisasi terhadap produk yang dihasilkan,
meningkatkan keterampilan SDM melalui pelatihan-pelatihan dan pendampingan
teknologi tepat guna, meningkatkan kesadaran konsumen terhadap produk apel lokal
dengan cara aktif pada acara-acara pameran dan promosi baik lokal dan regional,
serta aktif dalam organisasi/asosiasi/kelompok tani untuk memperkuat petani dalam
meningkatkan skala usahanya.

Anda mungkin juga menyukai