Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang tersebar di dunia dengan manusia sebagai

hospes insidentil. Penyebab penyakit ini adalah bakteri Leptospira interrogans dari famili

Spirochaetaceae, yang mana bakteri patogen ini berbentuk spiral dan ramping. Saat ini terdapat

lebih dari 200 serotipe dan 23 serogrup yang sudah teridentifikasi dan hampir setengahnya terdapat

di Indonesia.1

Leptospirosis merupakan penyakit yang tersebar luas di dunia, terutama di area tropis dan

subtropis yang memiliki curah hujan tinggi. Prevalensi tinggi terjadinya leptospirosis dijumpai di

negara-negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan perhatian akan kesehatan personal dan

lingkungan di negara berkembang sangat kurang.1

Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang bersifat emerging disease,

terutama di wilayah Asia Tenggara (South-East Asia region). Kebanyakan negara-negara di Asia

Tenggara, termasuk Indonesia, menjadi wilayah endemis untuk leptospirosis, terutama pada daerah-

daerah yang sering mengalami banjir. International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia

sebagai negara dengan insiden leptospirosis tinggi dan dengan tingkat kematian penderita tertinggi

ke tiga di dunia. 1,2,3

Di daerah dengan kejadian luar biasa leptospirosis ataupun pada daerah yang memiliki

faktor risiko tinggi terpapar leptospirosis, angka kejadian leptospirosis dapat mencapai lebih dari

100 per 100.000 per tahun. Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis

berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah subtropis angka kejadian berkisar antara

0,1-1 per 100.000 per tahun. Case fatality rate (CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia

dilaporkan berkisar antara <5% - 30%. Angka ini memang tidak terlalu reliabel mengingat masih
banyak daerah di dunia yang angka kejadian leptospirosisnya tidak terdokumentasi dengan baik.

Selain itu masih banyak kasus leptospirosis ringan belum didiagnosis secara tepat.1

Di Indonesia, penyakit ini tersebar luas di Pulau Jawa, Sumatera Selatan, Sumatera Barat,

Riau, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan

Timur, dan Kalimantan Barat. Kejadian Luar Biasa tercatat terjadi di Riau (1986), Jakarta (2002),

Bekasi (2002), dan Semarang (2003).Dinas Kesehatan Jawa Tengah mencatat jumlah kasus

leptospirosis sejak 2005 sampai 2009 terus mengalami peningkatan4

Di beberapa negara, leptospirosis dikenal dengan nama rate-urin fever, yang mana

penyakit ini ditransmisikan melalui urin dari hewan yang terinfeksi atau kontak dengan tempat yang

terkena urin hewan terinfeksi yang masih lembab. Tikus dan binatang pengerat lain merupakan

hospes primer dari penyakit ini, akan tetapi binatang mamalia seperti anjing, rusa, kelinci, kerbau,

dan babi juga dapat mentransmisikan infeksi bakteri leptospira sebagai hospes sekundernya.

Manusia dapat terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air atau tanah yang sudah mengandung

urin hospes, selain itu bisa juga karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi

oleh urin hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Leptospirosis jarang ditularkan dari manusia ke

manusia yang lain.

Infeksi leptospira terjadi karena masuknya bakteri melalui membran mukosa, konjungtiva

atau luka di kulit tanpa menimbulkan kelainan setempat. Selanjutnya bakteri masuk ke dalam darah

dan menimbulkan leptospiremia, akhirnya kuman masuk ke organ- organ tubuh yang lain. Penyakit

ini mengikuti pola bifasik, fase pertama menunjukkan leptospiremia. Fase ini ditandai oleh onset

mendadak demam tinggi, kaku otot, nyeri kepala, mialgia berat, nyeri tekan otot, conjunctival

suffusion, nyeri perut, mual, muntah, nyeri dada, ruam makulopapular, dan hemoptisis. Sedangkan

manifestasi klinis pada fase kedua, yaitu fase imun adalah rekurensi demam setelah 2-3 hari, nyeri

kepala, muntah, meningitis aseptik (demam Canicola), ikterus berat, gangguan ginjal, proteinuria,

dan ruam eritematosa yang meninggi di daerah pretibia (demam Fort Bragg). Leptospirosis

seringkali menunjukkan gejala klinis yang tidak spesifik, sehingga sulit untuk dibedakan dengan
penyakit infeksi tropis lain seperti malaria, demam dengue, demam berdarah dengue, dan demam

tifus.

B. RumusanMasalah

Bagaimana penanggulangan dan pencegahan penyakit leptospirosis kecamatan B ?

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Melakukan upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit leptospirosis

2. Tujuan khusus

a. Penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit leptospirosis

3.

b. Perbaikan dan penyediaan sarana sanitasi khususnya penanganan sampah dan air limbah

c. Upaya pembasmian hama tikus

4.
BABII

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Dari permasalahan tersebut yang menjadi perhatian utama adalah kejadian Leptospirosis. Kejadian

ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah diidentifikasi dalam permasalahan sebagai berikut:

1. Penataan pembuangan air kotor atau air limbah yang belum baik Sarana Pembuangan Air

Limbah merupakan tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus. Hal ini dikarenakan

kondisi buangan air dari dalam rumah umumnya terdapat saluran yang terhubung dengan

selokan di lingkungan rumah. Media penularan penyakit Leptospirosis terjadi ketika air pada

selokan terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang

terinfeksi bakteri Leptospira7

2. Tempat penyimpanan sampah yang tidak tertutup dan tidak terawat

Adanya kumpulan sampah disekitar rumah akan menjadi tempat yang disenangi tikus.

Keberadaan sampah terutama sampah sisa-sisa makanan yang diletakkan ditempat sampah

yang tidak memenuhi syarat (tertutup) dan tidak terawat.

3. Banyak dijumpai tikus berkeliaran terutama pada malam hari Depkes RI (2008)

menyebutkan bahwa hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis salah

satunya adalah rodent (tikus). Untuk melihat keberadaan tikus bisa dilakukan dengan cara

pemeriksaan secara visual, yaitu dengan melihat adanya tanda-tanda keberadaan tikus

berupa kotoran tikus, jejak

kaki tikus, sisa keratan pada pintu kayu, buku, kawat kasa yang

berlubang bekas lewat tikus.


4. Kebiasaan mandi dan cuci di sungai

Bagian penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular adalah

memutuskan rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan kontak

agen penyebab penyakit dengan penjamu. Faktor pencegahan penularan menitikberatkan

pada penanggulangan risiko penyakit seperti lingkungan dan perilaku. Lingkungan yang

tidak bersih dan perilaku individu yang tidak bersih dapat mempermudah penularan

penyakit8 Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk mencegah

terjadinya Leptospirosis yang dapat di lakukan individu adalah dengan menjaga kebersihan

individu yaitu dengan cara mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh yang lainnya dengan

sabun setelah pergi ke sawah dan setelah kontak dengan air banjir. Selain itu pencegahan

juga bisa dilakukan dengan menutup makanan.

5. Berpendidikan SMP kebawah

Sebagian dari masyarakat berpendidikan SMP kebawah sehingga pengetahuan tentang

kesehatan sangat rendah. Pengetahuan adalah suatu faktor predisposisi seseorang atau

masyarakat terhadap kesehatan. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang.

8 Pribadi yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang suatu penyakit maka kemungkinan besar

dapat menghindari atau mencegah terjadinya penyakit tersebut. Dari teori ini bisa dikatakan bahwa

pengetahuan mempengaruhi terhadap kejadian penyakit termasuk penyakit Leptospirosis9

Survei pengetahuan merupakan strategi umum untuk mengumpulkan informasi dan menilai praktek

kerja yang aman atau upaya pencegahan di antara populasi berisiko. Survei pengetahuan juga bisa

digunakan untuk mengevaluasi program yang ada dan untuk mengidentifikasi strategi yang efektif

untuk perubahan perilaku.

6. Bekerja sebagai petani/buruh tani tanpa alat pelindung diri saat kontak dengan air
Sebaiknya bekerja dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat ingin kontak

dengan air genangan banjir, salah satunya dengan memakai alas kaki termasuk sepatu boot

dan sarung tangan 10

Seseorang yang tidak melakukan upaya pencegahan maka akan mengakibatkan

kemungkinan masuknya bakteri Leptospira ke dalam tubuh akan semakin besar. Bakteri

Leptospira masuk tubuh melalui pori-pori tubuh terutama kulit kaki dan tangan, melalui

selaput lendir, tubuh yang lecet, dan melalui makanan yang terkontaminasi.

7. Promosi kesehatan

Seiring dengan meluasnya penyebaran penyakit leptospirosis maka harus dilakukan upaya-upaya

penanggulangan penyakit leptospirosis, misalnya dilakukan pelaksanaan kegiatan komunikasi,

diperlukan suatu strategi promosi untuk menarik perhatian komunikan atau masyarakat.

Promosi kesehatan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk memampukan masyarakat dalam

memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka. Dengan kata lain, promosi kesehatan adalah

upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk memelihara

dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri.18

Definisi di atas menekankan bahwa promosi kesehatan adalah suatu program perubahan perilaku

masyarakat yang menyeluruh dalam konteks masyarakatnya. Bukan hanya perubahan perilaku,

melainkan juga harus diikuti oleh perubahan lingkungannya. Artinya apabila perubahan perilaku

tanpa diikuti oleh perubahan lingkungan tidak akan efektif dan perilaku tersebut tidak akan bertahan

lama karena promosi kesehatan bukan sekedar mengubah perilaku saja tetapi juga mengupayakan

perubahan lingkungan, sistem dan sebagainya.19

Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik internal (dari dalam diri manusia)

maupun eksternal (dari luar diri manusia). Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi

10
kesehatan baik individu, kelompok masyarakat dikelompokkan menjadi 4 (Blum, 1974), yaitu:

1) Lingkungan (environment) yang mencakup lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi

dan sebagainya.

2) Perilaku(behavior)

3) Pelayanan kesehatan (healthservice)

4) Keturunan (heredity)

Tujuan promosi kesehatan adalah membuat orang lain mampu meningkatkan kontrol terhadap dan

memperbaiki kesehatan masyarakat dengan basis filosofi yang jelas mengenai pemberdayaan diri

sendiri (self emprofment). Menurut Notoatmodjo (2003: 54), ruang lingkup promosi kesehatan

berdasarkan tatanan pelaksanaannya dikelompokkan menjadi:15,16

a) Promosi kesehatan pada tatanan keluarga (tumah tangga)

b) Promosi kesehatan pada tatanan sekolah

c) Promosi kesehatan pada tatanan tempat kerja

d) Promosi kesehatan pada tatanan tempat-tempat umum

e) Promosi kesehatan pada tatanan fasilitas pelayanan kesehatan.

Sasaran dari adanya promosi kesehatan adalah:

1) Individu/keluarga

2) Masyarakat

3) Pemerintah/lintas sektor/politisi/swasta,

4) Petugas atau pelaksana program

Sehubungan dengan hal itu, promosi kesehatan dihubungkan dengan bebeberapa tatanan, antara lain

tatanan rumah tangga, tatanan tempat kerja, tatanan institusi kesehatan, tatanan tempat-tempat
umum. Agar lebih spesifik menurut Maulana (2009: 22), sasaran kesehatan dibagi menjadi tiga,

yaitu:17

1) Sasaran primer, adalah sasaran yang mempunyai masalah, yang diharapkan mau berperilaku

sesuai harapan dan memperoleh manfaat paling besar dari perubahan perilaku tersebut.

2) Sasaran sekunder, adalah individu atau kelompok yang memiliki pengaruh atau disegani oleh

sasaran primer. Sasaran sekunder diharapkan mampu mendukung pesan-pesan yang disampaikan

kepada sasaran primer.

3) Sasaran tersier, adalah para pengembil kebijakan, penyandang dana, pihak-pihak yang

berpengaruh diberbagai tingkat (Pusat, Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan).

Fish Bone
Scoring Menentukan Masalah

PARAMETER MASALAH

Kejadian

tertinggi Penataan Tempat Bekerja Tingkat

kasus pembuangan penyimpanan Banyak Kebiasaan tanpa alat pendidikan


Kurangnya
penyakit air kotor sampah yang dijumpai mandi dan pelindung penduduk
promosi
Leptospirosis atau air tidak tertutup tikus cuci di diri saat rata- rata
kesehatan
berada di limbah yang dan tidak berkeliaran sungai kontak masih

wilayah belum baik terawat dengan air rendah

Puskesmas B

1. Prevalence 4 5 5 454 343 554 555 555 455 554

2. Serverity 5 5 3 5 4 5 5 3

3. Rate % 52 43 44 41 52 42 53 42

incarse

4. Degree of

unmeet

need

5. Social

benefit

6. Public
concern

14

7. Technical feasibility

study 3 4 4 2 3 2 3 5

8. Resource 5 - - - - - 2 3

Availlabilty

JUMLAH 34 29 25 26 30 28 32 31

RERATA (sesuai jumlah parameter) 4.25 4.15 3.57 3.7 4.14 4 4 3.87

15

C. Pembahasan

Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat self-limited disease dan sulit

dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatanharus dimulai segera pada fase awal penyakit. Secara

teori, Leptospira sp. Adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap antibiotik.11

Tabel II.2. Manajemen kasus dan kemoprofilaksis leptospirosis berdasarkan Kriteria Diagnosis

WHO SEARO 2009

Indikasi Regimen dan Dosis

Doxycycline(kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari;

atau
Leptospirosis ringan (mild illness / suspect

case)
Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama

7hari

Leptospirosis berat (severe case/ probable Penicillin G (injeksi) 2 juta unit IV / 6 jam selama 7

case) hari
Ceftrioxine (injeksi) 1 gr IV/hari selama 7 hari

Kemoprofilaksis Doxycycline(kapsul) 100 mg 2x/ hari

selama 7 hari; atau

Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7hari

Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi faktor-faktor

risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan

primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai

sasaran bisa terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk disini

proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah

orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang

nantinya dapat menyebabkan kematian.12

Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak terjadi kontak leptospira

dengan manusia, yang meliputi:13

a. Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi

Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya pekerja irigasi, petani,

pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak

dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot,

masker, sarung tangan. Membersihkan tempat-tempat yang nenjadi habitat atau sarang tikus dan

meniadakan akses tikus ke lingkungan manusia juga dapat dilakukan dalam upaya pengendalian

leptospirosis .

b. Melindungi sanitasi air minum penduduk

Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk

mencegah invasi leptospira. Pencegahan melalui jalur penularan dapat dilakukan dengan
mengurangi kontak dengan sumber infeksi seperti air tercemar Leptospira, satwa liar dan hewan

yang terinfeksi atau hewan karier.

c. Pemberian vaksin

Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan memberikan manfaat cukup

poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun

spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium.Vaksinasi terhadap hewan peliharaan efektif

untuk mencegah leptospirosis.

d. Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis

e. Pengendalian hospes perantara leptospira

Roden yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adalah tikus. Untuk itu dapat dilakukan

beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan bahan rodentisida,

dan menggunakan predator roden.

f. Usaha promotif

Untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi, dimana antara daerah satu dengan

daerah yang lain mempunyai serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Untuk mendukung

usaha promotif ini diperlukan peningkatan kerja antar sektor yang dikoordinasikan oleh tim

penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat. Petugas kesehatan yang menemukan

kasus dapat melaporkan langsung kepada dinas kesehatan setempat. Dan pasien leptospirosis

kemudian dirujuk ke fasilitas pelayanan sekunder yang memiliki fasilitas hemodialisis setelah

penegakkan diagnosis dan terapi awal.

Pencegahan leptospirosis dan proses surveilans yang baik sangat diharapkan bisa membantu

mengurangi insidensi dan fatalitas kasus leptospirosis di suatu wilayah 14. Proses pencegahan

menjadi sulit karena adanya banyak inang dan serotipe dari leptospira. Perlindungan diri adalah hal

yang paling utama yang selayaknya disampaikan dan diingatkan secara berulang kepada kelompok
masyarakat yang berisiko terjangkit leptospirosis. Menggunakan alat pelindung diri adalah suatu

kesadaran mutlak yang harus dimiliki setiap orang.

Pokok-pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil studi faktor risiko

terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan mandi,

riwayat ada luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi,

populasi tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-

laki dewasa, mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari.

Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien yang didiagnosis

menderita leptospirosis. Salah satu hal yang menguntungkan dalam pengobatan ini ialah pengobatan

kausal tidak tergantung pada subgrup maupun serotipe leptospira. Untuk pengobatan Leptospirosis

ringan (mild illness/suspect case) dapat menggunakan Doxycycline(kapsul) 100 mg 2x/ hari selama

7 hari atau Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari. Sedangkan untuk

Leptospirosis berat ( severe case/ probable case ) dapat menggunakan Injeksi Penicillin G 2 juta

unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi Ceftrioxine 1 gr IV/ hari selama 7 hari.

Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan penyakit sistemik akut yang

lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika, gelisah, dan cemas dikendalikan dengan sedatif, demam

diberi santipiretik, jika terjadi kejang pemberian sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi

yang timbul.13

Selain melindungi tubuh, melindungi bahan pangan juga tidak kalah pentingnya. Tikus gemar

mencari tempat penyimpanan bahan pangan, mulai gudang beras hingga hidangan di atas meja.

Masyarakat selayaknya diberikan kesadaran untuk selalu mengunci atau melindungi penyimpanan

bahan pangan dengan baik. Tidak lupa kebersihan diri, dan kewaspadaan masyarakat yang tinggal

di wilayah-wilayah yang potensi baik bagi kembang biak inang leptospira, dalam hal ini tikus.

20

A. Rencana Kegiatan
BAB III RENCANA PROGRAM

Untuk mempermudah penyelesaian masalah pada skenario diatas dapat menggunakan system

scoring. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penyelesaian masalah berdasarkan skala prioritas

dari yang tertinggi sampai yang terendah.

Skala prioritas penyelesaian masalah yang ditemukan

Tabel III.1 Penentuan prioritas penyelesaian masalah

No Kegiatan M I V C P = M x Ix V C

01 Penataan pembuangan air kotor yang belum baik 5 3 2 3 10

02 Manajemen pembuangan sampah yang belum baik 5 3 1 2 7.5

03 Kurangnya pengetahuan mengenai leptospirosis (Penyuluhan) 5 3 3 2 22.5

Keterangan:

P : Prioritas penyelesaian masalah

M : Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi dilaksanakan (turunnya

prevalensi dan besarnya masalah lain)

21

I : Implemetasi, kelanggengan selesai masalah

V : Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah C : Cost, biaya yang diperlukan

Berdasarkan tabel perbaikan prioritas masalah yang dilakukan dengan metode scoring, maka

prioritas pertama penyelesaian masalah yang kami lakukan adalah meningkatkan daya

keilmuan/pengetahuan masyarakat tentang leptospirosis di kecamatan B.

B. Rencana Program
Rencana program yang sesuai dengan prioritas masalah yang dipilih dengan menggunakan metode

scoring, yaitu meningkatkan keilmuan/pengetahuan mengenai leptospirosis dengan kegiatan

sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.

22

Tabel III.2 Rencana Kegiatan di Kecamatan B

Volume Rincian Lokasi Tenaga Kebutuhan


No Kegiatan Sasaran Target jadwal
Kegiatan kegiatan pelaksanaan pelaksana pelaksana

Memilih

100% tenaga yang Di


Petugas
Menyiapkan tenaga siap puskesmas Petugas
kesehatan 1 tim yang
tenaga siap melaksanakan B kabupaten kesehatan
puskesmas telah ditunjuk
tugas A puskesmas
Minggu
Menyiapkan 100%
01 ATK
Alat dan 1 set bahan
I
alat dan alat Inventarisasi Di Petugas
bahan dan
bahan dan kebutuhan puskesmas kesehatan
media perlengkapan
penyuluhan bahan bahan dan alat B kabupaten puskesmas
penyuluhan
siap Check and A

recheck

23

02 Penyuluhan/ Seluruh 95% dapat 1x Memberikan Di balai Petugas Minggu LCD,

promosi masyarakat memahami materi kecamatan kesehatan II sound

kesehatan kec. B dan seputar B puskesmas system,

yang mempraktek leptospirosis. ATK,

berumur annya poster,

20 th door
prize

Memberikan

Seluruh penjelasana Sound


100% dapat
masyarakat seputar cuci system
memahami Di balai Petugas
Praktik cuci kec. B tangan, Minggu Sabun
03 dan 1x kecamatan kesehatan
tangan yang Memberikan II cuci
mempraktek B puskesmas
berumur contoh tangan
annya
20 th (praktik) cara Handrub

mencuci

24

tangan yg baik dan benar


Tissue
Melakukan bersama peserta cuci tangan yang baik dan benar

25

A. Kesimpulan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Leptospirosis merupakan penyakit yang tersebar luas di dunia, terutama di area tropis dan subtropis

yang memiliki curah hujan tinggi. Prevalensi tinggi terjadinya leptospirosis dijumpai di negara-

negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan perhatian akan kesehatan personal dan lingkungan di

negara berkembang sangat kurang. Penyakit ini ditransmisikan melalui urin dari hewan yang

terinfeksi atau kontak dengan tempat yang terkena urin hewan terinfeksi yang masih lembab.

Manusia dapat terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air atau tanah yang sudah mengandung

urin hospes, selain itu bisa juga karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi

oleh urin hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Leptospirosis jarang ditularkan dari manusia ke

manusia yang lain.


Jadi, dengan diadakannya kegiatan penataan pembuangan air kotor, manajemen pembuangan

sampah dan penyuluhan mengenai Leptospirosis,

diharapkanmasyarakatmenyadaridanmengetahuibagaimanacaramencegahtimbulny

apenyakitLeptospirosis.

26

B. Saran

Pencegahan atau pengendalian Leptospirosis dapat dilakukan dengan cara memutus siklus

penularan melalui pengobatan dan vaksinasi bagi ternak atau hewan kesayangan, mengurangi

populasi tikus, meningkatkan sanitasi lingkungan dengan mengenali dan menghindari air dan tanah

yang potensial terkontaminasi lalu menyediakan dan memperbaiki fasilitas pembuangan air limbah

dan sampah rumah tangga.

Dalam upaya pencegahan leptospirosis pada manusia memerlukan aktivitas terintegrasi antara

dokter hewan dan dokter, dan peningkatan pengetahuan serta pemahaman masyarakat tentang

bahaya leptospirosis. Serta memberikan alat pelindung diri (APD) seperti boots, apron, sarung

tangan, pada pekerja-pekerja yang berada pada tempat yang riskan terkontaminasi.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. 2003. Human leptospirosis: guidance for diagnosis,

surveillance, and control.Available from:

http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf (diakses : 18 Juli

2017)

2. World Health Organization (Regional Office for South-East Asia). 2009.

Informal Expert Consultation on Surveillance, Diagnosis, and Risk Reduction of

Leptospirosis. Available from:


http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable

_Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-217.pdf(diakses : 18 Juli 2017)

3. Zein U. 2010. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Leptospirosis.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Vol 3.5 th ed. Jakarta: Interna Publishing.

4. Widoyono. 2008.Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan

Pemberantasan). Jakarta : Penerbit Erlangga.

5. Muliawan, Sylvia Y. 2008. Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan Borrelia).

Jakarta: Penerbit Erlangga.

6. Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2007.Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

7. Suratman. 2006. Analisis faktor risiko lingkungan dan Perilaku yang berpengaruh terhadap

Kejadian leptospirosis berat Di kota semarang. Tesis. Universitas diponegoro.

28

8. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis; Epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasannya.

Jakarta: Erlangga.

9. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

10.CDC. 2010. Leptospirosis Pre-decision Brief for Public Health Action. Centers for Disease

Control and Prevention: Atlanta.

11.Setiawan, I Made. 2008. Clinical and Laboratory Aspect of Leptospirosis in Humans

volume.27-No.28. Universa Medicina.

12.Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, Sri Rezeki S Hadinegoro. 2001. Petunjuk

praktis leptospirosis. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember: 163167. Available from:

http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3- 3-10.pdf (Diakses 18 Juli 2017)


13. Soeharyo Hadisaputro. 2002.Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis: Faktor-Faktor

Risiko Leptospirosis. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

14. World Health Organization (Regional Office for South-East Asia). 2009.

Informal Expert Consultation on Surveillance, Diagnosis, and Risk Reduction of

Leptospirosis.Available from:

http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable

_Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-217.pdf (diakses : 19 Juli 2017)

15.Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta : Rineka

16. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta: Jakarta.

29

17. Maulana HDJ. 2009. Promosi Kesehatan.Jakarta: EGC, hal. 22.

18. Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

19. Effendy, Nasrul. 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan

Masyarakat. Jakarta: EGC.

30

Anda mungkin juga menyukai