Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

CEDERA KEPALA RINGAN DENGAN HEMATOMA REGIO


PARIETOOCCIPITAL DEXTRA

OLEH

KELOMPOK IV
1.TIMOTHY E.A SUPIT (060111067)
2.ANGGRIANY LONGDONG (060111061)
3.SAMUEL EMOR (060111059)
4.JANUARITA (040111166)
5.ESTER RUMIMPER (060111181)
6.AMELIA M.PERMATASARI (060111212)

KKP BEDAH GELOMBANG II


FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRAT
2009

BAB I
PENDAHULUAN

Anatomi dan Fisiologi Kepala

Anatomi Kepala

A. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective
tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. Kulit kepala memiliki banyak
pembuluh darah sehingga perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan
banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

Gambar Lapisan Kranium

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa
anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

B. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak.

C. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14
kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu.
Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar Lobus-lobus Otak


D. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan


produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150
ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

E. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).

F. Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-
vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.

Fisiologi Kepala

Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan


secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4
10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap.

Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah
sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah
intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat.
Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya
adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan
Doktrin Monro-Kellie.

Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac
output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO)
normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak
per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat
menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan
koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap
koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera.
Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat
direkomendasikan untuk meningkatkan ADO.

Pada keadaan-keadaan tertentu seperti yang disebabkan oleh karena trauma,misalnya


seperti kecelakaan lalu lintas, trauma tumpul, dan trauma mekanis lainnya, akan
mengakibatkan timbulnya cedera kepala, yang nantinya mempengaruhi anatomi dan
fisiologis dari kepala itu sendiri.

Gambaran Umum Tentang Cedera Kepala


Pendahuluan dan Epidemiologi

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika Serikat, kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas,
10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara
berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak
frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15
44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan
jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari
seluruh kematian akibat trauma. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan
yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan, dapat
melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap petugas kesehatan
diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis untuk melakukan
penanganan pertama dan tindakan live saving sebelum melakukan rujukan ke rumah
sakit. Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas
dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat
menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya kemungkinan
pemulihan fungsi.

Definisi

Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang
kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu
sendiri. Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Menurut
David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa perubahan
pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada kepala.

Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;

1).Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat
menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada
protuberans tulang tengkorak.

2).Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;

Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur
dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk
fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup
yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang
memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.

Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan .

Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan


Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6),
respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan
beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi :

Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat. Cedera
kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan, cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-
15.

Pembahasan lebih lanjut difokuskan pada cedera kepala ringan,karena berhubungan


dengan pasien yang didapat.

CEDERA KEPALA RINGAN


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, 2007: 3).
Di dunia diperkirakan sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa melayang setiap tahunnya sebagai
akibat kecelakaan bermotor, diperkirakan sekitar 0,3-0,5% mengalami cedera kepala. Di
Indonesia diperkirakan lebih dari 80% pengendara kendaraan mengalami resiko
kecelakaan. 18% diantaranya mengalami cedera kepala dan kecederaan permanen,
tingginya angka kecelakaan lalu lintas tidak terlepas dari makin mudahnya orang untuk
memiliki kendaraan bermotor dan kecelakaan manusia.
(Shell, 2008)

1. Pengertian
Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya kesadaran
tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001:2211).
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak ada
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi
(Mansjoer, 2000:4).

Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya
kesadaran sementara (Corwin, 2000: 176).
Jadi cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau kejatuhan benda tumpul
yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurologi sementara atau menurunnya
kesadaran sementara, mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya.

2. Etiologi
A. Trauma tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan motor dan mobil),kecepatan rendah
(terjatuh, dipukul).
B. Trauma tembus : Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya (Mansjoer, 2000: 3)

3. Klasifikasi Klinis
Cedera kepala ringan,
CGS : 15, Tidak ada konkusi, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien
dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala.

4. Tanda dan Gejala


A.Hilangnya tingkat kesadaran sementara.
B.Hilangnya fungsi neurologi sementara.
C.Sukar bangun.
D.Sukar bicara.
E.Konkusi.
F.Sakit kepala berat.
G.Muntah.
H.Kelemahan pada salah satu sisi tubuh.

5. Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera otak
primer dan cedera otak sekunder.Cedera otak adalah keadaan gangguan pada otak,akibat
cedera kepala yang tidak teratasi dengan baik. Cedera otak primer adalah cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari
proses yang berkelanjutan (on going process) sesudah atau berkaitan dengan cedera
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.

Cedera otak sekunder disebabkan oleh keadaan-keadaan yang merupakan beban


metabolik tambahan pada jaringan otak yang sudah mengalami cedera (neuron-neuron
yang belum mati tetapi mengalami cedera). Beban ekstra ini bisa karena penyebab
sistemik maupun intrakranial. Berbeda dengan cedera otak primer, banyak yang bisa kita
lakukan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya cedera otak sekunder.

Penyebab cedera otak sekunder di antaranya:

1. Penyebab sistemik: hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan


hiponatremia.
2. Penyebab intrakranial: tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema,
pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.

Bagi petugas kesehatan di daerah, tugasnya adalah mencegah, mendeteksi, dan


melakukan penanganan dini terhadap kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder.

6. Pengelolaan
A.Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri kepala.
B.Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik.
C.Pemeriksaan neurologis.
D.Radiografi tengkorak.
E.Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi.
F.Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik.
G.CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria rawat.

7. Penanganan

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan: (1) Memantau sedini
mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki keadaan umum
seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan
tunggu dulu pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena diagnosis dan
penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat
cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas
dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan
menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa
stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis: (1) Terlambat penanganan awal/resusitasi; (2)


Pengangkutan/transport yang tidak adekuat; (3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat; (4)
Terlambat.

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita dapat
berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan
napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda
asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control),
yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.
Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan
napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan
cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan
napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak
adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat
(breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera
kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar
untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka
tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka
tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri
karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna,
segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah
Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Posisi tidur yang
baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher)
karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan
intrakranial.

8. Operasi Cedera Kepala


Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,
kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan, dan
mencegah perdarahan ulang.
lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :
1 Status neurologis.
2 Status radiologis.
3 Pengukuran tekanan intrakranial.

Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :


1 Massa hematoma kira-kira 40 cc.
2 Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
3 EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
4 GCS 8 atau kurang..
5 Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
6 pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.
1 Pasien pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
2 berkembangnya.
3 Tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg.

lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak memungkinkan
dan didapat :
1 Dilatasi pupil ipsilateral.
2 Hemiparese kontralateral.
3 Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba.

Dari traumatik koma data bank ditemukan pada studi 275 pasien dengan hematoma
tutorial didapat : 58% SDH, 26% ICH dan 16% EDH.
1 Dilatasi pupil ipsilateral.
2 Hemiparese kontralateral.
3 Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba.

Preparasi Pra 0perasi


1 Inform concern.
2 Cegah hipotensi, hipoksia.
3 Periksa foto turaks dan cervical.
4 Dua infus line.
5 Periksa AGD, elektrolit dan darah rutin serta cross match.Profilaksis antibiotika
6 yang adekuat.

Tekhnik Operasi
1. Burr hole explorasi
Tentukan areanya : disisi pupil yang dilatasi, kontra lateral hemiparese.
Burr hole I : di temporal walaupun frakturya di lokasi yang berbeda. Bila positif
lanjutkan dengan kraniotomi. Bila negatif lakukan langkah burr hole selanjutnya.
Burr hole II : di frontal.
Burr hole III : di parietal, bila negatif dilakukan disisi sebaiknya.
Ada yang menambahkan burr hole IV di fossa posterior.
Incisi linier dan bila perlu dilanjutkan dengan question mark.
Bila duramater tampak tegang dan kebiruan tapi clothing belum ditemukan
sebaiknya dilakukan lebih dahulu burr hole bilateral baru dilakukan mengintip
duramater karena sering subdural tersebut hanya tipis Baja.

2. Epidural hematom
Lokasi : 50% ditemporal, 15%-20% di frontal dan sisanya di occipital, fossa
posterior dan parietal.
Bila ada mix lessi (hipodens dan hiperdens)curigai adanya gangguan pembekuan
darah.
Teknik :
0 a. Incisi bentuk question mark atau tapal kuda.
1 b. Burr hole I di daerah yang paling banyak clothing biasanya di lobus
2 temporal, bila perlu dilanjutkan dulu kraniektomi kecil dan evakuasi
clothing untuk mengurangi tekanan, lalu dilanjutkan kraniotomi untuk
mengevakuasi massa.
3 c. Bila duramater tegang kebiruan lakukan intip dura dengan incisi kecil.
4 d. Kemudian duramater dijahit clan dilakukan gantung dura.
Pada hematoma epidural, harus dilakukan pembedahan darurat untuk
mengeluarkan darah sehingga bisa mencegah penekanan dan kerusakan otak.

9. Kriteria Rawat
A.Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam).
B.Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).
C.Penurunan tingkat kesadaran.
D.Nyeri kepala sedang hingga berat.
E.Intoksikasi alkohol atau obat.
F.Fraktura tengkorak.
G.Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea.
H.Cedera penyerta yang jelas.
I.Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan.
J.CT scan abnormal.

Walau jarang, bisa terjadi pada pasien dengan CT scan pertama yang normal,berkembang
lesi massa beberapa jam kemudian. Pengamatan neurologis ketat dilakukan oleh petugas
yang peka terhadap kemungkinan perburukan, yang tanpa keraguan dalam menghadapi
setiap kemungkinan perubahan yang terjadi.Cedera kepala ringan dengan CT scan normal
dapat dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dalam pengawasan dirumah dan
dengan menyertakan 'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan
ketat sekitar 12 jam dan membawa pasien kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak
memiliki relasi yang dapat bertanggungjawab, pasien tetap di UGD selama 12 jam
dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila
tampak stabil.Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai
perjalanan neurologisnya pada hari-hari berikutnya. CT scan berikutnya dilakukan
sebelum pasien dipulangkan, atau lebih awal bila terjadi perburukan neurologis.
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : SK.
Umur : 45 tahun.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Alamat : Wutulu II.
Agama : Kristen Protestan.
Suku : Minahasa.
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil.

PRIMARY SURVEY

Airway : Adekuat.
Breathing : Frekuensi 24x/menit.
Circulation : Tekanan darah 110/60, nadi 80x/menit, isi cukup, reguler, akral
hangat.
Disability : Verbal response.
Exposure : Kepala.

SECONDARY SURVEY

A. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran akibat kecelakaan lalu lintas. Masuk rumah sakit tanggal 16
Oktober 2009.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Penurunan kesadaran akibat kecelakaan lalu lintas dialami penderita sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya penderita sedang mengendarai sepeda motor,
tiba-tiba saat penderita melewati gundukan tanah, penderita kehilangan
keseimbangan dan terjatuh dengan kepala lebih dahulu menyentuh aspal. Pingsan
(-), muntah (+). Penderita dibawa ke rumah sakit Tondano, kemudian dirujuk ke
rumah sakit Prof.Kandou.
C. Riwayat Aktivitas Keseharian Pasien : Pegawai Negeri Sipil.
D. Riwayat Penyakit Dahulu : (-).
E. Riwayat Keluarga : Hanya penderita yang sakit seperti ini.
F. Riwayat Psikososial : (-).
G. Anamnesis Sistem
Riwayat : Alergi : (-).
Medication : IVFD RL.
Past Illnes : (-).
Last Meal : 6 jam SMRS.
Environment : Tondano.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Cukup.


GCS : E3 V5 M6.
Tekanan Darah : 110/60 mmHg.
Nadi : 80x/menit.
Respirasi : 24x/menit.
Suhu : 36,5C.
Warna Kulit : Sawo matang.
Oedem : (n).
Pupil Kanan dan Kiri : Pupil bulat isokor, diameter 3mm, RC +/+.
Kepala : Regio parietooccipital dextra hematoma ukuran 6x7cm.
Conjunctiva anemis(-/-), sclera ikterik(-/-).
Lidah : Beslag (-).
Gigi : Carries (-).
Kerongkongan dan leher : Tidak ada kelainan.
Dada : Tidak ada kelainan.
Jantung : S1-S2 (n).
Paru-Paru : Rh(-/-),Wh(-/-).
Abdomen : Lemas, BU (+) Normal.
Hati dan Limpa : Tidak teraba.
Extremitas Inferior : Tidak ada kelainan.
Status Neurologis : Tidak ada kelainan.
RT : TSA cekat.
ST : Darah (-), lendir (-), feses (-).
WDx : Cedera Kepala Ringan + Hematom Regio Parietooccipitalis
Dextra.
Tindakan Pengobatan :
O2 4-6 l/m.
IVFD aserring 5
Ranitidin 3x1 amp.
Cefotaxim 3x1 gr.
Neurolin 2x1 amp.
Pemeriksaan darah lengkap
Pro CT-Scan kepala : EDH temporooccipitalis dextra 7
slice,ICH frontotemporalis sinistra 3 slice.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap
Hematologi Rutin Hasil Normal
Leukosit 8600 4000-10000/uL
Eritrosit 3,53 4,25-5,40juta/ uL
Hemoglobin 10,8 12-16 /dL
Hematokrit 31,4 37-47 %
Trombosit 205 150-450 ribu/ uL
MCH 30,2 25-35 pg
MCHC 35,2 31-38 g/dL
Lym% 7,2 15,0-50,0%
Gra% 88,7 35,0-80,0%
Mid% 4,1 2,0-15.0%

LAPORAN OPERASI

Diagnosis pra bedah : EDH temporooccipital dextra.


Diagnosis pasca bedah : EDH supra dan infratentorial dextra.
Indikasi operasi : Diakibatkan karena peningkatan tekanan intrakranial.
Jenis operasi : Kraniotomi.
Jenis anastesi : Anastesi Umum.
Laporan jalannya operasi : Dilakukan pada hari Sabtu, 17 Oktober 2009.Dimulai pada
pukul 22.30 dan selesai pada pukul 00.30 dengan proses,
Penderita telentang dengan GA.
Penderita berada dalam keadaan narkose posisi LLD sinistra.
Ax antisepsis-Marling daerah operasi di occipital.
Incisi occipital L dextra.
Identifikasi protuberantia occipital externa.
Buat kraniotomi 2 x 2 cm diatap cerebellum, keluar EDH 15 cc.
Burr hole dan kraniektomi di supratentorial, EDH 10 cc.
Gantung bridging kedua sisi.
Pasang drain,luka operasi ditutup lapis demi lapis.

Instruksi pasca operasi :


Observasi kesadaran dan vital sign.
Puasa sampai bising usus (+) normal.
Elevasi 30.
Infus NaCl/RL/Tubofasia OPS 30 tetes/menit.
Obat : Bactirom 3x1 gr.
Gastridin 3x1 amp.
Torpain 3x1 amp.
Incelin 2x500 gr.
Sohobion 5000 1x1 amp,drips.
Cek Hb post operasi.

FOLLOW UP
19 Oktober 2009
S : Penurunan kesadaran.
O : Tekanan darah 120/100 mmHg,nadi 82x/menit,respirasi 20x/menit,suhu 37C.
Regio parietooccipital dextra hematoma ukuran 7 cm.
A : Post kraniotomi dekompresi e.c EDH occipital dextra.
P :
Head elevasi 30.
O2 3 ltr.
IVFD : NaCl + Tutofusin 30 gtt/m.
Bactirom 3x1 g.
Gastridin 3x1 amp.
Torpain 2x1 amp.
Incelin 1x1 drips.
Sohobion 5000 (drips).

20 Oktober 2009
S :-
O : Vital sign dalam batas normal.GCS E4 V5 M6.
A : Post kraniotomi dekompresi e.c EDH occipital dextra.
P :
IVFD tutofusin OPS : 30 gtt/m.
IVFD NaCl 0,9% + 3 amp Remopain 3 % + 1 amp ikaneuron.
Bactirom 3x1 gr IV.
Gastridin 3x1 amp IV.
Torpain 2x1 amp IV.
Incelin 1x1 drips.
Sohobion 5000 (drips).
R/ AFF drain 21/10/09 dan AFF NGT.

21 Oktober 2009
S : Pusing sudah berkurang.
O : Tekanan darah 150/90, RR 20x/menit, nadi 64x/menit, suhu badan 36C, GCS
E4 V5 M6.
Regio parieto occipitalis dextra luka kering terawat.
A : Post kraniotomi dekompresi e.c EDH regio occipital dextra.
P :
Head elevasi 30.
O2 2 ltr.
Bactirom 3x1 g.
Gastridin 3x1 amp.
Torpain 3x1 amp.
Incelin 2x1 amp.
Sohobion 5000 1x1(drips).
Periksa Hb,leukosit,trombosit.

22 Oktober 2009
S :-
O : Vital sign dalam batas normal.GCS E4 V5 M6.
A : Post kraniotomi dekompresi e.c EDH occipital dextra.
P :
IVFD assering 5, 20 gtt/menit.
IVFD NaCl 0,9% + 3 amp Remopain 3 % + Ikaneuron 5000,8gtt/menit.
Bactirom 3x1 gr IV.
Gastridin 3x1 amp IV.
Incelin 2x1 amp IV.
Sohobion 5000 1x1 (drips).
AFF drain hari ini 22/10/09.

23 Oktober 2009
S :-
O : Vital sign dalam batas normal.GCS E4 V5 M6.
A : Post kraniotomi dekompresi e.c EDH occipital dextra.
P :
IVFD assering 5, 20 gtt/menit.
IVFD NaCl 0,9% + 3 amp Remopain 3 % + Ikaneuron 5000,8gtt/menit.
Bactirom 3x1 gr IV.
Gastridin 3x1 amp IV.
Incelin 2x1 amp IV.
Sohobion 5000 1x1 (drips).
R/AFF hecting di poliklinik bedah baru.

25 Oktober 2009
S :-
O : Vital sign dalam batas normal.GCS E4 V5 M6.
A : Post kraniotomi dekompresi e.c EDH occipital dextra.
P :
Remopain drips.
Ikaneuron drips.
Bactirom 3x1 gr.
Gastridin 3x1 amp.
Incelin 2x1 amp.
26 Oktober 2009
S :-
O : Vital sign dalam batas normal.GCS E4 V5 M6.Regio occipital dextra terdapat
luka terawat.
A : Post kraniotomi dekompresi e.c EDH occipital dextra.
P :
IVFD assering 5
Ikaneuron 5000 + Remopain 3 % 3 amp + assering 5 500ml : 8gtt/menit.
Bactirom 3x1 gr IV.
Gastridin 3x1 amp IV.
Incelin 2x1 amp IV
Besok rencana AFF infus
27 Oktober 2009
S :-
O : Vital sign dalam batas normal.GCS E4 V5 M6.Regio occipital dextra terdapat
luka terawat.
A : Post kraniotomi dekompresi e.c EDH occipital dextra.
P :
AFF infus oral : Shanex 3x500mg dan Ultracet 3x1 amp.
Incelin 2x500 mg.
Gastridin 3x1 tab.

28 Oktober 2009
S :-
O : Vital sign dalam batas normal.GCS E4 V5 M6.Regio occipital dextra terdapat
luka terawat.
A : Post kraniotomi dekompresi e.c EDH occipital dextra.
P :
AFF infus oral : Shanex 3x500mg dan Ultracet 3x1 amp.
Incelin 2x500 mg.
Gastridin 3x1 tab.
R/ AFF hecting di poliklinik bedah baru.
BAB III
KESIMPULAN

Diagnosis dari pasien ini dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Melalui anamnesis,bisa diketahui bagaimana sampai penderita bisa mengalami
trauma berupa cedera kepala derajat ringat, hal ini disebabkan karena saat melewati
gundukan tanah, penderita kehilangan keseimbangan sehingga terjatuh dengan kepala
lebih dahulu menyentuh aspal.Penderita tidak pingsan, tapi mengalami muntah beberapa
menit setelah kepala terbentur pada aspal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan trauma pada kepala yang diklasifikasikan
sebagai cedera kepala ringan dengan hematoma ukuran 6x7 cm pada regio
parietooccipital dextra.Tidak terdapat kelainan pada daerah yang lain seperti di leher,
dinding thorax, dan abdomen.Keadaan umum penderita cukup baik, dan nilai GCS pun
tidak menunjukan gangguan yang berarti (E3 V5 M6 ).
Adanya cedera kepala ringan yang disertai muntah menandakan terdapat
peninggian tekanan intrakranial, selain itu terdapat hematoma ukuran 6x7 cm pada regio
parietooccipitalis dextra sehingga diperlukan penanganan yang lebih lanjut untuk
mencegah bekuan darah pada area yang terkena trauma, sehingga pada pasien ini
dilakukan operasi kraniotomi.

PROGNOSIS
Prognosis dari pasien ini baik,karena telah dilakukan penanganan yang tepat
seperti kraniotomi atas indikasi peningkatan tekanan intrakranial dan untuk mencegah
bekuan darah pada daerah yang mengalami trauma.Selain itu terapi dan perawatan yang
diberikan pada pasien post operasi dilakukan secara intensif,sehingga keadaan umum
pasien post operasi menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

IDI Pengurus Pusat, Advanced Trauma Life Support Edisi VII


Syamsuhidayat.R,Wim De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah

Anda mungkin juga menyukai