Anda di halaman 1dari 12

Makalah Lengkap Filariasis (Kaki Gajah) : Aspek Epidemiologi dan Penanggulangannya

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Filariasis merupakan salah satu penyakit yang termasuk endemis di Indonesia. Seiring dengan
terjadinya perubahan pola penyebaran penyakit di negara-negara sedang berkembang, penyakit
menular masih berperan sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian. Salah satu penyakit
menular adalah penyakit kaki gajah (Filariasis). Penyakit ini merupakan penyakit menular
menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Di dalam tubuh manusia cacing filaria hidup di
saluran dan kelenjar getah bening(limfe), dapat menyebabkan gejala klinis akut dan gejala
kronis. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk. Akibat yang ditimbulkan pada stadium
lanjut (kronis) dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya berupa pembesaran kaki
(seperti kaki gajah) dan pembesaran bagian bagian tubuh yang lain seperti lengan, kantong buah
zakar, payudara dan alat kelamin wanita.
Di Indonesia penyakit kaki gajah pertama kali ditemukan di Jakarta pada tahun 1889.
Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis tahun 2000 wilayah Indonesia yang
menempati ranking tertinggi kejadian filariasis adalah Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Nusa
Tenggara Timur dengan jumlah kasus masing-masing 1908 dan 1706 kasus kronis. Menurut
Barodji dkk (1990 1995) Wilayah Kabupaten Flores Timur merupakan daerah endemis
penyakit kaki gajah yangdisebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti dan Brugia timori.
Selanjutnya oleh Partono dkk (1972) penyakit kaki gajah ditemukan di Sulawesi. Di Kalimantan
oleh Soedomo dkk (1980) Menyusul di Sumatra oleh Suzuki dkk (1981) Sedangkan penyebab
penyakit kaki gajah yang ditemukan di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra tersebut adalah dari
spesies Brugia malayi.

Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya sempat
ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali. Kasus penderita filariasis khas
ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan tropis (Abercrombie et al, 1997) seperti di
Indonesia. Filariasis pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1877, setelah itu tidak
muncul dan sekarang belum diketahui bagaimana perkembangannya. Filariasis tersebar luas
hampir di seluruh Propinsi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000
yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi
sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang.

Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata. Masyarakat juga
harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif. Dengan mengetahui mekanisme penyebaran
filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasinya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bertitik tolak dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan
masalah adalah bagaimana aspek epidemiologi dalam penanggulangan filariasis di Indonesia
1.3 TUJUAN

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui aspek epidemiologi dalam
penanggulangan filariasis di Indonesia

1.4 MANFAAT

Manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan makalah ini adalah dapat memberi pengetahuan
dan informasi mengenai aspek epidemiologi dalam penanggulangan filariasis di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Filariasis

Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing
filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran
getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan
gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di
daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam
yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan
jaringan parut (Depkes RI, 2009c).

2.2 Filaria

Cacing filaria mempunyai spesies 200 lebih dan hanya beberapa yang terdapat pada manusia.
Spesies filarial yang sering menginfeksi manusia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,
Brugia timori (di Indonesia), dan Onchocherca volvulus. Cacing dewasa hidup dalam sistem
limfatik, subkutan dan jaringan ikat dalam. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria (prelarva)
yang masih mempunyai selaput telur (sarung) atau selaput terlepas (tidak bersarung).
Mikrofilaria ini sangat aktif, bentuknya seperti benang dan ditemukan dalam darah perifer atau
jaringan kulit. (Onggowaluyo,2002).

2.3 Klasifikasi Filaria

Philum : Nemathelminthes
Class : Nemathoda
Ordo : Spirurida
Super Family : filarioidea
Genus : - Wuchereria
- Brugia
- Onchocerca
- Loa-loa
- Dipetanolema
- Mansonela
- Dilofilaria (Spielman,2001)
2.4 Morfologi dan Daur Hidup

Ada tiga spesies yang menjadi penyebab filariasis diantaranya Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, dan Brugia timori. Cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia
terutama dalam kalenjar getah bening manusia selama 4-6 tahun. Dalam tubuh manusia cacing
dewasa menghasilkan jutaan anak cacing (mikroflaria) yang beredar dalam darah terutama pada
malam hari. Di Indonesia jenis cacing filarial yang menginfeksi adalah Wuchereria bancrofti

a. Wuchereria bancrofti. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran kalenjar limfe,
bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 65 100 mm
x 0,25 mm dan cacing jantan 40 mm x 0,1 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang
bersarung dengan ukuran 250 300 mikron x 7 - 8 mikron. Mikrofilaria ini hidup didalam darah
dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada
umumnya, mikrofilaria W. bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya
terdapat di dalam tepi pada waktu malam. Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di kapiler alat
dalam (paru-paru, jantung, ginjal). (Gandahusada,2001).

b. Brugia malayi dan Brugia timori. Cacing dewasa berbentuk silindrik seperti benang, berwarna
putih kekuningan. Pada ujung anteriornya terdapat mulut tanpa bibir dan dilengkapi baris papila
2 buah, baris luar 4 buah dan baris dalam 10 buah. Cacing betina berukuran 55x0,16 mm dengan
ekor lurus, vulva mempunyai alur tranfersal dan langsung berhubungan dengan vagina
membentuk saluran panjang. Cacing jantan berukuran 23x0,09 mm, ekor melingkar dan bagian
ujugnya terdapat papila 3-4 buah, dan dibelakang anus terdapat sepotong papila. Pada ujung ekor
terdapat 4-6 papila kecil dan spikula yang panjangnya tidak sama. (Onggowaluyo, 2002).

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut digigit nyamuk yang
sudah terinfeksi, yaitu yang didalam tubuhnya mengandung larva (L3). Nyamuk sendiri
mendapat mikrofilarial karena menghisap darah penderitanya atau dari hewan yang mengandung
mikrofilaria. Nyamuk sebagai vektor menghisap darah penderita (mikrofilaremia),
Mikrofilaremia masuk kedalam lambung nyamuk lalu berkembang dalam otot nyamuk selama 3
minggu. Dalam tubuh nyamuk mikrofilaria tidak berkembang biak tetapi hanya berubah bentuk
dalam beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3. Pada stadium 3 larva mulai bergerak
aktif dan bergerak ke alat tusuk nyamuk.

Nyamuk pembawa mikrofilaria menggigit manusia dan memindahkan larva infektif tersebut.
Bersama aliran darah larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing
dewasa jantan atau betina serta berkembang biak. (http//harun yahya.com) Cacing filarial dalam
tubuh manusia terdeteksi pada malam hari, selebihnya bersembunyi di organ dalam tubuh
manusia. Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi. Mikrofilaria dapat
ditemukan dalam darah pada malam hari dan siang hari, tetapi ditemukan dalam jumlah besar
pada malam hari dan banyak ditemukan dalam kapiler dan pembuluh darah paru-paru.
(Onggowaluyo,2001)

2.5 Vektor
Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu Mansonia, Anopheles,
Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles
diidentifikasikan sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus
merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan
vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris
merupakan vector filariasis yang paling penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi
vector Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan
vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku
Selatan.

2.6 Hospes

a. Manusia. Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis apabila
digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit
selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya
pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih
menderita dari pada penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi karena lebih
banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih nyata pada laki-
laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat (Gandahusada, 1998).

b. Hewan. Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan
reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodic yang ditemukan
pada lutung (Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus) (Depkes
RI, 2005).

2.7 Lingkungan

a. Lingkungan Fisik. Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis, stuktur
geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor sehingga
berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat
menciptakan tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh
terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air
di rawa-rawa dan adanya hewan reservoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap
penyebaran Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik.

b. Lingkungan Biologi. Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Misalnya,
adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah endemis Brugia
malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air yang ditumbuhi
tanaman air.

c. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya. Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah
lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat
istiadat, budaya, kebiasaan, dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam
hari, keluar pada malam hari, dan kebiasaan tidur berkaitan dengan intensitas kontak vektor.
Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena umumnya laki-laki
sering kontak dengan vektor pada saat bekerja (Depkes RI, 2005).

2.8 Rantai Penularan Filariasis

Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu :

1. Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.
3. Manusia yang rentan terhadap filariasis.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Aspek Epidemiologi dalam Penanggulangan Filariasis di Indonesia

Filariasis limfatik atau elephantiasis atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki
gajah dan dibeberapa daerah disebut untut adalah penyakit menular menahun yang disebabkan
oleh sejenis cacing darah- jaringan dari Genus Filaria, yang penularannya pada manusia melalui
gigitan berbagai spesies nyamuk. Penyakit ini di Indonesia disebabkan oleh Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori, menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening.
Penularan teijadi melalui vektor nyamuk Culex spp., Anopheles spp., Aedes spp., Mansonia spp.,
dan armigeres spp.

Penyakit ini menjadi masalah kesehatan rakyat yang penting terutama bagi daerah pedesaan di
luar pulau Jawa- Bali karena mengakibatkan berkurangnya kemampuan kerja masyarakat dan
cacat yang ditimbulkannya. Kantong-kantong daerah endemis biasanya merupakan daerah
dataran rendah yang berawa dengan di sana-sini dikelilingi oleh daerah yang bersemak belukar
dan berhutan walaupun dapat juga ditemukan di daerah perkotaan dan yang berbukit (yang tidak
tinggi) tergantung adanya nyamuk vektor yang menularkannya. Berbagai cara penanggulangan
dan pengobatan terhadap penyakit tersebut telah dilakukan akan tetapi prevalensi di daerah-
daerah endemik masih tetap tinggi.

Filariasis tidak membunuh penderita tetapi penderitaan orang yang terkena penyakit tersebut
cukup berat, yang mengakibatkan turunnya produktivitas secara individual, keluarga maupun
masyarakat. Dalam tulisan ini akan coba diulas kembali bagaimana aspek epidemiologi filariasis
dalam kaitannya dengan penanggulangannya yang menyangkut parasit, vektor, reservoir,
lingkungan, pengobatan maupun peran serta masyarakat.

Bahan dan Cara

Kajian dilakukan dengan cara me- review aspek epidemiologi dalam penanggulangan filariasis di
Indonesia. Aspek epidemiologi yang di-review meliputi parasit, vektor, reservoir, lingkungan,
pengobatan, peran serta masyarakat dan penanggulangannya.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara searching internet, penelusuran dokumen dan jurnal di
perpustakaan dan lain-lain. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan cara
mengkaji aspek epidemiologi yang meliputi parasit, vektor, reservoir, lingkungan, pengobatan
maupun peran serta masyarakat dalam penanggulangan filariasis di Indonesia.

Hasil

Epidemiologi menggunakan cara pandang ekologi untuk mengkaji interaksi berbagai elemen dan
faktor dalam lingkungan dan implikasi yang berkaitan dengan penyakit. Keterkaitan antara
berbagai faktor yang berkontribusi untuk memperlihatkan interaksi dan ketergantungan satu
dengan lainnya antara agents (penyebab), host (penjamu) dan environment (lingkungan) yang di
gambarkan dalam segitiga epidemiologi.

Agents adalah penyebab penyakit dapat berupa bakteri, virus, parasit, jamur atau kapang,
penjamu adalah organisme, biasanya manusia atau hewan yang menjadi tempat persinggahan
penyakit, sedangkan lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi dan juga kondisi luar
manusia yang menyebabkan atau memungkinkan penularan penyakit.

Agents dari filariasis yaitu parasit (cacing filaria), penjamu meliputi manusia, vektor maupun
reservoir sedangkan lingkungan meliputi fisik, sosial ekonomi maupun budaya.

Parasit

Penyakit kaki gajah di Indonesia disehabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu W. bancrofti,
B. malayi dan B. timori.

Ketiga spesies ini dapat dipisahkan lagi menjadi 6 tipe2 yaitu : W. bancrofti tipe perkotaan
(urban), W. bancrofti tipe pedesaan (rural), B. malayi tipe periodic nocturna, B. malayi tipe
subperiodik nocturna, Brugia malayi tipe non periodic dan Brugia timori Dari ketiga spesies
tersebut yang menjadi masalah cukup besar dalam kesehatan masyarakat adalah B. malayi dan B.
timori terutama di daerah pedesaan.

B. malayi endemik di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau di Maluku, tetapi


terbatas pada sebelah Barat garis Weber, yang memisahkan Irian Jaya dengan pulau Seram dan
Ambon. Dari berbagai tipe parasit filaria ini, B. malayi dan B. timori menempati urutan pertama
dalam penyebarannya di Indonesia. Demikian pula penderita dan penularannya lebih besar
dibandingkan dengan W. bancrofti.3

Vektor

Vektor penyakit kaki gajah adalah nyamuk. Di Indonesia sampai saat ini telah diketahui terdapat
23 spesies nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang dapat
berperan sebagai vektor dan vektor potensial penyakit kaki gajah.2,4 W. bancrofti tipe perdesaan
masih banyak ditemukan di Papua dan beberapa daerah lain di Indonesia. 10 spesies nyamuk
telah diidentifikasi sebagai vektor tetapi vektor utamanya adalah An. farauti dan An. punctulatus.
Lain halnya dengan yang ada di Malaysia dimana vektornya adalah An. maculatus dan An.
whartoni. W. bancrofti tipe urban ditemukan di kota-kota besar antara lain Jakarta, Semarang,
Pekalongan dengan nyamuk vektornya: Cx. quinquefasciatus.

B. malayi ditemukan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, umumnya di daerah pantai


dan dataran rendah. Vektornya adalah 6 spesies Mansonia yaitu, Ma. uniformis, Ma. bonneae,
Ma. dives, Ma. annulata, Ma. annhulifera dan Ma. Indiana sedangkan di Indonesia bagian timur
ditambah^w. Barbirostris sebagai vektor utama. B. timori ditemukan umumnya endemik di
daerah persawahan di pulau-pulau Nusa Tenggara Timur dan dan vektor utamanya adalah An.
kepulauan Maluku Selatan. B. timori Barbirostris.3'6

Reservoir

Hingga sekarang hanya B. malayi yang subperiodik dan non periodiklah yang mempunyai
hospes reservoir.3,6 Di Indonesia B. malayi telah ditemukan di Presbytis cristata (lutung) dan
Macaca fascicularis (Palmieri, 1979; Lim dkk. 1984; Poernomo, 1984). Bahkan di daerah
endemik B. malayi periodik telah ditemukan juga cacing dewasa di dalam P. cristata. Selain kera,
kucing (Felix) juga merupakan reservoir dari B. malayi yang telah dibuktikan diberbagai tempat
di Indonesia.

Hospes reservoir yang paling penting adalah kera, terutama kera Presbytis yang seringkali
mempunyai prevalensi infeksi tinggi. Meskipun kucing domestik juga dapat merapakan hospes
reservoir, tapi prevalensi pada kucing pada umumnya lebih rendah. Di daerah Kumpeh, Jambi,
prevalensi pada kera Presbytis sekurang- kurangnya 50%, sedang pada kucing lebih rendah.
Penelitian transmigran, yang datangnya setelah penduduk asli diobati, menunjukkan bahwa
orang-orang yang positif baik secara klinis maupun dengan pemeriksaan darah, lebih banyak
teqadi pada transmigran yang pemukimannya lebih dekat pada hutan. Juga penelitian nyamuk
menunjukkan bahwa bentuk infektif terutama ditemukan pada nyamuk yang ditangkap di ladang
dekat hutan (Sri Oemijati dkk 1986).

Di Malaysia kera yang telah diketahui sebagai reservoir penyakit filaria adalah P cristata, P.
melalopos, P. obscura danM. fascicularis, tetapi Presbytis spp adalah yangutama(Lim&Mak,
1978).

Lingkungan

Keadaan lingkungan sangat beipengaruh terhadap keberadaan dan transmisi penyakit kaki gajah.
Di dalam lingkungan yang sesuai, filariasis dapat terpelihara dan dapat ditularkan dari manusia
ke manusia, dari hewan ke manusia atau dari manusia ke hewan.2 Pada umumnya daerah
endemis B. malayi dan W. bancrofti tipe pedesaan (rural) adalah daerah rawa-rawa, sepanjang
sungai atau badan air dengan tanaman air. B. malayi juga ditemukan dihutan rawa- rawa
(swampyforest) khususnyai?. malayi tipe non-periodik.

Bila suatu daerah berupa dataran rendah, banyak rawa-rawa dan kebun karet kemungkinan
adanya B. malayi di daerah tersebut cukup besar. Adanya kera (jR cristata, Mfascicularis) dan
kucing dapat menunjukkan kemungkinan B. malayi di daerah tersebut merupakan zoonosis
(hewan menularkan penyakit pada manusia).

Sedangkan daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah perkotaan
yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air yang kotor sebagai habitat vector
penularnya, yaitu nyamuk Culex quinquefasciatus.

Faktor lingkungan fisik, seperti iklim, keadaan geografis, struktur geologis mempunyai kaitan
erat dengan kehidupan vector. Lingkungan fisik penting artinya untuk tempat perindukan dan
tempat istirahat vector. Faktor lingkungan social, ekonomi dan budaya berkaitan erat dengan
kebiasaan masyarakat dalam hubungannya dengan kontak terhadap vektornya.

3.2 Penanggulangan Filariasis

Sebaiknya penanggulangan filariasis ditangani pada semua fase yaitu : pemberantasan parasitnya
pada semua hospes, pemberantasan vektornya dan penanganan lingkungan yang dapat
mengganggu kelestarian lingkaran hidup parasit.

Pemberantasan Parasit dengan Pengobatan

Untuk memberantas parasit dengan pengobatan, seharusnya diadakan pengobatan semua hospes
yang mengandung parasit, sehingga tidak ada parasit lagi yang dapat ditularkan oleh vektor.
Pemberantasan filariasis dengan cara pengobatan merupakan pemberantasan jangka pendek
untuk mengurangi infection rate dan disease rate sehingga orang dapat bekerja dan berproduksi.

Pengobatan masal dengan DEC masih merupakan cara yang efektif untuk penanggulangan
filariasis saluran getah bening. Cara ini dipergunakan di daerah- daerah endemik, baik terhadap
penduduk asli maupun pendatang (transmigran).

Selama ini Indonesia melaksanakan pengobatan massal penyakit kaki gajah dengan dosis rendah
DEC (Diethyl Carbamazine Citrate) 100 mg untuk dewasa dan 50 mg untuk usia 2-10 tahun
selama 40 minggu, dengan keikutsertaan Indonesia dalam global eliminasi filariasis yang
dicanangkan WHO, maka saat ini digunakan kombinasi DEC 6 mg/kg berat badan dan
abendazole 400 mg (1 tablet) dan paracetamol (sesuai takaran) yang diberikan sekali selama 5
tahun dalam pengobatan massal filariasis.

Masalah pertama yang dihadapi adalah bahwa semua harus ditimbang dahulu sebelum dapat
ditentukan dosis obat yang harus diberikan. Masalah kedua dan yang terbesar ialah adanya efek
samping dari pengobatan dengan DEC, dimana memberi efek samping yang disebabkan oleh dua
hal; yang pertama ialah karena tidak tahan terhadap obatnya sendiri seperti pusing, mual muntah
dan sebagainya. Hal ini biasanya tidak berat sehingga jarang sampai mengharuskan penghentian
pengibatan. Efek samping yang lebih berat disebabkan karena terbunuhnya parasit yang
menyebabkan reaksi demam yang tinggi, sakit kepala, sakit seluruh badan, yang dapat timbul
beberapa jam setelah minum obat. Kemudian dapat timbul limfadenitis, limfangitis yang dapat
berlanjut sampai terjadi abses. Penderitaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu, sehingga orang banyak yang menolak minum obat.
Berbagai metoda untuk memberantas filariasis di Indonesia telah dilakukan, antara lain,
pengobatan masal dengan dosis standar di sekitar Bendungan Gumbasa di Sulawesi Tengah dan
di Banjar, Kalimantan Selatan. Pengobatan dengan dosis rendah yang diikuti oleh dosis standar
telah dilakukan di Kalimantan Selatan, Flores Barat, Kabupaten Batanghari, Jambi dengan hasil
yangsangatbaik.

Hasil pengobatan massal di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa terjadi penurunan


prevalensi setelah menerima pengobatan dengan diethylcarbamazine citrate (Filar-zan) dengan
dosis total yang diterima tiap orang 50 mg/kg BB, teijadi penurunan dari 25% menjadi 5% (12
bulan).

Hasil penelitian Sekar Tuti (1998) menunjukkan bahwa setelah 7 bulan pengobatan dengan
DEC-garam di Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan hasil yang bermakna dimana teijadi
penurunan terhadap Mf-rate dari 2,98% menjadi 0%.12 Pengobatan massal DEC yang dilakukan
di Sidondo dan enam desa di dataran Gumbasa dengan dosis 5 mg/kgbb. yang diberikan selama 6
hari berturut-turut (total 30 mg/kgbb) telah berhasil menurunkan prevalensi dari 28,5% menjadi
4,3% di Sidondo dan dari 24% menjadi 5% di dataran Gumbasa.

Pengendalian Vektor

Beraneka ragam spesies nyamuk yang berperan sebagai vektor rantai penularan penyakit belum
dapat dikontrol secara memuaskan karena belum adanya metode vektor kontrol yang tepat guna,
terutama vektor kontrol untuk spesies-spesies Mansonia dan Culex\ sehingga Pengendalian
vektor filariasis di Indonsia belum dilakukan secara khusus7, basanya digabung dengan kegiatan
pemberantasan malaria.

Pengendalian vektor filariasis di Indonesia belum dilakukan secara khusus. Pengendalian vektor
dapat dilakukan dengan berbagai cara: pengendalian secara kimiawi dan non kimiawi misalnya
pengendalian vektor dengan pengelolaan lingkungan, pengendalian vektor secara biologik dan
genetik.

Pengendalian vektor secara kimiawi

Dalam pengendalian vektor secara kiiniawi digunakan berbagai bahan kimia untuk membunuh
ataupun menghambat pertumbuhan serangga. Di Indonesia hingga sekarang yang banyak dipakai
dalam pengendalian vektor malaria yang seringkali sekaligus dapat mengendalikan vektor
filariasis, adalah penggunaan insektisida yang ditujukan untuk membimuh nyamuk dewasa
dengan cara penyemprotan tempat menggigit dan tempat istirahat vektor.

Hal ini seringkali tidak mencapai sasaran, karena yang biasanya disemprot adalah rumah tinggal,
sedangkan nyamuk menggigit atau istirahat di luar rumah, dan pada filariasis infeksi seringkali
teijadi jauh dari pemukiman misalnya di ladang dan tepi hutan, yang tidak teijangkau oleh
insektisida. Selain dari itu, karena vektor filariasis di Indonesia menyangkut lebih dari 20 spesies
nyamuk dengan bionomik yang berbeda-beda pula, cara penyemprotan tidak dapat diseragamkan
sebelum ada data yang lengkap tentang bionomik vektor.
Pengendalian vektor secara non kimiawi

Pengendalian vektor filariasis secara ini di Indonesia sebenarnya secara khusus belum dilakukan.
Yang sudah teijadi adalah efek samping dari pengelolaan lingkungan yang ditujukan untuk hal
lain terutama untuk pertanian seperti perubahan rawa menjadi lahan pertanian sehingga
mengurangi tempat perindukan nyamuk, atau membersihkan batang- batang air dari tumbuh-
tumbuhan air seperti Echorrtia crassipes dan Pistia, kangkung dan rumput-rumput yang juga
mengurangi tempat perindukan nyamuk. Sebaliknya perubahan lingkungan dapat juga
menambah tempat perindukan. Di daerah transmigrasi digali berbagai saluran air di daerah
pemukiman, yang kemudian dimasuki tumbuh-tumbuhan air, sehingga tempat perindukan
nyamuk lebih mendekati pemukiman.

Pembuatan kolam ikan di dekat rumah yang diberi tumbuh-tumbuhan air, juga mendekatkan
tempat perindukan nyamuk pada pemukiman. Cara mengurangi kontak antara vektor dan
manusia di daerah pedesaan masih belum terlaksana, terutama karena masih kurang pengertian
masyarakat dan keadaan ekonomi yang rendah. Pemakaian kelambu masih belum difahami
kegunaannya, dan penduduk seringkali hanya memakai kelambu bila dingin. Juga penggunaan
repellent seperti minyak sereh belum membudaya di Indonesia. Untuk cara pengendalian ini
masih diperlukan penyuluhan yang baik.

Pengendalian vektor filariasis secara biologik di Indonesia belum dilakukan. Untuk vektor
malaria pengendalian vektor dengan memakai ikan sebagai pemangsa sedang diteliti secara luas.
Pemakaian patogen seperti Bacillus thuringiensis dan Nematoda Romanomermis baru dalam
taraf penelitian laboratorium saja. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengendalian vektor filariasis
di Indonsia secara biologik masih dalam penelitian dini sekali. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pengendalian vektor filariasis di Indonesia belum dilakukan secara baik.

Cara-cara yang dapat dikembangkan adalah:

1. Penggunaan insektisida, yang didahului dengan penelitian bionomik vektor, sehingga


penyemprotan dapat mencapai sasarannya.

2. Pengendalian vektor secara non kimiawi dengan cara pengelolaan lingkungan, baik untuk
mengurangi, menghilangkan tempat perindukan ataupun mencegah, atau menghindari kontak
dengan vektor untuk hal ini perlu keijasama lintas sektoral dan yang lebih penting adalah
peranserta masyarakat yang dapat ditingkatkan melalui penyuluhan-penyuluhan yang adekuat.

Pengendalian Hospes Reservoir

Hingga sekarang belum ada data tentang pengendalian hospes reservoir filariasis di Indonesia.
Kera merupakan hewan yang dilindungi, sehingga sukar untuk membunuhnya secara besar-
besaran. Selain dari itu kera yang menjadi vektor filariasis sangat liar dan sukar ditangkap.
Barangkali pengendalian dapat dilakukan dengan menjauhkan kera dari manusia, sehingga
nyamuk yang didekat manusia tidak terkena infeksi dari kera itu. Kucing sebagai hospes
reservoir juga merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan, Jika mungkin barangkali
dilakukan pengobatan masal pada kucing- kucing, tapi jangkauan akan jauh lebih rendah
daripada manusia.

Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan

Agar target dan sasaran pemberantasan tercapai, masyarakat harus dilibatkan secara aktif untuk
ikut berperan dalam kegiatan pemberantasan8. Kemungkinan besar upaya penanggulangan yang
disertai peran serta masyarakat akan mencapai hasil yang diharapkan yaitu menurunnya
prevalensi penyakit sampai titik yang tidak membahayakan. Dalam kenyataannya peran serta
masyarakat dalam penanggulangan filariasis belum begitu tampak, karena tumbuhnya peran serta
memerlukan perubahan-perubahan terutama menyangkut sikap dan perilaku masyarakat yang
bersangkutan. Perubahan sikap dan perilaku masyarakat kelihatannya sangat mudah, karena
hanya menyangkut keadaan sehari-hari. Akan tetapi sampai saat ini perubahan itu sulit teijadi.
Hal ini karena upaya perubahan yang sering dilakukan kurang memperhatikan faktor yang
mendasari perubahan, yaitu proses penanaman nilai- nilai baru di bidang kesehatan, dalam hal ini
adalah pendidikan kesehatan.9

Melalui pendidikan, sedikit demi sedikit nilai-nilai lama yang melekat pada diri seseorang dan
atau dianut oleh masyarakat akan dilepaskan oleh orang/masyarakat tersebut. Penanaman nilai-
nilai baru tersebut paling tepat adalah melalui proses belajar. Bila seseorang menaruh evaluasi
yang tinggi terhadap nilai bahwa "pengobatan sangat bermanfaat bagi kesehatannya baik bagi
dirinya sendiri maupun masyarakat", maka orang tersebut akan cenderung bersikap positip
terhadap pengobatan, dalam arti mau menerima pengobatan. Bahkan selanjutnya akan
melakukan tindakan yang mendukung pengobatan misalnya ikut terlibat dalam pelaksanaan
pengobatan yaitu membantu dengan cara mengajak orang lain agar mau diobati. Jadi seseorang
berperilaku mendukung dan tidaknya upaya penanggulangan filariasis karena kemantapan
sikapnya yang didasarkan pada penilaian positip yang menumbuhkan kepercayaan.

Kepercayaan dalam hal ini meliputi manfaat dan kerugian yang akan dihadapi serta kepercayaan
bahwa dirinya dapat diserang penyakit. Kecenderungan orang untuk berperilaku secara potensial
terkandung di dalam sikapnya. Bila sikap seseorang dilandasi sikap positip dalam arti orang
tersebut harus menjaga kesehatannya agar tidak terinfeksi filaria, maka perilakunya juga positip.
Orang tersebut akan selalu berusaha menjaga agar tidak mudah terinfeksi. Oleh karena itu bila
setiap orang di daerah endemis melakukan hal semacam itu, maka bisa dijamin upaya
penanggulangan filariasis akan mencapai hasil seperti yang diharapkan, yaitu menurunnya
prevalensi penyakit sampai pada titik yang tidak membahayakan.

2.9 Gejala dan Upaya Pencegahan Filariasis

Gejala filariasis dapat berupa demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila
istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat. Pembengkakan kalenjar getah bening (tanpa luka)
dapat terjadi didaerah lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan panas dan sakit. Abses filarial
terjadi akibat seringnya pembengkakan kalenjar getah bening yang dapat pecah dan
mengeluarkan darah serta nanah. Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap
(elephantiasis) pada tungkai, buah dada dan alat kelamin. (Gandahusada,1990)
Upaya pencegahan penyakit fiariasis dapat dilakukan dengan cara :

1. Menghindari diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan menutup ruangan dengan kasa kawat,
memakai kelambu pada tempat tidur.

2. Memberantas nyamuk serta sumber perindukan yaitu dengan membersihkan lingkungan


tempat tinggal, menutup tempat penampungan air yang digunakan sebagai sarang nyamuk,
menguras bak mandi, menggunakan obat nyamuk.

3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk salah
satunya penyakit filariasis, sehingga masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pemberantasan
penyakit filariasis.

BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

1. Filariasis termasuk penyakit yang menjadi masalah kesehatan rakyat yang penting terutama
bagi daerah pedesaan di luar pulau Jawa-Bali karena mengakibatkan berkurangnya kemampuan
kerja masyarakat dan cacat yang ditimbulkannya.

2. Penanggulangan filariasis ditangani pada semua fase yaitu: pemberantasan parasitnya pada
semua hospes, pemberantasan vektornya dan penanganan lingkungan yang dapat mengganggu
kelestarian lingkaran hidupparasit.

3. Pengendalian vektor filariasis di Indonesia belum dilakukan secara khusus dan dilakukan
dengan berbagai cara meliputi pengendalian secara kimiawi dan non kimiawi.

4. Untuk pengendalian hospes reservoir belum cukup datanya, sehingga masih perlu banyak
penelitian tentang perilaku kera sebagai hospes reservoir dan kepentingannya sebagai hospes
reservoir. Untuk sementara perlu dilakukan penelitian bagaimana cara menjauhkan hospes
reservoir (kera) dari habitat manusia.

5. Upaya penanggulangan filariasis akan mencapai hasil seperti yang diharapkan bila disertai
peran serta masyarakat. Ini berarti perlu adanya perubahan yang menyangkut sikap dan perilaku
penduduk/masyarakat di daerah endemis filariasis.

4.2 SARAN

Puskesmas meningkatkan kegiatan penyuluhan tentang pentingnya menjaga kesehatan dan


menjelaskan upaya pencegahan penyakit filariasis kepada masyarakat. Serta dibutuhkan
kesadaran dari masyarakat untuk membantu pencegahan dan penanggulangan penyakit filariasis.

Anda mungkin juga menyukai