Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

ACUTE APPENDICITIS

1.1 Etiologi
Apendisitis dapat terjadi (1) tanpa penyebab yang jelas, (2) setelah obstruksi apendiks oleh
feses, (3) akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya.( Benson RC,2009)

1.2 Patogenesis

fekalit dan yang lebih jarang, batu empedu, tumor, atau gumpalan cacing (Oxyuriasis
vermicularis). Dengan berlanjutnya sekresi cairan musinosa, terjadi peningkatan tekanan
intralumen yang menyebabkan kolapsnya vena drainase. Obstruksi dan cedera iskemik
memudahkan terjadinya proliferasi bakteri dengan peningkatan edema dan eksudasi sehingga
aliran darah semakin terganggu. Namun, sebagian kecil apendiks tidak memperlihatkan obstruksi
lumen yang jelas, dan patogenesis peradangan tetap tidak diketahui. ( Benson RC,2009)
BAB II

PYOGENIC GRANULOMA

2.1 Etiologi
Lesi ini terjadi akibat proliferasi kapiler yang sering terjadi sesudah trauma, jadi bukan oleh
karena proses peradangan, walaupun sering disertai infeksi sekunder. Lesi biasanya soliter, dapat
terjadi pada semua umur, terutama pada anak-anak dan tersering pada bagian distal tubuh yang
sering mengalami trauma. Mula-mula berbentuk papul eritematosa dengan pembesaran yang
cepat. Beberapa lesi dapat mencapai ukuran 1 cm dan dapat bertangkai. Lesi mudah berdarah.(
Brashers VL,2008)

2.2 Patogenesis
Meskipun sebagian besar pasien (74,2%) tidak memiliki riwayat trauma atau predisposisi
kondisi dermatologi, dalam banyak kasus, riwayat trauma terbaru dapat menjadi penyebabnya.
Sejumlah besar lesi dapat terjadi karena kerusakan pada kulit daerah difus dengan luka bakar atau
trauma lainnya. Sebuah mekanisme oksida sintase yang tergantung nitrat diperkirakan
berkontribusi pada angiogenesis dan pertumbuhan yang cepat dari granuloma piogenik. Mereka
merupakan proliferations vaskular jinak, tetapi patofisiologi spesifik dari lesi ini tidak diketahui.
( Brashers VL,2008)
BAB III

CHOLESTEROL-ESTER GRANULOMA

3.1 Etiologi
Aterosklerosis terjadi akibat disfungsi endotel yang melapisi arteri. Aterosklerosis
mengaktifkan reaksi inflamasi dan pada banyak kasus menghasilkan radikal bebas. Kerusakan
dapat terjadi akibat cedera fisik seperti hipertensi, atau cedera kimia seperti peningkatan LDL,
infeksi, pajanan logam berat atau pajanan kimia.( Brown RG,2003)

3.2 Patogenesis
Karena ATH memiliki dampak klinis yang sangat luas, banyak dilakukan upaya untuk
mengungkapkan kausanya. Secara historis, terdapat dua hipotesis tentang aterogenesis yang
dominan: satu menekankan proliferasi sel di intima, sedangkan yang lain menekankan organisasi
dan pertumbuhan repetitif trombus. Pandangan kontemporer tentang patogenesis ATH
menyertakan elemen kedua teori lama tersebut serta mengakomodasi faktor risiko yang dibahas di
atas. Konsep ini yang disebut respons terhadap hipotesis jejas, menganggap ATH sebagai respons
peradangan kronis dinding arteri yang dipicu oleh jejas endotel. ( Brown RG,2003)
BAB IV

TOPHUS

4.1 Etiologi
Gout merupakan istilah yang dipakai untuk kelompok gangguan metabolik, sekurang-
sekurangnya ada sembilan gangguan yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat
(hiperurisemia). Masalah akan timbul jika terbentuk kristal-kristal monosodium urat monohidrat
pada sendi-sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal berbentuk seperti jarum ini
mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut akan menimbulkan nyeri hebat yang sering
menyertai serangan gout. Jika tidak diobati, endapan kristal akan menyebabkan kerusakan yang
hebat pada sendi dan jaringan lunak.( Corwin EJ,2009)

4.2 Patogenesis
Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat
serum,meninggi ataupun menurun.Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan
kristalmonosodium urat dari depositnya dalam tofi. Terdapat peranan temperatur, pH dan
kelarutan urat untuk timbul serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium urat pada
temperatur lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan,dapat menjelaskan mengapa
kristal MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut. ( Corwin EJ,2009)
BAB V

TBC

5.1 Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. M.tuberculosis
berbentuk batang, berukuran panjang 5 dan lebar 3, tidak membentuk spora dan termasuk
bakteri aerob.( Djuanda A,2010)

5.2 Patogenesis
Secara singkat, imunitas terhadap infeksi tuberkulosis diperantarai terutama oleh sel T dan
ditandai dengan pembentukan dua cabang hipersensitivitas dan munculnya resistensi terhadap
organisme. Hipersensitivitas disertai respons jaringan destruktif, sedemikian sehingga reaktivasi
atau pajanan ulang ke basil pada pejamu yang telah tersensitisasi menyebabkan mobilisasi cepat
reaksi pertahanan tetapi terjadi peningkatan nekrosis jaringan. Seperti hipersensitivitas dan
resistensi yang muncul secara paralel, demikian juga hilangnya hipersensitivitas (seperti
tuberkulin yang negatif pada orang yang dahulu tuberkulin positif) mungkin merupakan tanda
buruk hilangnya resistensi terhadap organisme tersebut. ( Djuanda A,2010)
BAB VI

LEPROSY

6.1 Etiologi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae
yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan ukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (
Fitriani R,2009)

6.2 Patogenesis
Sebenarnya Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang
lebih berat bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih
sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitasnya infeksinya. ( Fitriani R,2009)
BAB VII

MOLLUSCUM CONTAGIOSUM

7.1 Etiologi
Molluscum contagiosum adalah penyakit disebabkan oleh virus poks, klinis berupa papul-
papul, pada permukaanmya terdapat lekukan, berisi massa yang mengandung badan moluskum.
(Garg R.2012)

7.2 Patogenesis
Penyakit ini terutama menyerang anak dan kadang-kadang juga orang dewasa. Jika pada
orang dewasa digolongkan dalam Penyakit akibat Hubungan Seksual (PHS). Transmisinya
melalui kontak kulit langsung dan otoinokulasi. (Garg R.2012)
BAB VIII

SKIN CICATRIX

8.1 Etiologi
Keloid adalah pembentukan jaringan parut di kulit yang melebihi cedera awalnya akibat
trauma, cedera atau luka tusuk. Keloid mungkin timbul akibat genetik dan jenis jaringan parut ini
sering dijumpai pada orang Amerika keturunan Afrika.( Gupta S,2013)

8.2 Patogenesis
Keloid bekas luka tidak terjadi secara spontan, tetapi adalah hasil penyembuhan luka yang
berlebihan setelah kulit cedera, menunjukkan kelainan pada migrasi sel, proliferasi, peradangan,
sintesis dan sekresi kolagen dan komponen ECM lainnya, dan renovasi matriks luka. dalam hal ini
kertas, kami menyelidiki peran Stat3 di keloid patogenesis baik kulit normal dan bagian jaringan
keloid, serta dalam kultur sel fibroblast. Data kami menunjukkan bahwa ekspresi Stat3 dan
fosforilasi yang ditingkatkan dalam bagian jaringan keloid, lysates jaringan dan fibroblas, dan
Stat3 Tyr fosforilasi dimediasi oleh JAK2. Inhibisi dari Stat3 menggunakan Stat3 siRNA atau
inhibitor Aktivasi Jak2/Stat3, cucurbitacin I, penurunan produksi kolagen, proliferasi dan migrasi
KFs, ke tingkat yang sebanding dengan NFS. ( Gupta S,2013)
BAB IX

HYDROPIC CHANGE

9.1 Etiologi

Belum diketahui pasti. Ada yang menyatakan akibat infeksi, defisiensi makanan dan genetik.
Yang paling cocok ialah teori Acosta Sison yaitu defisiensi protein. Faktor risiko terdapat pada
golongan sosioekonomi rendah, usia di bawah 20 tahun dan paritas tinggi.( Hughes CM,2013)

9.2 Patogenesis

Virus yang membengkak ditutupi oleh epitel korion dari banal hingga sangat atipikal.
Diketahui terdapat 2 subtipe mola yaitu mola komplet dan mola parsial. Mola hidatidiformis
komplet tidak memungkinkan terjadinya embriogenesis sehingga sehingga tidak pernah
mengandung bagian janin. Semua vilus korion abnormal dan sel epitel korion bersifat diploid.
Mola hidatidiformis parsial masih memungkinkan pembentukan mudigah awal sehingga
mengandung bagian-bagian janin,memiliki beberapa vilus korion yang normal dan hampir selalu
triploid. Kedua pola terjadi karena kelainan pembuahan; pada mola komplet, sebuah telur kosong
dibuahi oleh 2 spermatozoa, menghasilkan kariotipe diploid, sedangkan pada mola parsial sebuah
telur normal dibuahi oleh 2 spermatozoa sehingga terbentuk kariotipe triploid. ( Hughes
CM,2013)
BAB X

HYALIN CHANGE

10.1 Etiologi

Leiomioma adalah tumor pelvis yang paling sering, terjadi pada kira-kira 25% wanita kulit
putih dan 50% kulit hitam pada umur 50 tahun. Meskipun penyebabnya tidak diketahui, setiap tumor
(98% multipel) berasal dari satu sel otot (apakah sisa sel embrionik atau otot polos pembuluh darah,
tidak jelas). Sel ini membesar sebagai respons terhadap estrogen.( Kakar AK,2006)

10.2 Patogenesis

Umumnya tumor ini terdiri dari otot polos dan sebagian jaringan fibrosa. leiomioma
diklasifikasikan menurut tempatnya. Tumor intramular tempatnya di dalam dinding otot uterus dan
dapat merusak bentuk rongga uterus, atau dapat menonjol pada permukaan luar. Tumor subserosa
dibawah lapisan serosa dan menonjol eula dari permukaan uterus. Tumor submukosa dibawah lapisan
endometrium. Tumor-tumor ini dapat bertangkai dan menonjol keluar uterus, melalui ostium serviks
ke dalam vagina atau keluar lewat lubang vagina. Dapat terjadi infeksi. Tumor ini dapat berdegenerasi
karena perubahan aliran darah yang menuju tumor akibat pertumbuhan, kehamilan, atau atrofi uterus
pada menopause. Kebanyakan leioioma tidak menimbulkan gejala sehingga tidak memerlukan
penanganan tapi dapat terjadi pendarahan yang menyebabkan anemia, penekanan kandung kemih, dan
lainnya. Pada beberapa kasus perlu histerektomi seperti pendarahan abnormal uterus khusus pada
perempuan perimenopause. ( Kakar AK,2006)
DAFTAR PUSTAKA

1. Benson RC, Pernoll ML. Buku Saku Obstetri & Ginekologi. Ed. 9. Jakarta: EGC; 2009.

2. Brashers VL. Aplikasi Klinis Patofisiologi. Ed. 2. Jakarta: EGC; 2008.

3. Brown RG, Burns T. Lecture Notes on Dermatologi. Ed. 8. Jakarta: Erlangga; 2003.

4. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Ed. Rev. 3. Jakarta: EGC; 2009.

5. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi BE, Natahusada EC dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Ed. VI. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.

6. Fitriani R. Mola Hidatidosa. Jurnal Kesehatan. 2009;2(4):1-6.

7. Garg R. Two Uncommon Presentation of Cervical Fibroids. Peoples Journal of Scientific


Research. 2012 Jul;5(2):36-38.

8. Gupta S, Tyagi S, Almeida DV, Maiga MC, Ammerman NC, Bishai WR. Accelaeration of
Tuberculosis Treatment by Adjunctive Therapy with Verapamil as an Efflux inhibitor.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 2013 Sep 1;188(5):600-607.

9. Hughes CM, Damon IK, Reynolds MG. Understanding U.S. Health Providers Practices and
Experiences with Molluscum Contagiosum. PloS ONE. 2013 Oct 14;8(10):e7698.

10. Kakar AK, Shahzad M, Haroon TS. Keloids: clinical features and management. Journal of
Pakistan Association of Dermatologists. 2006;16:97-103.

Anda mungkin juga menyukai