Anda di halaman 1dari 32

ANALISA KEBIJAKAN MENGENAI KESEHATAN MENTAL DI NEGARA

INDONESIA, MALAYSIA, PHILIPINA, AUSTRALIA

Fasilitator : Ns. Kumboyono, S.Kep., M.Kep


Mata Kuliah Kecenderungan Isue Keperawatan

Oleh:

1. Angela 1660703001110
2. Ayu Wahyuni 1660703001110
3. Faris Cahyono 166070300111043
4. Ida Rahmawati 166070300111025
5. Iriene Kusuma W 166070300111052
6. Yanti Rosdiana 1660703001110
7. Yabani Azmi 1660703001110

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


PEMINATAN JIWA DAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan yang sangat pesat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri telah
membawa dampak pada kehidupan manusia. Masyarakat dituntut untuk beradaptsi
dengan perubahan yang sangat cepat. Sementra di sisi lain, disadari atau tidak, kondisi
itu sangat rawan memunculkan berbagai masalah kesehatan jiwa, baik bagi individu
maupun kelompok masyarakat. misalnya psikomatik, depresi, cemas, insomnia, dan
gangguan psikotik (Thong, 2011).
Masalah kesehatan jiwa terus meningkat dan menjadi perhatian serius secara global.
Persoalan ini tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan saja, tapi juga berpengaruh
pada berbagai masalah sosial dan ekonomi. Dari data WHO Mental Health Survey,
Kesler dkk (2009) menyebutkan bahwa gangguan jiwa adalah problem yang sering
muncul dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat umum. Gangguan ini lebih
sering timbul pada usia muda, dibandingkan dengan penyakit kronis lain. Yang
lebih memprihatinkan adalah bahwa gangguan ini menimbulkan beban yang berat bagi
masyarakat. Selanjutnya dari WHO Fact Sheed No. 396 (2014) disebutkan bahwa
secara global 400 juta orang menderita depresi, 60 juta mengalami gangguan
afektif bipolar, 21 juta orang menderita skizophrenia, 35 juta mengalami demensia.
Namun demikian sebagian besar sistem kesehatan di dunia belum memberikan
penanganan yang memadai terhadap beban dari gangguan jiwa ini.
Di Indonesia, masalah kesehatan jiwa sampai saat ini juga masih belum menjadi
prioritas bagi pemerintah (Thong, 2011). Padahal dalam realitas sehari-hari
persoalan ini semakin hari semakin serius. Banyak pasien yang datang ke pelayanan
primer (puskesmas) dengan keluhan fisik, namun tidak ditemukan bukti gangguan fisik,
sehingga diduga berawal dari masalah psikologis. Khusus (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan
bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala
depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14
juta orang, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000
penduduk atau sekitar 400.000 orang (Kemenkes, 2014). Masih menurut Riskesdas
(Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007, didapatkan data nasional tentang angka kejadian
gangguan jiwa berat (skizofrenia) di Jawa Timur sebesar 1,4% dan Surabaya tercatat
sebanyak 0,2%. Sedangkan gangguan mental emosional (seperti kecemasan, depresi, dll)
sebesar 35% dan di Surabaya tercatat 18,8% (Dinkes Surabaya, 2013). Di Jawa Timur
penderita gangguan jiwa yang harus di pasung oleh keluarganya terdeteksi dalam jumlah
banyak. Dinas Kabupaten Magetan saja mencatat, 200 jiwa penduduknya mengidap
gangguan jiwa. Dari jumlah itu 32 di antaranya harus dipasung. Untuk itu Tahun 2014
Kabupaten Magetan menganggarkan Rp2 miliar untuk pengobatan warga yang
menderita gangguan jiwa.Sementara itu Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur mencatat
sedikitnya 731 warga penderita gangguan jiwa di 26 kabupaten/kota masih dipasung.
Jumlah ini meningkat dinadingkan dengan provinsi lain yang ada di Indonesia (Bappeda,
Jatim, 2014).
Prevalensi gangguan jiwa dari Negara lain seperti yang disampaikan oleh Fatimah
Abdullah (2013) mengatakan di Negara Malaysia masalah kesehatan mental mengalami
peningkatan sebesar 11 % dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. 11.0 % dewasa, 20.3 %
anak-anak, 14.4 % remaja usia 16-19 tahun, dan 19.5% terjadi pada lansia dengan usia
70-74 tahun.
Philipna jumlah pasien dengan Skizofrenia sebanyak 57% dan gangguan mood
sebesar 19% (WHO, 2007).
Australia, prevalensi penyakit mental health pada tahun 2007, Biro Statistik
Australia (ABS) yang dilakukan National Survey kedua Kesehatan Mental dan
Kesejahteraan. Survei ini melibatkan sekitar 8.800 orang berusia lebih dari 16 tahun dan
tinggal di rumah pribadi di seluruh negara bagian dan teritori Australia, didapatkan hasil
(a) Hampir satu dari lima warga Australia yang disurvei telah mengalami gejala
gangguan mental selama periode 12 bulan sebelum survei. (b) gangguan kecemasan yang
paling umum - 14,4%, diikuti oleh gangguan afektif - 6,2% (dari yang depresi adalah
4,1%), dan penggunaan gangguan zat - 5,1% (dari yang 4,3% alkohol terkait). (c)
Persentase orang yang memenuhi kriteria untuk diagnosis dari penyakit mental tertinggi
pada orang yang lebih muda, dengan prevalensi menurun dengan usia. Dua puluh enam
persen dari anak usia 18-24 tahun mengalami gangguan mental, sementara hanya 5,9%
dari orang berusia 65 tahun ke atas mengalami gangguan mental. (d) Orang menganggur
atau tidak dalam angkatan kerja yang dibayar memiliki tingkat tertinggi gangguan
mental, tingkat prevalensi 26% untuk laki-laki pengangguran dan 34% untuk perempuan
menganggur. (e) Mereka dengan gangguan mental rata-rata tiga hari dari peran (yaitu
tidak dapat melakukan aktivitas normal karena masalah kesehatan) selama periode empat
minggu. Ini dibandingkan dengan satu hari dari peran untuk orang yang tidak kondisi
fisik atau mental (Biro Statistik ustralia, 2007).
Kelompok mengambil perbandingan dari Negara Philipina dengan alasan bahwa
pada tahun 2011, WHO menemukan bahwa 16% dari siswa Philipina berusia 13 sampai
15 tahun telah serius untuk mencoba bunuh diri. Sementara itu, 13 % benar-benar telah
mencoba bunuh diri. Selain itu karena kurangnya professional kesehatan mental,
fasilitas, dana, dan hukum nasional (Fizrie, 2015).Untuk Negara Australia, kelompok
memilih Negara tersebut karena merupakan salah satu Negara berkembang yang ada
didunia, sehingga kami ingin membandingkan kebijakan Negara tersebut terhadap
kebijakan pada gangguan jiwa di Indonesia.Sedangkan di Malaysia, merupakan Negara
tetangga yang mempunyai kebudayaan dan ras yang hamper sama dengan Negara
Indonesia. Sehingga kelompok perlu mengetahui apakah Negara Malaysia mempunyai
kebijakan yang sama dalam menanganai gangguan jiwa di pelayanan primer. Selain alas
an tersebut, seperti yang disampaikan oleh Dato Suarn Singh dalam sambutannya tentang
Psychiatric and Mental Health Service Operational Policy yang tertuang dalam
Malaysia National Mental Health Policy (1988) mengatakan bahwa gangguan mental
berkontribusi sebesar 7,3 % dari penyakit di Malaysia, dan merupakan ranking kedua
setelah penyakit Kardiovaskular.
Untuk melakukan pelayanan kesehatan khususnya kesehatan jiwa diperlukan
adanya sumber daya kesehatan, salah satunya adalah fasilitas pelayanan kesehatan.
Salah satu fungsi utama dari pemerintah yaitu membuat kebijakan publik. Pemerintah
pusat dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab terhadap penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Pemerintah sampai saat ini masih menganggap
kesehatan jiwa tidak lebih penting dibanding kesehatan fisik. Hal ini, antara lain
dibuktikan dengan jumlah anggaran untuk kesehatan jiwa yang dialokasikan oleh
pemerintah setiap tahunnya, sangat kecil. Saat ini anggaran untuk layanan
kesehatan mental sangat terbatas yaitu hanya 1% dari seluruh total anggaran. Hal
tersebut mengakibatkan fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan
jiwapun sangat minim. Kurangnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro pada
kesehatan jiwa berdampak pada kurangnya perhatian pemerintah terhadap masalah
kesehatan jiwa (Hidayat, 2010).
Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan pelayanan kesehatan jiwa yang
komprehensif dan holistik. Salah satu pelayanan kesehatan yang dekat dan sebagai ujung
tombak dari fasilitas pelayanan primer di masyarakat adalah puskesmas. Puskesmas
sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat harus mempunyai tenaga
yang handal agar promosi, prevensi, kurasi dan rehabilitasi terhadap masyarakat yang
menderita sakit, beresiko sakit maupun masyarakat yang sehat bisa dilakukan secara
menyeluruh termasuk didalamnya adalah pelayanan kesehatan jiwa. Perawat sebagai
salah satu tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas diharapkan mampu memberikan
pelayanan yang komprehensif, holistik dan kontinyu dan paripurna pada masyarakat
yang mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa di wilayah kerjanya.
Peranan perawat di pelayanan primer seperti puskesmas sangat penting dalam
penanganan dan memberikan asuhan keperawatan di area komunitas (CMHN). Tindakan
yang dapat dilakukan perawat adalah pada tahap promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitative. Dalam hal ini perawat tidak dapat bekerja sendiri melainkan harus
bekerjasama dengan pemerintah pusat, pemerinah daerah, tokoh masyarakat, keluarga,
dokter spesialis jiwa, psikiatri, psikologi, dan perawat spesialis jiwa, agar dapat
menurunkan angka kejadian health mental disorder di masyarakat.
Oleh karena itu, melalui makalah ini, penulis akan mengulas secara mendalam
mengenai analisa kebijakan pada gangguan mental di Negara Indonesia, Malysia,
Philipina, Australia.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah analisa kebijakan pada gangguan mental di Negara Indonesia,
Malysia, Philipina, Australia?
1.3 Tujuan
Tujuan Umum:
Mengetahui kebijakan pada gangguan kesehatan mental di Negara Indonesia, Malysia,
Philipina, Australia
Tujuan Khusus:
1 Mengidentifikasikonsepkebijakan kesehatan menal di setting komunitasdi
Indonesia, Thailand, Malaysia, Australia
2 Menganalisis perbedaan kebijakan kesehatan menal di setting komunitasdi
Indonesia, Thailand, Malaysia, Australia
1.4 Ruang Lingkup
Batasan pembahasan yang diuraikan dalam makalah ini adalah tentang perbedaan
Kebijakan pemerintah tentang kesehatan mental di Negara Indonesia, Malaysia, Amerika,
Australia, dan Philipina.
1.5 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan merupakan sumberbacaan
tentang upaya pelaksanaan kesehatan jiwa, permasalahan atau kendala dalam pelaksanaan
kebijakan serta memberikan masukan bagi pemangku kebijakan di pemerintahan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gangguan Jiwa


2.1.1 Definisi

Gangguan jiwa adalah perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan yang masuk akal,
berlebihan, berlangsung lama, dan menyebabkan kendala terhadap individu tersebut atau
orang lain. ( Suliswati, 2005). Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi dan
dapat dialami oleh setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-
ekonomi.
Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan
(volition),emosi (affective), tindakan (psychomotor). Dari berbagai penelitian dapat dikatakan
bahwagangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik
yangberhubungan dengan fisik, maupun dengan mental.Keabnormalan tersebut dibagi ke
dalamdua golongan yaitugangguan jiwa (neurosa) dan sakit jiwa(psikosa).
Keabnormalanterlihat dalam berbagai macam gejala yang terpenting diantaranya adalah
ketegangan(tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang
terpaksa(convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut dan pikiran-
pikiran buruk (Yosep, 2009).

2.1.2 Penyebab Gangguan Jiwa

Menurut Suliswati (2005), gangguan jiwa dapat disebabkan oleh berbagai faktor
berikut :
a. Suasana rumah antara lain (sering bertengkar, salah pengertian diantara anggota
keluarga, kurang kebahagiaan dan kepercayaan di antara anggota keluarga) sehingga
dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada seorang individu.
b. Pengalaman masa kanak-kanak. Kasih sayang yang cukup, bimbingan yang sesuai,
memberikan semangat dan disiplin merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan
yang sehat dari seseorang.
c. Faktor keturunan. Pada beberapa kasus gangguan jiwa, kemungkinan didapatkan pula
anggota keluarga lainnya, yang menderita penyakit yang sama.
d. Perubahan dalam otak. Setiap perubahan dalam struktur/ fungsi otak, dapat
menyebabkan gangguan jiwa. Perubahan biokimiawi pada sel-sel adalah penyebab
yang banyak dari gangguan psikotik.
e. Faktor lain: Bila seorang individu tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk
hidup sebagai anggota masyarakat yang diterima dan dihargai, kemiskinan,
pengangguran, ketidakadilan, ketidakamanan, persaingan yang berat dan diskriminasi
sosial dapat menimbulkan gangguan.

2.1.3 Klasifikasi Gangguan Jiwa


Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa berat/kelompok
psikosa dan (2) gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional
yang berupa kecemasan, panik, gangguan alam perasaan, dan sebagainya. Untuk
skizofrenia masuk dalam kelompok gangguan jiwa berat (Yusuf et al, 2015).

Menurut Yusuf et al (2015) Klasifikasi diagnosis keperawatan pada pasien


gangguan jiwa dapat ditegakkan berdasarkan kriteria NANDA (North American
Nursing Diagnosis Association) ataupun NIC (Nursing Intervention Classification)
NOC (Nursing Outcame Criteria). Untuk di Indonesia menggunakan hasil penelitian
terhadap berbagai masalah keperawatan yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa.
Pada penelitian tahun 2000, didapatkan tujuh masalah keperawatan utama yang paling
sering terjadi di rumah sakit jiwa di Indonesia, yaitu:

1. Perilaku kekerasan

2. Halusinasi

3. Menarik diri

4. Waham

5. Bunuh diri

6. Defisit perawatan diri

7. Harga diri rendah.

Hasil penelitian terakhir, yaitu tahun 2005, didapatkan sepuluh diagnosis


keperawatan terbanyak yang paling sering ditemukan di rumah sakit jiwa di Indonesia
adalah sebagai berikut :

1. Perilaku kekerasan
2. Risiko perilaku kekerasan

3. Gangguan persepsi sensori: halusinasi

4. Gangguan proses piker (waham)

5. Kerusakan komunikasi verbal

6. Risiko bunuh diri

7. Isolasi social

8. Kerusakan interaksi social

9. Defisit perawatan diri (mandi, berhias, makan, eliminasi)

10. Harga diri rendah kronis.

2.2 Kebijakan Kesehatan Jiwa dan Penanganannya di Indonesia.


Masalah kesehatan jiwa semakin memprihatinkan di seluruh dunia dan
diprediksi, pada tahun 2020 masalah ini akan menempati posisi ke2 penyebab beban
penyakit. Di Indonesia, gangguan jiwa masih menjadi masalah kesehatan mental yang
perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku kebijakan kesehatan nasional. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menemukan prevalensi gangguan jiwa berat
(psikosi/skizofrenia) berjumlah 1,7 permil dari populasi atau sebanding dengan
400.000 penderita.

Deinstitusionalisasi adalah kebijakan di bidang kesehatan jiwa yang dimulai di


negara-negara maju sekitar tahun 1950. Kebijakan tersebut telah dilakukan di
Indonesia, meskipun informasi tentang keberhasilan dan kegagalan masih terbatas
pada pendapat profesional di kalangan psikiatri. Kebijakan tentang kesehatan jiwa
sudah dimulai dari awal kemerdekaan seperti yang tercantum Undang Undang Dasar
RI Tahun 1945. Dilanjutkan dengan beberapa perubahan yang dilakukan pada UUD
1945 secara singkat seperti pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27, Pasal 28(H) ayat (1),
dan Pasal 34 ayat (3) yang intinya tentang semua warga negara mempunyai hak yang
sama, termasuk dalam mendapat pelayanan kesehatan. Dilanjutkan dengan Undang
Undang No. 9 Tahun 1960 (Lembaran Negara tahun 1960 No.131) Pasal 2 tentang
undang-undang pokok kesehatan yang mecantumkan bahwa kesehatan jiwa
merupakan bagian dari sehat menurut ilmu kedokteran dan dalam undang-undang
pokok kesehatan, dikatakan kesehatan meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan
sosial. PadaUndang-Undang No. 3 Tahun 1966, yang memberikan dukungan
kuatbagipenyelenggaraankesehatanjiwa.

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, bagian ketujuh


kesehatan jiwa Pasal 24 (1) Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa
yang sehat secara optimal baik intelektual maupun emotional. (2) Kesehatan jiwa
meliputi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan jiwa, pencegahan dan
penanggulangan masalah psikososial dan gangguan jiwa, penyembuhan dan
pemulihan penderita gangguanjiwa. (3) Kesehatan jiwa dilakukan oleh perorangan,
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan
masyarakat, didukung sarana pelayanan kesehatan jiwa dan sarana lainnya. Pasal 25
(1) Pemerintah melakukan pengobatan dan perawatan, pemulihan, dan penyaluran
bekas penderita gangguan jiwa yang telah selesai menjalani pengobatan dan atau
perawatan ke dalam masyarakat. (2) Pemerintah membangkitkan, membantu, dan
membina kegiatan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan masalah
psikososial dan gangguan jiwa, pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa,
pemulihan serta penyaluran bekas penderita ke dalam masyarakat. Pasal 26 (1)
Penderita gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan
ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan kesehatan jiwa atau
sarana pelayanan kesehatan lainnya. (2) Pengobatan dan perawatan penderita
gangguan jiwa dapat dilakukan atas permintaan suami atau istri atau wali atau anggota
keluarga penderita atau atas prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan
dan ketertiban di wilayah setempat atau hakim pengadilan bilamana dalam suatu
perkara timbul persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita gangguan
jiwa.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor:220/Menkes/Sk/III/2002 tentang tentang Pedoman Umum Tim Pembina, Tim
Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat. Undang-Undang No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Kesehatan dan Rumah Sakit Republik
Indonesia Tahun 2010. Pada Bab IX Kesehatan Jiwa, Pasal 144 (1) Upaya kesehatan
jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan
yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu
kesehatan jiwa. (2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah
psikososial. (3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (4)
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan
kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan,
aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud
dalam pada ayat (2). (5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk
mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya
kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan jiwa. Pasal 145 Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
menjamin upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif,
termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 144 ayat (3). Pasal 146 (1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi
dan edukasi yang benar mengenai kesehatan jiwa. (2) Hak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk menghindari pelanggaran hak asasi seseorang yang
dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah
berkewajiban menyediakan layanan informasi dan edukasi tentang kesehatan jiwa.
Pasal 147 (1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan
tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. (2) Upaya
penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi
penderita. (3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas
pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan. Pasal 148 (1) Penderita gangguan jiwa mempunyai
hak yang sama sebagai warga negara. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan
perundang undangan menyatakan lain. Pasal 149 (1) Penderita gangguan jiwa yang
terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain,
dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan
pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. (2) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di
fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar,
menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau
mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum. (3) Pemerintah dan pemerintah
daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat. (4) Tanggung jawab Pemerintah
dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan
pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin. Pasal
150 (1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et
repertum psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa
pada fasilitas pelayanan kesehatan. (2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang
yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang
mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa di sini lebih


terperinci tentang penanganan dan sistem pengelolaan pelayanan kesehatan jiwa
secara menyeluruh. Kebijakan kesehatan jiwa disusun dengan mengacu pada sistem
kesehatan nasional dengan memperhatikan situasi nasional dan global. Sebagai
contohnya, kebijakan kesehatan jiwa telah mencantumkan aspek pelayanan primer,
sekunder serta tersier. Dengan demikian, ada pembagian tugas yang jelas di berbagai
tingkat pelayanan kesehatan. Di tingkat pelayanan primer pada puskesmas dan
kesehatan jiwa masyarakat diberikan pelayanan dasar yang dilakukan oleh dokter
umum. Pelayanan tingkat sekunder lebih ditujukan pada penguatan rumah sakit umum
dalam pelayanan kesehatan jiwa untuk mendukung dan memperkuat pelayanan
puskesmas. Pelayanan tersier lebih diarahkan kepada upaya kesehatan rujukan
spesialistik serta pendidikan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan jiwa.

Kebijakan umum kesehatan jiwa tersebut mencakup seluruh upaya kesehatan


jiwa yang harus dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip dasar yang telah
ditentukan. Berbagai prinsip dasar tersebut meliputi partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat, sifat multidisiplin yang sesuai dengan konsep desentralisasi. Hal tersebut
dilakukan pada seluruh siklus kehidupan dan dengan strategi surveilans, promotif,
preventif dan manajemen pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas.

2.2.1 Kendala-kendala yang Muncul


Kebijakan kesehatan jiwa sudah lama ditetapkan tapi masih ditemukan
kendala yang sampai sekarang belum bisa teratasi. Suatu kebijakan akan berkembang
menjadi efektif apabila mempunyai komponen yang tertuang dalam aspek legal yang
antara lain meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri hingga
Peraturan Daerah yang memberikan kemungkinan untuk diimplementasikan. Di
samping perangkat hukum tersebut, suatu kebijakan baru dapat diimplementasikan
apabila mendapat dukungan pembiayaan yang memadai serta pemantauan dan
evaluasi terhadap pelaksanaan. Suatu dokumen tertulis tentang kebijakan dinyatakan
ada jika telah diimplementasikan, betapapun baiknya suatu kebijakan jika tidak
dilaksanakan maka kebijakan tersebut dapat dinyatakan tidak ada. Saat ini, kebijakan
bidang kesehatan jiwa di Indonesia belum didukung oleh dana yang memadai atau
bahkan tidak mendapat alokasi dana sama sekali, sehingga dapat dipahami jika
beberapa kalangan menganggap bahwa kebijakan tersebut belum ada (Idaiani, 2010).

Kurang terkoordinasinya pelayanan kesehatan jiwa dan kurangnya jumlah


tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian khusus di bidang kesehatan jiwa.
Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan tentang standar minimal rumah sakit, setiap
rumah sakit harus menyediakan pelayanan kesehatan jiwa. Namun masih banyak
rumah sakit yang belum mempunyai pelayanan kesehatan jiwa / poli jiwa.

2.2.2 Rekomendasi Penanganan Gangguan Jiwa


Beberapa upaya dapat ditempuh untuk memelihara kelangsungan program
kesehatan jiwa, antara lain tetap menjalankan kebijakan kesehatan jiwadan upaya
advokasi untuk mendapatkan anggaran yang memadai. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan memasukkan berbagai isu internasional dan local spesifik serta
mempersiapkan landasan hukum yang merupakan salah satu persyaratan pengajuan
pendanaan.Selain itu juga, perlu ditingkatkan jumlah sarana pelayanan kesehatan jiwa
dan tenaga medis dan perawat jiwasertapengadaan obatobat psikotropika generasi
baru. Semakin baik obat psikofarmarka yang digunakan, semakin kecil pula efek
samping yang tidakdiinginkan sehingga pasien dapat melakukan fungs isosialnya dan
diterima oleh masyarakat.

Dukungan politis yang kuat, semangat penyelenggara yang pantang menyerah


dan ketulusan serta kepedulian dari seluruh komponen masyarakat sangat diharapkan
untuk menggapai kesehatan jiwa masyarakat. Tugas kesehatan jiwa masyarakat di
abad 21 adalah membangun dukungan dari para pembuat kebijakan dan masyarakat
dengan tujuan utama untuk mendapatkan anggaran yang memadai guna
meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa untukseluruh masyarakat (Idaiani, 2010).

2.3 Kebijakan Kesehatan Jiwa dan Penanganannya di Filipina

2.3.1 Proses dalam Perawatan Sistem Kesehatan

Ada tiga tingkatan dalam sistem perawatan kesehatan : primer, sekunder, dan
tersier perawatan kesehatan primer berfungsi sebagai titik pertama pasien dari kontak
dengan seorang profesional kesehatan yang dapat memberikan perawatan medis rawat
jalan. Jika dokter umum tidak dapat mengatasi masalah pasien, maka pasien dirujuk
ke dokter spesialis. Spesialis perawatan kesehatan mental, yang termasuk ke
perawatan kesehatan sekunder, termasuk psikolog dan psikiater. Di Filipina, yang
paling psikiater dalam praktek swasta, meskipun beberapa pekerjaan di lembaga-
lembaga pemerintah seperti Pusat Nasional untuk Kesehatan Mental. Psikiater
menyediakan pasien dengan layanan seperti penilaian, konseling, dan / atau obat resep
jika diperlukan. Dalam perawatan kesehatan tersier, pasien akan dirujuk ke lembaga
jika penyakit mental membutuhkan perawatan khusus yang berada di luar kemampuan
spesialis.

Beberapa sistem perawatan kesehatan menempatkan psikolog dan psikiater di


bawah kategori penyedia perawatan primer. Dalam hal ini, rumah sakit tetap pendek
dan layanan konsultasi-penghubung ke departemen medis lainnya akan jatuh di bawah
perawatan kesehatan sekunder.Penyakit mental serius akan membutuhkan rehabilitasi,
yang merupakan ruang lingkup pelayanan kesehatan tersier.

2.3.2 Lembaga

Fasilitas kesehatan mental dan lembaga diselenggarakan di Filipina oleh kedua


kelompok swasta dan publik, tetapi akses ke mereka tetap tidak merata di seluruh
negeri.Sebagian besar fasilitas terletak di Kawasan Ibu Kota Nasional (NCR) dan
kota-kota besar lainnya di negeri ini, sehingga mendukung mereka yang tinggal di
dekat daerah-daerah perkotaan.

2.3.3 Pusat Nasional untuk Kesehatan Mental

The National Center for Mental Health (NCMH) , awalnya bernama Insular
Rumah Sakit psikopat, didirikan pada tahun 1925 di bawah Pekerjaan Umum Act
3258. Pada saat itu, Kota Sanitarium dan Rumah Sakit San Lazaro adalah satu-
satunya lembaga utama yang melayani kebutuhan sakit mental. Namun, karena
volume besar pasien berdatangan, ada kebutuhan untuk membangun lembaga lain
yang bisa menyediakan kebutuhan pasien sakit mental. Situs 64 hektar terletak di
Mandaluyong .

Lembaga ini resmi dibuka pada 17 Desember 1928, menerima 379 pasien
yang semuanya berkerumun di Rumah Sakit San Lazaro. Pada tahun 1930, kapasitas
tempat tidur meningkat menjadi 800, meskipun jumlah total pasien berada di 836.
Dua paviliun ditambahkan untuk meningkatkan kapasitas tempat tidur untuk 1.600.
Pada tahun 1935, Kota Sanitarium ditutup, dan meninggalkan NCMH dengan 1.646
pasien untuk melayani.

Selain menjadi rumah sakit, NCMH diberi wewenang oleh Departemen


Kesehatan sebagai Penelitian Training Center khusus. Menurut situs NCMH , rumah
sakit ini "mandat untuk membuat berbagai komprehensif (preventif, promotif, kuratif
dan rehabilitatif) pelayanan kesehatan mental yang berkualitas nasional". Selain dari
ini, NCMH juga menawarkan program pelatihan psikiatris residensi 4 tahun untuk
dokter dan program kejiwaan keperawatan 2 tahun untuk perawat yang
mengkhususkan diri dalam perawatan kejiwaan. Ada juga program afiliasi yang
diperuntukkan untuk siswa dari bidang psikologi, farmasi, dan keperawatan, antara
lain. NCMH saat ini menempati 46,7 hektar lahan, dengan 35 paviliun / cottage, dan
52 bangsal, serta fasilitas seperti klinik kesehatan, perpustakaan, kapel, ruang
konferensi, lapangan tenis, lapangan basket, aula serbaguna dan asrama. Pada 2011,
jumlah staf adalah sebagai berikut: 88 dokter, 890 perawat, 116 personel tambahan
medis, dan 446 staf pendukung administrasi. Rumah sakit ini juga diterima dari
pemerintah alokasi anggaran senilai PHP 523, 982, 000, yang biaya rata-rata Php
118,61 per pasien per hari.

Saat ini, NCMH memiliki kapasitas tempat tidur dari 4.600 dan melayani rata-
rata 3.000 di-pasien setiap hari, selain 56, 000 pasien rawat jalan per tahun.
Kebanyakan pasien datang dari Metro Manila dan daerah terdekat III dan IV. Mereka
juga melayani pasien dari daerah lain, sering kasus forensik disebut oleh pengadilan.
Subsidi untuk perawatan diberikan kepada 87% dari pasien rawat inap yang milik
kelas C dan D. Lembaga menerima nya ISO 9001: 2008 sertifikasi pada 2 Desember
2015.

2.3.4 Filipina Mental Health Association, Inc.

Filipina Mental Health Association, atau PMHA , adalah "non-saham,


organisasi swasta, non-profit yang didedikasikan untuk promosi kesehatan mental dan
pencegahan gangguan mental."Kantor pusatnya terletak di Kota Quezon dengan
sembilan bab semua atas Filipina: PMHA Bacolod-Negros Occidental , Baguio-
Bengkulu , Cabanatuan-Nueva Ecija , Cagayan de Oro-Misamis Oriental , Cebu ,
Dagupan-Pangasinan , Davao , Dumaguete-Negros Oriental , dan Lipa-Batangas .
Didirikan pada tanggal 15 Januari, 1950 dengan Dr. Manuel Arguelles sebagai
presiden karena panggilan untuk penilaian masalah kesehatan mental yang disebabkan
oleh Perang Dunia II . Saat ini, program-program mereka berkisar dari Pendidikan
dan Layanan Informasi (EIS), Clinical dan Diagnostik Services (CDS), dan Jasa
Intervensi (IS). The PMHA menyediakan program bimbingan dan pendidikan untuk
pemuda melalui kemitraan dengan berbagai sekolah swasta dan publik dan perguruan
tinggi di dalam negeri.Mereka juga menyelenggarakan seminar dan lokakarya untuk
kesehatan mental pemuda melalui lengan EIS mereka.

Asosiasi resmi memperluas layanan kepada populasi orang dewasa pada tahun
1960.Saat ini mereka psikiatris, psikologis, dan konseling untuk semua sektor
masyarakat bawah CDS. Mereka juga meluncurkan Rehabilitasi Care Services pada
tahun 1962 untuk membantu dalam pemulihan dan reintegrasi pasien ke masyarakat.
Mereka memiliki dua pusat: Pusat Anak dan Remaja (CCY) dan Pusat Kerja Adult
(AWC). CCY menyediakan berbagai macam sesi terapi dan konseling bersama
dengan pendidikan khusus bagi mereka dengan gangguan belajar dan keterbelakangan
mental. The AWC memberikan program pelatihan keterampilan hidup dan keluarga
untuk membantu pasien kesehatan mental dalam pemulihan dan terapi mereka.

2.3.5 Lembaga lain

Di Kawasan Ibu Kota Nasional (NCR), sebagian besar rumah sakit besar (baik
negeri maupun swasta) memiliki departemen psikiatri yang melayani kebutuhan orang
dengan penyakit mental. Rumah Sakit meliputi Medical Kota , Rumah Sakit Umum
Filipina (PGH), Manila Rumah Sakit Dokter , dan University of East Ramon
Magsaysay Memorial Medical Center, Inc. (UERMMMC), untuk beberapa nama.
Webbline menyediakan daftar fasilitas perawatan kesehatan mental yang dapat
ditemukan di provinsi dan di NCR.

2.3.6 Kebijakan Pemerintah Filipina Terhadap Kesehatan Mental

Meskipun telah ada inisiatif yang kuat untuk mengeluarkan undang-undang


kesehatan mental, Filipina belum memiliki undang-undang independen mengenai
kesehatan mental. Filipina hanya memiliki, saat ini, undang-undang tentang
pemerintahan penyediaan layanan kesehatan mental. Hukum tersebut terkandung
dalam undang-undang lainnya, termasuk KUHP, Magna Carta untuk Penyandang
Cacat, yang Kode Keluarga , dan Obat UU Dangerous.

2.3.7 Mental Bill Kesehatan

RUU Kesehatan Mental (House Bill 5347, Senat Bill 2910) mengusulkan
kebijakan kesehatan mental yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terpadu
kesehatan mental, promosi layanan kesehatan mental, perlindungan orang-orang yang
menggunakan layanan tersebut, dan pembentukan sebuah dewan kesehatan mental
Filipina, tujuan ini didasarkan pada standar HAM internasional.

Tujuan dari RUU ini adalah untuk menggabungkan layanan kesehatan mental
yang komprehensif dalam kesehatan nasional Filipina, untuk kesehatan mental yang
diakses terutama untuk yang miskin dan mereka yang berisiko tinggi.Hukum yang
diusulkan akan mandat Departemen Kesehatan, Komisi Hak Asasi Manusia,
Departemen Kehakiman , dan berbagai rumah sakit dalam mendukung mereka dengan
masalah kesehatan mental. Pelayanan kesehatan mental diusulkan untuk dapat diakses
dari rumah sakit berskala besar, turun ke barangay tingkat. Kesehatan dan program
kesehatan akan mencakup program wajib dalam kesehatan mental, sehingga untuk
sepenuhnya melengkapi profesional kesehatan.

2.3.8 Inisiatif untuk Pass Bill.

Ada reaksi kurangnya tindakan kesehatan mental oleh profesional kesehatan


mental, serta inisiatif pemerintah. Filipina Psychiatric Association (PPA), khususnya,
telah berusaha untuk berhubungan dengan Kongres untuk mengatur tindakan
kesehatan mental.
AKP meluncurkan petisi di MHActNow.org pada tahun 2015, dan
mengumpulkan ke atas dari 10.000 pendukung. Namun, tujuan mereka 200.000 itu
tidak tercapai. Ada juga sosial diskursus media menggunakan hashtag #MHActNow
dimana netizens meningkatkan kesadaran tentang mengapa mereka anggap sebuah
Mental Hukum Kesehatan setempat menjadi penting.

Legislator Filipina di Kongres dan Senat juga telah mengajukan House Bill
No. 5347 dan inisiatif Senat Bill No 2910. Senat pada tindakan Kesehatan Mental
termasuk Senat Bill 2910, yang diajukan oleh Senator Pia Cayetano pada tahun 2015
dan Loren Legarda pada tahun 2014. Dalam Kongres, perwakilan Leni Gerona-
Robredo , Romero Quimbo , Ibarra Gutierrez, Walden Bello , Karlo Alexei Nograles,
Kaka Bag-ao dan Emmi de Jesus semua diperkenalkan House Bill 5347, sejalan
dengan Undang-Undang Kesehatan Filipina Mental, pada tahun 2015. Rancangan asli
menjalani 22 versi, setelah berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan, pasien
dan kelompok-kelompok keluarga.

2.3.9 Kesehatan Mental di Hukum Lainnya

Hukum-hukum tertentu memuat ketentuan untuk melindungi hak-hak dari


sakit jiwa. Magna Carta untuk Penyandang Cacat (Republik UU No. 7277)
menganggap mereka yang menderita penyakit mental sebagai orang cacat. Hukum ini
melindungi kepentingan mereka mengenai pekerjaan, pendidikan dan kesehatan.
Hukum ini menyatakan bahwa pemerintah akan mendirikan pusat pendidikan khusus
di seluruh wilayah Filipina bagi mereka tunanetra, mendengar gangguan dan cacat
intelektual. Ini juga memegang PTN bertanggung jawab untuk Pendidikan Khusus
(melaju) saja jika perlu.

Menurut Kode Keluarga Filipina (Executive Order No 209), dalam acara di


mana adopsi dari diadopsi kecil dengan cacat mental yang dibatalkan, negara akan
memberikan wali atas dirinya / dirinya. The Comprehensive Dangerous Drug Act
(Undang-Undang Republik Nomor 9165) disahkan pada tahun 2002 dalam rangka
untuk mengendalikan masalah dengan penyalahgunaan narkoba. penyalahgunaan
narkoba dipandang baik sebagai penyebab langsung dan tidak langsung dari penyakit
mental di kalangan orang-orang dalam kelompok usia produktif secara ekonomi.
hukum jaminan minimal 12 tahun penjara, serta denda mulai dari Php 100.000 ke Php
10.000.000 terhadap pelanggar. tindakan melindungi lumpuh secara mental individu
bersama dengan anak di bawah umur yang menjadi korban obat bius (baik dengan
menjual mereka obat-obatan, atau melibatkan mereka dalam kegiatan terlarang).
Seseorang dinyatakan bersalah harus diberikan hukuman maksimum. Inisiatif
pemerintah Mental Health Care.

2.3.10 Program Kesehatan Mental Nasional

Meskipun tidak ada yang ada hukum nasional yang berfokus pada kesehatan
mental, Filipina memiliki Program Nasional Kesehatan Mental atau Kebijakan
Kesehatan Mental (Orde Administrasi # 8 s.2001) ditandatangani oleh lalu-sekretaris
Departemen Kesehatan, Manuel Dayrit. Kebijakan ini bertujuan untuk
mempromosikan perawatan kesehatan mental yang berkualitas di negeri ini, untuk
mengurangi beban penyakit mental, dan untuk melindungi hak-hak orang yang
menderita penyakit mental. Program dari Departemen Kesehatan di bawah Kebijakan
Kesehatan Mental meliputi peningkatan mempromosikan pengetahuan kesehatan
mental, penyediaan nasional dan lokal layanan dan fasilitas mengenai pengobatan
kesehatan mental, dukungan pada penelitian dan pelatihan tentang kesehatan mental,
dan lainnya inisiatif. Komite Nasional Program Manajemen dan Pengembangan
Program dan tim manajemen yang diselenggarakan dalam rangka untuk mengawasi
dan mengelola pengembangan program dan untuk menciptakan protokol mengenai
kebijakan tertentu yang diterapkan.

Pemangku kepentingan lain atau mitra untuk program ini antara lain Filipina
Psychiatric Association (PPA), yang Pusat Nasional untuk Kesehatan Mental
(NCMH), Asosiasi Kesehatan Filipina Mental, dan Christoffel Blindenmission
(CBM), sebuah organisasi internasional yang melakukan advokasi untuk para
penyandang cacat di negara-negara miskin .Pemerintah Filipina menghabiskan sekitar
5% dari anggaran kesehatan pada kesehatan mental, sebagian besar pergi ke
pemeliharaan rumah sakit jiwa. Obat untuk penyakit mental yang disediakan di
lembaga-lembaga kesehatan mental yang dikelola pemerintah. asuransi sosial
mencakup masalah kesehatan mental, tapi hanya untuk rawat inap akut.

2.3.11 Kegunaan

Menurut sebuah laporan yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia


pada tahun 2007, akses ke lembaga kesehatan mental di Filipina nikmat orang-orang
dekat Kawasan Ibu Kota Nasional . Sebagian besar psikiater di negara ini juga bekerja
di praktek swasta daripada di fasilitas pemerintah. Ada belum ada peningkatan jumlah
tempat tidur yang tersedia untuk pasien di lembaga kesehatan mental selama 2002-
2007.

Mengenai penelitian tentang kesehatan mental, sudah ada beberapa penelitian


yang dilakukan, meskipun tidak semua dipublikasikan dalam jurnal diindeks. Jumlah
fasilitas mengenai kesehatan mental juga telah meningkat di seluruh Filipina dan
kebijakan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien rawat inap
rumah sakit jiwa.

2.4 Kebijakan Kesehatan Mental Di Malaysia

2.4.1 Nursing Act Malaysia

Di Malaysia undang-undang tentang kesehatan jiwa sudah ada sejak tahun


2001 dan kesehatan jiwa berbasis komunitas sudah diterapkan sejak tahun 1998.
Praktek kepearwatan mandiri kesehatan jiwa sudah berjalan di Malaysia. Sebelum
Malaysia merdeka pada tahun 1957, Lunatic Ordonansi Sabah 1953 adalah didirikan
oleh Inggris, diikuti oleh Kesehatan Mental Disorder Ordonansi 1956 dan kemudian
setelah kemerdekaan, Mental Health Ordonansi Sarawak disahkan pada tahun 1961.
Pada tahun 1993, Care Center Act yakni semua tindakan sebelumnya pada kesehatan
mental adalah diperkenalkan. Hal ini jelas bahwa tindakan ini membahas isu-isu
kesehatan mental hanya sebagian dan belum relevan dengan bagian tertentu dari
Malaysia. Dengan kata lain, tindakan ini jauh dari kata komprehensif dan tetap usang
untuk jangka waktu yang panjang. Kebutuhan untuk merevisi ini tindakan itu
diperlukan dan meskipun ide terus mengambang di antara para profesional, tidak
banyak yang dicapai selama bertahun-tahun.

Pada tahun 1998, Undang-Undang konselor didirikan yang mencakup putusan


pada konselor Dewan Penasehat, Dewan fungsi Konselor, rekening, catatan mengenai
kejadian, aturan mendaftar konselor, proses disiplin untuk pelanggaran aturan dan
bagian dari masalah lain-lain seperti inspeksi tempat, sertifikasi, dll tapi tidak
langsung relevan dengan masalah kesehatan mental inti. Mental Undang-Undang
Kesehatan yang lama ditunggu itu akhirnya lulus pada tahun 2001 dan mencakup
pedoman kebijakan rinci untuk pelayanan kesehatan mental di Malaysia. Tindakan ini
memiliki 12 bagian, diatur dalam cara berikut:
1. Elemen awal dalam kesehatan mental, termasuk judul dan interpretasi terminologi,
menetapkan rumah sakit pemerintah, swasta, para direktur, dan aturan kepatuhan
terhadap Private Healthcare Facilities and Services Act 1998
2. Pendaftaran pasien sukarela dan non-sukarela ke rumah sakit jiwa, ketakutan dari
orang gangguan mental, dan prosedur dalam kasus yang terbuktidengan perlakuan
buruk, kelalaian, atau kekejaman orang gangguan mental, bagian yang berbeda dari
hukum di mana pasien dapat mengakui ke rumah sakit jiwa. Bagian ini juga meliputi
penahanan, penginapan, perawatan, pengobatan, rehabilitasi, kontrol dan
perlindungan mental orang teratur, dan pemulangan pasien sukarela dari rumah sakit
jiwa
3. Pemberhentian, cuti dan pemindahan pasien sukarela dari rumah sakit oleh direktur
Medis dengan tanggung jawab memberitahukan ke pengadilan mengenai penahanan
pasien di rumah sakit.
4. Pendaftaran, penahanan dan pelepasan orang yang dilakukan penahanan terbatas di
rumah sakit di bawah hukum acara pidana.
5. Penerimaan penginapan, perawatan dan rehabilitasi orang gangguan mental di panti
jompo kejiwaan.
6. Penerimaan, perawatan, pengobatan dan rehabilitasi orang gangguan mental di pusat
kesehatan mental masyarakat. Penunjukan Dewan Pengunjung untuk setiap jiwa
rumah sakit dan panti jompo.
7. Dewan ini akan bertemu pada interval yang diberikan untuk memastikan kualitas
perawatan untuk pasien.
8. Penilaian Kematian.
9. Kualitas fasilitas dan layanan kesehatan kejiwaan dan kekuatan Direktur Umum untuk
mengeluarkan arahan, perintah atau pedoman yang berkaitan dengan jaminan kualitas.
10. Fungsi dari pengadilan berkaitan dengan melindungi hak-hak dan memastikan
kualitas layanan untuk orang gangguan mental termasuk sifat-sifat mereka.
11. Penegakan Bagian XVI dari Private Healthcare Facilities and Services Act 1998
12. Bagian terakhir ini berjudul '' Umum '' cukup luas dan mencakup area seperti
persetujuan pasien untuk operasi, perlindungan terhadap proses hukum, uang
dibayarkan oleh Pemerintah, dll.
2.4.2 Primary Mental Health Care Service
Adapun pelayanan dalam primary care meliputi : promosi kesehatan jiwa,
deteksi awal dan pengobatan awal, Follow-up kestabilan kesehatan jiwa serta
rehabilitasi psikososial. Beberapa pelayanan kesehatan jiwa yang bisa pasien rawat
jalan kunjungi yaitu: primary care,privat parctitioner, Teacher, Counselor, Psikolog,
dan pekerja kesehatan jiwa lainnya. Pelayanan psikiatrik dan kesehatan jiwa
menyediakan pelayanan untuk pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap di semua
level fasilitas kesehatan baik di komunitas seperti private faslitas pada primary health
care, non spesialis hosptal, spesialis hospital dan psikiatrik hospital. Adapun bentuk
pelayanan yang disediakan yaitu promotion, prevention, Assesment, Diagnosis,
treatment, Rehabilitation, Training dan Research dan fasilitas pelayanan pada pasien
rawat jalan sama seperti pelayanan pada pasien rawat inap, hanya yang membedakan
bahwa di pasien rawat inap salah satu fasilitas pelayanan yang tidak ada yaitu
pelayanan forensik karena hanya ada pada rumah sakit jiwa.

2.4.3 Operasional Kebijakan Primary Health Care Service

Primary health care service merupakan salah satu pintu masuk utama pada
pelayanan kesehatan. lansia yang yang ditemukan memiliki masalah kesehatan mental
harus diatasi pada level ini. jika mereka memiliki masalah yang kompleks, mereaka
harus dirujuk ke seorang spesialis psikiatrik klinik. Berikut ini merupakan pelayanan
primary health care :

1. Prevention : mengidentifikasi masalah yang menjadi faktor kontribusi gangguan


psikiatrik pada lansia misalnya,mengurangi resiko cerebrovascular accidents yang
menjadi pemicu demensia
2. Identifikasi awal pada kesehatan mental dan gangguan pasikiatrik
Screening gangguan psikiatrik dan kegagalan kognitif
Merujuk pasien ke spesialis psikiatrik yang memiliki gangguan kognitif dengan
masalah kebiasaan.
3. Assessment
Melakukan pemeriksaan secara komprehensif pada medikal dan social
Untuk penegakan diagnostik
4. Penatalaksanaan masalah mental health pada lansia
Komprehensif termasuk review diagnosis dan pemeriksaan fisik, psikologi,
sosial, spiritual dan material yang dibutuhkan.
Kolaborasi
Monitor perkembangan melalui follow-up
Lansia yang membutuhkan perawatan khusus harus di rujuk ke psikiatrik

Kebijakan Kesehatan mental di Philipina : (WHO, 2006)

Domiain 1 : kebijakan dan kerangka legislative

kebijakan, rencana, dan undang-undang

Kebijakan Kesehatan mental Filipina dirancang pada tahun 2001 dan ditandatangani oleh
Menteri Kesehatan, Manuel Dayrit. Ini memiliki pernyataan kebijakan berikut: (1)
kepemimpinan, (2) kolaborasi dankemitraan, (3) pemberdayaan dan partisipasi, (4) ekuitas,
(5) standar untuk kesehatan mental berkualitas jasa, (6) pengembangan sumber daya manusia,
(7) sistem pelayanan kesehatan, (8) perawatan kesehatan mental, (9) stabilitas dan
keberlanjutan, (10) sistem informasi, (11) undang-undang, dan (12) pemantauan dan
Evaluasi.

Domain 2: Pelayanan Kesehatan Mental


Organisasi pelayanan kesehatan mental
Departemen Kesehatan melembagakan Program Kesehatan Mental Nasional melalui
organisasi struktur manajemen fungsional yang kelompok pemangku kepentingan kesehatan
mental menjadi berbeda komite. Komite manajemen program nasional bertindak sebagai
otoritas utama dan memfasilitasi keseluruhan pelaksanaan target prioritas dan strategi
disesuaikan dengan sistem kesehatan tujuan meningkatkan status kesehatan di negara ini.
Mereka terdiri dari advokat kesehatan mental dari unit pusat dan daerah dari Departemen
Kesehatan, Direktur Pusat Nasional untuk Mental Kesehatan, para ahli kesehatan mental dari
pusat medis, akademisi, kelompok konsumen dan profesional organisasi serta perwakilan dari
instansi pemerintah lainnya.

Domain 3: Kesehatan Mental di puskesmas


Pelatihan dalam perawatan kesehatan mental untuk staf perawatan primer
Empat persen dari pelatihan untuk dokter dikhususkan untuk kesehatan mental, dibandingkan
dengan 5% untuk perawat. Dalam hal pelatihan penyegaran, 1% dari dokter
perawatankesehatan primer telah menerima setidaknya duahari pelatihan penyegaran dalam
kesehatan mental, sedangkan 2% dari perawat dan 6% dari non-dokter / non-perawat pekerja
perawatan kesehatan primer telah menerima pelatihan tersebut.

Domain 4: Sumber Daya Manusia


Jumlah sumber daya manusia dalam perawatan kesehatan mental
Jumlah total sumber daya manusia yang bekerja di fasilitas kesehatan mental atau praktek
swasta per 100.000 populasi umum 3.43. Pemecahan menurut profesi adalah sebagai berikut:
0.42 psikiater, 0,17 dokter lain medis (tidak khusus dalam psikiatri), 0,91 perawat, 0,14
psikolog, 0,08 pekerja sosial, 0,08 terapis okupasi, 1,62 kesehatan lainnya atau kesehatan
mental pekerja (termasuk staf tambahan, non-dokter / pekerja perawatan kesehatan primer
non-dokter, kesehatan asisten, asisten medis, profesional dan konselor psikososial
paraprofessional). Tigapuluh persen psikiater bekerja hanya untuk fasilitas kesehatan mental
pemerintah diberikan, 59% kerja hanya untuk LSM, nirlaba jiwa fasilitas kesehatan dan
praktek swasta, sementara pekerjaan 11% untuk kedua sektor. Lima puluh enam persen dari
psikolog, pekerja sosial, perawat dan terapis okupasi kerja fasilitas kesehatan mental
pemerintah diberikan, 26% bekerja hanya untuk LSM, nirlaba mental yang fasilitas kesehatan
dan praktek swasta, sementara pekerjaan 18% untuk kedua sektor.

Domain 5: Pendidikan Umum dan hubungan dengan sektor lain


kampanye pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental
Ada badan-badan koordinasi yang mengawasi kampanye pendidikan dan kesadaran
masyarakat tentang jiwa kesehatan dan gangguan mental. instansi pemerintah, LSM, asosiasi
profesi, dan swastayayasan telah dipromosikan kampanye pendidikan dan kesadaran
masyarakat, dalam kapasitas mereka sendiri, di terakhir lima tahun. Kampanye ini telah
menargetkan kelompok berikut: populasi umum, anak-anak, remaja, perempuan, dan korban
trauma. Selain itu, telah ada pendidikan publik dan kampanye kesadaran menargetkan
kelompok profesional, termasuk penyedia layanan kesehatan dan guru.

Domain 6: Pemantauan dan Penelitian


Daftar didefinisikan secara formal item data individu yang harus dikumpulkan oleh semua
kesehatan mental fasilitas ada dan termasuk jumlah tempat tidur kejiwaan, jumlah
penerimaan, jumlah hari dihabiskan di rumah sakit dan diagnosa.

2.5 Kebijakan Kesehatan Mental Di Australia

Di Australia kebijakan pemerintah terkait tentang kesehatan jiwa sudah ada


undang-undang tersendiri yang mengaturnya yaitu Mental health act 2014 in west
Australia. Mental health act Australia menyatakan bahwa peran tenaga kesehatan
yaitu menyediakan pengobatan, perawatan, dukungan dan perlindungan bagi individu
yang mengalami gangguan jiwa serta melindungai hak asasi manusia dan melibatkan
peran serta keluarga dalam merawat pasien yang mengalami gangguan jiwa.

Pada undang-undang kesehatan jiwa di australia juga dijelaskan bahwa yang


berwewenang memberikan pelayanan pada pasien gangguan jiwa meliputi : dokter
psikiatrik, perawat, psikolog, Terapis okupasi dan pekerja social dan yang termasuk
dalam pemberi pelayanan jiwa yaitu Rumah sakit yang menyediakan pengobatan dan
perawatan pada orang yang mengalami gangguan jiwa, Pelayanan komunitas
kesahatan jiwa serta Beberapa pelayanan seperti pelayanan dalam bentuk kelas, yang
berdasarkan pada peraturan yang berlaku. Dalam memberikan pelayanan perawat
harus memberikan inform consent terlebih dahulu kepada pasien dan jika pasien tidak
memiliki kapasitas untuk memberikan informed consent terhadap keputusan dalam
pengobatan , maka yang berhak memberikan informed consent adalah hukum yang
akan mengambil keputusan. Di sinilah perbedaan antara kebijakan yang ada di
indonesia dan kebijakan yang ada di Australia. Di indonesia sendiri bahwa inform
consent diberikan kepada pasien dan jika pasien tidak mampu maka keluarga terdekat
yang bisa mewakilkan.
BAB III

PEMBAHASAN

Masalah kesehatan jiwa saat ini telah menjadi permsalahan yang sangat penting dan
harus mendapatkan perhatian dengan sunggunh-sungguh di dunia. Gangguan jiwa berat dapat
diartikan sebagai suatu bentuk gangguan jiwa yang ditandai dengan terganggunya
kemampuan dalam menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang ditimbulkan
dalam gangguan jiwa berat antara lain berupa halusinasi, ilusi, wahan, gangguan proses pikir,
kemampuan berfikir, serta tingkah laku yang maladaptif misanya sikap agresivitas atau
katatonik. Masalah kesehatan jiwa di Indonesia sendiri prevalensi gangguan jiwa yang masuk
dalam kategori berat sejumlah 1,7 per mil penduduk Indonesia. Gangguan jiwa berat paling
banyak ditemukan di daerah DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah.
Sementara itu, proporsi dari rumah tangga dengan pasien gangguan jiwa yang pernah
memiliki riwayat melakukan pemasungan kepada pasien dengan gangguan jiwa berat yakni
sebanyak 14,3 % dan terbanyak dialami oleh penduduk yang tinggal di pedesaan sejumlah
18,2%. Sedangkan pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah
sejumlah 19,5% (Riskesdas, 2013).

Kondisi pasien dengan gangguan jiwa berat maupun pasien dengan gangguan
emosional ini dapat menjadi beban baik bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat. Hal ini
terjadi karena produktivitas pasien yang mengalami penurunan sehingga menghambat pasien
dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya yang pada akhirnya nanti situasi tersebut dapat
menimbulkan beban biaya yang besar baik bagi pasien dan keluarga. Sementara itu, jika
dianalisa dari sudut pandang pemerintah, maka gangguan ini akan menghabiskan biaya
pelayanan kesehatan dalam jumlah yang sangat besar. Hal ini sebagai akibat dari pengobatan
dan akses pelayanan kesehatan jiwa yang belum memadai khususnya di setting komunitas
yakni dalam hal ini yang berperan adalah puskesmas (WHO, 2007). Marchira (2011)
mengungkapkan bahwa pengobatan dan akses pelayanan kesehatan jiwa yang belum
memadai disebabkan karena kondisi geografis dari Indonesia itu sendiri yang mana terdapat
17.000 pulau di Indonesia dengan perbedaan kepadatan penduduk di setiap pulau.

Bukanhanya di Indonesia, kebijakankesehatanjiwa di Filipina, Malaysia dan Australia


dengankeberagamanbudaya, agama, dan social ekonomi. Semuanegara-
negaraberikutinihanyamemberikanpresentasekecildari total
anggarankesehatanmerekauntukkesehatan mental (kurangdari 1% di negara-
negaraberpenghasilanrendah; kurangdari 5% pendapatantinggi negara). Hal ini dikarenakan
latarbelakang sejarah dan warisan kolonial yang bervariasi, system perawatan kesehatan
menyimpang bahkan di antara negara-negara tetangga (ito, Setoya, & Suzuki, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Almeida, J. M. C., & Killaspy, H. 2011. Long-term mental health care for people with severe
mental disorders. Italy: Consortium.

Anonim. (2014). Data Orang Dipasung Harus Di update. BAPPEDA JATIM.


http://bappeda.jatimprov.go.id/2014/04/02/data-orang-dipasung-harus-diupdate/.
Diakses tanggal 5 November 2016.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. (2013).


http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_Riskesdas2013.PD
F. Diakses tanggal 5 November 2016

Biro Statistik Australia. (2007) Survei Nasional Kesehatan Mental dan Kesejahteraan:.
Ringkasan hasil.No katalog 4.326,0 Canberra, ACT:. Biro Statistik Australia.

Dan Hiadayat. (2010). Penggunaan Metode Du Menit (M2M) dalam Menentukan Prevalensi
Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume : 60,
nomor 10, Oktober 2010.

Fatimah, Abdullah. (2013). Fungsi Keluarga dalam penjaagaan pesakit mental : kajian kes di
klinik kesehatan kg. Simee Ipoh, Perak Malaysia. Jurnal of psychology & human
development, bil 1, isu 1.

Fritzie Rodrigues. (2015). Mengapa Filipina Membutuhkan Hukukm Kesehatan Mental?.


http://www.rappler.com/move-ph/111100-filipinos-need-mental-health-act. Diakses
tanggal 23 November 2016

Haque, A. (2005). Mental Health Concepts and Program Development in Malaysia. Journal
of Mental Health. 14 (2). 183-195.

Imroatul Afifah - Tim eHealth. (2013). Kesehatan Jiwa Tidak Mematikn, tapi menimbulkan
Beban Penderita. http://dinkes.surabaya.go.id/portal/index.php/berita/kesehatan-jiwa-
tidak-mematikan-tapi-menimbulkan-beban-penderita/. Portal resmi Dinkes
SurabayaDiakses tanggal 6 November 2016
Ito, Hiroto, Setoya, Yutaro, & Suzuki, Yuriko. (2012). Lessons learned in developing
community mental health care in East and South East Asia. World Psychiatry, 11(3),
186-190.
Idaiani, S. (2010). Kesehatan Jiwa di Indonesia Mulai dari Deinstitusionalisasi Sampai
Desentralisasi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 4, No. 5, April 2010.

Kessler, R.C.; Aguilar-Gaxiola, S.; Alonso, J. Chatterji, S.; Lee, S.; Ormel, J.; stn,
T.B and Wang, P.S (2009). The global burden of mental disorders: An update
from the WHO World Mental Health (WMH) Surveys. Social Psychiatry and
Psychiatric Epidemiology, 18(1): 233.
Marchira, C. R. 2011. Integrasi Kesehatan Jiwa pada Pelayanan Primer di Indonesia: Sebuah
Tantangan di Masa Sekarang. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 14 (3). 120
126.
Ministry of Health Malaysia. (2011). Psychiatric and mental Health Service Operational
Policy.

Panjaitan, Z. (2016). Masalah Gangguan Jiwa di Sumatera Utara.


repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/55300/5/Chapter%20I.pdf. diakses tanggal
20 November 2016.

Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.

Thong, D. (2011). Memanusiakan Manusia : Menata jiwa membangun bangsa : Prof. DR. Dr.
R, Kusumanto Setyonegoro, SpKJ, Bapak Psikiatri Indonesia. Jakarta: Penerbit
Gramedia.

"The NIH Almanac: National Institute of Mental Health (NIMH)" National Institutes of
HealthUS Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan. 14 September 2016.

Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Sheau Tsuey Chong, et al (2013). Pembangunan Kesehatan mental di Malaysia: Sejarah, Isu
sekarang. Asian Social Science;Vol.9, No. 6;2013. doi: 10,5539 / ass.v9n6p.

WHO. 2007. Mental Health Policy, Planning, and Service Development. Geneva: WHO.

Yusuf, A.H., Fityasari, R., & Nihayati, H.E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai