Anda di halaman 1dari 6

Kasus L/C BNI dan kepercayaan terhadap perbankan

Sebelum masa buram perbankan Indonesia berakhir saat ini, dunia perbankan Indonesia kembali
digegerkan oleh kasus pembobolan melalui penerbitan surat kredit (letter of credit) atau L/C
fiktif senilai Rp 1,7 triliun di bank BNI.

Sayangnya, pembobolan itu terjadi pada bank besar yang selama ini dianggap sebagai salah satu
barometer dan sekaligus bank terbesar kedua di Indonesia. Beruntung kasus tersebut segera
mendapat penanganan serius dari penegak hukum. Sebab, apabila tidak demikian, pasti kasus itu
akan menciptakan ketidakpercayaan baru terhadap dunia perbankan. Kita berharap penanganan
hukum kasus ini berjalan dengan lancar, tidak sebagaimana kasus-kasus perbankan sebelumnya.

Tentunya kita masih belum lupa, ketika kasus Bappindo akhirnya tidak jelas penanganannya
hanya karena melibatkan petinggi negara. Kasus L/C fiktif BNI inipun belakangan ini disebut-
sebut melibatkan capres dari salah satu partai besar di negeri ini. Semoga; apabila isu tersebut
benar, tidak menjadi penghalang untuk menyingkap penyelewengan di BNI tersebut.

Risiko Manajemen

Dari aspek mikro dan mekanisme perbankan, kasus pembobolan L/C BNI tersebut, memberikan
pelajaran dan peringatan yang sangat berharga akan pentingnya manajemen risiko. Mengikuti
kasus pembobolan L/C pada bank BNI tersebut, penyimpangan yang terjadi karena lemahnya
manajemen risiko operasional (operational risk management). Risiko operasional ini dapat
terjadi karena tidak berfungsi atau kurang efektifnya proses internal. Penyimpangan demikian
dapat terjadi karena kesalahan manusia, kegagalan sistem atau karena faktor eksternal yang
memengaruhi perusahaan.

Oleh karena itu, risiko operasional ini bersumber dari pekerja, teknologi, customer relationship,
atau faktor eksternal.

Kasus yang terjadi pada BNI tersebut merupakan kasus yang termasuk dalam kriminal dan
penipuan (crime and fraud risk). Dengan demikian risiko yang terjadi adalah risiko karena

Nova Yunita Sari B.241.16.0018


adanya kejahatan kerah putih (white collar crime). Artinya, kejahatan tersebut lebih dikarenakan
ketamakan dari watak manusia. Karena ini merupakan murni kejahatan karena perilaku,
seharusnya ada indikator-indikator awal sudah harus bisa dideteksi. Peringatan dini akan efektif
kalau sistem pengendalian risiko pada bank yang bersangkutan berjalan baik.

Peringatan dini ini dapat dilakukan dengan melihat apakah mekanisme dan prosedur yang
dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan. Sementara dari aspek eksternal verifikasi terhadap
material prosedur juga harus dilakukan.

Dalam kasus pembobolan L/C tersebut, semestinya kejanggalan-kejanggalan awal sudah bisa
dideteksi kalau niat menipu dari mereka yang terkait dalam kasus ini memang tidak ada. Dimulai
dari bank penerbit L/C, yang adalah bukan bank koresponden. Semestinya pejabat BNI setempat
mengetahui bahwa perlu jaminan yang lebih jelas; siapa penjamin L/C tersebut, untuk membayar
L/C jika bank penerbit L/C bukan bank koresponden. Apakah dalam hal ini bank BNI tidak
mengetahui tidak adanya jaminan atas L/C yang diterbitkan tersebut. Apakah bank BNI juga
melakukan verifikasi atas dokumen ekspor dari eksportir dengan benar. Apakah dokumen-
dokumen ekspor tersebut relevan dan valid. Jika ternyata dokumen tersebut nantinya ternyata
dokumen ekspor palsu, semestinya pihak bank mengetahuinya.

Adanya kecenderungan niat untuk menipu seharusnya juga dapat dilihat dari nilai L/C yang
dipecah-pecah menjadi lebih kecil dari nilai seluruhnya sekitar Rp 1,7 triliun. Dengan nilai yang
lebih kecil, maka otorisasi pencairan uang tidak harus sampai ke pejabat pada tingkat yang lebih
tinggi dari pimpinan cabang. Namun hal inipun tidak berarti direksi juga tidak mengetahui.

Dari serangkaian prosedur tersebut, tampak bahwa kebobolan akan terjadi setelah melalui
penyimpangan-penyimpangan prosedur dalam proses pencairan pengajuan, pemrosesan dan
pencairan L/C. Ketatnya prosedur, seharusnya akan dapat memperkecil risiko operasional. Akan
tetapi, seketat apapun prosedur itu, ia akan tetap bobol jika niat untuk menipu itu memang cukup
besar dari para pelaku yang terlibat dalam prosedur dan mekanisme itu.

Kerisauan Baru

Nova Yunita Sari B.241.16.0018


Kasus BNI telah menciptakan kerisauan baru, khususnya terhadap kepercayaan terhadap
perbankan. Sementara BPPN belum mampu memulihkan kepercayaan sepenuhnya dunia
perbankan, orang bisa menjadi ragu mengingat BNI yang masuk kategori sebagai salah satu
barometer perbankan nasional pun masih bobol.

Oleh karena itu kasus BNI ini harus dituntaskan. Jangan sampai kasus itu berhenti tanpa
penyelesaian karena pertaruhannya sangat besar, yakni menjaga kepercayaan terhadap
perbankan. Membiarkan kasus pembobolan L/C berarti membiarkan ketidakpercayaan terhadap
perbankan terus berkelanjutan. Dan jangan lupa, nyawa indusri perbankan adalah kepercayaan
nasabah terhadapnya. (82)

Pemecahan Masalah:

Skandal letter of credit (L/C) ekspor Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun menyiratkan tiga hal yang
perlu mendapatkan perhatian di masa mendatang. Ketiga hal tersebut adalah :

1. Tanggung jawab direksi


Sebagai pihak yang ditugasi oleh pemilik untuk mengelola bank, jelas bahwa segala sesuatu
yang terjadi terhadap bank yang mereka kelola, direksi harus bertanggung jawab sepenuhnya.
Namun demikian, tanggung jawab direksi harus dilihat dalam konteks korporat. Artinya,
direksi tidak dapat disalahkan dalam kasus transaksi pembobolan L/C ekspor tersebut, namun
secara finansial direksi bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita Bank BNI.
Kesalahan utama direksi Bank BNI terletak pada pemilihan pemimpin cabang yang ternyata
tidak dapat mengemban amanah yang didelegasikan direksi Bank BNI.
Dengan demikian, hal yang harus diperbaiki direksi Bank BNI adalah bagaimana mengurangi
potensi pegawai berlaku merugikan perusahaan. Selain itu, pengawasan internal mungkin
perlu juga diperbaiki, namun di dalam praktik, peningkatan pengawasan internal ini acapkali
berseberangan dengan keinginan bank dalam meningkatkan kualitas layanan. Adanya
semacam service control trade off jelas memerlukan seni tersendiri untuk mengelolanya agar
tercapai kondisi yang optimal. Bisa dibayangkan, betapa repotnya direksi bank jika setiap
kali ada transaksi pembukaan deposito, pembukaan L/C ekspor, penerimaan setoran tabungan

Nova Yunita Sari B.241.16.0018


dan sebagainya harus memberikan persetujuannya. Akhirnya, pemberian delegasi wewenang
oleh direksi bank kepada jajaran di bawahnya memang harus didukung kondisi
menguntungkan, baik dari sisi direksi maupun pegawai yang akan diberikan wewenang.
2. Praktik GCG (Good Corporate Governance)
Berkaca pada kasus L/C ekspor Bank BNI, jelas sekali bahwa implementasi GCG sampai
saat ini belum seluruhnya merasuk pada sebagian kecil jajaran pegawai Bank BNI. Selain
masih minimnya perundang-undangan yang mengatur mengenai tata kelola perusahaan yang
baik, kondisi eksternal yang dihadapi oleh seluruh pegawai Bank BNI jelas sangat
mempengaruhi perilaku mereka.
Berkaitan code of conduct, masih menurut Wraight, "sebuah organisasi yang memiliki
corporate conduct sangat buruk akan menemukan permasalahan serius seperti adanya
manajer yang memperjualbelikan informasi untuk memperoleh keuntungan finansial maupun
hadiah atau entertain yang sangat tidak dapat ditolerir. Tindakan ini dapat menimbulkan
beban pada perusahaan, integritas perusahaan, dan menurunkan reputasi perusahaan".
3. Pengawasan intern
Pengawasan intern bank pada umumnya bekerja secara berkala dan memeriksa transaksi
dengan menggunakan sistem sampling. Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa sebagus
apa pun sistem pengawasan internal dilakukan, bank tidak akan kebobolan. Tidak mungkin
bagi sebuah bank untuk melakukan pengawasan intern dengan meneliti seluruh populasi
yang terjadi. Selain akan memakan biaya dan waktu, cara seperti ini akan sangat
mengganggu unit operasional yang bertugas melayani nasabah. Menyadari kondisi tersebut,
tidak salah jika secara umum bank menerapkan sistem pengawasan melekat di dalam unit
kerja tersebut.
Artinya, bank tidak boleh membiarkan seorang petugas melayani sebuah transaksi secara
sendirian. Dalam melakukan suatu transaksi, seorang pegawai bank akan diawasi atasannya.
Bahkan, dalam sistem pengawasan melekat di beberapa bank, pengawasan tersebut
melibatkan sedikitnya tiga pejabat bank, yaitu maker, checker, dan signer. Namun, apalah
artinya pengawasan jika yang diawasi ternyata secara kompak melanggar prosedur, tidak ada
lagi pihak yang dapat mendeteksi pelanggaran.

Kesimpulan:

Nova Yunita Sari B.241.16.0018


Kasus L/C ekspor Bank BNI hanyalah satu skandal dari beribu potensi skandal yang
mungkin terjadi di perbankan. Potensi kerugian bank tidak terbatas pada transaksi L/C ekspor
saja, namun menyangkut sebagian besar transaksi keuangan yang dilakukan di kantor
cabang. Tuntutan adanya pengawasan intern yang semakin ketat dirasakan kurang menjawab
persoalan pada aspek kelancaran pelayanan dan efisiensi operasional kantor cabang. Lebih-
lebih bagi sebuah kantor cabang yang memiliki transaksi ribuan setiap harinya. Salah satu
cara mengurangi potensi risiko kerugian bank akibat pelanggaran prosedur oleh petugas bank
di jajaran paling bawah adalah perlu peninjauan kembali berbagai prosedur yang
mengandung kerawanan.
Dari penelitian, ternyata transaksi dalam kasus Bank BNI ini merupakan transaksi
bermasalah dengan indikasi transaksi tersebut dilakukan tanpa mengikuti ketentuan intern
Bank BNI. Transaksi L/C kedua grup usaha yang menjadi beneficiary telah dinegosiasikan
oleh Bank BNI Kebayoran Baru dengan diskonto tanpa didahului adanya akseptasi dari bank
penerbit.
Di samping itu, dokumen-dokumen L/C mengandung penyimpangan dan negosiasi L/C
dilakukan tanpa kelengkapan dokumen. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh
kantor besar Bank BNI, para eksportir, yaitu perusahaan-perusahaan yang termasuk
Gramarindo Group dan Petindo Group ternyata telah melakukan ekspor fiktif.
Hal ini terungkap antara lain dari hasil verifikasi kepada Pejabat Bea Cukai cabang Belitung
menyangkut Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) Gramarindo Group, Pejabat Bea Cukai
cabang Belitung menyatakan bahwa PEB tersebut palsu.
Sementara itu pula, penyelesaian pembayaran hasil transaksi ekspor (proceed) dari beberapa
slip L/C tersebut yang telah dinegosiasikan dilakukan bukan oleh bank pembuka L/C (issuing
bank), melainkan dilakukan oleh para eksportir sendiri dengan cara melakukan penyetoran
atau melalui pendebetan rekening para eksportir tersebut.

Saran:
Sistem dan prosedur pengamanan transaksi L/C, khususnya di bank-bank BUMN, termasuk
Bank BNI, cukup baik karena telah dibangun dan disempurnakan selama bertahun-tahun,
antara lain berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit masa lampau. Akan tetapi, sistem
pengamanan yang baik saja tidak cukup. Masih diperlukan sikap dari para petugasnya.

Nova Yunita Sari B.241.16.0018


Sekalipun sistem pengamanan sudah demikian baik, tetapi apabila para petugas bank sengaja
melanggar sistem dan prosedur dengan tujuan yang tidak baik, bank akan kebobolan juga.
Bank selalu dihadapkan pada pilihan dilematis antara pengamanan dan pelayanan kepada
nasabah. Pengamanan yang terlalu ketat akan menghasilkan pelayanan yang mengecewakan
nasabah.
Sebaliknya, pelayanan yang dirasakan sangat memuaskan nasabah akan mengorbankan
sistem pengamanan. Menghadapi dilema ini, bank harus bijak dan mampu membangun
prosedur kerja yang tetap dapat menjamin keamanan, namun pelayanan bank memuaskan
bagi nasabah.
Jelas bahwa bank harus memperhatikan kualitas layanan. Jangan sampai karena ingin
menegakkan prosedur secara ketat akhirnya pelayanan nasabah menjadi terlambat dan
menyebabkan petugas pelayanan menjadi stres berat. Hal ini jelas akan menciptakan suasana
kerja yang kurang kondusif, khususnya bagi pegawai yang tidak memiliki itikad buruk.
Dalam kasus L/C ekspor Bank BNI, mengingat transaksi L/C sampai saat ini hanya diawasi
melalui rekening administratif, kiranya perlu ditinjau kembali perilaku berbagai transaksi
bank yang akan menimbulkan pos kontijensi. Tidak ada salahnya, mengingat transaksi L/C
ekspor selama ini tidak sebanyak transaksi untuk setoran dan penarikan uang di teller,
kewenangan melakukan transaksi pemimpin cabang seyogianya dibatasi. Contohnya jika
terdapat L/C ekspor dalam nilai tertentu, negosiasi dan kelengkapan dokumen seyogianya
dilaporkan ke pejabat di atas pemimpin cabang sebelum bank melakukan pembayaran.
Kebijakan semacam itu perlu juga diterapkan untuk transaksi lain yang kemungkinan akan
menimbulkan kerugian bagi bank apabila petugas bank di jajaran paling bawah ikut bermain
dalam transaksi itu.

Penulis : Ketua Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi FE Undip

Dikutip dari : http://www.suaramerdeka.com/harian/0311/08/eko2.htm

Nova Yunita Sari B.241.16.0018

Anda mungkin juga menyukai