Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI SEPSIS

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke
dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan
disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi.
Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung
luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat
meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.3

Manifestasi klinik inflamasi sistemik disebut systemic inflamation respons syndrome


(SIRS), sedangkan sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun
sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat bakteriemia.
Berdasarkan konferensi internasional tahun 2001 memasukkan petanda procalcitonin (PCT)
sebagai langkah awal dalam mendiagnosa sepsis3. Purba D (2010) di Medan, pada penelitian
prokalsitonin sebagai petanda sepsis mendapatkan nilai PCT 0,80 ng/ml sesuai untuk sepsis
akibat infeksi bakteri dan kadarnya semakin meningkat berdasarkan keparahan penyakit.19

Ketika jaringan terluka atau terinfeksi, akan terjadi pelepasan faktor-faktor


proinflamasi dan anti inflamasi secara bersamaan. Keseimbangan dari sinyal yang saling
berbeda ini akan membantu perbaikan dan penyembuhan jaringan. Ketika keseimbangan
proses inflamasi ini hilang akan terjadi kerusakan jaringan yang jauh, dan mediator ini akan
menyebabkan efek sistemik yang merugikan tubuh. Proses ini dapat berlanjut sehingga
menimbulkan multiple organ dysfunction syndrome (MODS).1

Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis, masih banyak
faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan penyakit.
Respon tubuh terhadap patogen melibatkan berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik
yang bersifat proinflamasi maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah
tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), dan interferon- (IFN-) yang bekerja
membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin
antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas

Universitas Sumatera Utara


untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6
dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus.2,3

Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin
gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin utama yaitu lipopolisakarida
(LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks dapat secara langsung mengaktifkan sistem
imun seluler dan humoral, bersama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk
lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita dengan
perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag yang kemudian
mengekspresikan imunomudulator.2

Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-antigen setelah
difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell dan
kemudian ditampilkan sebagai antigen presenting cell (APC). Antigen ini membawa muatan
polipeptida spesifik yang berasal dari major histocompatibility complex (MHC), kemudian
berikatan dengan CD4+ (limposit Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell receptor (TCR).2,3

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu: IFN-, IL-2,
dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF0. Limposit Th2 akan mengeluarkan IL-4,
IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN- meransang makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-. Pada
sepsis IL-2 dan TNF- dapat merusak endotel pembuluh darah. IL-1 juga berperan dalam
pembentukan prostaglandin E2 (PG-E) 2 dan meransang ekspresi intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses adhesi neutrofil dengan endotel.2,3

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang


menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksidan radikal bebas
yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria. Akibat proses tersebut terjadi kerusakan
endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan menyebabkan gangguan vaskuler sehingga
terjadi kerusakan organ multipel.2,3

2.2 SEPSIS PADA INFEKSI HIV DAN KAITAN DENGAN STATUS NUTRISI

Kejadian infeksi HIV/AIDS saat ini terus meningkat, kerapuhan atau kelumpuhan
sistem imun penderita HIV berdampak pada penurunan proteksi tubuh dalam menghalau
mikroorganisme patogen meskipun memiliki virulensi rendah, bahkan kegagalan dalam

Universitas Sumatera Utara


pengendalian saprofit sehingga meningkatkan risiko infeksi sekunder. Konsekuensi infeksi
pada individu imunokompromise adalah peningkatan kejadian sepsis berat.6

Berbagai faktor ikut menentukan terjadi dan progresivitas HIV dan AIDS ke sepsis.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor eksternal dan internal. Faktor internal yang
sangat menentukan adalah faktor imun, status nutrisi dan proses apoptosis. Akibat intervensi
HIV terhadap limposit T akan menyebabkan sistem imun terdesak ke posisi
imunokompromise, akan terjadi kematian sel patologis, difus, dan dipercepat. Individu
menjadi rentan terhadap infeksi sekunder dan potensial berkembang ke arah gradasi infeksi
berat, sepsis, MODS, serta kematian.6
Penurunan berat badan dan malnutrisi merupakan hal yang umum terjadi pada infeksi
HIV atau AIDS, dan hal ini akan mengakibatkan percepatan progresivitas penyakit,
meningkatkan morbiditas, dan mengurangi survival karena malnutrisi akan mempengaruhi
imunitas.9 Malnutrisi pada pasien infeksi HIV/AIDS meliputi gejala-gejala sebagai berikut:
penurunan berat badan; berkurangnya jaringan otot dan lemak sub kutan; defisiensi vitamin
dan mineral; penurunan kemampuan imun; dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi.
Status nutrisi yang jelek dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti: penurunan nafsu
makan, asupan makanan yang rendah, infeksi kronis, malabsorbsi, gangguan metabolisme,
katabolisme otot dan jaringan, demam, mual-muntah, diare, depresi, dan efek samping obat-
obatan.10
Gangguan nutrisi pada pasien infeksi HIV/AIDS menyebabkan defisiensi pada
komponen makronutrient (karbohidrat, protein, dan lemak) dan mikronutrient (vitamin dan
mineral), hal ini akan berpengaruh terhadap survival pasien.9,10 Hubungan antara infeksi
HIV/AIDS, malnutrisi, dan infeksi/sepsis dapat dilihat seperti pada gambar berikut.

Gambar 2-1. Hubungan antara infeksi HIV/AIDS, malnutrisi, dan infeksi.10

Universitas Sumatera Utara


2.3 BIOELECTRICAL IMPEDANCE ANALYSIS DAN APLIKASI KLINIS
BIA menganalisa komposisi cairan tubuh secara tidak langsung dengan mencatat
perubahan impedance arus listrik segmen tubuh.20

Prinsip BIA adalah mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang didasarkan
pada asumsi bahwa jaringan tubuh adalah merupakan konduktor silinder ionik dimana lemak
bebas ekstrasellular dan intrasellular berfungsi sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik
dalam tubuh adalah jenis ionik dan berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa
dan asam, juga berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium. Jaringan
terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik yang baik,
sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk.11,20

Ada beberapa istilah yang dipergunakan dalam BIA yaitu impedance, resistance (R)
dan capacitance (Xc). Impedance adalah perubahan frekuensi arus listrik yang melewati
jaringan tubuh dimana frekuensi arus listrik diperlambat atau dihambat. Impedance
merupakan kombinasi dari resistance (R) dan capacitance (Xc). Resistance merupakan
tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh cairan intra dan ekstrasel sedangkan
capacitance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh jaringan dan
membran sel. Resistance dan capacitance berbanding lurus dengan panjang jaringan dan
berbanding terbalik dengan tebal jaringan tubuh.11,21,22

Gambar 2-2. Arus listrik yang dipengaruhi panjang dan tebal jaringan.11

Resistan dan kapasitan dapat diukur dengan berbagai tingkat frekuensi. Pada
frekuensi nol gelombang tidak dapat menembus membran sel yang berfungsi sebagai
insulator, dan karenanya gelombang hanya melewati cairan ekstraseluler, sedangkan
frekuensi tinggi gelombang dapat menembus membran sel yang menjadi kapasitor sempurna,

Universitas Sumatera Utara


dan karenanya gelombang melewati cairan intraseluler dan ekstraseluler. Pada frekuensi
gelombang 50 kHz, gelombang melewati cairan intra dan ekstraseluler, dengan proporsi
berbeda dari jaringan ke jaringan lain.11

Elektroda BIA umumnya ditempelkan pada permukaaan tangan dan kaki, pengukuran
dilakukan pada temperatur ruangan normal dimana pasien tidak merasa kedinginan atau
kepanasan.11,23 Pasien tidak boleh makan atau minum sekurangnya 4 jam sebelum
pengukuran.15

Gambar 2-3. Tehnik pengukuran komposisi tubuh dengan BIA.24

2.4 BEBERAPA PARAMETER YANG DIHASILKAN OLEH BIA

Pengukuran dari hubungan ini merefleksikan volume cairan tubuh {Total Body Water
(TBW), Extracellular Water (ECW) dan Intracellular Water (ICW), Total Body Kalium
(TBK)} dan status nutrisi tubuh {Body cel Mass (BCM), Fat Free Mass (FFM), dan Fat Mass
(FM), Resting Metabolic Rate (RMR), Total Protein, Mineral dan Glikogen)} serta phase
angle.11

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2-4. Diagram skematik komposisi tubuh.11

2.4.1 STATUS VOLUME CAIRAN TUBUH.25,26

BIA sangat berguna ketika diketahui dapat mengetahui jumlah cairan dalam sel dan di
luar sel. Cairan yang berada dalam sel disebut ICW sedangkan cairan yang berada di luar sel
disebut ECW. Total cairan tubuh disebut dengan TBW. Tiga nilai ini mencakup:

1. Fungsi integritas dari sel membran, yang mana bertanggung jawab terhadap gradient

elektro-osmotik yang melewati membran sel. Cairan intrasel harus seimbang dengan
jaringan sekitarnya yang berfungsi sebagai nutrisi sel dan detoksifikasi.

2. Di dalam sel berisi elektrolit. Untuk menjaga supaya cairan tetap didalam sel, jumlah

elektrolit harus cukup untuk menjaga tekanan osmotik agar air tetap bertahan didalam sel.
Kalium adalah elektrolit yang utama di intrasel sedangkan Natrium adalah elektrolit yang
utama di ekstrasel.

3. Asam lemak berada dalam membran sel. Jika tidak terdapat lapisan lemak di setiap sel

dalam tubuh kita, maka semua cairan akan keluar. Lemak menolak air (seperti minyak
dan asam cuka) dan menjaga air tetap dalam sel.

4. Jumlah mesenkim dan jaringan yang mengandung banyak cairan. Pada umumnya akan

menyebabkan toksisitas karena normalnya jaringan hanya mengandung sedikit cairan


untuk memisahkan satu sel dengan sel yang lainnya, dan dari pembuluh darah serta sel
syaraf.

Universitas Sumatera Utara


2.4.1.1 Total Body Water (TBW)
Adalah jumlah seluruh cairan tubuh yang terdiri dari cairan intrasel dan ekstrasel,
jumlahnya berkisar 50-60% berat badan. Dehidrasi atau kehilangan cairan dalam jumlah yang
banyak akan menyebabkan menurunnya total cairan tubuh. Jika dijumpai adanya infeksi
maka total cairan tubuh umumnya akan meningkat bila dibandingkan dengan kondisi normal.

2.4.1.2 Intracellular Water (ICW)


Adalah cairan yang berada di dalam sel, jumlahnya berkisar 60% dari TBW. Sel seperti
otot dan beberapa organ (hati, ginjal, dan otak) berisi lebih banyak air dibanding sel lemak.
ICW yang ideal memiliki fungsi menjaga metabolisme tubuh tetap normal.

2.4.1.3 Extracellular Water (ECW)


Adalah cairan yang berada di luar sel. Ini meliputi cairan yang berada di antara sel
(interstitial), darah, cairan limfe, cairan spinal, dan cairan yang terdapat di saluran cerna.
ECW ini termasuk dalam komponen extracellular mass (ECM). Haruslah dicatat bahwa
kandungan oksigen terhadap sel dengan jelas akan berkurang ketika terdapat kadar cairan
yang berlebihan di ekstrasel (edema).

2.4.2 STATUS NUTRISI 25,26

2.4.2.1 Body Cell Mass (BCM)

Didefinisikan sebagai massa intraselular dalam tubuh. Konsumsi oksigen, produksi


CO2, oksidasi glukosa, sintesa protein dan kerja metabolisme lain berlangsung di dalam
BCM. BCM pada hakekatnya merupakan massa dari seluruh elemen sel di dalam tubuh, oleh
karena itu merupakan komponen aktif dari metabolisme tubuh. Pada individu normal, sekitar
60% BCM terdapat pada jaringan otot, 20% terdapat pada jaringan organ, dan sisanya 20%
terdapat pada sel darah merah dan jaringan seperti adiposa, tendon, tulang dan tulang rawan.

2.4.2.2 Free Fat Mass (FFM)


Adalah kombinasi dari Body Cell Mass (BCM) dan Extracellular Mass (ECM).

2.4.2.3 Fat Mass (FM)

Lemak adalah tempat penyimpanan energi di dalam tubuh. Fat Mass sama dengan berat
badan aktual dikurangi dengan Free fat Mass. Nilai normalnya dipengaruhi oleh umur dan
jenis kelamin.

Universitas Sumatera Utara


2.4.2.4 Resting Metabolic Rate (RMR)

Energi merupakan kebutuhan pokok proses biologik. Tanpa energi, proses dasar
biologik untuk kehidupan tidak terjadi. Metobolisme terjadi melalui 2 fase yang berbeda: 1)
Katabolisme, badan memecah makanan dan menghasilkan energi. 2) Anabolisme, di mana
bagian komponen makanan dan energi digunakan untuk membangun jaringan yang baru dan
melakukan fungsi dasar hidup. RMR adalah jumlah energi dalam tubuh yang dibutuhkan
setiap hari untuk melakukan fungsi dasar hidup.

RMR adalah suatu cara untuk mengetahui seberapa cepat pembakaran kalori dalam
tubuh. Rendahnya metabolisme, maka berat badan akan tetap. Pembakaran kalori yang lebih
besar dari pemasukan, akan menyebabkan penurunan berat badan.

Tabel 2-1. Nilai Resting Metabolic Rate berdasarkan Jenis Kelamin.26

2.4.3 PHASE ANGLE 11,14,26

Phase angle bergantung dari total resistan dan reaktan tubuh dan tidak bergantung dari
tinggi dan berat badan serta lemak tubuh. Phase angle yang rendah timbul pada keadaan
adanya kematian sel dan kerusakan membran sel. Tingginya nilai phase angle timbul pada
keadaan dimana banyak jumlah membran sel dan BCM yang masih baik. Semua unsur hidup
mempunyai nilai phase angle.

Phase angle merupakan prediktor outcome dan mengindikasikan adanya penyakit atau
kondisi tubuh yang sehat berdasarkan nutrisi yang baik dan olahraga yang teratur.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2-5. Diagram sumber penetapan nilai phase angle; merupakan hubungan antara
resistance (R), reactan (Xc), impedance (Z), dan frekuensi arus yang digunakan.11

Tabel 2-2. Nilai Phase Angle berdasarkan Jenis Kelamin.25

2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIA


2.5.1 Jenis kelamin
Terdapat perbedaan total massa tubuh antara pria dan wanita, dimana pria memiliki
total massa tubuh 8% lebih tinggi dibandingkan wanita.27 Sungkar T (2010) dalam penelitian
tentang perbedaan parameter BIA berdasarkan jenis kelamin pada populasi sehat di Medan
mendapatkan umumnya parameter pada pria lebih tinggi dari wanita, kecuali parameter FM
yang lebih tinggi pada wanita.28
2.5.2 Etnik / Ras
Faktor yang bertanggung jawab terhadap perbedaan etnik, yang dapat mempengaruhi
akurasi hasil pengukuran komposisi tubuh dengan BIA yaitu seperti: distribusi lemak,
densitas tubuh, dan perbedaan proporsi panjang kaki.14
2.5.3 Umur
Usia menunjukan perbedaan yang besar pada setiap individu terutama pada densitas
mineral, hidrasi dan protein yang terkandung dalam FFM. Juga dijumpai penurunan nilai FM
pada usia lanjut.14

Universitas Sumatera Utara


2.6 APLIKASI BIA PADA SEPSIS

BIA merupakan pengukuran yang berguna untuk menilai komposisi tubuh pada
pasien sepsis, pengukuran komposisi tubuh adalah penting pada penilaian status nutrisi pada
pasien tersebut. BIA juga dapat menggambarkan derajat keparahan suatu penyakit, yang
dapat mempengaruhi intervensi terapi.14

Pada sepsis, konsekuensi dari inflamasi sistemik yang berlebihan akan menyebabkan
kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskular, gangguan oksigenasi jaringan, dan kerusakan
organ.4 Hal ini akan menyebabkan perubahan pada parameter BIA, terutama parameter phase
angle.14
Pada sepsis terjadi perubahan pada komposisi cairan tubuh. Inflamasi akan
menyebabkan total body water bertambah.25 Pada saat bersamaan juga terjadi kerusakan sel
dan peningkatan permeabilitas sehingga akan disertai pergeseran cairan tubuh dari
intraselular dan intravaskular ke intertisial / interselular.29 Pada keadaan ini parameter
komposisi cairan tubuh BIA dapat merefleksikan perubahan tersebut.25

Seperti infeksi lain, pada sepsis juga terjadi perubahan metabolisme, di mana proses
katabolisme akan semakin meningkat. Kebutuhan energi basal akan bertambah yang
dicerminkan oleh peningkatan nilai RMR, dan RMR akan semakin tinggi pada pasien dengan
penyakit infeksi berat. Gangguan metabolisme ini dan ditambah asupan makanan yang
kurang akan berpengaruh terhadap status nutrisi tubuh yang meliputi perubahan pada BCM,
FFM, FM, total protein, mineral, dan glikogen. Perubahan komposisi tubuh yang ringan
umumnya bisa tergambar melalui parameter nutrisi BIA.8,14

Terdapat beberapa penelitian yang memakai parameter BIA pada pasien sepsis. Studi
yang dilakukan oleh Schwenk dkk (1998) dengan memakai parameter BIA pada pasien sepsis
mendapatkan adanya perubahan pada komposisi cairan tubuh, dimana terjadi perpindahan
cairan dari intraselular ke ekstraselular dan ini berhubungan dengan prognosis yang jelek.29
Swaraz (2003) mendapatkan parameter phase angle BIA dapat memprediksi survival pada
pasien SIRS, di mana nilai awal phase angle >4o berhubungan bermakna dengan angka
survival selama 28 hari yang lebih tinggi.16 Tsoroz dkk (2005) yang membandingkan ECM
dan BCM antara pasien SIRS dengan sepsis berat menggunakan BIA mendapatkan nilai
BCM berkurang pada kedua kelompok, namun tidak berbeda secara bermakna.17

Universitas Sumatera Utara


2.7 APLIKASI BIA PADA PASIEN INFEKSI HIV/AIDS
Pada malnutrisi pasien infeksi HIV/AIDS, salah satunya terjadi mobilisasi protein dari
BCM (terutama massa otot rangka) untuk memenuhi kebutuhan glukoneogenesis,
menyebabkan wasting klasik seperti yang terlihat pada infeksi HIV stadium lanjut. Malnutrisi
pada pada HIV/AIDS pada akhirnya ditandai oleh berkurangnya BCM namun disertai
ekspansi ECF. Karena berkurangnya BCM bersamaan dengan bertambahnya ECF, maka
FFM dan berat badan bisa hanya sedikit berubah. Oleh karena itu penilaian antropometrik
konvensional sering tidak bisa mendeteksi perubahan komposisi tubuh terutama pada stadium
awal infeksi HIV. Pada stadium lanjut infeksi HIV perubahan komposisi tubuh ini lebih
jelas.15
Pada pasien dengan penyakit infeksi HIV juga terjadi peningkatan RMR, namun pada
pasien infeksi HIV nilai RMR yang berubah tidak begitu berpengaruh terhadap total
pengeluaran energi harian karena umumnya telah terdapat pengurangan aktivitas harian.
Pasien HIV dengan infeksi sekunder memiliki RMR yang lebih tinggi daripada tanpa infeksi
sekunder.9
Adanya kerusakan jaringan dan organ akibat kematian sel yang patologis, difus, dan
dipercepat, infeksi sekunder serta gangguan nutrisi akan menyebabkan perubahan pada nilai
phase angle. Nilai phase angle pada pasien infeksi HIV dapat mencerminkan keparahan
penyakit secara umum, serta juga dapat mengambarkan keadaan status nutrisi. Nilai phase
angle yang rendah mengambarkan keadaan penyakit yang lebih parah.14.15
Christine dkk (1996) menilai komposisi tubuh pasien laki-laki dengan infeksi HIV yang
secara klinis kondisinya stabil mendapatkan data bahwa pasien dengan infeksi yang lebih
berat mengalami penurunan massa otot dan lemak lebih banyak.30 Barbara dkk (2000) yang
menilai komposisi tubuh pada pasien wanita dengan infeksi HIV mendapatkan korelasi
bermakna antara fat mass dan BCM dengan jumlah CD4+ absolut, namun antara parameter
komposisi tubuh dengan viral load tidak berkorelasi secara bermakna.31
Sedangkan Ampel dkk (1998) yang meneliti hubungan antara komposisi tubuh dengan
status nutrisi dan keadaan infeksi HIV mendapatkan bahwa phase angle berhubungan dengan
status nutrisi, namun tidak berhubungan dengan status imunologik (CD4), virologik, ataupun
status klinis.32 Kemudian Ludy dkk (2005) yang menilai komposisi tubuh pasien infeksi HIV
di Thailand menyimpulkan parameter BIA dapat digunakan dalam menilai status nutrisi
pasien-pasien dengan infeksi HIV, dan status nutrisi ini berhubungan erat dengan morbiditas
dan mortalitas.18

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai