Anda di halaman 1dari 6

KRITIK SASTRA FORMALISME

Teori Formalisme
(Stephanus Ura)

Di Italia dan Rusia sekitar tahun 1910-1915 muncul gerakan avant garde yang disebut
gerakan Futurisme.Gerakan Futurisme (masa depan) sangat memuja zaman modern.Mereka
menolak dan memberontak terhadap tradisi dan kebudayaan. Adanya industrialisasi dengan
mesin-mesin bergerak cepat, sehingga membebaskan rakyat yang tertindas. Karena sangat
radikal, gerakan ini memicu terjadinya kekerasan dan perang. Di Rusia sendiri terkenal
dengan gerakan Revolusi Bolsyevik dan di Italia Fasisme. Situasi yang demikian ini, lahirlah
Formalisme Rusia (Taum, 1995:32).
Kaum Futuris Rusia seperti Mayakovski dan Pasternak mengemukakan bahwa sastra
hendaknya menyesuaikan diri dengan zaman modern yang bergerak cepat dan tidak
mengenal ketenangan, baik dalam tema (teknik dan mesin) maupun dalam bentuk (otonomi
bahasa dan seni). Kaum inilah yang mendorong lahirnya aliran Formalisme Rusia yang
meletakkan dasar-dasar ilmiah dalam studi sastra dengan meneliti ciri kesastraan dalam teks
sastra secara otonomi. Selain itu, lahirnya aliran formalisme Rusia ini sebagai reaksi
terhadap aliran positivisme pada abad ke-19 yang cenderung memperhatikan data-data
biografis dalam studi ilmiah dan menganggap yang ilahi sebagai yang absolut. Formalisme
Rusia (1915-1930) juga disebut sebagai tonggak awal bagi kesusastraan modern, lalu
diteruskan oleh strukturalisme Praha (1940-an), dan sekitar 1960-an disusul oleh
strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Inggris, gerakan
otonomi Jerman, strukturalisme Belanda, dan strukturalisme Indonesia melalui kelompok
Rawamangun pada 1960-an. Kaum Futuris menawarkan materialisme abad mesin sebagai
wilayah puisi yang mendukung revolusi. Pada seniman (kaum proletar) menduduki peran
sebagai penghasil kerajinan tangan (produk puisi dianggap kerja teknis). Jadi, seniman benar-
benar seorang pembangun dan ahli teknik, seorang pemimpin dan pemuka (Taum, 1995:32).
Kelompok studi the OPOJAZ (Obshchestvo Izucheniia Poeticheskogo Yazyka / Society
for the Study of Poetic Language) terbentuk di St. Petersburg, Rusia. Keberadaan kelompok
ini dipelopori oleh para ahli linguistik dan para ahli sastra. Tokohnya seperti : Boris
Eichenbaum, Viktor Shklovsky, Roman Jakobson, Boris Tomasjevsky, dan Juri Tynyanov.
Kelompok studi ini bergabung dan menetapkan dua hal sebagai dasar formalisme, yakni 1)
studi sastra yang ilmiah sebagai pengetahuan yang otonom dengan menggunakan metode dan
prosedurnya sendiri; dan 2) mereka membuat karya sastra cenderung menjadi aneh, yaitu
suatu bentuk defamiliarisasidan deotomatisasi. Dalam tulisan yang bukan termasuk karya
sastra, suatu kalimat diungkapkan secara langsung : bumi ini adalah bulat. Dalam karya
sastra yang dimaksud dalam kajian formalis, kalimat diungkapkan secara tidak langsung :
sejauh mata memandang, kita tidak akan dapat melihat batas ujung dunia, hanya matahari
yang memutari bumi yang dapat menjadi pengetahuan kita tentangnya. Seperti itulah contoh
deotomatisasi.
Senada dengan hal di atas, Ratna (2015:80) mengemukakan ada tiga faktor lahirnya
Formalisme. Ketiga faktor tersebut, 1) akibat penolakannnya terhadap
paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip kausalitas (studi biografi),
2) kecenderungan dalam ilmu humaniora, yakni pergeseran paradigma diakronis ke sinkronis,
dan 3) penolakan terhadap pendekatan tradisional yang memberi perhatian pada hubungan
karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Walaupun demikian, ada perbedaan pendapat dalam teori strukturalisme, sehingga teori
strukturalisme itu sendiri dikelompokkan menjadi strukturalisme formalis, strukturalisme
genetik, dan strukturalisme dinamik. Secara umum strukturalisme menganut paham penulis
Paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Sausessure, yang memunculkan konsep bentuk
dan makna ( sign and meaning).
1. Tokoh-tokoh Kaum Formalisme
Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia (pakar sastra dan linguistik).
Kelompokpertama, lingkaran linguistik Moskow tahun 1915 didirikan oleh Roman Jakobson,
Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur. Kelompok kedua, Mazhab Opajaz (masyarakat studi
puitika bahasa) Leningrad tahun 1916 didirikan oleh Boris Eichhenbaum, Victor Sjklovski,
dan Lev Iaukubinski (Ratna, 2015: 82).
Formalisme terdiri dari dua kelompok, yakni ahli satra Rusia dan ahli linguistik Rusia
seperti Viktor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, Boris Tomasjevsky, dan Juri
Tynyanov. Kelompok ahli linguistik Rusia ini dengan sebutan The Moscow Linguistics Circle
(1915). Kelompok ahli sastra Rusia dengan sebutan the Opojaz Group (1916) atau Society
for the Study of Poetic Languaegedengan tokoh utamanya, yakni Victor Skhlovsky.
Kelompok The Moscow Linguistics Circle (1915) dengan tokoh utamanya, yaitu Roman
Jakobson. Dia seorang linguis, pendiri Prague Linguistics Circle (1926-1939). Siapakah
mereka itu?
Victor Shklovsky lahir di St. Petersburg 24 Januari 1893 6 Desember 1984. Ayahnya
seorang Yahudi (Shklov) dan ibunya dari Jerman. Pada tahun 1916, ia mendirikan OPAYAZ
( Obshchestvo izucheniya Poeticheskogo Yazyka), yakni masyarakat untuk studi Poetic
Language.
Roman Jakobson Opsipovich dari Rusia hidup tahun 11Oktober 1889-18 Juli 1982. Ia
seorang ahli Bahasa terbesar abad ke-20 dan teori sastra. Ia anggota dari sekolah Formalis
Rusia tahun 1915, ia belajar di Cekoslovakia (pada perang dunia ke-2) bersama N.
Trubetzkoy. Kepemimpinannya sangat berpengaruh di lingkungan Linguistik Praha (Prague
Lingusitic Circle). Selama di Cekoslovakia mereka diserbu oleh Nazi, lalu mereka lari ke
Skandinavia, seterusnya ia pindah ke Amerika Serikat tahun 1941. Tahun 1942- 1946 Roman
Jakobson Opsipovich mengajar di Ecelo des Hautes EtudesLibre di New York city. Ia belajar
bekerja sama dengan Clande Levi-Strauss.
Boris Mikhailovich Eikhenbaum dari Rusia hidup 16 Oktober 1886 sampai 2 November
1959. Boris seorang sarjana sastra Rusia dan Soviet, juga sejarahwan Rusia. Ia wakil dari
formalisme Rusia.
Kedua kelompok ini sepakat menetapkan dua hal yang menjadi dasar formalisme.
Mereka menetapkan bahwa untuk studi sastra yang ilmiah sebagai pengetahuan yang otonom
dengan menggunakan metode dan prosedurnya sendiri; dan mereka mempunyai
kecenderungan membuat karya sastra menjadi aneh, yaitu suatu bentuk defamiliarisasi dan
deotomatisasi.

2. Tujuan Formalisme
Tujuan kaum formalisme ini untuk mengetahui keterpaduan unsur yang ada dalam karya
sastra itu sendiri, sehingga mampu menjalin keutuhan bentuk danisi dengan cara menelisik
dan meneliti unsur-unsur kesusastraaan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya.
Tujuan pokok formalisme, yakni studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-
unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang digunakan: formal
(tidak merusak teks dan mereduksi) melainkan merekonstruksi dengan cara memaksimalkan
konsep fungsi, sehingga menjadi teks sebagai suatu kesatuan yang terorganisasikan.

3. Konsep - Gagasan Formalisme


Secara etimologi, formalisme dari kata forma (Bahasa Latin) yang artinya bentuk atau
wujud. Formalisme berarti cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang
mengesampingkan data biografis, psikologis, ideologis, dan sosiologis serta mengarahkan
perhatiannya pada bentuk karya sastra itu sendiri (Taum, 1995:31). Forma atau bentuk ini
berdiri sendiri secara otonomi tanpa melihat unsur seperti konteks budaya, biografi, dan
sejarah. Bentuk itu dipakai untuk menganalisis karya sastra yang meliputi teknik
pengucapan: rima, ritme, aquistik, asonansi, aliterasi, dan sebagainya.Gagasan ini boleh
dikatakan radikal karena karya sastra diperlakukan sebagai disiplin keilmuan yang mandiri
(otonomi), dia tidak ada hubungan dengan ilmu lain. Oleh karena itu, penggagas formalisme
Rusia dianggap sebagai pendiri kritik sastra modern.
Sayangnya, teori mereka ditentang dan dilawan bahkan merekadiejek karena pendekatan
metodologis yang ditawarkannya tidak formal dan dogmatis. Gagasan Formalisme itu
ditentang filsafat positivisme. Filsafat positivisme menganggap bahwa ilmu pengetahuan
harus berasaskan fakta yang dapat diamati. Ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada
keterangan pancaindra, menurut pemikiran positivisme itu hanyalah spekulasi kosong.
Formalisme menolak pemikiran positivisme ini.
Konsep dasartokoh formalisme berfokus pada apa yang sebenarnya menjadi persoalan
pokok dari studi sastra itu sendiri bukan bagaimana sastra dipelajari. Konsep formalisme
yang dikatakan oleh Jokobson objek ilmu sastra bukanlah kesusastraan melainkan
kesastraannya yaitu yang menjadikan sebuah karya bisa disebut sebagai karya sastra.Boris
Eichenbaum juga mengatakan bahwa karakteristik dari kaumformalis hanya berusaha
mengembangkan ilmu sastra secara tersendiri, yang studinya lebihdikhususkan pada bahan -
bahan kesastraan.Formalisme juga menganggap penting berbagai ragam bahasa. Para
tokohmembedakan antara ragam bahasa puitik dengan bahasa praktis/prosaik dan ragam
bahasa puitik dengan bahasa emotif/emosional. Pembedaan tersebut menjadi sangat penting
karena masing-masing ragam (pemakaian) bahasa itu memiliki dan menyediakan konteks-
tujuan,fungsi, nilai, dan hukum-hukumnya sendiri.
Selain itu, mereka menjelaskan bahwa bentuk merupakan sesuatu yangkomplet, konkrit atau
nyata, dinamis, dan berdiri sendiri. Konsep ini mempercayai bahwa bentukberhubugan
dengan makna yang terkandung pada karya sastra. Apabila bentuk karya sastra diubah, isi
yangterkandung dalam karya sastra itu pun akan berubah. Maka, aspek bentuk sangat
berpengaruh pada makna atau isi karya sastra.
Konsep Formalisme tentang bentuk merupakan hasil dari pemikiran danpengamplikasian
teknik teknik artistik khusus yang memaksa pembaca untuk memperhatikan kehadiran
bentuk tersebut. Bentuk yang artistik akan memunculkan kesan pada pembaca. Selain artistik,
keberadaan teknik diperlukan untuk mendeskripsikan suatu objek. Formalisme menganggap
bahwa plot merupakan posisi sebagai struktur. Fiksi dan plot sungguh penting untuk
diketahui. Konstruksi plot menjadi subjek dasar yang menyimpan kekhasan pada seni naratif.
Victor Shklovsky mengatakan bahwa cerita hanya untuk memformulasikan plot, sementara
plot itu sendiri menempati posisinya sebagai struktur.
Kaum formalis beranggapan bahwa teks sastra adalah fakta kebendaan yang terbangun atas
kata-kata. Mereka menggunakan konsep defamiliarisasi dan deotomatisasi. Sifat
kesastraan sebagai akibat penyusunan dan pengubahan bahan semula bersifat netral.
Pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari
otomatisasi. Proses ini disebut defamiliarisasi, yakni tekni membuat teks menjadi asing dan
aneh karena teknik bercerita dengan gaya bahasa yang menonjol dan menyimpang dari
biasanya. Proses defamiliarisasi dapat mengubah tanggapan kita terhadap dunia (Taum,
1995:33).
Kaum formalis tidak lagi menjadikan puisi sebagai satu-satunya objek pengkajian,
juga tidak lagi terpadu sarana yang mengganjilkan atau mengasingkan karya sastra. Shlovky
mengembangkan teory oposisi fabula (story) dengan sjuzet (plot).Fabula adalah bahan
dasar berupa jalan cerita menurut logika dan kronologi peristiwa, sedangkan sjuzet adalah
sarana untuk menjadikan jalan cerita menjadi ganjil atau aneh.
Kaum Formalis periode awal cenderung mengidentifikasikan kesusastraan dengan
kepuitisan. Puisi dipandang oleh kaum Formalis sebagai penggunaan bahasa sastra secara
menginti. Definisis mereka tentang puisi adalah susunan tuturan yang ke dalamnya terjaring
keseluruhan tekstur bunyi. Faktor pembangun puisi yang paling penting adalah ritme.
Definisi Formalis tentang kesusasteraan adalah definisi yang berlandaskan pada sifat
perbedaan atau pertentangan. Unsur yang membentuk kesusasteraan hanyalah perbedaannya
dengan aturan fakta yang lainnya. menurut Victor Sklovskij, sastra mempunyai kemampuan
untuk memperlihatkan kenyataan dengan suatu cara baru, sehingga sifat otomatis dalam
pengamatan dan penerapan pembaca didobrak, dengan sarana bahasa. Sastra adalah
pemakaian bahasa yang khas yang mencapai perwujudannya lewat deviasi dan distorsi dari
bahasa praktis.
Pada hakikatnya ciri yang membedakan genre bukanlah sifat gaya-khas, tetapi lebih
merupakan sifat pertentangan yang membina genre yang bersangkutan sebagai kesusasteraan.
Sifat pertentangan yang terdapat di dalam prosa adalah antara unsurfabula dan
unsur sjuzet. Fabula merujuk kepada urutan peristiwa menurut tertib masa,
sedangkan sjuzet menurut tertib dan cara peristiwa itu sebenarnya disajikan dalam
kisah.Sjuzet mewujudkan kesan defamiliarisasi terhadap fabula, karena ciri gaya
khas sjuzettidak diciptakan sebagai alat untuk menyampaikan fabula.
Bertolak dari pandangan itu dapat dirunut lebih jauh bahwa sjuzet pada dasarnya
dapat merupakan defamilirisasi dari fakta yang merupakan landasan fabula. Menurut kaum
Formalisasi Rusia sjuzet di dalam karya sastra prosa pada dasarnya
merupakan defamiliarisasi fabula. Fabula sebagai cerita yang difamiliarisasi di dalam
sjuzet tentunya dapat muncul tidak secara tiba-tiba. Melainkan disebabkan oleh hal
tertentu. Salah satu hal yang dapat menjadi penyebab munculnya fabula adalah peristiwa
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (fakta). Itu berarti bahwa fakta dapat menjadi
landasan bagi munculnya fabula.
Dapat diketahui bahwa konsep mengenai proses perwujudan karya sastra yang
merupakan perbedaan atau pertentangan dengan realitas objektif disebut defamiliarisasi
(penganehan, pengasinan) atau proses menjadikan sesuatu itu luar biasa sifatnya (ostranenie).
Defamiliarisasi itu sendiri terwujud didalam teks sastra berupa sjuzet. Sementara itu, menurut
Victor Sklovskij yang dimaksud sjuzet bukan hanya susunan peristiwa-peristiwa cerita,
melainkan juga semua sarana yang dipergunakan untuk menyela dan menunda penceritaan,
digresi-digresi, permainan-permainan tipografis, pemindahan bagian-bagian buku ( kata
pengantar, persembahan, dan sebagainya), serta yang ditunjukkan untuk menarikperhatian
pembaca terhadap untuk prosa dimaksud. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya sjuzet itu berisi seluruh teknik penceritaan yang merupakan perwujudan dari konsep
demafiliarisasi.Dengan demikian, dapat kita diketahui bahwa teknik penceritaan berperan
penting untuk proses defamiliarisasi fakta dalam fiksi (prosa). Keberhasilan pengarang
menyusun prosa ditentukan oleh kemampuannya memilih dan menggunakan teknik-teknik
penceritaan yang variatif menarik untuk dikaji.

http://sastralaki.blogspot.co.id/2016/11/kritik-sastra-formalisme.html

Selasa, 08 November 2016

Anda mungkin juga menyukai