Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATA KULIAH AGAMA

MASYARAKAT MADANI

Disusun Oleh Kelompok 7 JTD 4B:

Sisca Arisya Harry Andhina 1441160062 / 20


Siti Alimatur Rofiah 1441160048 / 21
Titis Cahya Pertiwi 1441160090 / 22

JARINGAN TELEKOMUNIKASI DIGITAL


TEKNIK ELEKTRO
POLITEKNIK NEGERI MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah Swt., yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul Masyarakat Madani.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Agama Islam.

Kami menyadari bahwa selama penulisan makalah ini, penulis banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena masih
memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal ini maupun sistematika dan teknik
penulisannya. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Oleh sebab itu, Kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi penulis dan bagi
pembaca. Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Malang, 25 September 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebagian pejabat pemerintah,


politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat tentang masyarakat madani.
Tampaknya, semua potensi bangsa Indonesia dipersiapkan dan diberdayakan untuk
menuju masyarakat madani yang merupakan cita-cita dari bangsa ini. Masyarakat
madani diprediski sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi
budaya, adat istiadat, dan agama. Bangsa Indonesia pada era reformasi ini diarahkan
untuk menuju masyarakat madani, untuk itu kehidupan manusia Indonesia akan
mengalami perubahan yang fundamental yang tentu akan berbeda dengan kehidupan
masayakat pada era orde baru.

Masyarakat madani merupakan konsep yang mengalami proses yang sangat


panjang. Masyarakat madani muncul bersamaan dengan adanya proses modernisasi,
terutama pada saat transformasi menuju masyarakat modern. Dalam mendefinisikan
masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu
bangsa. Dalam Islam masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang taat pada
aturan Allah SWT, hidup dengan damai dan tentram, dan yang tercukupi kebutuhan
hidupnya.

Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak
mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan
dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka
bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika
sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini,
maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja. Oleh sebab itu, kami membuat
sebuah makalah dengan judul Masyarakat Madani
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Masyarakat Madani

Dalam perspektif Islam, Masyarakat Madani (civil society) lebih mengacu


kepada penciptaan peradaban. Kata al-Din yang umumnya diterjemahkan sebagai
agama berkaitan dengan makna al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu
dalam pengertian al-Madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian
makna civil society sebagai masyarakat madani yang mengandung 3 hal yakni, agama,
peradaan dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin agama merupakan sumber,
peradaban adalah prosesnya dan masyarakat kota adalah hasilnya.

Secara etimologi Madinah adalah kata dari bahasa Arab yang mempunyai dua
pengertian: Pertama; Madinah berarti kota atau disebut dengan masyarakat kota.
Karena kata madani adalah turunan dari kata bahasa Arab madina yang juga dalam
bahasa Yunani disebut Polis dan Politica yang kemudian menjadi dasar kata policy dan
politic dalam bahasa Inggris. Kedua; masyarakat berperadaban karena masyarakat
Madinah juga derivat dari kata tamaddun atau madaniyah yang berarti peradaban yang
dalam bahasa Inggris dikenal dengan civility atau civilization dan kata sifat dari
Madinah adalah madani. Civilizate soviety atau civil society dalam bahasa Arab dapat
disebut mujtama madani, masyarakat berperadaban. Jadi masyarakat madani dapat
berarti sama dengan civil society karena masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
peradaban.

Istilah masyarakat madani yang disosialisasikan di Indonesia sebagai


terjemahan dari Bahasa Inggris civil society. Kata civil society, sebenarnya berasal dari
bahasa Latin civitas dei, artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat, maka
dari kata civil ini membentuk kata civilization berarti peradaban. Dengan demikian
kata civil society diartikan sebagai komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang
telah berperadaban maju. Nurcholish Madjid, menyatakan konsepsi seperti ini, pada
awalnya merujuk pada dunia Islam yang ditujukan oleh masyarakat kota Arab. Nabi,
membuat deklarasi dengan mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah, kerena Nabi
ingin menciptakan sebuah masyarakat yang beradab (civil society). Dalam bahasa
Arab sipil madani, hukum sipil Qanun madani, sedangkan qanun berasal dari bahasa
Yunani, mirip bahasa Arab kanon, oleh karena itu kata Madinah juga mengandung
pengertian civil society.

Masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan


dan demokratis dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen
dalam kondisi seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya
dan tumbuh kesadaran diri untuk mewujudkan peradaban.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dimengerti bahwa masyarakat madani pada


prinsipnya mempunyai makna ganda yaitu demokrasi, transparasi, toleransi, potensi,
aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, kooperasi, koordinasi, simplikasi,
sinkronisasi, integrasi, emansipasi dan hak asasi. Namun yang paling dominan adalah
masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak
mengaitkan prinsip tatanan pada agama tertentu. Sedangkan masyarakat madani jelas
mengacu pada agama Islam. Oleh karena itu konsep masyarakat madani menurut Islam
adalah bangunan politik yang demokratis, menghormati dan menghargai publik seperti
kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial menjunjung tinggi etika dan moralitas
dan lain sebagainya. Dengan demikian masyarakat madani dapat dipahami sebagai
masyarakat yang berperadaban, masyarakat sipil dan menghargai pluralistik.

2.2 Karakteristik dan Ciri Pokok Masyarakat Madani

Dari pandangan dan gambaran tentang masyarakat madani di atas secara umum
dapat dipahami bahwa karakteristik masyarakat madani adalah masyarakat kota,
masyarakat yang berperadaban, masyarakat yang dapat menciptakan peradaban,
masyarakat yang memiliki pola kehidupan yang benar yaitu pola kehidupan
masyarakat yang menetap, bukan nomaden. Selain itu juga masyarakat yang terbuka,
pluralistik, menjamin kebebasan beragama, jujur, adil, mandiri, harmonis menjamin
kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani
tersebut pelaku sosial akan selalu berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan
yang bercirikan demokratisasi dalam berinteraksi dalam masyarakat yang plural dan
heterogen.

Masyarakat madani yang hendak diwujudkan antara lain berkarakteristik


sebagai berikut:
1. Masyarakat beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan
dan saling menghargai perbedaan agama masing-masing.
2. Masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan
pendapat serta mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan
individu, kelompok dan golongan.
3. Masyarakat yang menghargai hak asasi manusia untuk mengeluarkan
pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas penghidupan yang layak, hak
memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran serta hak untuk
memperoleh pelayanan dan perlindungan hukum yang adil.
4. Masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksi dari adanya budaya
malu bila melanggar hukum.
5. Masyarakat yang kreatif, mandiri dan percaya diri, memiliki orientasi kuat
pada penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi
6. Masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif,
penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat
kemanusiaan universal pluralistik.
AS. Hikam mengambil pemikiran Alexis De Tocqueville mengenai ciri-ciri
masyarakat madani merumuskan 4 ciri utama dari masyarakat madani yaitu:

1. Kesukarelaan, yang artinya suatu masyarakat madani bukanlah merupakan


suatu masyarakat paksaan atau karena indoktrinasi.
2. Keswasembadaan, masyarakat tidak tergantung kepada negara, juga tidak
tergantung kepada lembaga atau organisasi lain. Setiap anggota
masyarakat mempunyai harga diri yang tinggi yang percaya akan
kemampuan sendiri untuk berdiri sendiri bahkan untuk dapat membantu
sesama yang lain yang kekurangan. Anggota masyarakat bertanggung
jawab terhadap dirinya sendiri dan masyarakatnya.
3. Kemandirian tinggi terhadap negara, negara dianggap sebagai kesepakatan
bersama sehingga tanggung jawab lahir dari kesepakatan tersebut adalah
juga tuntutan dan tanggungjawab dari masing-masing anggota. Inilah
negara yang berkedaulatan rakyat.
4. Keterikatan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama, berarti suatu
masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berdasarkan hukum dan
bukan negara kekuasaan.
Ciri lain dari masyarakat madani yang dikemukakan oleh Antonio Rosmini
dalam The Filosofi of Right, Rights in civil society (1996:28-50) yang dikutip oleh
Mufid menyebutkan 10 ciri masyarakat madani, yaitu: universalitas, supremasi
keabadian, dan pemerataan kekuatan (prevalence of force) adalah 4 ciri yang pertama.
Ciri yang kelima ditandai dengan kebaikan dari dan untuk bersama. Hal ini bisa
terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam
memanfaatkan kesempatan atau (the tendency to equalize the share of utility). Keenam
jika masyarakat madani ditujukan untuk meraih kebijakan umum (the common good).
Tujuan akhir adalah kebijakan publik (the public good). Ketujuh, sebagai
pertimbangan kebijakan umum masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan
perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada setiap anggotanya
meraih kebijakan itu. Kedelapan, masyarakat madani memerlukan piranti eksternal
untuk mewujudkan tujuannya, piranti itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan,
masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan,
masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat.
Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata
kepada setiap warganya, tidak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun
serta homogen. Masyarakat madani terdiri dari berbagai warga beraneka warna, bakat
dan potensi, karena itulah masyarakat madani disebut sebagai masyarakat multi kuota
(a multi qouta society).

2.3 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani

Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam
terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di
bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan
kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan
terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina,
Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.

2.2.1 Kualitas SDM Umat Islam


Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110

Artinya:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam
adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara
aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnyadibanding umat non
Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Quran itu sifatnya
normatif, potensial, bukan riil.

2.2.2 Posisi Umat Islam

SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul.
Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan
ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan.
Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih
rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang
berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum
dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak
Islam.

2.4 Problem dan Dinamika Masyarakat Islam


Sebagai bangsa Muslim kita dituntut untuk mentranformasikan tugas
kekhalifahan kita, untuk memberi arah pada proses industrialisasi dan modernisasi
bangsa kita ini. Sebab kegagalan pembangunan bangsa kita adalah kegagalan kita
sebagai seorang muslim dalam mengemban amanah Tuhan dibumi tercinta ini.Kita pun
harus bangga, bahwa akhir-akhir ini timbul suatu kesadaran tentang transformasi nilai
keagamaan dikalangan menengah ke atas, sebagi basis kekuatan ekonomi bangsa. Disisi
lain bangkitnya kaum cendikiawan, dari berbagai disiplin ilmu merupakan kekayaan
tersendiri bagi umat kita, sehingga kesan Islam anti kemajuan(sains dan technologi)
makin hilang dan diganti dengan semangat pencarian dan penemuan serta pemanfaatan
technologi.
Dalam peraturan dunia yang transparan kita dituntut kaji ulang terhadap
pemahamaan keagamaan kita. Sehingga agama dan keberagamankita betul-betul
fungsional serta actual. Kita tidak hanya mengatakan bahwa agama kita yang paling
benar, akan tetapi dituntut untuk membuktikan kebenaran agama tersebut dalam
dinamika pembangunan. Hal ini bukan persoalan yang ringan, melainkan pekerjaan
yang besar yang perlu diantisipasi oleh manusia yang berkualitas (beriman-ilmu dan
amal).
Dalam proses memasuki era universitas dunia kita masih memiliki pekerjaan
yang belum terselesaikan yaitu:
1. Kebodohan
Jika Al-Quran menyatakan bahwa,Allah akan mengangkat derajat orang-orang
yang berilmu melebihi lainnya, berarti kebodohanlah yang menjadi penyebab
kemerosotan dan keterbelakangan manusia. Oleh karena itu Islam memandang
penanggulangan kebodohan itu sebagai tindak kemungkaran. Ada sebuah hadist
yang menegaskan masalah ini yaitu tentang komunitas muslim yang
disebutAsyariyah,suatu kelompok terpelajar yang membiarkan
lingkungannya tetap dalam kebodohan.
2. Kemiskinan
Wawasan ekonomi Islam lebih banyak memandang potensi alam yang di
anugrahkan oleh Allah dari segi kecukupannya daripada segi kekurangan atau
kelangkaanya. Hal ini dari premis, bahwa sumber daya alam itu berkecukupan
untuk memberikan kesejahteraan. Oleh karena itu jika kalangan muncul,
merupakan akibat kesalahan orang untuk memanfaatkanya,melestarikaanya atau
kebodohan dan kemalasannya. Kemiskinan di pandan oleh Islam sebagai
patologi sosial yang harus di tanggulangi.
3. Kemaksiatan
Kekacauan jiwa, kegoncangan hati, ketidakn tentraman bathin. Sentimen,
dendam dan macam-macam penyaki bathin lainnya adalah dampak langsung
dari kemaksiatan. Beberapa terjadi kehancuran sosial akibat dari tindak maksiat
seperti pembunuhan, perjudian atau kehancuran rumah tangga, lingkungan dan
martabat seorang sebagai individu.
4. Solusi
Dalam dunia tanpa batas sekarang ini, sebuah negara dan masyarakat akan
memiliki resiko yang tinggi, apabila tatanan dalam sebuah masyarakat tidak
memberikan ruang gerak yang terbuka (diktator). Kepada masyarakat. Untuk itu
dalam mewujudkan masyarakat madani, maka prinsip-prinsip ini harus
dijalankan, yaitu prinsip kebebasan, keterbukaan, keadilan, egaliter, empati dan
toleran atas landasan tauhid. Termasuk kesukarelaan, keswasembadaan,
kemandirian yang tinggi, keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati
bersama.(Hikam, Alexis de Tocqueville dalam pendekatan akletik).
2.5 Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam membangun masyarakat madani diperlukan sebuah proses sosialisasi
yang panjang, melalui suatu prosess pendidikan. Karena sesungguhnaya, masyarakat
madani secara subtansinya adalah terciptanya kehidupan masyarakat yang penuh
dengan kecerdasan, kreatifitas (life skill), keadaban, kejujuran, keadilan, keterbukaan,
dan penuh dengan nilai-nilai yang bersumber religuisitas. Oleh karena itu, membangun
masyarakat madani berarti membangun sikap dan prilaku masyarakat agar tercipta
keseimbangan hidup jasmani dan ruhani dalam hidup masyarakat, berbangsa dan
bernegara. (Dhohar, 2003: 167) Berkaitan dengan hal ini, salah satu alternatif yang
ditawarkan adalah dengan cara pemberdayaan/ memberdayakan warga (rakyat) melalui
proses pendidikan, dengan memperhatikan empat pilar utama pendidikan yaitu learning
to know, learning to do, learning to be, learning to life together.
Secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai usaha sadar yang
dilakukan secara sistematik untuk membentuk masyarakat didik sesuai dengan tuntutan
Islam. (Abuddin Nata, 2003: 129) Paradigma pendidikan Islam pada hakekatnya adalah
proses penanaman dan pewarisan nilai-nilai budaya Islam untuk memperdayakan dan
mengembangkan potensi, serta sekaligus proses produksi nilai-nilai budaya Islam baru
sebagai hasil interaksi potensi dengan lingkungan zaman yang terus maju ke depan dan
berkembang dalam setiap lini kehidupan. Oleh karena itu, kunci keberhasilan umat
Islam agar mampu menangkap ruh ajaran Islam yang sesungguhnya dan selalu konteks
dengan kehidupan adalah melalui proses pendidikan. Fazlur Rahman mengatakan
bahwa setiap reformasi dan pembaharuan dalam Islam harus dimulai dengan
pendidikan. (Fazlur Rahman, 2003: 44-46) Mastuhu juga berpendapat bahwa manusia
adalah makhluk yang memiliki daya akal dan kehidupan, maka ia harus membentuk
peradaban dan memajukan kehidupan melalui proses pendidikan (belajar mengajar).
(Mastuhu, 1994: 4) Seiring dengan ini, proses pembangunan di Indonesia bertujuan
untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, moral dan material. Membangun
manusia yang bermoral berarti membangun kualitas bangsa. John Gardner mengatakan
bahwa suatu bangsa akan menjadi besar apabila bangsa itu percaya pada sesuatu, dan
sesuatu itu harus berdimensi moral, sesuatu itu tidak lain adalah agama. Agama akan
membentuk manusia bermoral apabila dilakukan melalui jalur proses pendidikan.
Pendidikan Islam di Indonesia sebagai sub sistem pendidikan nasional, pada
hakekatnya juga bertujuan untuk berpartisipasi dalam membangun kualitas bangsa
dalam segala aspeknya, terutama dalam hal peningkatan moral. (Nurcholis Madjid,
1993: xx)
Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini mendapat sorotan tajam dari
masyarakat. Sebagian pengamat pendidikan mengatakan bahwa krisis
multidimensional yang melanda masyarakat Indonesia selama ini, terutama krisis
moral dan kepercayaan adalah disebabkan karena kegagalan dalam membina
masyarakat, khusunya masyarakat peserta didik untuk menjadi insan yang beriman dan
bertakwa, mampu mencegah umat islam dari praktek-praktek kolusi, korupsi dan
nepotisme yang didorong oleh sikap hidup konsumeristik, materialistik dan hedonistik.
(Zamachsahari Dhofier, 2000: 146) Secara teoritis pendidikan Islam sangat besar
peranannya dalam membentuk masyarkat. Hal ini dapat dijelaskan melalui analisis
sebagai berikut :
Pertama, dilihat dari segi tujuannya, pendidikan Islam memiliki tujuan yang
berkaitan dengan pembinaan masyarakat yang beradab. Athiyah al-Abrasyi
mengatakan bahwa pendidikan akhlak adalah mendidik jiwa dan merupakan tujuan
pendidikan Islam. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan pendidikan
jasmani dan akal atau ilmu atau segi-segi praktis lainnya. (Moh. Athiyah al-Abrasyi,
1974: 15) Tentang terbentuknya akhlak yang mulia sebagai tujuan utama pendidikan
Islam telah pula dikemukakan oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam lainya. Ibnu
Miskawaih (932-1030 M) misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan
semua perbuatan yang bernilai baik. (Ibn Miskawih, 1979: 34-35) Sementara itu al-
Qabisi (936-1012 M) mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menumbuh-
kembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. (Ali al-Jumbulati,
1994: 87) Demikian pula Ibnu Sina (980-1037 M) berpendapat bahwa tujuan
pendidikan Islam dalam mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke
arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi
pekerti. (Ibn Sina, 1906: 176).
Dari berbagai pendapat para ahli pendidikan tersebut di atas, dengan jelas dapat
diketahui bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia yang
berakhlak mulia, di samping mencerdaskan akal pikiran dan ketrampilannya. Dengan
cara demikian akan lahir manusia-mausia yang pandai, terampil namun berakhlak
mulia. Manusia-mausia yang demikian itulah yang diharapkan dapat membangun
masyarakat madani.
Kedua, dilihat dari sifatnya, pendidikan Islam tidak memisahkan antara
pengajaran dan pendidikan. Pengajaran biasanya diartikan sebagai kegiatan mengisi
otak anak dengan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) sedangkan pendidikan
adalah membina attitude, kepribadian atau sikap. (M. Quraish Shihab, 1994: 145)
Pengajaran dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Pengajaran ilmu nahwu misalnya
meangandung pendidikan, yaitu untuk membantu manusia agar lurus dalam berbicara.
Demikian pula pelajaran ilmu manthiq (logika) mengandung pandidikan, yaitu untuk
membantu manusia agar lurus dalam berfikir. (Ibn Miskawih, 1979: 64) Demikian pula
pengajaran matematika mengandung pendidikan, yaitu untuk merangsang
pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian dan keuletan bekerja. Selanjutnya dalam
pengajaran sejarah juga mengandung pengajaran agar manumbuhkan kebiasaan meniru
yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk.
Ketiga, dilihat dari segi pendidik / guru, pendidikan Islam menghendaki agar
seorang guru di samping memiliki pengetahuan yang mendalam dan luas tentang ilmu
yang akan diajarkannya, juga harus mampu menyampaikan ilmunya itu secara efektif
dan efesien, serta memiliki akhlak yang mulia. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa
seorang guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan harus berhati bersih, berbuat dan
bersikap terpuji. (Imam al-Ghozali, 48-49) Lebih lanjut, al-Ghazali menyatakan bahwa
seorang guru harus bersikap sebagai pengayom, bersikap kasih sayang terhadap murid-
muridnya dan hendaknya memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri. Guru harus
selalu mengontrol, menasehati, memberikan pesan-pesan moral tentang ilmu dan masa
depan anak didiknya dan tidak membiarkan mereka melanjutkan pelajarannya kepada
yang lebih tinggi sebelum mereka menguasai pelajaran dan memiliki akhlak yang
mulia. Keseimbangan perkembangn keilmuan (akal) dan akhlak (prilaku hati)
merupakan hal yang harus selalu dikontrol oleh guru. (Imam al-Ghozali, 48-49) Guru
yang demikian itulah yang selain menumbuhkan kecerdasan akal pikiran, juga dapat
menumbuhkan akhlak yang mulia sehingga mampu menghasilkan produk generasi
bangsa yang cakap dalam berfikir, cerdas dalam berkarya dan matang dalam bersikap/
berperilaku.
Keempat, dilihat dari segi pengajarannya, pendidikan Islam bisa ditempuh
dengan cara menyampaikan (materi) pengajaran dan memberikan contoh sikap
tauladan yang sesuai dengan ilmu yang diajarkan, anak didik yang diberi pengajaran,
dan lingkungan di mana pengajaran tersebut berlangsung, serta berbagai sarana yang
tersedia. Dengan cara demikian, materi pelajaran yang disampaikan akan sesuai dengan
kebutuhan anak didik. Dengan kata lain, pendidikan Islam bisa diberikan dengan cara-
cara pengajaran yang bijaksana, manusiawi (humanis) dan sesuai dengan
perkembangan zaman.
Kelima, dilihat dari segi sasarannya, pendidikan Islam ditujukan untuk semua
manusia, tanpa membeda-bedakan jenis kelaminnya. Dengan cara demikian, maka
semua umat manusia akan memperoleh kesempatan pendidikan yang sama,dan
akibatnya mereka akan mendapatkan kemajuan yang sama pula. Apalagi Islam
mengajarkan konsep belajar adalah minal mahdi ila al-lahdi yaitu bahwa Pendidikan
juga berlangsung seumur hidup (life long education).
Keenam, dilihat dari segi lingkungannya, pendidikan Islam menggunakan
seluruh lingkungan pendidikan, mulai dari lingkungan rumah tetangga (keluarga),
masyarakat sampai dengan sekolah maupun perguruan tinggi. Ketiga lingkungan
pendidikan tersebut memiliki tanggung jawab yang sama. (Abuddin Nata, 2003: 132)

2.6 Kendala Perwujudan Masyarakat Madani di Indonesia.


1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata.
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat.
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter.
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang
terbatas.
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar.
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi.
Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan jaman,
pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya sebagai
berikut :
1. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan
dan pendidikan .
2. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang teraniaya, tidak berdaya membela
hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena pengangguran,
kelompok buruh yang digaji atau di PHK secara sepihak dan lain-lain).
3. Sebagai kontrol terhadap negara.
4. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan
(pressure group).
5. Masyarakat madani pada dasarnya merupakan suatu ruang yang terletak antara
negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Dalam ruang lingkup
tersebut terdapat sosialisasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan
terbangun dari sebuah jaringan hubungan di antara assosiasi tersebut, misalnya
berupa perjanjian, koperasi, kalangan bisnis, Rukun Warga, Rukun Tetangga,
dan bentuk organisasi-organsasi lainnya.
2.7 Kesejahteraan Umat
Islam adalah agama rahmatan lil`alamin dalam arti yang sesungguhnya.
Sejak awal diturunkan, agama Ilahiyyah ini telah menjadikan dirinya sebagai satu-
satunya agama yang menginginkan terujudnya rasa keadilan, ketentraman dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh pemeluknya.Untuk meraih kesejahteraan sosial
dimaksud Allah telah mempersiapkan seperangkat aturan dan ajaran baik melalui
wahyu maupun hadits rasulullah yang dapat dijadikan acuan bagi kaum muslimin
dalam tatanan kehidupan mereka, baik dalam lingkup kecil maupun dalam skala yang
lebih besar. Dalam perjalanan sejarah umat Islam awal dan beberapa periode
setelahnya, kesejahteraan sosial tersebut berhasil dicapai dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat. Keniscayaan akan terciptanya kesejahteraan sosial yang
sesungguhnya adalah ketika manusia hidup sesuai dengan tatanan yang telah
ditentukan Allah dan rasul-Nya.
Pengertian Kesejahteraan Sosial didefinisikan sebagai suatukondisi
kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai dengan standar kelayakan hidup yang
dipersepsi masyarakat. Namun tingkat kelayakan hidup tersebut dipahami relatif
berbeda oleh manusia dalam berbagai kalangan dan latar belakang budaya, mengingat
tingkat kelayakan tersebut ditentukan oleh persepsi normatif suatu masyarakat
terhadap kondisi sosial, material dan psikologister tentu. Dewasa ini negara-negara
yang tergabung sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyepakati
bahwa garis kesejahteraann sosialminimal yang dijadikan acuan bersama dalam
bentuk Human Development Indext (HDI) yang selanjutnya sejak tahun 1990-an
dimonitor perkembangannya dan dilaporkan secara berkala dalam Human
Development Report (HDR).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan
umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan
yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa
yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan
bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang
dapat saya ambil dari pembahasan materi bahwa di dalam mewujudkan masyarakat
madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Quran dan As-Sunnah
yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman.
Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat
madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani
tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita
yakni pada zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi
manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di
dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani.
Karena semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun
agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya,
apabila seseorang memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya
maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-
lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan spiritual dan
praktek-praktek di masyarakat.
3.2 Saran
Adapun di dalam Islam mengenal yang namanya sedekah. Sedekah dalam islam
adalah memberikan sebagian harta titipan yang telah diberikan oleh-Nya kejalan-Nya.
Dengan sedekah ini kita dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat higga mencapai
derajat yang disebut masyarakat madani. Selain sedekah, ada pula yang namanya wakaf.
Wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan
antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Jadi wakaf mempunyai dua fungsi yakni
fungsi ibadah dan fungsi sosial.
Maka diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat
mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni
melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi,
serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan
syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara
perlahan. Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat kami sampaikan pada
kesempatan kali ini semoga di dalam penulisan ini dapat dimengerti kata-katanya sehingga
tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai