Anda di halaman 1dari 14

Poliomyelitis pada Anak

Leopold Karsa Prapaskalis

102013309

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat Tlp : 5666952

leopold.karsa@ymail.com

Pendahuluan
Kejadian poliomyelitis yang sporadic sudah terjadi sejak zaman purbakala.
Poliomyelitis dalam bahasa Yunani artinya sum-sum abu-abu medulla spinalis dan itis
dari Bahasa latin berarti peradangan. Virus pertama kali ditemukan saat jaringan sistem
saraf pusat dari individu yang terkena di tanam kepada hewan percobaan dan
menimbulkan paralisis. Pada tahun 1949, Enders, Robbins dan Weller melaporkan
penanaman poliovirus dalam biakan jaringan sel non-saraf yang kemudian meratakan
jalan untuk pengembangan vaksin polio. Dengan ditemukannya vaksin polio tersebut,
kejadian poliomyelitis pun dapat diturunkan karena dapat dicegah.
Poliovirus menginfeksi melalui jalur fekal-oral (dari tangan ke mulut) tetapi dapat
juga melalui kontak langsung. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke
sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralysis)
dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan inti
motorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan saraf tersebut. Walaupun
penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur, namun kelompok umur yang paling
rentan adalah umur kurang dari 3 tahun (50-70% dari semua kasus polio).

1
Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Hal-hal yang
ditanyakan dalam anamnesis adalah berupa keluhan utama, riwayat penyakit sekarang
(RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), profil penderita dan riwayat medik keluarga.
Keluhan utama mencerminkan masalah sebagaimana yang diidentifikasikan oleh
penderita. Riwayat penyakit sekarang mengalir sesuai dengan keluhan utama untuk
menyelidiki lebih lanjut mengenai keluhan utama. Riwayat penyakit dahulu ditanyakan
untuk mengetahui apakah pasien sebelumnya pernah dirawat di rumah sakit, penyakit-
penyakit jangka lama yang memerlukan pengobatan yang ekstensif, dan riwayat trauma
berat. Profil penderita untuk memperkenalkan masalah-masalah yang sangat pribadi dan
sensitif, yang bukan merupakan kebiasaan penderita untuk mendiskusikannya dengan
orang yang tidak dikenal. Riwayat medik keluarga untuk membentuk genogram (pohon
keluarga) dari kesehatan dan penyakit, dan pencarian terhadap pola familial rekuren yang
umum. Hal ini berguna untuk survey terhadap pola-pola penyakit.1
Pada kasus data yang didapatkan dari anamnesis berupa:
Identitas : anak laki-laki usia 7 tahun
Keluhan utama : kaki kanan tidak dapat digerakkan sejak 2 hari yang lalu
Penyerta
Riwayat penyakit dahulu : demam 380C, disertai batuk pilek,nyeri kepala dan
nyeri otot pada 7 hari yang lalu
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat sosial

Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Inspeksi dapat dibagi menjadi inspeksi umum dan inspeksi lokal. Pada inspeksi umum
pemeriksa melihat perubahan yang terjadi secara umum, sehingga dapat diperoleh kesan
keadaan umum pasien. Pada inspeksi lokal dilihat perubahan-perubahan lokal sampai
sekecil-kecilnya.

2
Palpasi
Setelah inspeksi, pemeriksaan dilanjutkan dengan palpasi, yakni pemeriksaan dengan
meraba, mempergunakan telapak tangan dan memanfaatkan alat peraba yang terdapat
pada telapak dan jari tangan.
Perkusi
Setelah palpasi pemeriksaan dilanjutkan dengan perkusi. Tujuan perkusi adalah untuk
mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan batas-batas suatu organ
misalnya jantung, paru, dan hati, atau mengetahui batas-batas massa yang abnormal di
rongga abdomen.
Auskultasi
Adalah pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop. Dengan auskultasi dapat
didengar suara pernapasan, bunyi dan bising jantung, peristaltik usus, dan aliran darah
dalam pembuluh darah.
Setelah itu pemeriksaan diteruskan dengan penilaian tanda-tanda vital, terutama
frekuensi jantung (normalnya 120-160 denyut/menit), frekuensi pernapasan (normalnya
30-60 pernapasan/menit), suhu (36-37oC), tekanan darah (sistol >140mmHg, diastol
>90mHg).2
Pemeriksaan neurologis juga dilakukan seperti pemeriksaan kelemahan otot dimana
sensorik biasanya normal. Refleks tendon dalam biasa diperiksa pada tendon biseps,
triseps, patela, dan achilles. Bandingkan refleks tendon pada sisi kanan dan kiri. Selain
itu, dapat diperiksa pula tanda rangsang meningeal yaitu kaku kuduk, Brudzinski, dan
Kernig. Pemeriksaan kaku kuduk dan Brudzinski dilakukan bersamaan dengan tahap awal
yaitu leher pasien ditekuk secara pasif. Pemeriksaan kaku kuduk melihat adakah tahanan
sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada. Pada Brudzinski, bila terdapat rangsang
meningal maka kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut. Pada
tanda Kernig, pasien yang berbaring terlentang tungkainya difleksikan tegak lurus,
kemudian tungkai bawah diluruskan pada sendi lutut. Dalam keadaan normal, tungkai
bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135o terhadap tungkai atas. Lalu, dilakukan pula
pemeriksaan sensibilitas yaitu uji sentuhan, uji rasa nyeri, uji perasaan vibrasi, uji posisi,
dan uji koordinasi.3
Refleks tendon biasanya menurun atau tidak ada sama sekali. Atrofi otot biasanya
mulai terlihat 3-5 minggu setelah paralisis, dan menjadi lengkap dalam waktu 12-15
minggu serta bersifat permanen. Gangguan otonom sesaat, biasanya ditandai dengan

3
retensi urin. Tanda-tanda rangsang meningeal. Gangguan saraf kranial (poliomielitis
bulbar). Dapat mengenai saraf kranial IX dan X atau III. Bila mengenai formasio
retikularis di batang otak maka terdapat gangguan bernapas, menelan, dan sistem
kardiovaskular.3

Pemeriksaan penunjang

Darah Rutin
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:4
1. Hemoglobin (Hb): Kadar normal Hb pada anak adalah: 11-16 g/dl.
2. Hematokrit (Ht): Kadar normal Ht adalah pada usia 4-10 tahun: 31-43%.
3. Sel darah putih (Leukosit): Jumlah normal sel darah pada anak adalah: 4500-13500
4. Trombosit: Jumlah normal trombosit adalah 150.000-400.000

Spesimen untuk isolasi virus


Semua spesimen untuk isolasi virus harus dikumpulkan secepatnya setelah timbul
gejala penyakit. Kontaminasi spesimen untuk isolasi virus ini harus dicegah atau
dihindari. Beberapa spesimen untuk isolasi virus.
1. Tinja.
Spesimen tinja merupakan satu-satunya spesimen yang bermanfaat dan sebaiknya
dalam 7 hari setelah timbul gejala. Pengeluaran virus dalam tinja dapat terjadi terus-
menerus maka dilakukan pengumpulan tinja dua kali dengan jarak 24-48 jam. Tinja
sebesar kuku ibu jari orang dewasa (4-8 gram) diambil, lalu dimasukkan dalam
tempat tinja dari plastik, dan plastik tersebut harus kering bersih, tidak bocor dan
tertutup rapat.
Bila tinja tidak dapat diperoleh misalnya kesulitan pengambilan atau sedang di
lapangan, tinja dapat diambil dengan menggunakan straw (pipa sedotan). Straw ini
khusus dibuat dari plastik dan dimasukkan dalam rectum secara perlahan-lahan dan
dengan sedikit gerakan, tinja dalam jumlah cukup dapat diperoleh. Straw yang berisi
tinja dimasukkan dalam botol kering, bersih dan tertutup rapat.

4
2. Apus Tenggorokan
Apus tenggorokan steril diusapkan perlahan ke dinding tonsil bagian belakang
pharing, setelah keluar lidi dipotong di bawah ujung kapas. Ujung kapas dimasukkan
dalam botol screw cap berisi Virus Transport Media (VTM). Apus tenggorokan agak
kurang bermanfaat mengingat virus polio hanya berada di oropharinx 7-10 hari
setelah onset penyakit.
3. Cairan Serebrospinal
Dua sampai 3 cc cairan serebrospinal dimasukkan dalam vial screw cap tanpa
VTM.

Spesimen untuk test Serologi


Spesimen yang digunakan adalah serum darah. Diagnosis ini secara rutin tidak lagi
direkomendasikan karena kesulitan intepretasi pada testnya terutama apabila cakupan
imunisasi polio telah tinggi. Untuk survei serologi cukup diambil satu spesimen, yang
memerlukan 5 cc darah. Pengambilan darah dapat menggunakan filter paper. Filter paper
yang digunakan adalah filter khusus. Jumlah filter paper yang dibutuhkan sangat
tergantung dari merk/ukuran/ketentuan dari pembuatnya.
Serologi dilakukan dengan memeriksa konsentrasi antibodi pada fase akut dan
konvalesen. Kadar tinggi saat fase akut sampai 3-6 minggu setelahnya; dapat naik hingga
4 kali lipat. Diagnosis fase akut dapat ditunjukkan oleh kenaikan titer IgG sebanyak 4 kali
lipat atau titer IgM positif. Cairan serebrospinalis menunjukkan kenaikan leukosit (10-
200 sel/mm3, terutama limfosit) dan kenaikan ringan protein sekitar 40-50 mg/100 ml.4

Working Diagnosis
Poliomyelitis
Poliomielitis adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh suatu kelompok
virus neurotropik (tipe I,II, dan III). Virus poliomielitis mempunyai afinitas khusus pada
sel-sel kornu anterior medula spinalis dan inti saraf motorik tertentu di batang otak. Sel-
sel saraf yang terkena mengalami nekrosis dan otot-otot yang disuplainya menjadi
paralisis.
Infeksi polio yang jelas bisa ringan, mulainya tiba-tiba dan berakhir dalam beberapa
jam sampai beberapa hari; gejalanya termasuk demam, sakit tenggorok, sakit kepala,
mual , muntah, anoreksia, dan nyeri abdomen. Secara klasik, tanda paralisis terjadi

5
setelah 2 sampai 6 hari sebagai akibat sebaran virus secara hematogen ke sistem saraf
pusat. Secara khas distribusi paralisis adalah asimetris, yang lebih sering terkena ialah
otot anggota gerak bawah dan otot yang lebih besar dibandingkan dengan otot anggota
gerak bagian atas dan otot yang lebih kecil. Bisa mengenai kelompok otot yang terisolasi,
atau bisa juga terjadi perluasan paralisis ke seluruh anggota tubuh.
Etiologi
Enterovirus adalah virus RNA yang termasuk famili Pikornaviridae. Subkelompok
enterovirus asli-koksakivirus, ekovirus, dan poliovirus. Enterovirus menyimpan aktivitas
selama beberapa hari pada suhu kamar dan dapat disimpan sampai waktu tidak terhingga
pada suhu dingin. Mereka dengan cepat diinaktifkan oleh panas, formaldehid, klorinasi,
dan sinar ultraviolet. Enterovirus, kecuali pada kebanyakan anggota koksaki kelompok A,
tumbuh baik pada banyak biakan sel dan menimbulkan pengaruh sitopatik (CPE) yang
berbeda dengan efek sitopatik yang disebabkan oleh herpesvirus, adenovirus, dan
reovirus.
Epidemiologi
Epidemiologi semua virus enterovirus manusia mirip. Enterovirus tersebar di seluruh
dunia, dengan prevalensi tinggi selama bulan-bulan musim hangat pada daerah yang
bermusim. Penelitian tentang poliomielitis telah memperlihatkan dengan mencolok
bahwa infeksi enterovirus ini disebarkan antar manusia tanpa ada intervensi dari hewan
tingkat rendah ataupun pejamu serangga. Hal ini terjadi juga untuk seluruh enterovirus
manusia. 5
Mayoritas yang terinfeksi bisa mengeluarkan virus tanpa manifestasi klinis apapun.
Penyakit ringan atau subklinis merupakan sumber infeksi penting karena sering tidak
disadari bahwa individu ini sedang mengeluarkan virus. Pada poliomielitis yang bersifat
paralisis, sebaran infeksi dari individu yang menderita paralisis nyata, relatif kurang
penting. 5
Penyakit yang disebabkan oleh enterovirus lebih sering dilaporkan terjadi pada bayi
muda dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Data ini mencerminkan peningkatan
keterlibatan kelompok usia muda untuk penyakit ini, tetapi kebanyakan enterovirus sering
diisolasi dari anak pada 4 tahun pertama kehidupannya. Kontak antar manusia yang dekat
penting untuk penyebaran virus ini dan kemampuan berkomunikasi antar anggota rumah
tangga paling besar pada anak. 5
Seroepidemiologi infeksi enterovirus memperlihatkan peningkatan penyebaran infeksi
antar anak dalam status sosioekonomi rendah. Keadaan kehidupan yang sesak yang

6
disebabkan kepadatan mungkin dikaitkan dengan higiene buruk, yang meningkatkan
penyebaran fecal-oral dari agen penyakit. Epidemiologi klinis yang disebabkan oleh virus
ini memperlihatkan bahwa sekret pernapasan yang mengandung virus bukanlah saran
penyebaran yang penting. 5
Patofisiologi
Enterovirus masuk ke pejamu melalui orofaring. Infeksi diketahui terjadi di saluran
pencernaan; namun tempat khusus dan jenis selnya tidak diketahui. Dari usus halus virus
menyebar ke sistem limfatik setempat dan ke darah. Selama infeksi akut, enterovirus bisa
ditemukan pada serum maupun dari fraksi sel darah; monosit merupakan sel bersirkulasi
yang paling mungkin terinfeksi. Pasien mungkin asimtomastis atau sedikit menderita
keluhan selama permulaan stadium replikasi di usus (1-5 hari). 5
Bisa juga sistem organ terutama terinfeksi secara sekunder maka terjadi keluhan klinis
tambahan yang khas untuk organ tersebut dalam 1 sampai 2 minggu setelah infeksi dan
bisa terjadi viremia sekunder. Selaput otak, miokardium, hati, otak, dan pankreas adalah
organ target yang mungkin. Virus bisa juga ditemukan di urine, yang bisa menandakan
infeksi genitourinarius atau tanda pengeluaran kuman saja. Enterovirus mungkin
dikeluarkan di tinja selama 6 sampai 8 minggu setelah awitan penyakit, tetapi dideteksi
dalam waktu lebih singkat di orofaring, biasanya hanya selama 5 sampai 7 hari pertama. 5
Neuropati poliomielitis dan penyakit paralisis lain disebabkan oleh enterovirus
nonpolio karena penghancuran seluler langsung. Cedera sekunder mungkin karena
mekanisme imunologis. Gejala-gejala lain disebabkan oleh lisis virus sel hospes termasuk
penyakit neonatus tersebar, meningitis aseptik, ensefalitis, dan penyakit saluran
pernapasan akut. Pada poliomielitis, lesi neuron terjadi pada (1) medulla spinalis
(terutama sel kornu-anterior dan pada tingkat yang lebih ringan kornu intermedius dan
dorsalis serta ganglia radiks dorsalis); (2) medulla (nukleus vestibuler, nukleus saraf
kranial, dan formasi retikularis, yang berisi pusat-pusat vital); (3) serebellum (hanya
nukleus pada atap dan vermis); (4) otak tengah (terutama substansia abu-abu tetapi juga
substansia nigra dan kadang-kadang nukleus merah); (5) talamus dan hipotalamus; (6)
pallidum; dan (7) korteks serebri (korteks motoris). Daerah-daerah yang terselamatkan:
(1) korteks seluruh otak kecuali daerah motorik; (2) serebellum kecuali vermis dan
nukleus linea mediana dalam; dan (3) substansia alba medulla spinalis.6

7
Manifestasi Klinis
Infeksi Virus Polio
Bila orang yang rentan telah terinfeksi dengan virus polio, salah satu dari respon
berikut dapat terjadi, dalam urutan frekuensi ini: 1) infeksi tidak jelas pada 90-95%
mereka yang terinfeksi, 2) poliomielitis abortif, 3) poliomielitis nonparalitik, 4)
poliomielitis paralitik. 6
Poliomielitis Abortif
Sakit demam singkat terjadi dengan satu atau lebih gejala-gejala berikut: malaise,
anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi, dan nyeri perut.
Koryza, batuk, eksudat faring, diare, dan nyeri perut lokal serta kekakuan jarang. Demam
jarang melebihi 39,5C, dan faring biasanya menunjukkan sedikit perubahan walaupun
sering ada keluhan nyeri tenggorok.
Poliomielitis Nonparalitik
Gejala-gejalanya adalah seperti gejala poliomielitis abortif, kecuali bahwa nyeri
kepala, mual, dan muntah lebih parah, dan ada nyeri dan kekakuan nyeri otot leher
posterior, badan dan tungkai. Paralisis kandung kencing yang cepat menghilang sering
dijumpai, dan konstipasi sering ada. Sekitar dua pertiga anak mengalami jeda bebas-
gejala antara fase pertama (Sakit minor) dan fase kedua (sakit sistem saraf sentral atau
sakit mayor). Kaku kuduk dan spina akan terjadi sebagai dasar diagnosis poliomielitis
nonparalitik selama fase kedua.
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda kaku kuduk spina dan perubahan pada
refleks superfisial dan dalam. Pada stadium awal semua refleks secara normal aktif dan
tetap demikian kecuali kalau terjadi paralisis. Perubahan pada refleks, bertambah atau
kurang, dapat mendahului kelemahan pada 12-24 jam; dengan demikian adalah penting
untuk mendeteksinya, terutama pada penderita nonparalitik yang ditangani di rumah.
Refleks superfisial, yaitu refleks kremaster dan perut dan refleks otot spinal dan
glutea, biasanya yang pertama menghilang. Refleks spina dan glutea dapat sebelum
refleks perut dan kremaster muncul. Perubahan pada refleks tendon dalam biasanya
terjadi 8-24 jam sesudah penurunan refleks superfisial dan menunjukkan paresis tungkai
yang segera akan terjadi. Tidak ada refleks tendon dengan paralisis. Defek sensoris tidak
terjadi pada poliomielitis.
Poliomielitis Paralitik
Manifestasinya adalah manifestasi poliomielitis nonparalitik yang disebutkan satu per
satu ditambah dengan satu atau lebih kelompok otot, skelet atau kranial. Gejala-gejala ini

8
dapat disertai dengan jeda tanpa gejala beberapa hari dan kemudian pada puncak berulang
dengan paralisis. Paralisis kandung kencing lamanya 1-3 hari pada sekitar 20% penderita
dan atoni usus besar adalah lazim, kadang-kadang sampai mengarah pada ileus
paralitikus. Pada beberapa penderita paralisis otot mungkin merupakan tanda awal.
Paralisis flaksid merupakan ekspresi klinis cedera neuron yang paling jelas. Terjadiny
atrofi muskuler disebabkan oleh denervasi ditambah atrofi karena tidak digunakan. Nyeri,
spastisitas, kaku kuduk dan kekakuan spinal, serta hipertoni pada awal penyakit mungkin
karena lesi batang otak, ganglia spinalis, dan kolumna posterior. Aritmia respirasi dan
jantung, tekanan darah dan perubahan vasomotor, serta yang serupa merupakan refleksi
cedera terhadap pusat-pusat vital dalam medulla.
Pada pemeriksaan fisik distribusi paralisis khas kadang-kadang baik kadang-kadang
tidak. Untuk mendeteksi kelemahan otot ringan, sering perlu memakai tahanan halus
dalam melawan kelompok otot yang sedang diuji. Pada bentuk spinal ada kelemahan
beberapa otot leher, perut, batang tubuh, diafragma, thoraks, atau tungkai. Pada bentuk
bulber ada kelemahan pada distribusi motorik dari satu saraf kranial atau lebih dengan
atau tanpa disfungsi pusat-pusat vital respirasi dan sirkulasi.
Penatalaksanaan
Medika Mentosa
Dasar-dasar menejemen yang luas adalah menghilangkan ketakutan, meminimalkan
terjadinya deformitas skelet, mencegah dan menemukan komplikasi disamping
komplikasi neuromuskuloskeletal, dan mempersiapkan anak dan keluarga untuk
pengobatan yang lama yang mungkin diperlukan dan untuk kecacatan permanen bila hal
ini akan terjadi. Penderita dengan bentuk poliomielitis nonparalitik dan paralitik ringan
dapat diobati di rumah.
Untuk bentuk abortif cukup analgesik, sedatif, diet yang menarik, dan tirah baring
secukupnya sampai suhu anak normal selama beberapa hari. Penghindaran daya upaya
kejadian 2 minggu lebih baik, dan harus ada pemeriksaan neuromuskuloskeleton yang
teliti 2 bulan kemudian untuk mendeteksi setiap keterlibatan kecil.
Pengobatan untuk bentuk nonparalitik serupa dengan pengobatan untuk bentuk
abortif, pengurangan rasa sakit terindikasi terutama untuk kekencangan otot yang tidak
enak dan spasme leher, batang tubuh, serta tungkai. Analgesik adalah lebih efektif bila
dikombinasi dengan pemakaian kantong panas selama 15-30 menit setiap 2-4 jam.
Penderita demikian juga harus diperiksa dengan hati-hati 2 bulan sesudah penyembuhan

9
nyata untuk mendeteksi sisa-sisa minor yang mungkin menyebabkan masalah pada postur
tubuh untuk tahun-tahun berikutnya.
Kebanyakan penderita dengan bentuk paralitik memerlukan rawat inap. Diperlukan
suasana yang tenang. Kesejajaran tubuh yang sesuai diperlukan untuk menghindari
deformitas skelet berlebihan. Gerakan aktif dan pasif terindikasi segera setelah nyeri
hilang. Opiat dan sedatif dapat diizinkan hanya jika tidak ada gangguan atau ancaman
ventilasi. Diet yang menarik dan masukan cairan yang relatif tinggi harus dimulai segera
jika tidak ada muntah. Tambahan garam harus diberikan jika suhu lingkungan tinggi atau
jika pemakaian kantong hangat memicu keluarnya keringat. Anoreksia pada mulanya
sering. Diet dan masukkan cairan cukup dapat dipertahankan dengan penempatan kateter
vena sentral.
Manejemen poliomielitis bulber murni terdiri atas pemeliharaan jalan nafas dan
menghindari semua risiko inhalasi ludah, makanan dan muntahan. Keseimbangan cairan
dan elektrolit paling baik dipertahankan dengan infus intravena karena makanan pipa atau
oral dalam beberapa hari pertama dapat mencetuskan muntah. Disamping pengamatan
yang ketat untuk insufisiensi pernafasan, tekanan darah harus diukur setidak-tidaknya dua
kali sehari karena hipertensi sering terjadi dan kadang-kadang menyebabkan enselopati
hipertensif. Penderita dengan poliomielitis bulber murni mungkin memerlukan
trakeostomi karena paralisis plikavokalis atau konstriksi hipofaring; sebagian besar yang
sembuh menderita sedikit gangguan sisa, walaupun penderita menunjukkan disfagia
ringan dan kadang-kadang kelelahan vokal dengan bicara yang tidak jelas.
Ventilasi yang terganggu harus dikenali awal; peningkatan kecemasan, kegelisahan,
dan kelelahan merupakan indikasi awal untuk segera intervensi. Trakeostomi terindikasi
untuk beberapa penderita dengan poliomielitis bulber murni, paralisis otot spinal
pernapasan, dan paralisis bulbospinal karena penderita ini biasanya tidak mampu batuk,
kadang-kadang selama beberapa bulan. Respirator mekanik sering diperlukan.
Non-Medika Mentosa
Istirahat di tempat tidur dianggap penting sebagai bagian perawatan pendukung pada
pasien poliomielitis paralisis. Pemberian pemanas lembap secara intermiten tampaknya
menghilangkan nyeri otot dan spasme otot dini. Kadang-kadang mandi air panas lebih
efisien dan berakibat lebih baik, terutama untuk anak kecil. Terapi fisik seperti gerakan
pasif yang ringan haris dilakukan bersama dengan pemanas lembap untuk memperluas
rentang gerak dan menghindari kontraktur potensial dan deformitas. Rehabilitasi
memerlukan usaha intensif tim terapi fisik yang terlatih dalam mengevaluasi gerak otot

10
dan mampu menentukan kapan diperlukan bidai atau alat penopang saat masa
pemulihan.5
Pasien yang menderita palsi bulbar mungkin memerlukan intubasi endotrakea untuk
menjaga saluran napas dan untuk menghindari aspirasi sekret yang tidak dapat ditelan.
Ventilasi mekanik mungkin perlu bila pusat pernapasan terlihat, seperti pada penderita
dengan paralisis diafragma. Masalah lain termasuk ketidakmampuan berkemih mungkin
memerlukan pengosongan kandung kemih berulang melalui kompresi manual, atau
melalui kateter uretra.5
Komplikasi
Beberapa pasien pengidap poliomyelitis, selama 10-40 tahun kemudian akan
menampakkan puncak dari gejala seperti kelemahan otot, penurunan kemampuan
beraktifitas sehari-hari, dan/ atrofi otot. Gejala ini didefinisikan sebagai atrofi otot post-
polio yang berlanjut. Manifestasi lain dari post-polio sindrom termasuk nyeri otot,
deformitas tulang, kelelahan dankram. Perkembangan kemunduran otot pada post-polio
sindrom umumnya lambat dan pada beberapa kasus tidak bisa dilihat hanya dalam 1-2
tahun. Beberapa komplikasi lain yang mungkin terjadi, diantaranya: 7
1. Deformitas Tulang. Disebabkan oleh kelemahan otot, deformitas tulang mungkin
akan terjadi disebabkan oleh posisi yang salah.
2. Abnormalitas Neurologis. Saraf yang terjepit mungkin terjadi pada pasien pengidap
polio dan menyebabkan eksaserbasi atrofi otot dan kelemahan.
3. Komplikasi respiratory. Skoliosis dan atrofi otot dapat menyebabkan penyakit paru.
Penyakit paru tersebut akan berakibat pada insufisiensi pernafasan dan cor pulmonale.

Pencegahan
Vaksinasi merupakan satu-satunya cara efektif pencegahan poliomielitis. Cara-cara
higienis membantu membatasi penyebaran infeksi pada anak yang masih muda, tetapi
imunisasi perlu untuk mengendalikan penyebaran pada kelompok umur yang lebih tua.
Kemanjuran vaksin polio yang diinaktifkan (inactivated polio vaccine [IPV]), dan vaksin
polio hidup yang dilemahkan yang diberikan secara oral (oral polio vaccine [OPV]) telah
dibentuk dengan baik. Kedua vaksin memicu produksi antibodi yang melawan tiga strain
virus polio. Respon imun spesifik tergantung pada dosis dan potensi vaksin serta umur
dan status imun vaksin. 6
IPV tidak memicu produksi IgA usus, sedang OPV memicu imunitas mukosa yang
berarti sepanjang saluran cerna atas dan bawah. Infeksi usus dengan tipe liar mungkin

11
terjadi pada resipien IPV dan ditularkan ke individu nonimun. OPV merangsang produksi
IgA sekretori faring serta usus, mencegah replikasi virus pada tempat-tempat ini.
Penularan virus tipe liar melalui penyebaran tinja dibatasi pada resipien OPV. 6
Seri primer OPV terdiri atas dua dosis yang diberikan dengan interval paling sedikit 6
minggu dan dimulai pada usia 2 bulan (biasanya usia antara 2 dan 4 bulan). Dosis ketiga
(booster#1) dapat diberikan setiap saat antara usia 6 dan 18 bulan (biasanya pada usia 6
bulan) dan dosis keempat (booster#2) saat masuk sekolah (usia 4-6 tahun). Pemberian
booster kedua tidak diperlukan apabila booster pertama diberikan setelah usia anak 4
tahun. Anak yang belum diimunisasi sebelum usia 1 tahun harus menerima dua dosis
OPV dengan interval 6 sampai 8 minggu, dan dosis ketiga 2 sampai 12 bulan kemudian.
Dosis keempat harus diberikan saat anak masuk sekolah (usia 4-6 tahun)apabila dosis
ketiga diberikan sebelum anak berusia 4 tahun.
Seri primer e-IPV terdiri atas 2 dosis (0,5 ml subkutis) yang diberikan dengan interval
4 sampai 8 minggu dan dimulai pada usia 2 tahun, dengan dosis ketiga diberikan 6 sampai
12 bulan kemudian. Suntikan booster diberikan saat masuk sekolah (usia 4-6 tahun).
Suntikan booster berkala tambahan mungkin dapat dianjurkan seiring semakin banyaknya
pengalaman dengan vaksin suntik yang potensinya telah ditingkatkan.

Differential diagnosis
1.Sindrom Guillain-Barre
Sindrom Guillain-Barre adalah polineuropati pascainfeksi yang mengakibatkan
demielinisasi terutama pada saraf motorik tetapi kadang-kadang juga saraf sensoris.
Sindrom ini mengenai orang dari semua umur dan bukan herediter.
Paralisis biasanya menyertai infeksi virus nonspesifik pada sekitar 10 hari. Infeksi
aslinya hanya dapat menyebabkan gejala saluran cerna (Campilobacter sp) atau gejala
saluran pernapasan atas. Kelemahan biasanya mulai dari tungkai bawah dan secara
progresif melibatkan tubuh, tungkai atas, dan akhirnya otot-otot bulbar. Otot proksimal
dan distal relatif secara simetris dilibatkan, tetapi asimetris ditemukan pada 9% penderita.
Mulainya bertahap dan menjelek selama beberapa hari atau beberapa minggu. Terutama
pada kasus dengan mulai mendadak, lunak pada palpasi dan nyeri pada otot adalah biasa
pada tahap awal. Anak iritabel. Kelemahan mungkin menjelek menjadi ketidakmampuan
atau menolak berjalan, dan selanjutnya tetraplegia flaksid. Parestesia terjadi pada
beberapa kasus. 6

12
2.Miastenia Gravis
Miastenia gravis klasik dapat dimulai pada anak belasan tahun dengan onset akut
ptosis, diplopia, oftalmoplegia, dan kelemahan ekstremitas, leher, wajah, dan rahang.
Manifestasi klinis setidaknya menonjol pada saat bangun pagi hari dan memburuk ketika
hari makin siang atau dengan aktivitas. Pada beberapa anak, penyakit ini tidak pernah
lebih buruk dari oftalmoplegia dan ptosis; tetapi pada anak yang lain, penyakit dapat
bersifat progresif dan berpotensi mengancam jiwa yang melibatkan semua otot, termasuk
otot-otot pernapasan dan penelanan.6

Prognosis
Prognosis dari gejala subklinis poliomielitis abortif adalah baik, dengan kematian
sangat langka dan tanpa gejala sisa jangka panjang. Prognosis dari poliomielitis paralitik
ditentukan terutama dari derajat dan beratnya keterlibatan SSP. Pada poliomielitis bulbar
yang berat, kematiannya tinggi hingga 60%.6

Kesimpulan
Poliomyelitis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyebabkan kelumpuhan
terutama pada anak-anak. poliomyelitis disebabkan oleh poliovirus yang menyerang
sistem motorik sehingga dapat terjadi kelumpuhan. Dengan ditemukannya vaksin polio
kini kejadian dari poliomyelitis ini dapat diturunkan.

13
Daftar pustaka
1) Willms JL, Schneiderman H. Diagnosis fisik : evaluasi diagnosis dan fungsi di
bangsal. Jakarta:EGC;2005.h.9-13,30-1.
2) Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis Fisik pada Anak. Edisi
kedua. Jakarta:CV Sagung Seto;2003.
3) Lumbantobing SM, Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta:
FKUI;2006
4) Dewanto G. Panduan praktis diagnosis & tatalaksana penyakit saraf. Jakarta;
EGC; 2009.h. 58-60.
5) Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph. Edisi ke-20.
Jakarta:EGC;2007.h.37-8,710-2.
6) Behrman RE, Kliegman RM. Esensi pediatri nelson. Edisi ke-4.
Jakarta:EGC;2010.h.240-8.
7) Elzouki AY, Harfi HA, Nazer HM. Textbook of clinical pediatrics. New York:
Springer; 2012. p. 1244.

14

Anda mungkin juga menyukai