Anda di halaman 1dari 3

Kasus ini termasuk unik, mengingat bahwa sang pilot menderita suatu cedera kepala yang cukup serius

selama penerbangan yang bersifat hampir fatal dan menyisakan kecacatan kognitif permanen. Dalam
penerbangan, penyakit dekompresi dengan keterlibatan sistem saraf pusat adalah suatu hal yang langka.
Dalam suatu serangkaian prospektif dari 447 subjek Altitude Chambers di laboratorium Armstrong,
hanya 0,5% yang menunjukan keterlibatan sistem saraf pusat secara nyata. Demikian pula, penurunan
fungsi yang tersisa/(residual deficits) sangat langka dilaporkan dan bersifat jangka pendek pada keadaan
alami. Kematian sebenarnya tidak diketahui sampai setelah 1959 dan penemuan dari HBOT/terapi
oksigen hiperbarik. Secara kontras, kematian dan cedera permanen lebih sering terjadi pada para
penyelam yang menderita penyakit dekompresi pada saraf pusat. Dan juga, gangguan saraf spinal paling
umum menjangkiti para penyelam, sedangkan gangguan otak biasanya menjangkiti para penerbang.

Kasus ini juga termasuk unik di kalangan penerbang pesawat U-2 pada saat itu. Secara sejarah, insidens
penyakit dekompresi pernah sulit untuk diperiksa/dicari tahu terkait akibat keengganan para penerbang
untuk melaporkan insiden karena takut tidak lagi diizinkan untuk melakukan penerbangan. Bendrick et
al. menemukan prevalensi penyakit dekompresi dikalangan penerbang U-2 lebih tinggi daripada yang
sebelumnya pernah dilaporkan, tetapi tidak ada kejadian mengenai cacat permanen atau kematian.
pencarian kami pada catatan sejarah, literatur yang di publikasi, serta catatan keamanan telah
mengungkap beberapa kasus dari penyakit dekomoresi saraf yang sebanding dalam hal keparahan
dengan pokok pembahasan. salah satunya didapatkan pada 2002 ketika gejala saraf mulai muncul
setelah pendaratan. setidaknya tiga kasus selama penerbangan terjadi setelah 2006. apakah kasus ini
merefleksikan suatu peningkatan insiden melebihi perkiraan mengenai kasus penyakit dekompresi saraf
ataupun suatu serangkaian kejadian alami yang meningkatkan laporan, masih berupa sebatas dugaan.

Ini adalah kasus yang pertama kali dimana kami tersadar untuk mencatat bukti radiologis dengan MRI
mengenai penyakit dekompresi saraf yang terjadi pada para penerbang. Bukti radiologis yang objektif
tentang cedera neurologis adalah hal yang tidak biasa dalam hal penyakit dekompresi saraf. Peralatan
diagnostik yang dapat mengevaluasi hingga sejauh itu (CT, MRI, SPECT, serta PET Imaging) memiliki
sensitivitas rendah dalam mendeteksi perubahan patologis dalam otak pada kalangan awak
penerbangan serta penyelam yang menderita penyakit dekompresi saraf. oleh karena itu, mereka
memiliki peran yang minim dalam rangka diagnosis akut. sewrupa dengan tentara yang menderita
cedera trauma otak, manfaat dari pencitraan dalam mencatat perkembangan klinis dari pasien penyakit
dekompresi saraf belum terbukti. Saat ini, lesi- lesi yang ditemukan melalui MRI dan CT lebih sering
berkaitan dengan derajat kerusakan struktural yang lebih tinggi dan penurunan fungsi sisa yang lebih
besar (greater residual deficits). Dalam kasus ini, terdapat hubungan langsung antara pengujian fisik
penerbang dengan temuan di MRI. Kebingungan, amnesia sesaat, perubahan jati diri pada para
penerbang ini menunjukan adanya suatu cedera lobus temporal- frontal yang secara klinis menyetarai
penyakit stroke. Ia juga menunjukan adanya temuan serebral, termasuk ataksia dan gangguan
keseimbangan. orang dapat berpendapat bahwa lesinya berasal dari cedera penyakit dekompresi yang
terjadi sebelumnya ataupun kondisi lain yang tidak terdiagnosa. Lesi Gliotik telah ditemukan pada
penyelam yang tidak memiliki gejala dan pengunjung ruangan hiperbarik. ketika belum ada penelitian
yang menunjukan hal serupa yang terjadi pada para penerbang, pajanan ketinggian yang terus berlanjut
pada para penerbang U-2 dapat secara masuk akal berakhir pada temuan yang serupa. sialnya, tidak ada
penelitian sebelumnya yang tersedia sebagai perbandingan dengan kasus ini sejalan dengan penelitian
neurologis bukanlah suatu pemeriksaan rutin. Bagaimanapun juga, penelitian MRI tiga tahap standar
dijalankan pada pangkalan induk (difusi, koofisien difusi semu, dan serangkaian T-2 yang telah
dibobotkan/weighted T-2 sequences) mengindikasikan bahwa lesi yang diderita penerbang bersifat akut.
Secara klinis, para penerbang tidak memiliki tanda dan gejala yang muncul terlebih dahulu pada
pemeriksaan fisik penerbangan multiple (multiple flying physical exam) yang mengarah kepada suatu
kondisi neurologis yang telah ada sebelumnya. sebagai tambahan, peningkatan tercatat pada peneltian
MRI berkelanjutan oleh negara yang bersangkutan terkait klinis dengan keadaan neurologi dari sang
penerbang sebagai orang yang telah diterapi oksigen hiperbarik. yang paling penting, penurunan/defisit
yang berlangsung lama pada penerbang ini sekarang lebih konsisten dengan temuan lesi pada MRI.

Derajat yang dimana pada satu orang lebih dicurigai sebagai penyakit dekompresi dibandingkan alasan
lain adalah sebatas perdebatan saja. faktor resiko yang diakui oleh umum meningkatkan kecurigaan
kepada penyakit dekompresi penerbangan termasuk ketinggian yang lebih tinggi, pajanan yang lama,
aktifitas selama penerbangan yang lebih besar, dan kurangnya pre-oksigenasi. bagaimanapun, banyak
faktor individual, termasuk usia, obesitas, status hidrasi, keadaan fisik, gender, dan penyakit dekompresi
yang lebih besar, dapat meningkatkan kemungkinan. Singkatnya, salah satu faktor, atau lebih, dapat
meningkatkan kondisi penerbang ini. sialnya, penelitian sampai saat ini belum dapat memprediksi resiko
spesifik perorangan dari penyakit dekompresi diatas.

Yang lebih penting lagi, jika pencegahannya gagal, penerbang harus dapat mengindentifikasi penyakit
dekompresi dan mencari terapi yang sesuai. protokol yang ada saat ini berguna untuk menurunkan
secara segera dan menginisiasi/mengawali level oksigen permukaan melalui alat bantu penerbang atau
sungkup non-rebreather yang rapat. terapi oksigen hiperbarik harus segera dilakukan bila terdapat
gejala gejala yang cukup parah. untuk kasus kasus yang ringan (contohnya nyeri sendi), terapi oksigen
hiperbarik akan diindikasikan jika gejala tidak membaik dalam kurun waktu 30-60 menit terapi, atau jika
gejalanya memburuk. sebaiknya berkonsultasi dengan spesialis terapi hiperbarik.

Mendiagnosa dan mengobati penyakit dekompresi dapat menjadi sulit dibawah kondisi penerbangan
tertentu. Ada yang mencoba mengkritik tentang penerbang yang tidak melakukan pendaratan dengan
segera. dalam hal itu, ia menyadari adanya rasa puas atas pengambilan keputusan yang telah dilakukan.
di sisi lain, sang pilot mendapatkan lesi di lobus frontal yang seringkali mempengaruhi pengambilan
keputusan. Secara garis besar, para penerbang seringkali membuat dasar alasan praktis yang dapat
menunda perlunya mencari pengobatan untuk penyakit dekompresi. untuk sebagian, pilot dan astronot
menerima tekanan yang cukup besar bagi diri mereka sendiri untuk sebatas menyelesaikan tugas.
Pertarungan dapat membuat peneerbang tempur untuk mengesampingkan keamanan diri sendiri demi
menyelesaikantugas yang diberikan. Kedua, diagnosa dari penyakit dekompresi masih sulit, sekalipun
bagi kalangan medis. Sebagai contoh, penerbang seringkali mencoba untuk melakukan serangkaian
aktifitas fisik untuk mengelabui perubahan kondisi fisiologis tubuh selama penerbangan (sebgai contoh,
keram duduk, hipoglikemia, hipoksia, dll) sebelum pada akhirnya meyakini bahwa kondisinya adalah
suatu penyakit dekompresi. ini adalah suatu prosedur bedah yang dilakukan saat penerbangan untuk
mengatasi masalah- masalah fisiologis penerbangan. pada akhirnya, penerbangan lintas lautan atau
tempat asing yang jauh bagi pilot untuk melakukan terapi oksigen hiperbarik yang tersedia. pada kasus
ini, pengawas berkesimpulan bahwa sang pilot akan jauh lebih aman untuk mendarat di landasan udara
yang diketahui olehnya, dibandingkan dengan mendarat lebih cepat di landasan darurat. meski hal ini
menimbukan kerentanan bagi sang pilot, kalangan medis yang terlibat menawarkan keputusan-
keputusan yang akan menjamin keselamatan terapi oksigen hiperbarik saat pendaratan.
Kami melaporkan pelajaran yang dapat diambil dari situasi insiden nyaris fatal bagi fisiologis tubuh ini
untuk meningkatkan keamanan penerbangan. kendati terdapat catatan keselamatan yang luar biasa
pada 1960, kasus ini menunjukan bahwa penyakit dekompresi masih termasuk suatu ancaman yang
serius bagi penerbangan. Kemungkinan dari penyakit dekompresi akan terus terjadi seiring dengan
perkembangan teknologi penerbangan & antariksa yang terus mendorong batas ketinggian suatu
penerbangan. sebagai contoh, pesawat petarung terbaru angkatan udara, F-22 Raptor, dapat melaju
diketinggian yang lebih tinggi dari 60,000ft (18,288m), ketika perusahaan komersil sedang
mengembangkan penerbangan luar angkasa bagi turis. penerbangan di masa depan dapat mengambil
manfaat penelitian yang dilanjutkan sebagaimana pemahaman kami mengenai patofisiologi penyakit
dekompresi dan penatalaksanaannya terus berevolusi.

Anda mungkin juga menyukai