PEMBAHASAN
2.1 GENDER
Istilah gender dibedakan dari istilah Seks. Ann Oakley ahli sosiologi inggris, merupakan
orang yang mula-mula memberikan pembedaan dua istilah itu (Saptari & Halzner, 1997 : 89).
Istilah gender merujuk kepada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan berdasarkan
konstruksi social budaya, yang berkaitan dengan sifat, status, posisi, dan perannya dalam
masyarakat. Istilah seks merujuk kepada perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara
biologis terutama yang terkait dengan prokreasi dan reproduksi. Laki-laki dicirikan dengan
sperma dan penis serta perempuan dicirikan dengan adanya sel telur, Rahim, vagina, dan
payudara. Ciri jenis kelamin secara biologis tersebut bersifat bawaan, permanen, dan tidak dapat
dipertukarkan.
Perbedaan gender yang juga disebut sebagai perbedaan jenis kelamin secara social
budaya terkait erat dengan perbedaan secara seksual, karena dia merupakan produk dari
pemaknaan nasyarakat pada social budaya tertentu tentang sifat, status, posisi, dan peran laki-
laki dan perempuan dengan ciri-ciri biologisnya. Laki-laki sebagai pemilik sperma dianggap
mempunyai sifat kuat dan tegas, menjadi pelindung bertugas menjadi pencari nafkah dan
menjadi pemilik dunia kerja (public), dan sebagai orang pertama.perempuan sebgai pemilik sel
telur dan Rahim dan kemampuan melahirkan dianggap bersifat lemah sekaligus lembut, perlu
dilindungi,mendapat pembagian tugas sebagai pengasuh anak dan tugas domestic lainnya dan
dianggap sebagai orang nomor dua (Fakih, 1996 : 7-8). Karena sifat dan peran gender merupakan
produk dari konstruksi social budaya maka bersifat tidak permanen dan dapat dipertukarkan.
Perbedaan gender tidak menjadi masalah ketika tidak menjadi persoalan sosial budaya,
ketidakadilan dan penindasan terhadap warga masyarakat dengan jenis kelamin tertentu
(biasanya perempuan) (Heddy, makalah, 2001:6). Pada kenyataannya perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan saja kepada perempuan tetapi juga kepada laki-laki.
Laki-laki yang mendapat peran sebagai pencari nafkah dan pelindung dituntut oleh budaya untuk
menjadi perkasa,mampu kerja keras, dan bersifat rasional sehingga kehilangan sisi-sisi
kelembutan dan sikap damai yang merupakan kebutuhan lain dalam kehidupan manusia. Jangan-
jangan ini merupakan faktor utama penyebab rendahnnya usia hidup laki-laki disbanding
penanggung jawab pekerjaan domestic dianggap bersifat lemah dan pasif, maka tidak kapabel
Ketidakadilan gender yang biasanya menimpa pada perempuan bermula dari adanya
kesenjangan gender dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam hal akses terhadap
pendidikan dan sumber ekonomi. Hal ini dapat disebabkan karena adanya pelabelan negative
bahwa perempuan adalah lemah, yang juga bisa bermula dari adanya mitos-mitos yang
terbangun dalam suatu masyarakat. Misalnya mitos tentang sperma sebagai inti kehidupan.
Perempuan tidak mempunyai inti kehidupan, mampunya hanya menerima, maka perempuan
beberapa bentuk yaitu stereotipi , subordinasi marjinalisasi, beban ganda, dan kekerasan (Faqih,
1996). Manifestasi ketidakadilan tersebut masing-masing tidak bisa dipisahkan , saling terkait
dan berpengaruh secara dialektis .Steriotipi atau pelabelan negatif adaalah pemberian label
emosional, bertugas sebagai ibu rumah tangga. label-lebel tersebut menjadikan perempuan
memperoleh sikap tidak adil yang lainya. Subordinasi perempuan memperoleh sikap tidak adil
yang lainnya. Subordinasi perempuan adalah diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang
kekuasaan dan pengambilan keputusan. Karena perempuan mendapat label manusia nomor dua
maka dia berada di bawah dominasi laki-laki, dan haknya untuk memperoleh posisi tawar,
kepemimpinan, serta keputusan sering tidak diakui. Marjinalisasi perempuan muncul dari sikap
tidak menganggap penting atas eksistensi perempuan sehingga aksesnya terhadap pendidikan dan
pada perempuan. Beban ganda terjadi ketika pekerjaan domestic dianggap tugas perempuan,
maka ketika dia bekerja di sektor pubik sesampai dirumah dianggap berkewajiban
menyelesaikan tugas domestiknya, sementara laki-laki (suami) tidak terkena kewajiban itu.
termasuk pemerkosaan dalam perkawinan, pemberian intimidasi serta anegatif kepada pekerja
seks tetapi memberi sikap netral pada konsumenya yang notabene laki-laki.
dan merupakan keadaan yang socially, culturally, dan historyically contructed dalam kurun yang
telah lama sehingga seakan-akan menjadi sesuatu yang dianggap natural. Bahkan terjadi proses
pelanggengan terhadap keadaan tidak adil gender tersebut melalui proses sosialisasi nilai-nilai
dalam masyarakat, pendidikan, tafsir agama, dan peraturan pemerintah. Walau demikian keadaan
tersebut dapat dan perlu diubah dengan usaha yang sistematis. Untuk itu gender yang dapat
dipahami sebagai konsep tentang peran dan relasi antara laki-laki dan perempuan produk dari
sebuah konstruksi sosial budaya dapat dikembangkan menjadi alat analisis dan prespektif dalam
melihat, mengungkap, dan mengurai adanya fenomena gender dalam masyarakat beserta
persoalan-persoalan yang muncul karenanya (Fakih, dalam MacDonald, et al, 1999 : XXXI)
analisis dan prespektif dalam memandang persoalan sosial budaya berarti menjadikan konsep
gender sebagai sebuah paradigm atau kerangka teori, lengkap dengan asumsi dasar,model, serta
konsep-konsepnya. Dalam hal ini penelaah atau peneliti menggunakan ideology gender untuk
mengungkapkan adanya pemilahan atas dasar jenis kelamin terhadap status, posisi, peran, dan
relasi laki-laki dan perempuan serta implikasi sosial budayanya, termasuk ketidakadilan yang
ditimbulkannya. Pemilahan gender yang menyangkut bipolaritasnya perlu menjadi dasar untuk
melihat ketidakadilan gender tersebut, dan hasil penelitian digunakan sebagai dasar untuk
memunculkan bipolaritas sifat, peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan. Bipolaritas ini
adalah sifat maskulin dan feminism, peran domestic dan publik, dan posisi tersubordinasi dan
pengaruh konstruksi sosial dan budaya patriarkhi yang berlangsung lama secara umum telah
menjadikan satu sisi dari biplaritas tersebut dimiliki oleh perempuan dan satu sisi yang lainnya
dimiliki laki-laki. Bipolaritas tersebut meliputi sifat feminism untuk perempuan dan maskulin
untuk laki-laki, serta posisi tersubordinasi yang dialami perempuan danmendominasi bagi laki-
laki. Sifat, peran, dan posisi tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya, sehingga
sulit untuk dipisahkan secara tegas. Adanya pemisahan secara umum antara laki-laki dan
perempuan pada bipolaritas sifat, peran, dan posisi tersebut merupakan konstruksi sosialdan
budaya masyarakat, dan bukan hal yang kodrati. Perbedaan yang terjadi antara laki-laki dan
Organ biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan dikodratkan memiliki
organ tubuh untuk keperluan reproduksi, mulai dari vagina, indung telur, menstruasi dan air
susu. Sedangkan laki-laki tidak dilengkapi organ tubuh untuk keperluan reproduksi tersebut.
Dengan organ tubuh yang dimilikinya itu, perempuan bisa melahirkan anak. Untuk merawat
anak yang dilahirkan diperlukan sifat-sifat halus, penyabar, penyayang, pemelihara dari seorang
perempuan. Sedang laki-laki dengan organ tubuh yang dimiliki dipandang lebih leluasa dalam
bergerak, karena laki-laki tidak diganggu oleh siklus menstruasi, repot dan sakitnya persiapan
dan berlangsungnya kelahiran, serta sibuknya merawat anak. Oleh karena itu, laki-laki dipandang
meiliki tubuh yang lebih kuat dan perkasa dibandingkan dengan perempuan.
sifat yang perlu dimiliki oleh masing-masing. Perempuan dengan organ yang dimiliki
dikonstruksi oleh budaya untuk memiliki sifat halus, penyabar, penyayamg, keibuan, lemah
lembut dan yang sejenisnya. Sifat inilah yang kemudian dikenal dengan istilah feminism.
Sementara itu laki-laki sebaliknya, ia dengan perangkat fisiknya diberi atribut sifat maskulin.
Fisik laki-laki yang tidak direpotkan dengan siklus reproduksi tersebut dikonstruksi oleh budaya
sebagai fisik yang kuat, kekar, jantan, perkasa dan bahkan kasar. Sifat-sifat itulah yang disebut
dengan maskulin. Berdasarkan organ fisik masing-masing jenis kelamin kemudian dikonstruksi
biplaritas sifat yang diletakkan pada perempuan dan laki-laki, yaitu feminism dan maskulin.
Padahal baik sifat feminism maupun maskulin sebenarnya bisa dimiliki oleh laki-laki atau
Konstruksi budaya bahwa sifat feminism dimiliki perempuan dan sifat maskulin dimiliki
laki-laki sebagaimana penjelasan sebelumnya membawa dampak pada bipolaritas peran yang
harus dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Perempuan dengan sifat-sifat feminimnya
dipandang selayaknya untuk berperan di sektor domestic, sebaliknya laki-laki yang maskulin
sudah sepatutnya dan bahkan menjadi kewajiban budaya untuk berperan di sektor publik.
(seperti membersihkan rumah, mencuci, memasak, menyetrika, mengasuh anak) dianggap sudah
selaras dengan sifat-sifat perempuan yang feminism. Sebaliknya pekerjan publik seperti mencari
nafkah di luar rumah dan perlindungan keluarga diknstruksi oleh budaya menjadi tugas laki-laki.
Tugas tersebut dipandang keras dan memerlukan kekuatan fisik yang memadai dan dapat
Pemilihan peran domestik dan public yang merupakan kelanjutan dari sifat feminim dan
maskulin tersebut disosialisasikan sejak dini di lingkungan keluarga bahkan sejak anak dalam
kandungan. Jika diketahui bahwa bayi yang dikandunng laki-laki maka akan disiapkan segala
perlengkapan bayi yang berwarna biru muda, sebaliknya jika perempuan akan dibelikan
perlengkapan bayi berwarna merah muda (Mosse, 1996). Warna-warna itu dipandanng
merepresentasikan sifat feminism dan maskulin. Setelah anak beranjak besar dan mulai bisa
bermain, akan dibelikan permainan yang dianggap sesuai dengan jenis kelamin dan sifat-sifat
yang diharapkan muncul dari anak-anaknya. Untuk anak perempuan agar sifat feminism dan
kerja domestiknya tersosialisasi, maka diberilah permainan seperti boneka, peralatan masak
memasak, dan sejenisnya (Sadli dan Patmonodewo, 1995: 70). Sedang untuk anak laki-laki akan
dibelikan mainan mbil-mobilan, senapan, dan sejenisnya yang diharapkan dapat mengasah sifat
maskulinya sehingga tersosialisasi pola kerja public yang kelak harus diperankannya.
Setelah masuk sekolah, sosialisasi sifat maskulin dan feminism serta kerja public dan
domestic terus berlanjut. Penataan baris-berbaris dan tempat duduk di kelas umumnya
menempatkan laki-laki di belakang dan perempuan di depan, penataan ini merepretasikan laki-
laki yang maskulin sebagai pelindung perempuan yang lemah. Pada pelajaran olah raga akan
membebaskan siswa laki-laki untuk bermain sepak bola, sedang perempuan dilarang, sebagai
gantinya disarankan untuk bermain lompat tali sifat feminism. Dalam buku pelajaran
ditanamkann bahwa yang pergi ke pasar, masak di dapur, mencuci piring dan mengasuh anak
adalah ibu, seorang bapak dilukiskan pergi ke kantor, ke lading,membetulkan atap rumah
perlindungan dari laki-laki terhadap perempuan, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun di
dunia public.
Dalam kehidupan rumah tangga , laki-laki (suami) dengan sifatnya yang maskulin,
ditempatkan oleh budaya pada posisi sebagai kepala rumah tangga, sedang perempuan (istri)
sebagai orang keduaanya. Istri digambarkan sebagai pendamping suami, bahkan pendamping
yang pasif. Hal ini tercermin dalam ungkapan budaya Jawa: Suwarga nunut nereka katut (surga
ikut dan neraka turut), juga ungkapan yang menggambarkan predikat istri/perempuan sebagai
obyek penderita: Nek awam dadi teklek, nek bengi dadi lemek (siang menjadi sandal malam
Tjitrosubono (1998) mengutip Serat Centini mengambarkan hubungan antara suami isteri
yang dilambangkan seperti lima jari tangan. Sebagai istri dilukiskan ibarat jempol (ibu jari)
mereka haris pol, sepenuhnya mengabdi pada suami. Ibarat telunjuk, istri wajib menuruti segala
perintah suami. Pemberian suami berapapun sedikitnya, harus dihargai. Ibarat jari manis, istri
harus bermanis muka kepada suaminya, apapun perasaan hatinya. Ibarat jentik, istri harus hati-
Dalam kehidupan public kondisi perempuan tidak jauh berbeda. Setiap keputusan penting
meski perempuan terlibat di dalamnya, akan senantiasa menjadi hak laki-laki. Karier perempuan
tergantung pada laki-laki (Fakih, 1998b), izin dari suami diperlukan untuk menduduki jabatan
atau mengemban tugas tertentu. Sebaliknya hampir tidak ditemukan ketentuan yang dikenakan
pada suami untuk minta izin dan istrinya ketika akan dipromosikan pada kedudukan atau tugas
tertentu.
Pembedaan antara laki-laki dan perempuan pada masing-masing bipolaritas gender tersebut
merupakan fenomena yang ada dalam masyarakat sebagai hasil dari konstruksi sosial dan
budaya patriarkhis yang terbentuk dalam waktu yang panjang. Karena fenomena pembedaan
sifat, peran, dan posisi antara laki-laki dan perempuan tersebut sudah menjadi gejala umum maka
dalam melihat dan menganalisis fenomena tersebut perlu dibedakan dan dipilah antara
kesenjangan gender (gender gap), bias gender (gender bias), dan ketidakadilan gender (gender
inequality). Kesenjangan gender merupakan realitas yang terjadi mengenai adanya perbedaan
sifat, peran, dan posisi antara laki-laki dan perempuan. Realita ini belum tentu menggambarkan
bahwa komunitas atau masyarakat di sekitarnya memiliki pandangan yang bias gender ataupun
mempraktekan ketidakadilan gender, bisa jadi realitas kesenjangan gender tersebut tidak disadari
oleh masyarakat di sekitarnya karena merupakan hasil dari proses konstruksi sosial dan budaya
yang panjang. Berbeda dengan kesenjangan gender, bias gender merupakan pemikiran, penilaian,
dan pandangan yang dimilliki oleh individu atau kelompok masyarakat tentang adanya
perbedaan sifat, peran, dana posisi sosial antara laki-laki dan perempuan. Pandangan ini tidak
akan menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequality) adalah sikap, perilaku, atau
kebijakan yang diskriminatif sehingga menghalangi akses (access) dan kesempatan (opportunity)
untuk memiliki sifat, peran, dan posisi tertentu, yang umumnya terjadi pada perempuan.
Sesungguhnya, perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran dan posisi sebagaimana
Namun pada kenyataanya perbedan gender ini telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan
saja bagi kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem
dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem tersebut
(Faqih,1998a; 1997). Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan,
terutama pada perempuan, yaitu stereotipi atau pelabelan negative, subordinasi dan
marginalisasi perempuan (Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap perempuan (Prasetyo
dan Marzuku, 1997), ataupun beban kerja lebih banyak dan panjang (Ihromi, 1990). Manifestasi
ketidakadilan gender tersebut masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan, saling terkait dan
Adanya studi gender pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan
ketidakadilan gender tersebut. Dengan kata lain studi gender hendak mewujudkan keadilan
sosial, dan keadilan sosial tidak dapat diwujudkan tanpa adanya keadilan gender dalam
masyarakat. Keadilan keadilan gender biasanya merujuk pada aplikasi keadilansosial dalam hal
pemberian kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Keadilan disini tidak berarti
bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama dalam segala hal, namun yang dimaksud adalah
bahwa pemberian suatu kesempatan atau akses tidak tergantung pada perbedaan jenis kelamin.
Keadilan gender, dengan demikian, dapat diartikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki dan
menikmati status yang sama; laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kesempatan untuk
politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta sama-sama dapat menikmati hasil dari perkembangan
Diantara gambaran dan indikasi adanya upaya untuk mewujudkan keadilan gender adalah
1) menerima dan memandang secara wajar perbedaan yang ada pada laki-laki dan perempuan,
karena adanya penghormatan pada perbedaan termasuk wujud dari keadilan gender, 2)
mendiskusikan bagaimana cara merombak struktur masyarakat yang membedakan peran dan
masa depannya, 4) memperjuangkan secara terus menerus hak asasi manusia, dimana gender
merupakan salah satu bagiannya yang tak terpisahkan, 5) mengupayakan perkembangan dan
penegakan demokrasi dan pemerintahan yang baik dalam semua institusi masyarakat, dengan
melibatkan perempuan dalam semua level-levelnya, dan 6) pendidikan merupakan kunci bagi
norma, pengetahuan dan kemampuan mereka. (Gender Equity For All: 17).
HAM atau hak asasi manusia (Human Rights) adalah hak fundamental yang tak dapat
dicabut yang mana karena ia adalah seorang manusia. Jack Donnely, mendefinisikan hak asasi
sebagai hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia
memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum
positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu
merupakan pemberian dari tuhan yang maha esa. Sementara menurut John Locke, Hak Asasi
Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia
dan tidak dapat diganggu dan digugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM merupakan kodrat
pada diri manusia yang merupakan anugerah atau pemberian langsung dari tuhan YME. Secara
Filosofis, pandangan menurut Hak Asasi Manusia adalah, Jika wacana public masyarakat global
di masa damai dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu adalah Hak Asasi
Manusia. Meskipun demikian, klaim yang kuat dibuat oleh doktrin hak asasi manusia agar terus
memunculkan sikap skeptic dan perdebatan tentang sifat, isi dan pembenaran hak asasi manusia
sampai di jaman sekarang ini. Memang, pentanyaan tentang apa yang dimaksud dengan hak itu
sendiri kontroversional dan menjadi perdebatan Filosofis terus (Shaw, 2008). Hak asasi manusia
Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan
Hak membuat dan mendirikan parpol/ partai politik dan organisasi politik lainnya.
Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.
Dimanapun manusia berada, tentunya harus ada sebuah aturan atau hukum yang
membatasi tingkah lakunya. Untuk itu hukum merupakan suatu sistem yang dibuat oleh manusia
sendiri yang berguna dalam membatasi timgkah laku manusia, sehingga tingkah laku mereka
dapat terkontrol. Setiap Negara tentunya harus menetapkan hukum, yang menjadi dasar adanya
jaminan kepastian hukum atas perilaku mayarakatnya. Dengan adanya hukum di setiap Negara,
tentunya masyarakat mendapatkan jaminan dan mendapat perlindungan hukum. Dengan kata lain
hukum bisa juga diartikan sebagai peraturan-peraturan yang tertulis ataupun tidak tertulis yang
mengatur kehidupan masyarakat dan memiliki sanksi bagi yang melanggarnya, dimana sanksi
dari hukum ini bersifat memaksa dan mengikat. Jadi tidak mungkin masyarakat akan bisa
terlepas dari hukum. Selain hukum yang dibuat oleh Negara melalui DPR, di setiap lapisan
masyarakat terdapat hukum yang tidak tertulis namun telah disepakati oleh banyak orang.
Hukum yang bersifat seperti itu merupakan hukum adat atau kebiasaan di suatu tempat.
2.2.2 Pandangan HAM terhadap Gender
Konsep hak asasi manusia, atau hak-hak dasar perempuan,paling tidak mempunyai dua
makna tersembunyi di dalamnya. Makna pertama,hak asasi perempuan sekedar pengertian yang
dibangun sepenuhnya atas dasar akal sehat belaka.dalam pengertian ini, hak asasi perempuan
dipahami sebagai sekedar akibat logis dari pengakuan bahwa kaum perempuan juga manusia.
Jika perempuan dianggap sebagai juga manusia, maka sudah semestinya mereka juga
mempunyai hak asasi sebagai manusia.adalah sangat wajar kaum peremuan juga mempunyai hak
asasi. Tetapi kenyataandan pengalaman empiris selama ini menunjukkan adanya pengakuan
bahwa kaum perempuan adalah juga manusia, tidak serta merta berdampak positif terhadap
perlindungan hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Makna kedua, dari konsep di atas,
dimunculkan konsep dan pengertian hak asasi perempuan yang kedua dalam makna kedua ini,
hak asasi perempuan dipahami dengan konotasi sebagai konsep yang lebih revolusioner, yang di
dalam konsep tersebut terkandung visi dan maksud transformasi relasi social melalui perubahan
relasi kekuasaan yang berbasis gender.pengintegrasian hak asasi perempuan dalam standar Hak
Asasi Manusia (HAM), berimplikasi pada adanya pengakuan akan suatu kesalahan manusia
berbagia bangsa selama ini,untuk memberikan penghormatan dan penghargaan yang seharusnya
Konsep Hak asasi perempuan dalam makna yang kedua tersebut, akan memberi bekal
bagi kaum perempuan untuk melakukan analisis dan mengartikulasikan pengalaman mereka
dalam menghadapi berbagai bencana dan bahaya kemanusiaan, seperti bencana akibat berbagai
kekerasan di tempat yang selama ini tertutup dari sorotan dan wacana public, yakni kejahatan
kemanusiaan di dalam rumah tangga dalam wilayah domestic dan reproduksi manusia.
Wancana pembagian secara dikotomis antara ruang public dan ruang private (domestik),
memberikan sumbangan besar bagi munculnya sumber kesulitan mendasar mengapa kaum
perempuan tidak terjangkau oleh standar HAM. Selama ini salah satu asumsi yang mendasari
standar HAM adalah bahwa HAM semata urusan Negara atau Pemerintah, dan oleh karenanya
perlu dibatasi Yuridikasinya hanya pada arena public saja. Asumsi inilah yang selama ini
menghambat sehingga tindak kejahatan di dalam rumah tangga oleh anggota keluargannya
sendiri dimungkinkan untuk dijangkau oleh instrumen HAM yang ada. Dikthomi urusan publik
dan private tanpa disadari turut serta menyelenggarakan pelanggaran Hak asasi perempuan.
Keyakinan masyarakat terhadap peran gender kaum perempuan ternyata juga menjadi
penyebab tersendiri bagi terjadinya diskriminasi dan kekerasan. Meskipun tidak semua peran
genjer perempuan selalu berakibat diskriminasi, namun banyak peran gender yang secara
bahkan peran gender tertentu mendegrasi posisi perempuan dan merendahkan kemanusiaan
kaum perempuan. Munculnya gagasan hak asasi perempuan telah memberi piranti maupun
perisaai penting yang menyediakan kerangka analisis umum guna mengembangkan visi dan
strategi untuk proyek transformasi posisi kaum perempuan secara radikal di masyarakat.
Konsep HAM terus berkembang, sebagai hasil dari responnya terhadapfenomena ketidakadilan
yang terus muncul dalam berbagai bentuk. Hak Asasi Manusia memang terus dituntut untuk
memperbaharui dirinya sekaligus untuk dapat menghasilkan kembali suatu kesadaran baru
Dalam sebuah kehidupan berumah tangga, suami isteri secara sah terikat di dalam sebuah
ikatan hukum, yaitu perkawinan. Perkawinan merupakan momentum di mana suami isteri terikat
hak sekaligus terikat kewajiban. Dalam al-Quran disebutkan bahwa : perempuan (ibarat)
pakaian bagi kamu, dan kamu (ibarat) pakaian bagi mereka. Ayat tersebut secara explisit
maupun implisit dapat dikatakan bahwa hak asasi daalm rumah tangga merupakan merupakan
suatu keharusan yang mengikat secara mendalam antara suami dan isteri, baik hakikat maupun
implikasinya. Oleh karena itu, masing-masing suami mempunyai hak, namun juga kewajiban
yang harus dijaga baik-baik, tidak bleh diabaikan. Hak dan kewajiban berlaku sama, kecuali
yang memasang secara fitrah dikhususkan baik bagi laki-laki maupun perempuann sendiri.
Dalam konteks ini misalnya disebutkan bahwa sebagian laki-laki (bukan semua laki-laki)
mempunyai kelebihan di atas perempuan kelebihan yang dimaksud dalam ayat ini, menurut
Yusuf Qardawi adalah kelebihan laki-laki dalam hal mengurus dan betanggung jawab.
Tidak hanya di dalam Al-Quran, hak dan kewajiban suami isteri juga bisa dilihat dalam
Ya Rasulullah apakah hak seorang isteri terhadap suami ? maka beliau menjawab: engkau beri
makan dia apaila engkau makan, dan engkau beri pakaian dia apabila engkau berpakaian, dan
jangan engkau menampar mukanya, dan jangan engkau jelek-jelekkan, dan jangan engkau
berpisah dengan dia melainkan dalam rumah tangga. Berdasarkan hadits di atas, maka
seoranng (laki-laki) muslim tidak dibenarkan mengabaikan masalah nafkah dan pakaian isteri,
sebagaimana juga dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad: cukup berdosa seseorang yang
Dalam aturan islam, juga tidak dibenarkan seoranng (laki-laki) muslim melakukan
dengan rasa rahman dan Rahim yang demikian luar biasa? Meskipun isterinya seorang yang
durhaka, seorang suami tidak dibenarkan memukul isterinya tersebut, yang dapat menyusahkan
atau menampar muka dan tempat-tempat yang menyebabkan kematian. Disamping itu, juga tidak
ngantai issterinya dengan ucapan-ucapan yang tidak layak didengar, misalnya kata-kata:
suaminya.hal ini didasrkan kepada sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini :
Tidak halal bagi seorang isteri yang beriman kepada Allah, memberi izin (kepada laki-laki lain)
untuk masuk ke dalam rumah suaminya sedang ia tidak suka; dan tidak halal dia keluar rumah
sedangkan suaminya tidak suka; dan tidak halal dia taat kepada orang lain; dan tiadak halal dia
meninggalkan ranjang suami; dan tidak halal dia memukul suaminya. Kalau suami berlaku
zalim, maka datangilah sehingga menjadi senang; dan jika dia dapat menerimanya maka dia
adalah perempuan yang baik dan semoga Allah menerima uzurnya dan menampakkan alasnya;
tetapi jika suami tidak rela, maka uzurnya itu telah ia sampaikan kepada Allah.
Hak-hak serta sejumlah kewajiban suami dan isteri, yang telah diatur di dalam islam.
Dengan mendasarkan pada Al-quran dan hadits tersebut, maka jelas kiranya bahwa jauh
sebelum ada isu tentang hak asasi manusia, islam melalui wahyunya telah menjelaskan
bagaimana kedudukan HAM dalam islam, khususnya hak dan kewajiban antara suami dengan
isteri, maupun antara isteri dengan suami serta keluarga. Sehingga dengan demikian, kekerasan
dalam ruamh tangga tidak bisa dibenarkan baik dalam ajaran Islam maupun dalam konsep HAM
di dunia.
Konsep HAM yang diatur dan disepakati di dunia internasional di antaranya adalah
risalah pasal-pasal tentang convention on the Eliminatin of all from of discrimination against
women (CEDAW) mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, yang
Bagian pertama, mengenai pengutukan terhadap segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
dan upaya penegakan terhadap perempuan dan upaya menegakkan hak asasi persamaa hak dan
negaranya.
social ekonom.
Bagian keempat, mengenai kewajiban Negara-negara peserta memberikan persamaan hak wanita
kekeluargaan.
implementasi konvensi (CEDAW), dengan pangkal pertimbangan ditribusi geografis yang tepat
dan unsur-unsur dari berbagai bentuk peradaban manusia sistem hukum utama, panita dipilih
mungkin terdapat dengan perundang-undang disuatu Negara. Disamping konvensi ini tidak
Indonesia telah meratifikasi CEDAW, yaitu deklarasi PBB mengenai penghapusan yang
memuat hak dan kewajiban berdasarkan atas persamaan hak dengan pria Indonesia. Buktinya
kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia, khususnya yang terjadi di
ranah dosmetik meningkat setiap tahunnya. Sudah seharusnya ada upaya untuk menghapus
segala tindak kekerasan terhadap perempuan. Meskipun bukan hal yang mudah dilakukan,
namun minimal tindakan yang dapat dilakukan adalah mengoptimalkan peran masyarakat
termasuk keluarga dan jaminan perlindungan dari Negara. Karena itu dalam prespektif HAM
dimana keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta merupakan inti dari masyarakat,
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan dari masyarakat dan Negara. Dalam konteks
ini, dapat disebutkan dasarnya bahwa dalam pasal 16 (3) DUHAM, dinyatakan bahwa keluarga
adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pkok dari masyarakat dan berhak mendapat
Penegasan serupa juga dicamtumkan pada deklarasi Kairo ang menyebutkan bahwa
Pasal 5 ;
pembentuknnya. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak atas perkawinan, dan tidak
ada pembatasan dari ras, warna kulit atau kebangsaan akan mencegah mereka untuk
Pasal 6 :
a. Perempuan dan laki-laki adalah martabat sebagai manusia, dan mempunyai hak yang
Pasal-pasal dalam deklarasi Kairo tersebut memiliki dua hal penting, yaitu selain pengakuan
terhadap kesetaraan perempuan dan laki-laki, deklarasi tersebut juga memberikan pengakuan
terhadap kebebasan membentuk rumah tangga. Deklarasi tersebut menunjukkan adopsii terhadap
kritik dan pandangan fiminis musli yang mempromosikan hak dan kebebasan perempun baik di
Dalam garis besar yang diterapkan dalam konvensi mengenai penghapusan semua bentuk
diskriminasi wanita perlu secepatnya diealisasikan, tanpa ditunda-tunda. Negara juga harus
memperhatikan wanita pedesaan dan perannya serta berupaya melakukan penghapusan terhadap
berbagai bentuk diskriminasi yang ada. Penghapusan diskriminasi terhadap perempuan juga
harus dilakukan lewat Undang-undang maupun ketentuan hukum. Disamping itu juga harus ada
perubahan paradigm lama yang menganggap rendah kaum perempuan. Dalam konteks merubah
paradigma tersebut, dapat disosialisasikan beberapa wacana yang lebih melihat perempuan
Dalam pendidikan keluarga. Ibu mempunyai fungsi social dan tanggung jawab bersama
ditelusuri dari keberadaan pasal 27 UUD 1945 serta amandemennya yang menganut asas
equality before the law. Prinsip ini muncul ke permukaan dengan tidak ada pembedaan perlakuan
perempuan dapat memposisikan sebagai apa saja di depan hukum. Secara yuridis formal,
ketentuan ini mengangkat dan memperlakukan perempuan dalam konteks yang sesuai dengan
Hukum bertujuan membentuk masyarakat yang ideal. Selain itu, bertujuan pula memberikan
keadilan dan kepastian hukum kepada masyarakat secara merata. Berbicara tentang hukum,
maka kita berbicara pula tentang hak dan dan kewajiban yang timbal balik, sehingga semua
orang adalah sama dimuka hukum, sebab hukum tidak akan membedakan hak dan kewajiban
manusia satu dengan yang lain. Dengan perkataan lain, hukum itu tidak boleh berisi norma-
norma hukum yang diskriminatif, yang hanya akan memberikan keuntungan pada sebagian
orang, dan merugikan sekelompok orang yang lain. Sebab akibat dari diterapkannya norma
hukum yang diskriminatif, maka sebagai manusia akan mengalami perlakuan yang diskriminatif
dan menderita kerugian. Karena secara khusus KUHPidana hanya menyatakan kekerasan
berikut ;
Kejahatan kesusilaan seperti kasus perzinaan dalam KUHP mempunyai kelemahan yang
mendasar. Seperti tersebut dalam pasal 284 salah satu pihak terikat perkawinan, pasal 285
tentang perkosaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan
isterinya bersetubuh dengan dia. Sempitnya makna perkosaan dalam KUHP disadari oleh para
perumus Rancangan KUHP, sehingga mereka membuat perumusan yang jauh lebih luas dengan
Bersetubuh
Tanpa persetujuan atau dengan persetujuan yang dicapai melalui ancaman atau ia percaya
bahwa pelaku itu suaminya, atau perempuan ini berusia dibawah 14 tahun
Termasuk memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut perempuan atau
memasukkan benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus seorang
perempuan.
Kejahatan atau pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape) pengaturannya belum ada di
Indonesia, tetapi sudah diusulkan dalam konsep KUHP baru dan masih dalam hal upah,
penghargaan hak-hak reproduksi wanita, waktu dan tempat kerja wanita,juga belum banyak
fisik lainnya terhadap perempuan, jika tidak diberi viktimasi juga tidak dapat dilakukan tindakan
hukum. Di Indonesia pemerintah telah berusaha untuk memberikan perlindungan terhadap kaum
diakualisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Salah satu upaya yang dimaksud
adalah terbitnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT). KDRT adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Pada
umumnya pelaku kekerasan dala rumah tangga adalah suami, dan korbannya adalah isteri dan
atau anak-anaknya. KDRT bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan
psikologi/emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Secara fisik, kekerasan dalam
dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya. Secara psikolologi, kekerasan yang
ke rumah orang tuanya, dan lain-lain. Secara seksual, kekerasan dapat terjadi dalam bentuk
pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual. Secara ekonomi, kekerasan terjadi berupa tidak
memberi nafkah isteri, melarang isteri bekerja atau membiarkan isteri bekerja untuk
dieksploitasi.
Realita di dalam masyarakat menunjukkan bahwa di bidang hukum, baik masalah kekerasan
terhadap perempuan dalam KDRT maupun perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan
masih belum memadai. Berbagai faktor sangat mempengaruhi terhadap upaya penegakan hukum
tersebut. Diantarannya adalah nilai maupun norma yang ada di dalam masyarakat yang tidak
akomodatif terhadap permasalahan perempuan dan yang bersangkutan (perempuan) itu sendiri
korban,dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, Negara dan masyarakat wajib
melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Negara
berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah
pelanggaran hak asai manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta sebagai
bentuk diskriminasi.
Pandangan Negara tersebut didasarkan pada pasal 28 UUD 1945, besert perubahannya. Pasal
28G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa,setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi. Pasal 28 H ayat (2) UUD1945 menentukan bahwa setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Perkembangan dewasa ini menunjukkan
bahwa tindak kekerasan secara fisik,psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada
kenyataannya meningkat baik secara hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam
rumah tangga.
Pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya
perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubung dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama
kekerasan dalam rumah tangga. UU tentang penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga ini
terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku
sebelumnya, antara lain, UU no. 1 Tahun 1946 tentang KUHPidana serta perubahannya, UU No.
8 Tahun 1981 tentang KUHP, UU No. 1Tahun 1974 tentang perkawinan, UU No.7 Tahun 1984
pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan
tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, UU juga mengatur tentang
kewajiban para aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja social, relawan pendamping,
atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitive dan respnsif
terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan, keharmonisan dan
kerukunan.
UU dia atas lahir dalam nuasa politik hukum yang reformis, sehingga semua pihak
menginginkan adanya suatu bentuk perlindungan hukum bagi korban-korban tindak kekerasan
yang terjadi dilingkungan rumah tangga, namun berdasarkan undang-undang tersebut nampa
bahwa pengaturan tentang masalah KDRT belum secara jelas memberikan perlindungan hukum
yang memadai, baik dalam kriteria, pemahaman tentang KDRT maupun sarana, prasarana untuk
pelaksanaan perlindungan hukum bagi perempuan korban KDRT. Jaringan yang kuat diantara
elemen masyarakat merupakan kebutuhan yang sangat mendesak bagi kepentingan perempuan
Dalam hal pembentukan hukum dan formulasi kebijakan public, antara keduanya sesungguhnya
dapat saling mengisi dan memperkuat satu sama lain. Sebab dengan interaksi yang baik antara
dua hal tersebut, maka akan dihasilkan produk hukum yang mapan secara substansial, dan
menghasilkan produk kebijakan public yang legitimated dan dipatuhi secara massif oleh para
stakehlders-nya .
Adapun kriteria hukum dan kebijakn public yang berperspektif gender adalah yang selalu
mengacu pada UUd 1945 khususnya pasal 27 dan 28 sebagai landasan dalam pembenukannya,
dimana hukum dan kebijakan public tersebut harus menjungjung tinggi nilai-nilai HAM dan
maka pada tahun 2004 pemerintah menerbitkan Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini dilakukan dalam rangka untuk memantapkan
landasan hukum yang kuat agar pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat dijerat oleh
hukum dan sebagai suatu bentuk aktualisasi atas hukum dan kebijakan public di sektor gender.
Sebagai suatu bentuk kejahatan , tindakan kekerasan sepertinya tidak akan pernah hilang
dari muka bumi ini, sebagaimana pula tindak-tindak kejahatan lainnya. Akan tetapi hal ini tidak
berarti bahwa frekuensi, prevalensi dan insidensi tindak kekerasan terhadap perempuan tidak
dapat direduksi untuk mencapai hal ini, selain upaya Yuridis yang diusulkan, semuamya kembali
berpulang pada warga masyarakat sendiri. Tanpa adanya partisipasi public, maka tidak akan
pernah ada perubahan. Untuk dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat ini maka peran
pembuat kebijakan akan sangat menentukan, baik mereka yang berasal dari tingkat yang palng
tinggi sampai yang paling rendah, terutama pemilik kekuasaan diskresi (discretionary power).
Apabila segmen ini saja tidak mempunyai compassion terhadap perempuan yang menjadi korban
tindak kekerasan, masalah ini tidak akan pernah diselesaikan. Selain itu, upaya pendidikan dan
yang terjadi dalam komunitas mereka sendiri. Lembaga penyantun korban kejahatan semacam
ini yang didirikan di seluruh wilayah Indonesia juga akan sangat membantu kaum perempuan.
Pada akhirnya semuanya tergantung pada keinginan seluruh elemen bangsa, untuk mengubah
kondisi yang ad kea arah yang lebih baik, bermartabat dan berprikeanusiaan tinggi.
Agama Islam adalah satu-satunya agama yang diturunkan dan disyariatkan Allah SWT
serta satu-satunya agama yang diakui dan diterima-Nya. Allah SWT tidak akan menerima agama
(QS.Ali-Imran:19)
Islam berarti penyerahan diri kepada Allah dengan beriman dan bertauhid kepadanya serta
mengikuti syariatnya yang dibawa oleh para rosulnya. Syaykh Muhammad al-Tamimiy
menambahkan asas makna Islam ini menjadi 3 hal, yang diistilahkannya dengan tawhid, taat
dan baraah dari syirik, dimana dia berkata Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan
Tauhid, tunduk dan patuh kepadanya dengan ketaatan serta membebaskan diri (baraah) dan
syirik.
dengan dalili-dalil agama. Terutama agama-agama anak cucu Nabi Ibrahim (Abrahamic
Religions), secara tekstual memang banyak memihak kepada laki-laki. Tuhan digambarkan
sebagai sosok laki-laki, sebagaimana terlihat pada kata ganti Tuhan dengan menggunakan kata
ganti laki-laki . Bahkan beberapa agama tertentu mengidialisir sosok laki-laki sebagai setengah
Tuhan dan perempuan sebagai setengah iblis. Bahasa-bahasa agama seringkali dilibatkan untuk
melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-
laki. Isu ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan, memunculkan gerakan untuk
memperjuangkan hak-hak perempuan. Hal ini juga dilakukan oleh kaum feminisme, yaitu
gerakan yang sudah tua, namun baru pada tahun 60-an dianggap sebagai lahirnya gerakan itu.
Gerakan feminisme itu muncul di Amerika sebagai bagian dari kultur radikal hak-hak sipil (civil
rights) dan kebebasan seksual (sexual liberation). Buku Betty Friedan yang berjudul The
Feminist Mystique (1963) laku keras. Setelah itu berkembang kelompok feminis yang
memperjuangkan nasib kaum perempuan memenuhi kebutuhan praktis, seperti pengasuhan anak
(childcare), kesehatan, pendidikan, aborsi, dan sebagainya. Kemudian, gerakan itu merambat ke
Eropa, Kanada, dan Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan
Berbeda dengan pandangan para feminis, Islam diturunkan oleh Allah Yang Maha Adil
dan Maha Mengetahui hakikat kaum Hawa, maka kaum perempuan ditempatkan pada posisi
yang layak demi kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Karena itu,
kalau ditelusuri dalam konsep Islam, sesungguhnya yang menarik adalah bahwa surga bagi
wanita lebih mudah dicapai dari pada kaum pria. Seperti dialog yang terjadi antara Asma' binti
Sakan dengan Rasulullah saw. Asma' berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah Engkau diutus oleh
Allah untuk kaum pria dan juga wanita. Mengapa sejumlah syariat lebih berpihak kepada kaum
pria? Mereka diwajibkan jihad, kami tidak. Malah, kami mengurus harta dan anak mereka di kala
mereka sedang berjihad. Mereka diwajibkan melaksanakan shalat Jum'at, kami tidak. Mereka
diperintahkan mengantar jenazah, sedangkan kami tidak." Rasulullah saw. tertegun atas
pertanyaan wanita ini sambil berkata kepada para shahabatnya, "Perhatikan! betapa bagusnya
pertanyaan wanita ini." Beliau melanjutkan, "Wahai Asma'! sampaikan jawaban kami kepada
seluruh wanita di belakangmu, yaitu apabila kalian bertanggung jawab dalam berumah tangga
dan taat kepada suami, kalian dapatkan semua pahala kaum pria itu." (Diterjemahkan secara
bebas, HR Ibnu Abdil Bar). Dalam Al-Qur'an, perempuan ditempatkan paling tidak dalam tiga
posisi, yaitu:
1. Perempuan sebagai pendamping laki-laki, karena mereka adalah manusia yang satu.
)21(
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
)13(
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
)1(
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain ...." (An-Nisaa': 1).
)189(
"Dialah yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan
)72(
"Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari
istri-istri kamu itu, anak-anak, dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" (An-Nahl:
72).
2. Keimanan perempuan sama dengan laki-laki, bahkan perempuan dapat dispensasi tidak
)10(
laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahanam
)58(
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang Mu'min dan Mu'minat tanpa kesalahan yang
mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata."
(Al-Ahzab: 58).
)19(
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang Haq) melainkan Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mu'min, laki-laki dan
3. Balasan di dunia dan akhirat antara laki-laki dan perempuan adalah sama.
)40(
"Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding
dengan kejahatan itu. Dan barang siapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun
perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi
perempuan pada posisi yang terhormat. Sehingga, apa pun peranannya baik sebagai anak,
remaja, dewasa, ibu rumah tangga, kaum professional, dan lain-lain mereka itu terhormat sejak
bagi semesta alam (rahmatan lil alamin) sebagaimana termaktub dalam surat Al-
)107(
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Secara historis, pada awal kehadiran Islam, budaya masyarakat Arab tempat kelahiran
Nabi saw. penuh dengan kekerasan, ketidakadilan, dan diskriminatif. Pola kehidupan yang
banyak didominasi sistem kabilah, pada gilirannya membuat masyarakat rawan konflik dan
perpecahan. Sehingga menjadi pemandangan lumrah, di mana yang kuat menindas yang lemah.
Bahkan kaum perempuan, budak, dan anak-anak merupakan kelompok masyarakat lemah yang
perempuan dengan semangat keadilan, pembebasan, anti penindasan, dan anti diskriminasi. Nabi
Muhammad saw sebagai pembawa syariat Islam merupakan teladan bagi umatnya. Beliau
merupakan figur suami, bapak, dan laki-laki yang memegang teguh prinsip keadilan dan anti
kekerasan. Berdasarkan penuturan para istrinya, Nabi seumur hidupnya tidak pernah memukul
keluarganya, baik isteri, anak, maupun pembatunya. Nabi juga tidak pernah mengeluarkan kata-
kata kasar yang melukai hati isterinya. Jika tidak berkenan, beliau memilih diam dan menyendiri.
Nabi juga tidak menyetujui paktek diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Perhatian Nabi
Muhammad saw terhadap perempuan pada gilirannya membuat kaum perempuan bebas
mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya. Pada masa Nabi saw telah muncul semacam
komunitas yang menyuarakan aspirasi perempuan dengan juru bicara Asma bin Yazid. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang terhormat,
Salah satu tujuan penciptaan manusia, untuk menyembah Allah SWT., sebagaimana dinyatakan
)56(
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Semua manusia mempunyai kesempatan sama untuk menjadi hamba ideal di mata Allah SWT,
yaitu menjadi orang yang bertaqwa. Untuk mencapai derajat ini tidak dikenal adanya perbedaan
jenis kelamin maupun etnis. Dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah, laki-laki dan perempuan
)97(
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi di samping untuk menjadi hamba yang
tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi,
)165(
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
Kata khalifah dalam ayat Alquran surat al-Anam/6:165 ini tidak menunjuk pada salah satu jenis
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian dari Tuhan.
Sebelum anak manusia keluar dari rahim ibunya, terlebih dahulu harus menerima perjanjian dari
Allah dan berikrar akan keberadaan-Nya sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Araf/7:172,
sebagai berikut:
)172(
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Dengan demikian, sejak awal kejadian manusia, dalam Islam tidak dikenal sistem diskriminasi
jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
Peluang meraih prestasi maksimum dimiliki setiap laki-laki maupun perempuan tanpa ada
pembedaan. Islam menawarkan konsep kesetaraan gender yang ideal dengan memberi ketegasan
bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional tidak harus
dimonopoli salah satu jenis kelamin, sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali-Imran/3:195, sbb.:
)195( .....
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.
Namun dalam kenyataannya, di tengah-tengah masyarakat sekarang ini, konsep ideal tersebut
masih membutuhkan tahapan dan sosialisasi karena terdapat beberapa kendala budaya yang tidak
mudah diselesaikan.2.3.3