Pengolahan Feses Sapi Perah dan Jerami Padi Secara Terpadu Menjadi Pupuk
Organik Cair (POC), Pupuk Organik Padat (POP), Feed Additive dan Biogas
Disusun oleh:
JB Kristiadi Winarto
200110150288
Kelas E
Kelompok 3
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya dapat menyelesaikan laporan akhir
Perah dan Jerami Padi secara Terpadu Menjadi Pupuk Organik Cair, Pupuk
Organik Padat, Feed Additive dan Biogas. Sangat berharap laporan ini dapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, berharap adanya kritik
dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan ini dapat
Penulis
I
PENDAHULUAN
Limbah atau sampah organik adalah limbah yang berasal dari makhluk
hidup misalnya dedaunan, kotoran manusia atau hewan, bahan-bahan yang berasal
dari tanaman, dan lain-lain. Limbah ini sering dianggap sebagai kendala
dapat memberi manfaat yang besar bagi umat manusia. Salah satu limbah organik
yang sering dibiarkan begitu saja adalah limbah kotoran ternak terutama sapi.
Limbah kotoran ternak yang terdiri dari feses dan urin disebut dengan manure.
Padahal feses ternak (sapi) dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik dengan
dan unsur hara yang cukup tinggi sehingga bagus untuk pakan jasad renik dan
hewan tertentu dan untuk tanaman. Dengan memanfaatkan menjadi kompos maka
KAJIAN KEPUSTAKAAN
Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup,
seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik dapat
berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah. Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada
kadar haranya. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk
kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut
kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan
Pupuk organik cair merupakan salah satu jenis pupuk yang banyak beredar
dipasaran. Jenis pupuk ini kebanyakan diaplikasikan melalui daun atau disebut
sebagai pupuk cair foliar yang mengandung hara makro dan mikro esensial (N, P,
K, S, Ca, Mg, B, Mo, Cu, Fe, Mn, dan bahan organik). Menurut Simamora (2005)
pupuk organik cair adalah pupuk yang berasal dari hewan atau tumbuhan sudah
mengalami fermentasi. kandungan bahan kimia di dalamnya maksimum 5%.
Pupuk cair organik adalah pupuk yang bahan dasarnya berasal dari hewan atau
hara yang terdapat di dalam pupuk cair mudah diserap tanaman 3. Mengandung
pelengkap yang bukan zat makanan. Penambahan feed additive dalam pakan
ada dua jenis yaitu feed additive alami dan sintetis (Wahju, 2004).
Feed additive dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu nutritive feed
additive dan non nutritive feed additive. Nutritive feed additive ditambahkan ke
misalnya suplemen vitamin, mineral, dan asam amino. Non nutritive feed additive
2.3 Biogas
dan gas lainnya yang didapat dari hasil penguraian bahan organik (seperti kotoran
mencapai puncak pada hari ke-20~25. Biogas yang dihasilkan sebagian besar
terdiri dari 50-70% metana (CH4), 30-40% karbondioksida (CO2) dan gas lainnya
anaerob ini biasa terjadi secara alami di tanah yang basah, seperti dasar danau dan
menghasilkan gas yang mengandung sedikitnya 50% metana. Gas inilah yang
2.4 Vermicompost
dapat pula dijadikan sebagai sumber protein bagi pertumbuhan cacing selanjutnya,
(Gaddie and Douglas, 1975). Selain mengandung unsur hara tersebut, kascing
juga mengandung zat pengatur tumbuh seperti auksin, giberelin, dan sitokinin.
Selain itu juga ditemukan sejumlah mikroba yang bersifat menguntungkan bagi
tanaman (Tomatti dkk, 1998). Oleh karena itu, sangat bermanfaat bagi
peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi
Lumbricus rubellus. Cacing ini sudah terbukti mudah beradaptasi dan lebih
produktif dibanding jenis cacing tanah lainnya, serta sudah ada di Indonesia.
bahan organik yang sudah mengalami proses fermentasi dan di cerna menjadi
bahan yang berguna bagi tubuh dan sisanya dikeluarkan melalui anus berupa feses
yang bercampur dengan sisa bahan organik sebagai medianya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses biologis dalam pengomposan adalah nisbah C/N, kadar air,
unsur C dan N dalam bahan komposan (Merkel, 1981). Nisbah C/N yang baik
3.1.1 Alat
3.1.2 Bahan
1) Feses sapi
2) Jerami
3) Air
sebagai alas.
memadatkan.
9) Melubangi bagian luar karung sebanyak tiga lubang yaitu bagian atas,
3.2.1 Alat
organik.
3.2.2 Bahan
1) Bahan organik berupa campuran feses sapi dan jerami hasil proses
dekomposisi awal.
keseluruh area.
3.3.1 Alat
dikeringkan.
3.3.2 Bahan
2) Air panas
3) Molasses
homogen.
3.4.1 Alat
6) Penjepit dan perekat tong, untuk merekatkan penutup tong dengan tong
8) Keran, berfungsi sebagai pembuka dan penutup antara selang dan tong.
3.4.2 Bahan
1) Malam organik
2) Memastikan tong, dan selang tidak ada yang bocor dengan cara
sebagai perekat.
5) Menutup tong dengan penutup dan merekatkannya dengan penjepit
7) Memastikan keran pada bagian selang tertutup dan keran pada bagian
tong terbuka.
3.5.1 Alat
digunakan.
3.5.2 Bahan
1) Cacing tanah
2) Ampas tepung kanji
251 gram.
3.6.1 Alat
3.6.2 Bahan
wadah.
oksigen terpenuhi.
IV
dekomposisi awal. Hasil yang didapat saat proses dekomposisi awal sebagai
berikut:
dekomposisi awal yang telah dikeringkan selama tujuh hari. Lalu difermentasikan
Molasses : 0,5 kg
Pada praktikum kali ini, kami hanya melakukan pembuatan biogas dan
tidak mengamati hasil akhir dari pembuatan biogas yang telah dilakukan.
lakukan. Proses ini dilakukan dengan bahan feses sapi perah dan jerami padi
dengan berat awal 19,3 kg dan berat akhir 13,2 kg. Besar penyusutan yang terjadi
adalah 31,6%. Suhu mengalami kenaikan pada hari kedua, dan mencapai suhu
penyusutan dalam proses dekomposisi awal. Hal ini menunjukkan bahwa proses
hari ke 2-4 lalu penurunan suhu dihari selanjutnya hingga hari ke-7. Hal ini sesuai
atau bobot awal bahan (Isroi, 2007). Berakhirnya proses dekomposisi awal
ditandai dengan suhu yang sudah mulai stabil. Setelah selesai dilakukan
pembongkaran karung yang berisi campuran feses sapi perah dan jerami padi.
Proses dekomposisi awal berhasil ditandai dengan substrat yang tidak berbau,
warna coklat, dan jerami yang mudah patah atau hancur jika diremas. Hal ini
sesuai dengan literature (Isroi, 2007).
sebanyak 1,5 kg hasil dari dekomposisi awal, dengan perendaman air panas
selama 30 menit dengan air panas sebanyak 10 liter. Substrat disimpan pada
container bagian atas dengan tiga tingkatan, lalu dirsiramkan air panas dan harus
terendam dan biarkan selama 30 menit. Filtrate yang ada pada bagian atas akan
perlahan-lahan turun ke bagian bawah dan tertampung pada wadah plastic. Hasil
berupa filtrate sebanyak 6,65 liter. Penggunaan air panas pada pembuatan pupuk
organic cair berfungsi agar kandungan yang terkandung pada substrat pada dapat
lisis atau larut bersama dengan air panas. Pupuk organic cair sangat bermanfaat
pengganti pupuk kandang. Hal ini sesuai dengan literature (Sarjana Parman,
2007).
yang digunakan untuk membuat feed additive sebesar 9,5 liter. Pada proses
pembuatan industry gula (tebu) yang berwarna hitam. Penambahan ini bertujuan
memiliki senyawa berupa gula (sukrosa) dan asam-asam organic. Sebelum mebuat
molasses dan aduk hingga homogen. Penyimpanan harus ditutup agar terjadu
proses fermentasi. Hasil feed additive yang diperoleh berwarna hitam, sedikit
kental, berbau enak, berasa asam. Feed additive yang sudah siap dapat bermanfaat
bermanfaat bagi usus. Hal ini sesuai dengan literature yang menyatakan bahwa
menjadi unsur hara oleh mikroorganisme dan hewan tingkat rendah salah satunya
menimbangnya. Jumal yang digunakan adalah sebanuyak 251,5 gram dan media
yang digunakan adalah bahan organik 3,5 kg. Cacing yang digunakan adalah
cacing jenis top soil yaitu Lumbricus rubellus. Media yang dipergunakan selain
sebagai tempat hidup cacing harus dapat dipergunakan sebagai sumber pakan.
Untuk keperluan pakan diperoleh dari bahan organik yang memiliki kandungan
nutrisi yang lebih baik karena jika tidak memiliki kandungan nutrisi maka cacing
yang dipelihara tidak akan berkembang biak karena kekurangan pakan. Hal ini
dengan triplek yang telah dilubangi, agar cacing mendapatkan oksigen dan
KESIMPULAN
bersumber dari hasil dekomposisi awal yaitu campuran feses sapi perah dan
jerami padi yang telah diaerasi selama tujuh hari. Selanjutnya diberi air
kemudian memasukan bahan berupa feses sapi perah dan jerami padi
Menimbang cacing tanah jenis top soil yaitu Lumbricus rubellus seberat
Djuarnani, N., Kristian, dan Budi Dusilo Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat
Kompos. Cetakan Pertama. Agromedia Pusaka. Jakarta
Endang Yulistiawati, Pengaruh Suhu dan C/N Rasio Terhadap Produksi Biogas
Berbahan Baku Sampah. Skripsi S1, Jurusan Teknologi Pertanian
IPB, 2008.
Gaddie, R. E, and D. E. Doughlas. 1975. Eartworms for Ecology and Profit. Vol.
1. Bookworm Publishing Company. Ontario, California.
Harsono. 2013. Aplikasi Biogas Sistem Jaringan dari Kotoran Sapi di Desa
Bumijaya Kec. Anak Tuha, Lampung Tengah Sebagai Energi
Alternatif yang Efektif. Skripsi. Universitas Lampung, Lampung.
Hou J, Qiao Y, Liu J, Reijie D. 2005. The Influence of Temperature, pH and C:N
Ratio on the Growth and Survival of Eartwormsin Municipal Solid
Waste. CIGR Journal. 7: 1-6.
Parnata, Ayub.S. 2004. Pupuk Organik Cair. Jakarta: PT Agromedia Pustaka. Hal
15-18.
Tomatti, U. A., Grapelli and E. Galli. 1988. The Hormons Like Effect of
Earthworm Casts On Plant Growth. Biol. Fertils Soils. 5: 228 294.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
LAMPIRAN