Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skabies adalah penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit, yang umumnya


terabaikan sehingga menjadi masalah kesehatan yang umum di seluruh dunia
(Heukelbach et al. 2006), dapat menjangkiti semua orang pada semua umur, ras dan
level sosial ekonomi (Raza et al. 2009). Ektoparasit adalah organisme parasit yang hidup
pada permukaan tubuh inang, menghisap darah atau mencari makan pada rambut, bulu,
kulit dan menghisap cairan tubuh inang (Triplehorn dan Johnson, 2005). Infestasi
ektoparasit pada kulit keberadaannya membuat rasa tidak nyaman, dapat menyebabkan
kehidupan yang tidak sehat secara signifikan. Infestasi ektoparasit bersifat sporadik,
epidemik dan endemik (Ciftci et al., 2006).

Tungau ektoparasit penyebab skabies adalah Sarcoptes scabiei var hominis


termasuk ordo Acariformes, family Sarcoptidae, Genus Sarcoptes. Sarcoptes scabiei var
hominis menular melalui kontak manusia dengan manusia (Chosidow 2006), sedangkan
Sarcoptes scabiei var mange ditransmisikan ke manusia melalui kontak dengan berbagai
hewan liar, hewan yang didomestikasi dan hewan ternak (Bandi et al 2012). Nama
Sarcoptes scabiei adalah turunan dari kata Yunani yaitu sarx yang berarti kulit dan
koptein yang berarti potongan dan kata latin scabere yang berarti untuk menggaruk.
Secara harfiah skabies berarti gatal pada kulit sehingga muncul aktivitas menggaruk
kulit yang gatal tersebut. Saat ini istilah skabies berarti lesi kulit yang muncul oleh
aktivitas tungau (Cordoro et al. 2012).

Ciri morfologi tungau skabies antara lain berukuran 0.2-0.5mm, berbentuk oval,
cembung dan datar pada sisi perut (Chowsidow 2006). Tungau dewasa mempunyai
empat pasang tungkai yang terletak pada toraks. Toraks dan abdomen menyatu
membentuk idiosoma, segmen abdomen tidak ada atau tidak jelas (Krantz 1978).
Menurut Bandi et al (2012) terdapat 15 varietas atau strain tungau yang telah
diidentifikasi dan dideskripsikan secara morfologi maupun dengan pendekatan
molekuler. Keberadaan spesies Sarcoptes scabiei telah diketahui sekitar 2500 tahun
yang lalu, sebagai parasit obligat yang menggali lapisan epidermis kulit. Pada abad ke
17 seorang ilmuan bernama Giovanni Cosimo Bomomomengidentifikasi tungau yang
menyebabkan scabies (Cordoro et al. 2012).

Skabies merupakan penyakit kulit yang terabaikan, dianggap biasa saja dan lumrah
terjadi pada masyarakat di Indonesia, bahkan di dunia. Padahal tingkat prevalensi
scabies ditinjau dari wilayah, usia maupun jenis kelamin relatif ada hampir di seluruh di
dunia dengan tingkat yang bervariasi. Penelitian untuk mengobati penyakit scabies telah
banyak dilakukan oleh peneliti, namun masih menyisakan masalah resistensi dan efek

1
samping obat. Selain itu adanya infeksi sekunder setelah infestasi scabies menimbulkan
masalah yang lebih parah pada kulit bahkan menyebabkan kematian. Pencegahan
penyakit scabies dipandang lebih efektif dalam mengendalikan tingkat prelevansi
skabies yang bersifat sporadik, endemik dan epidemik. Pencegahan scabies melalui
pendidikan masyarakat menjadi satu tantangan bagi akademisi untuk menekan
prevalensi skabies.

Salah satu faktor pendukung terjadinya penyakit skabies adalah sanitasi yang buruk
dan dapat menyerang manusia yang hidup secara berkelompok, yang tinggal di asrama,
barak-barak tentara, rumah tahanan, dan pesantren maupun panti asuhan (Badri, 2008).
Usaha penyehatan lingkungan merupakan suatu pencegahan terhadap berbagai kondisi yang
mungkin dapat menimbulkan penyakit dan sanitasi merupakan faktor yang utama yang harus
diperhatikan (Mukono, 2006).

Menurut Sungkar (2000) mengatakan bahwa penyakit Skabies di seluruh dunia dengan
insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor imun yang belum diketahui sepenuhnya.
Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa, tetapi dapat mengenai semua umur.
Penyakit ini telah ditemukan hampir pada semua negara di seluruh dunia dengan angka
prevalensi yang bervariasi. Di beberapa negara berkembang prevalensinya dilaporkan
berkisar antara 6-27% dari populasi umum dan insiden tertinggi terdapat pada anak usia
sekolah dan remaja.

B. Rumusan Masalah
1) Jelaskan Trias Epidemiologi penyakit Scabies?
2) Jelaskan faktor resiko penyakit Scabies dalam keadaan bencana?
3) Carilah contoh bencana penyakit Scabies yang pernah terjadi di dunia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Trias Epidemiologi penyakit Scabies
2. Untuk mengetahui faktor resiko penyakit scabies dalam keadaan bencana
3. Untuk mengetahui penyakit Scabies yang pernah terjadi di dunia

D. Manfaat
Dapat menjadi sumber pengetahuan dan menambah wawasan mengenai penyakit Scabies,
terutama pada saat terjadi bencana

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Scabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi
tungau (mite) Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya yang termasuk dalam kelas
Arachnida. Infestasi merupakan penetrasi dari hidupnya kutu skabies pada predileksi kulit
sedangkan sensitasi adalah proses reaksi tubuh terhadap infestasi skabies pada kulit
tersebut. Tungau ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau
bersifat mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut the itch, seven year itch, gudikan,
gatal agogo, budukan, suku badan, atau penyakit ampera (Mansjoer, 2000).
Penyakit skabies sangat mudah menular dari manusia ke manusia, dari
hewan kepada manusia dan sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara langsung
atau melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tidak langsung melalui
baju, sprei, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah digunakan oleh penderita dan belum
dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya (Yosefw, 2007). Skabies
menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti di sela-sela jari, siku, selangkangan.
Penyakit terjadi karena kondisi kebersihan diri kurang terjaga dan sanitasi yang buruk
(Putri, 2008).
Beberapa bentuk klinis skabies antara lain:
1. Skabies pada orang bersih (Scabies of cultivated)
Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit
jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan. Dalam penelitian dari 1000 orang penderita
skabies, hanya pada 7% penderita skabies tersebut ditemukan terowongan.
2. Skabies in cognito
Bentuk ini timbul pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala
dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih dapat terjadi.
Skabies in cognito sering juga menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa seperti
distribusi atipik, lesi luas yang menyerupai penyakit kulit lainnya.
3. Skabies nodular
Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya
terdapat pada daerah yang tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal, dan aksila.
Nodus timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap tungau skabies. Pada nodus yang
berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus dapat bertahan selama
beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberikan pengobatan anti skabies dan
kortikosteroid.
4. Skabies yang ditularkan melalui hewan
Sumber utama jenis skabies ini adalah hewan jenis anjing. Kelainan ini berbeda
dengan skabies pada manusia yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari
dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak
langsung atau memeluk hewan peliharaannya yaitu pada paha, dada, dan lengan. Masa
inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4-8

3
minggu) dan dapat sembuh sendiri karena skabies varietas binatang tidak dapat
melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.
5. Skabies krustosa (skabies norwegia)
Skabies krustosa atau norwegia pertama kali dilaporkan oleh Danielsen, seorang
warga Norwegia yang menderita kusta. Skabies ini juga tidak hanya terjadi pada anak
dengan retardasi mental, dementia senilis, penderita dengan kelemahan imunologik.
6. Skabies pada bayi dan anak-anak
Dalam kelompok usia ini, wajah, kulit, kepala, telapak tangan, dan telapak kaki
umumnya diserang. Yang paling umum menimbulkan lesi adalah papule, vesicopustules
dan nodules, akan tetapi distribusi dapat bersifat atipikal. Eksemastisasi dan impetigenisasi
adalah paling sering terjadi pada bayi (Stone, 2007).

B. Prevalensi Penyakit Scabies


Prevalensi skabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per tahun
(Chosidow 2006). Pada negara industri seperti di Jerman, skabies terjadi secara sporadik
atau dalam bentuk endemik yang panjang (Ariza et al. 2012). Baur (2013) melaporkan
prevalensi skabies di India 20,4%. Onayemi (2005) juga melaporkan prevalensi skabies di
Nigeria 28,6%. Zayyid (2010) melaporkan sebesar 31% prevalensi skabies pada anak
berusia 10-12 tahun di Penang Malaysia. Kline (2013) melaporkan scabies umumnya
endemic pada suku Aborigin di Australia dan Negara di Oceania dengan prevalensi 30%.
Heukelbach (2005) melaporkan prevalensi scabies di Brazil 8,8%. Prevalensi skabies di
Indonesia menurut Depkes RI berdasarkan data dari puskesmas seluruh Indonesia tahun
2008 adalah 5,6%-12,95%.
Scabies di Indonesia menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering
(Azizah 2011). Insiden dan prevalensi skabies masih sangat tinggi di Indonesia terutama
pada lingkungan masyarakat pesantren. Hal ini tercermin dari penelitian Marufi et al.
(2005) bahwa prevalensi scabies pada pondok pesantren di Kabupaten Lamongan 64,2%,
senada dengan hasil penelitian Kuspiantoro (2005) di Pasuruan prevalensi scabies di
pondok pesantren adalah 70%. Sungkar (1997) menyatakan bahwa scabies di suatu
pesantren yang padat penghuninya dan higienenya buruk prevalensi penderita skabies
dapat mencapai 78,7%, tetapi pada kelompok higienenya baik prevalensinya hanya
3,8%.
Prevalensi scabies ditinjau dari wilayah urban dengan rural telah dilakukan di
beberapa negara seperti Inggris (Chosidaw 2006), Brazil (Heukelbach 2005), India (Baur
2013). Hasil dari ketiga peneliti tersebut menunjukkan hasil yang sama bahwa tingkat
prevalensi scabies di daerah urban lebih tinggi dibandingkan daerah rural. Daerah urban
yang diteliti merupakan kota yang kumuh dan padat penduduk sehingga prevalensi
skabies tinggi. Hasil penelitian Kline et al. (2013) menunjukkan hasil yang berbeda,
ternyata komunitas rural di Papua Nugini, prevalensi scabies justru mencapai 80%. Pada
sebuah desa di Mesir prevalensi skabies ditemukan sebesar 8.8%.
Pada pedesaan Gambia prevalensi scabies bervariasi antara 2.0% dan 2.6%. Pada
dasarnya skabies sangat endemik pada area urban maupun rural dengan lingkungan yang
tidak sehat (Heukelbach et al.2005). Tingkat prevalensi skabies lebih tinggi pada

4
anak(Cordoro et al. 2006). Data pendukungnya yaitu pevalensi scabies pada anak-anak
aborigin di Australia dan beberapa Negara di Oceania sebesar 30% disertai dengan
infeksi sekunder streptococous priroderma. (Kline et al. 2013).
Menurut Heukelbach (2005) skabies cenderung terjadi pada anak dan remaja
usia 10-14 tahun. Senada dengan Zayyid (2006) yang melaporkan prevalensi skabies
terjadi pada anak berusia 10-12 tahun. Raharnie (2012) juga melaporkan bahwa 75%
pasien skabies adalah anak dan remaja yang berusia kurang dari 20 tahun. Onayemi et al.
(2012) juga melaporkan bahwa anak dan remaja di Nigeria memiliki prevalensi skabies
tertinggi sebesar 86%. Prevalensi scabies di Pakistan pada usia 17-49 tahun dengan tingkat
pendidikan yang rendah ditemukan sebesar 86.5% (Raza et al. 2009). Baur et al (2013)
juga menyatakan bahwa prevalensi skabies tertinggi pada usia 15-24 tahun.
Skabies diperkirakan lebih umum terjadi pada anak-anak dan remaja,
meskipun pada suatu penelitian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada orang
dewasa (Heukelbach et al. 2005). Penelitian Baur et al. (2013) di India dan juga
Chowsidow (2006) di Ingris menunjukkan bahwa wanita cenderung memiliki prevalensi
skabies yang lebih tinggi sebesar 56% dibandingkan laki-laki. Menurut peneliti wanita
memiliki tingkat prevalensi skabies yang lebih tinggi diduga disebabkan beberapa
faktor seperti sikap dan perilaku wanita yang lebih senang berada dalam ruangan
dengankontak satu sama lain yang lebih dekat sehingga lebih rentan terinfestasi scabies.
Berbeda dengan penelitian Raharnie et al. (2011) di Makasar. Zayyid (2006) di Malaysia
dan Onayemi et al. (2012) di Nigeria menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih
rentan terinfeksi scabies dengan prevalensi 58% dibandingkan wanita. Prevalensi scabies
pada wanita cenderung lebih rendah dari pada laki-laki, diduga disebabkan wanita
cenderung lebih peduli terhadap personal higienis dibandingkan laki-laki. Hal yang
berbeda terjadi di Turki yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari
dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan terhadap prevalesnsi scabies (Citfci et al.
2006).

C. Trias Epidemiologi Scabies / Kudis


Penyakit Scabies/Kudis adalah penyakit dimana-mana,dengan sekitar 300 juta
infeksi per tahun bekerja diseluruh dunia (Haidan et al,2000).
1) Agent
Bersumber dari parasit Sactroptes Scabies (atau yang kita kenal dengan tungau)
2) Environment
Lingkungan yang telah terkontaminasi dengan parasit Sactroptes Scabies. Misalnya :
Pakaian, tempat tidur, handuk yang jarang dicuci dan dijemur. Lingkungan saat bencana
juga dapat berupa pengungsian yang padat penduduk, sanitasi buruk (dipergunakan untuk
mandi, mencuci, seperti yang terjadi pada rumah tahanan kelas II B Pacitan, Jawa Timur,
yang terjangkit Scabies akibat buruknya kualitas air sumur yang digunakan untuk
mandi).Sumbernya dari jurnal Nasional pada Januari 2012, dimana dilaporkan 26 orang
dari 137 orang penghuni rumah tahanan terjangkit Scabies.

5
3) Host
Host adalah manusia, baik manusia yang sehat dan kemudian terinfeksi agent,
maupun Host yang sudah terinfeksi, kemudian melakukan kontak langsung dengan yang
belum terkontaminasi Scabies (Misalnya tidur bersama, memakai pakaian yang
terkontaminasi, memakai handuk secara bergantian).
Jadi dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang terkontaminasi agent penyebab penyakit
Scabies dapat menginfeksi host sehingga host menderita Scabies, host yang terinfeksi ini juga
dapat menularkan penyakit Scabies / kudis ke host yang lain, sehingga jika tidak dicegah maka
siklus ini akan terus berlangsung dan menyebabkan banyak orang yang tertular penyakit Scabies.

D. Faktor Risiko penyakit Scabies saat Bencana


1) Pemukiman yang padat terutama pada daerah pengungsian
A Kepadatan tempat pengungsian disaat bencana sangat berpengaruh terhadap
jumlah kuman penyebab penyakit skabies. Selain itu kepadatan tempat pengungsian dapat
mempengaruhi kualitas udara. Dimana jika ada salah satu orang yang terinfeksi scabies dan
semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat penularan penyakit scabies.
2) Sanitasi yang buruk
Sanitasi yang buruk seperti kualitas air pada saat pengungsian tentunya sangat
berpengaruh terhadap penularan scabies.
3) Perilaku
Perilaku manusia yang kurang memperhatikan kebersihan diri juga merupakan
salah satu faktor risiko yang mengakibatkan penyakit Scabies. Pada saat bencana banyak
korban yang kurang memperhatikan kebersihan diri ini di akibatkan oleh keadaan korban yang
stres akibat kehilangan keluarga maupun harta benda sehingga parasit Sactroptes
scabies,mudah berkembang biak dan menginfeksi korban.

E. Contoh Bencana penyakit Scabies di Dunia


Contoh bencana penyakit Scabies yang terjadi di Negara industry seperti di
Jerman,Scabies terjadi secara sporadic atau dalam bentuk endemic yang panjang (Ariza et
al,2012). Penyakit Scabies dapat terjadi pada saat bencana apa saja baik itu bencana alam
ataupun bencana buatan manusia,hal ini didukung oleh kepadatan tempat pengungsian,sanitasi
yang buruk,dan perilaku korban yang tidak memperhatikan kebersihan diri.
Penyakit Scabies juga pernah terjadi di Indonesia tepatnya di Maluku Utara sekitar
tahun 1999.Berdasarkan wawancara Beritasatu.com dengan Bupati Halmahera Utara Hein
Namotemo pada 23/4/2012,Bapak Hein Namotemo menceritakan tentang konflik yang
berujung pada kerusuhan di Maluku Utara pada tahun 1999. Konflik ini bermula dari kabar
burung yang tak jelas asal mulanya sehingga mengakibatkan bentrok antar kampung dan
menelan korban jiwa lebih dari 500 nyawa.
Setelah kejadian tersebut banyak masyarakat yang berpindah ke tempat yang lebih
aman,salah satunya di Sulawesi Utara. Pada 12/10/2017 kami mewawancarai beberapa korban
yang merupakan korban kerusuhan Maluku Utara yang sekarang sudah menetap di Kakas

6
Barat. Lewat wawancara ini kami mengetahui bahwa kejadian kerusuhan tersebut membuat
banyak korban mengungsi sehingga tempat pengungsian menjadi padat terlebih lagi air yang
mereka konsumsi sudah tercemar, sanitasi menjadi buruk, dan perilaku korban yang tidak
memperhatikan kebersihan sehingga banyak korban yang menderita penyakit Scabies.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi tungau (mite)
Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya yang termasuk dalam kelas Arachnida
2. Faktor yang mempengaruhi penyakit Scabies pada saat bencana adalah Pemukiman yang
padat terutama pada daerah pengungsian dan sanitasi yang buruk serta perilaku korban
yang kurang memperhatikan kebersihan diri.
3. Lingkungan yang terkontaminasi agent penyebab penyakit Scabies dapat menginfeksi host
sehingga host menderita Scabies, host yang terinfeksi ini juga dapat menularkan penyakit
Scabies / kudis ke host yang lain, sehingga jika tidak dicegah maka siklus ini akan terus
berlangsung dan menyebabkan banyak orang yang tertular penyakit Scabies.
4. Contoh bencana yang menyebabkan penyakit scabies adalah kerusuhan yang terjadi di
Maluku Utara pada tahun 1999.

B. Saran
Bagi masyarakat yang menjadi korban bencana agar selalu menjaga kebersihan diri agar
tehindar dari penyakit Scabies dan kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses evakuasi
agar memberikan motivasi semangat kepada korban agar supaya korban tidak menjadi stress
dan putus asa serta mampu menyediakan kebutuhan korban.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/43960/Chapter%20II.pdf?sequence=4&isAll
owed=y.
abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S021408027_pendahuluan.pdf
http://digilib.unila.ac.id/2439/8/BAB%20II.pdf
http://eprints.undip.ac.id/50593/3/Intan_Pratama_NP_22010112110053_LapKTI_Bab2.pdf
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/buski/article/view/3037

Anda mungkin juga menyukai