PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ciri morfologi tungau skabies antara lain berukuran 0.2-0.5mm, berbentuk oval,
cembung dan datar pada sisi perut (Chowsidow 2006). Tungau dewasa mempunyai
empat pasang tungkai yang terletak pada toraks. Toraks dan abdomen menyatu
membentuk idiosoma, segmen abdomen tidak ada atau tidak jelas (Krantz 1978).
Menurut Bandi et al (2012) terdapat 15 varietas atau strain tungau yang telah
diidentifikasi dan dideskripsikan secara morfologi maupun dengan pendekatan
molekuler. Keberadaan spesies Sarcoptes scabiei telah diketahui sekitar 2500 tahun
yang lalu, sebagai parasit obligat yang menggali lapisan epidermis kulit. Pada abad ke
17 seorang ilmuan bernama Giovanni Cosimo Bomomomengidentifikasi tungau yang
menyebabkan scabies (Cordoro et al. 2012).
Skabies merupakan penyakit kulit yang terabaikan, dianggap biasa saja dan lumrah
terjadi pada masyarakat di Indonesia, bahkan di dunia. Padahal tingkat prevalensi
scabies ditinjau dari wilayah, usia maupun jenis kelamin relatif ada hampir di seluruh di
dunia dengan tingkat yang bervariasi. Penelitian untuk mengobati penyakit scabies telah
banyak dilakukan oleh peneliti, namun masih menyisakan masalah resistensi dan efek
1
samping obat. Selain itu adanya infeksi sekunder setelah infestasi scabies menimbulkan
masalah yang lebih parah pada kulit bahkan menyebabkan kematian. Pencegahan
penyakit scabies dipandang lebih efektif dalam mengendalikan tingkat prelevansi
skabies yang bersifat sporadik, endemik dan epidemik. Pencegahan scabies melalui
pendidikan masyarakat menjadi satu tantangan bagi akademisi untuk menekan
prevalensi skabies.
Salah satu faktor pendukung terjadinya penyakit skabies adalah sanitasi yang buruk
dan dapat menyerang manusia yang hidup secara berkelompok, yang tinggal di asrama,
barak-barak tentara, rumah tahanan, dan pesantren maupun panti asuhan (Badri, 2008).
Usaha penyehatan lingkungan merupakan suatu pencegahan terhadap berbagai kondisi yang
mungkin dapat menimbulkan penyakit dan sanitasi merupakan faktor yang utama yang harus
diperhatikan (Mukono, 2006).
Menurut Sungkar (2000) mengatakan bahwa penyakit Skabies di seluruh dunia dengan
insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor imun yang belum diketahui sepenuhnya.
Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa, tetapi dapat mengenai semua umur.
Penyakit ini telah ditemukan hampir pada semua negara di seluruh dunia dengan angka
prevalensi yang bervariasi. Di beberapa negara berkembang prevalensinya dilaporkan
berkisar antara 6-27% dari populasi umum dan insiden tertinggi terdapat pada anak usia
sekolah dan remaja.
B. Rumusan Masalah
1) Jelaskan Trias Epidemiologi penyakit Scabies?
2) Jelaskan faktor resiko penyakit Scabies dalam keadaan bencana?
3) Carilah contoh bencana penyakit Scabies yang pernah terjadi di dunia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Trias Epidemiologi penyakit Scabies
2. Untuk mengetahui faktor resiko penyakit scabies dalam keadaan bencana
3. Untuk mengetahui penyakit Scabies yang pernah terjadi di dunia
D. Manfaat
Dapat menjadi sumber pengetahuan dan menambah wawasan mengenai penyakit Scabies,
terutama pada saat terjadi bencana
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Scabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi
tungau (mite) Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya yang termasuk dalam kelas
Arachnida. Infestasi merupakan penetrasi dari hidupnya kutu skabies pada predileksi kulit
sedangkan sensitasi adalah proses reaksi tubuh terhadap infestasi skabies pada kulit
tersebut. Tungau ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau
bersifat mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut the itch, seven year itch, gudikan,
gatal agogo, budukan, suku badan, atau penyakit ampera (Mansjoer, 2000).
Penyakit skabies sangat mudah menular dari manusia ke manusia, dari
hewan kepada manusia dan sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara langsung
atau melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tidak langsung melalui
baju, sprei, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah digunakan oleh penderita dan belum
dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya (Yosefw, 2007). Skabies
menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti di sela-sela jari, siku, selangkangan.
Penyakit terjadi karena kondisi kebersihan diri kurang terjaga dan sanitasi yang buruk
(Putri, 2008).
Beberapa bentuk klinis skabies antara lain:
1. Skabies pada orang bersih (Scabies of cultivated)
Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit
jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan. Dalam penelitian dari 1000 orang penderita
skabies, hanya pada 7% penderita skabies tersebut ditemukan terowongan.
2. Skabies in cognito
Bentuk ini timbul pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala
dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih dapat terjadi.
Skabies in cognito sering juga menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa seperti
distribusi atipik, lesi luas yang menyerupai penyakit kulit lainnya.
3. Skabies nodular
Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya
terdapat pada daerah yang tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal, dan aksila.
Nodus timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap tungau skabies. Pada nodus yang
berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus dapat bertahan selama
beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberikan pengobatan anti skabies dan
kortikosteroid.
4. Skabies yang ditularkan melalui hewan
Sumber utama jenis skabies ini adalah hewan jenis anjing. Kelainan ini berbeda
dengan skabies pada manusia yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari
dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak
langsung atau memeluk hewan peliharaannya yaitu pada paha, dada, dan lengan. Masa
inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4-8
3
minggu) dan dapat sembuh sendiri karena skabies varietas binatang tidak dapat
melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.
5. Skabies krustosa (skabies norwegia)
Skabies krustosa atau norwegia pertama kali dilaporkan oleh Danielsen, seorang
warga Norwegia yang menderita kusta. Skabies ini juga tidak hanya terjadi pada anak
dengan retardasi mental, dementia senilis, penderita dengan kelemahan imunologik.
6. Skabies pada bayi dan anak-anak
Dalam kelompok usia ini, wajah, kulit, kepala, telapak tangan, dan telapak kaki
umumnya diserang. Yang paling umum menimbulkan lesi adalah papule, vesicopustules
dan nodules, akan tetapi distribusi dapat bersifat atipikal. Eksemastisasi dan impetigenisasi
adalah paling sering terjadi pada bayi (Stone, 2007).
4
anak(Cordoro et al. 2006). Data pendukungnya yaitu pevalensi scabies pada anak-anak
aborigin di Australia dan beberapa Negara di Oceania sebesar 30% disertai dengan
infeksi sekunder streptococous priroderma. (Kline et al. 2013).
Menurut Heukelbach (2005) skabies cenderung terjadi pada anak dan remaja
usia 10-14 tahun. Senada dengan Zayyid (2006) yang melaporkan prevalensi skabies
terjadi pada anak berusia 10-12 tahun. Raharnie (2012) juga melaporkan bahwa 75%
pasien skabies adalah anak dan remaja yang berusia kurang dari 20 tahun. Onayemi et al.
(2012) juga melaporkan bahwa anak dan remaja di Nigeria memiliki prevalensi skabies
tertinggi sebesar 86%. Prevalensi scabies di Pakistan pada usia 17-49 tahun dengan tingkat
pendidikan yang rendah ditemukan sebesar 86.5% (Raza et al. 2009). Baur et al (2013)
juga menyatakan bahwa prevalensi skabies tertinggi pada usia 15-24 tahun.
Skabies diperkirakan lebih umum terjadi pada anak-anak dan remaja,
meskipun pada suatu penelitian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada orang
dewasa (Heukelbach et al. 2005). Penelitian Baur et al. (2013) di India dan juga
Chowsidow (2006) di Ingris menunjukkan bahwa wanita cenderung memiliki prevalensi
skabies yang lebih tinggi sebesar 56% dibandingkan laki-laki. Menurut peneliti wanita
memiliki tingkat prevalensi skabies yang lebih tinggi diduga disebabkan beberapa
faktor seperti sikap dan perilaku wanita yang lebih senang berada dalam ruangan
dengankontak satu sama lain yang lebih dekat sehingga lebih rentan terinfestasi scabies.
Berbeda dengan penelitian Raharnie et al. (2011) di Makasar. Zayyid (2006) di Malaysia
dan Onayemi et al. (2012) di Nigeria menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih
rentan terinfeksi scabies dengan prevalensi 58% dibandingkan wanita. Prevalensi scabies
pada wanita cenderung lebih rendah dari pada laki-laki, diduga disebabkan wanita
cenderung lebih peduli terhadap personal higienis dibandingkan laki-laki. Hal yang
berbeda terjadi di Turki yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari
dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan terhadap prevalesnsi scabies (Citfci et al.
2006).
5
3) Host
Host adalah manusia, baik manusia yang sehat dan kemudian terinfeksi agent,
maupun Host yang sudah terinfeksi, kemudian melakukan kontak langsung dengan yang
belum terkontaminasi Scabies (Misalnya tidur bersama, memakai pakaian yang
terkontaminasi, memakai handuk secara bergantian).
Jadi dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang terkontaminasi agent penyebab penyakit
Scabies dapat menginfeksi host sehingga host menderita Scabies, host yang terinfeksi ini juga
dapat menularkan penyakit Scabies / kudis ke host yang lain, sehingga jika tidak dicegah maka
siklus ini akan terus berlangsung dan menyebabkan banyak orang yang tertular penyakit Scabies.
6
Barat. Lewat wawancara ini kami mengetahui bahwa kejadian kerusuhan tersebut membuat
banyak korban mengungsi sehingga tempat pengungsian menjadi padat terlebih lagi air yang
mereka konsumsi sudah tercemar, sanitasi menjadi buruk, dan perilaku korban yang tidak
memperhatikan kebersihan sehingga banyak korban yang menderita penyakit Scabies.
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi tungau (mite)
Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya yang termasuk dalam kelas Arachnida
2. Faktor yang mempengaruhi penyakit Scabies pada saat bencana adalah Pemukiman yang
padat terutama pada daerah pengungsian dan sanitasi yang buruk serta perilaku korban
yang kurang memperhatikan kebersihan diri.
3. Lingkungan yang terkontaminasi agent penyebab penyakit Scabies dapat menginfeksi host
sehingga host menderita Scabies, host yang terinfeksi ini juga dapat menularkan penyakit
Scabies / kudis ke host yang lain, sehingga jika tidak dicegah maka siklus ini akan terus
berlangsung dan menyebabkan banyak orang yang tertular penyakit Scabies.
4. Contoh bencana yang menyebabkan penyakit scabies adalah kerusuhan yang terjadi di
Maluku Utara pada tahun 1999.
B. Saran
Bagi masyarakat yang menjadi korban bencana agar selalu menjaga kebersihan diri agar
tehindar dari penyakit Scabies dan kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses evakuasi
agar memberikan motivasi semangat kepada korban agar supaya korban tidak menjadi stress
dan putus asa serta mampu menyediakan kebutuhan korban.
8
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/43960/Chapter%20II.pdf?sequence=4&isAll
owed=y.
abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S021408027_pendahuluan.pdf
http://digilib.unila.ac.id/2439/8/BAB%20II.pdf
http://eprints.undip.ac.id/50593/3/Intan_Pratama_NP_22010112110053_LapKTI_Bab2.pdf
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/buski/article/view/3037