TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemerkosaan
2.1.1 Pengertian
terhadap vagina atau anus dari korban oleh pemerkosa atau menggunakan benda atau
penetrasi secara oral oleh alat kelamin pelaku dengan menggunakan paksaan,
kekerasan, ancaman terhadap korban atau orang ketiga. Adanya kekerasan, ancaman,
2011: 382).
berkaitan dengan perkosaan dengan kekerasan (violence rape), tetapi juga mencakup
karena penipuan; atau karena hokum (statutory rape), wanita masih dibawah umur 14
tahun; atau karena pinsan atau tidak berdaya; demikian pula apabila kondisi tersebut
dilakukan dengan oral atau anal, atau dengan menggunakan benda yang bukan
terhadap seorang wanita yang dilakukan melalui cara seksual, diluar keinginan dan
tanpa persetujuan wanita tersebut, baik secara paksa atau wanita takut akan paksaan
4
5
atau karena obat-obatan atau minuman keras (Videback, 2008: 286). Konteks ini
menggambarkan adanya pemaksaan atau karena efek dari obat-obatan atau terjadi
hubungan seksual dengan paksaan pada wanita yang tidak mampu melakukan
penilaian yang rasional dan juga wanita berusia di bawah usia yang sudah dapat
memberi persetujuan. Taylor, dkk (2009: 528) lebih lanjut mengemukakan bahwa
(rape).
Pemerkosaan adalah segala bentuk pelecehan seksual termasuk anal dan oral
yang tidak ada persetujuan dari korban dan dapat menyebabkan defisiensi mental,
psikosis atau perubahan tingkat kesadaran seperti dalam keadaan tidur penggunaan
obat-obat atau penyakit (Wong 2009: 627). Pendapat ini senada dengan definisi
pemerkosaan menurut Kaplan dan Sadock (2008: 398) adalah suatu perbuatan
senggama terhadap korban yang tidak menghendaki atau dilakukan secara paksa dan
dengan kekerasan, juga senggama melalui dubur dan felasio (dengan mulut) dapat
sulit disembuhkan dan sering kali sangat malu untuk melaporkan diri. Individu yang
menjadi pemerkosa menurut laporan sekitar setengahnya dilakukan oleh orang yang
tidak dikenal dan setengah sisanya oleh pria yang dikenal korban (Videback 2008:
6
286). Pemerkosaan dapat terjadi antara orang yang tidak saling kenal, antar teman,
seseorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan/atau
pemerkosaan dapat mencakup berbagai usia, mulai dari anak-anak, gadis remaja,
perempuan yang telah menikah, perempuan yang hidup di desa, yang hidup di
kota hingga lansia dapat menjadi korban. Data selama ini menunjukkan pemerkosaan
lebih sering dilakukan oleh seorang yang mengenal korban. Korban pada kasus yang
dilaporkan memilki rentang usia dari 15 bulan sampai 82 tahun. Insiden yang paling
tinggi terjadi pada remaja putri dan wanita berusia 16 sampai 24 tahun. Remaja putri
berusia kurang dari 18 tahun adalah korban dalam 61% pemerkosaan yang
Hal senada dikemukakan oleh Wicaksana (2008: 91) , bahwa usia korban
bisa bervariasi, mulai bayi 15 bulan sampai nenek-nenek 82 tahun. Usia paling rawan
adalah 16 sampai 24 tahun, tapi seperlima dari seluruh korban berusia antara 12
sampai 15 tahun. Fakta lain menuut Taylor, dkk (2009: 528) bahwa 44 persen
jahat orang lain. Penderitaan ini tidak hanya berdampak dalam kehidupan korban
7
(anak) saja melainkan secara tidak langsung juga membawa dampak kepada
kesimpulkan bahwa korban perkosaan adalah seseorang yang berusia 16-24 tahun
yang telah menjadi korban tindakan pemaksaan hubungan seksual dari laki- laki
secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan seksual antara pelaku dan korban
tidak hanya berupa penetrasi vagina, akan tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara
Prevention/CDC (2017), meliputi risiko yang berasal dari personal atau korban, faktor
yang bersal dari hubungan seseorang, komunitas dan masyarakat. Faktor personal yang
alkohol dan narkoba, kejahatan, defisit empati, agresivitas umum dan penerimaan
kekerasan, inisiasi awal seksual, fantasi seksual tentang kekerasan, preferensi untuk
seks impersonal dan kecendrungan terhadap seks berisiko, paparan dari media secara
ditandai dengan kekerasan fisik dan konflik, masa kecil dengan pelecehan fisik,
seksual, atau emosional, lingkungan keluarga yang emosional dan tidak mendukung,
hubungan orang tua-anak yang buruk, terutama dengan ayah, asosiasi dengan teman
agresif, hiperaktif, atau memiliki kenakalan seksual serta keterlibatan dalam hubungan
intim yang kasar atau kasar serta keterlibatan dalam hubungan intim yang kasar atau
kasar. Komunitas seseorang selain faktor personal dan hubungan menjadi elemen yang
Individu yang hidup dengan masyarakat tertentu dapat menjadi lebih mudah
laki dan hak seksual, norma masyarakat yang menjaga inferioritas wanita dan
kepatuhan seksual, hukum dan kebijakan yang lemah terkait dengan kekerasan seksual
dan kesetaraan gender, tingkat kejahatan tinggi dan bentuk kekerasan lainnya.
dkk 2009: 627) meliputi teman kencan dengan usia kencan yang relatif muda, aktivitas
seksual yang dilakukan lebih dini, usia menarke lebih awal, riwayat pelecehan seksual
atau menjadi korban, dan penerimaan kekerasan terhadap wanita. Terdapat tiga
hubungan antara pelaku dan korban yang teridentifikasi untuk pemerkosaan pada
remaja menurut Wong, dkk (2009: 627) yaitu orang asing (individu tidak mengenal
9
keluarga, saudara, tetangga, guru, atasan bahkan pemuka agama yang dihormati.
Pemerkosaan yang terjadi karena orang yang baru dikenali, biasanya terjadi setelah
seperti cara berinteraksi, dengan siapa interaksi dilakukan, dengan siapa menghabiskan
waktu serta berinteraksi sosial setiap harinya. Menurut Taylor, dkk (2009: 528) 80%
korban pemerkosaan mengenal pelaku pemerkosaan, dan separuh dari kasus itu,
yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka
panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti
kesakitan secara fisik, rasa bersalah pada diri sendiri (self-blaming), takut, cemas,
malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang gejala psikologis tertentu yang
dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa
percaya diri yang rendah, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan
reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang
yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah Posttraumatic Stress
perkosaaan yang terjadi pada seseorang baik waita atau pria dari segala rentang usia,
tidak sesederhana dampak psikologisnya. Perasaan yang ada meliputi rasa dendam,
marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya
dan kemudian menyebar kepada obyek -obyek atau orang-orang lain. Perkosaan
menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban yang dikenal dengan
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD). Jangka waktu
merasakan stres berbeda-beda pada setiap individu demikian halnya dengan tingkatan
2.2.1 Pengertian
labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah
stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. Gangguan ini
dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara
ekstrem yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu
kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya (Sadock
diagnosis gangguan mental yang disusun oleh American Psychiatric Association, dan
kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung
oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, cidera serius, ancaman
terhadap integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan
ketakutan yang ekstrem, horor, rasa tidak berdaya (Sadock, & Sadock, 2007: 1279).
labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah
stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. Gangguan ini
dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara
ekstrem yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu
kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya (Sadock
seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan individu yang melibatkan mutilasi
fantastis, kematian, luka yang serius atau kekerasan fisik (Hockenberry, Wilson, &
2.2.2 Etiologi
Ada multipel penyebab dari PTSD, mulai dari faktor fisik, psikis, biologi,
lingkungan atau spiritual. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi pencetus atau yang
12
intensitasnya. PTSD dapat terjadi di semua usia termasuk usia anak. Kejadian PTSD
meskipun dapat dialami oleh setiap orang si setiap tahapan usia namun tidak semua
individu yang mengalami pengalaman traumatis menderita PTSD. Wanita lebih mudah
mengalami PTSD dan individu ada beberapa kejadian dalam keluarga yang rentan
sebagian lainnya disebabkan karena karena kejadian tiba-tiba atau kematian yang tidak
terhadap berkembangnya gangguan ini pada individu. Besarnya pengaruh terlihat dari
tidak tercetusnya PTSD pada individu dengan kecendrungan gen tertentu tanpa
lingkungan yang memberikan tekanan ekstrem seperti pengalaman adanya tornado atau
dukungan sosial yang minim. Keadaan lain yang dapat mempermudah kejadian PTSD
adalah jenis kelamin. Wanita lebih rentan terhadap adanya konflik dalam keluarga
dibandingkan laki-laki. Keadaan yang sama ditemukan pada individu dengan gangguan
perkembangan PTSD. Tubuh akan mengaktifkan respon fight or flight ketika dalam
keadaan takut dan terancam. Tubuh dalam reaksi ini mengeluarkan adrenalin yang
Inaktivasi tubuh terhadap respon stres dimulai dan menyebabkan pelepasan hormon
kortisol, setelah ancaman bahaya menghilang. Pelepasan hormon kortisol kurang dari
kebutuhan tubuh untuk inaktivasi respons stres dapat menyebabkan dampak stres dari
peningkatan adrenalin tetap ada. Korban trauma yang berkembang menjadi PTSD
seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat
kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih
ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, dimana hormon stres meningkat dan pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan fisik (Blaney & Millon, 2009 : 461)
Faktor yang menjadi risiko PTSD menurut Taylor (2017: 27) sangat beragam
dan sama untuk usia anak dan dewasa, meliputi tingkat keterpaparan, tingkat
Tingkat stres orang tua dan psikopatologi diprediksi menjadi faktor risiko terhadap
anak mengalami PTSD. Peran orangtua sangat penting dalam berkembangnya PTSD
pada anak karena orangtua menjadi role model terhadap pengelolaan situasi traumatik
yang telah membuat keluarga menderita. Anak yang mengamati orangtua menjadi
sangat stres karena trauma yang ada akan urut mengalami stres. Konsisten dengan teori
14
ini, ibu hamil dan melahirkan yang mengalami trauma persisten dan adanya trauma lain
Trauma tidak cukup untuk membangun PTSD, dan diketahui terdapat faktor
risiko yang saling terkait dan menjadi pencetusnya. Laporan menyebutkan ada
keterlibatan beberapa faktor biologi dan psikologi yang menempatkan seorang individu
menjadi lebih rentan atau tidak. Sejumlah trauma masa lalu dengan frekuensi lebih
setelah terjadinya keadaan yang menegangkan. Elemen yang termasuk dalam faktor
risiko meliputi riwayat trauma sebelumnya, riwayat adanya depresi, riwayat adanya
gangguan dalam hubungan orangtua anak, tingkat keparahan dari keterpaparan serta
Faktor resiko terjadinya PTSD menurut Adshead & Ferris (2007: 358-368)
Aspek yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami,
kekerasan seksual.
15
Perasaa yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa
kurang mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan,
Faktor ini berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau penolakan
atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan sekitar.
gangguan ingatan, menghayal dengan intensitas sering (daydream), atau mimpi buruk.
Kondisi disosiatif dapat terjadi, dari menit sampai hari yang terlihat seperi mimpi,
keadaan tidak nyata diikuti ingatan yang kabur seta distorsi waktu. Ketumpulan fisik
atau tertidurnya emosi adalah manisfestasi dari respon berkurang terhadap dunia luar
dengan perasaan terpisah dari oleh orang lain, kehilangan ketertarikan terhadap
atau ketertarikan seksual. Gejala lain yang dapat diamati dari PTSD yang tergolong
peningkatan gerakan otonom adalah hiperaktivitas dan iritabilitas, respon terkejut yang
berlebihan, sukar bekonsentrasi, dan gangguan tidur. Korban perkosaan takut untuk
berjalan sendiri selama beberapa waktu. Situasi yang mengingatkan pada trauma
Gejala lain mungkin adanya perasaan bersalah karena tetap hidup, bersalah
karena tidak berusaha mencegah trauma, depresi, ansietas, serangan panik, malu dan
penyalahgunaan zat, perilaku melukai diri sendiri, percobaan bunuh diri, gangguan
dalam bekerja dan gangguan dalam hubungan interpersonal ((Hales, Yudofsky &
mengalami, menghindari, dan terus terjaga telah berlangsung lebih dari 1 bulan. Pasien
yang mengalami gejala kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai adalah gangguan
klasifikasi gangguan untuk akut atau kronis. Gangguan PTSD tergolong akut bila
gejala yang diderita telah berlangsung kurang dari 3 bulan dan PTSD tergolong kronis
jika gejala telah ada selama 3 bulan atau lebih. DSM-IV-TR juga memungkinkan
klinisi merinci bahwa gangguan tersebut adalah dengan awitan yang tertunda jika
17
awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah peristiwa yang memberikan stres (Sadock, &
Sadock,, 2007:1279).
2.4.1 Kriteria diagnosis bagi penderita gangguan stres pascatrauma menurut DSM-
IV-TR
(yang mencemaskan).
dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, haluinasinya).
18
trauma).
2.4.1.5 Gejala hiperarousal yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di
bawah ini:
b. Sulit berkonsentrasi.
2.4.1.6 Durasi dari gangguan (gejala pada kriteria kedua, tiga dan empat) telah
lainnya.
2.4.2.1 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu
enam bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara
waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu enam bulan,
asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif
2.4.2.2 Pengkajian pada pasien harus mendapatkan bukti tambahan selain trauma,
2.4.2.3 Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya
2.4.2.4 Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,
mengalami katastrofia).
Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya
keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam
bereaksi terhadap stres. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak
memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun secara jelas anak tersebut
memiliki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada dewasa. Umumnya anak
tidak memiliki tiga tanda dari numbing (mematikan perasaannya) dan withdrawl
(menarik diri) seperti pada orang dewasa karena kemampuan verbal untuk
2.5 Penatalaksanaan
nsbelum menjalani terapi atau program penyembuhan. Tindakan ini untuk memahami
kepribadian, trauma yang dialami, dan dampak dari trauma tersebut pada dirinya .
Evaluasi juga dapat membantu terapis untuk memahami berbagai risiko tambahan dan
menemukan kekuatan dari klien. Hal ini harus sangat diperhatikan karena proses
evaluasi dapat dialami sebagai proses yang sangat berat dan dapat menimbulkan trauma
sekunder. Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat
21
farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini
Laporan dari The National Institute for Health and Clinical Excelence
(EMDR).
yang berkaitan dengan trauma yang dialami misalnya, saat tidur tidak
dengan sedikit rasa takut terhadap memori atau ingatan tentang peristiwa
pemaparan dalam bentuk menulis dan membaca tentang trauma dan terapi
kontrol.
serta pikiran dan respon afektif negatif yang ditimbulkan oleh trauma.
Tujuan terapi ini agar seseorang dapat berpikir dan bersikap lebih positif
berupa gerakan mata saccadic atau rangsangan bolak balik mata lainnya,
dilakukan saat keadaan terpapar (fokus terhadap ingatan, emosi dan kognitif
23
dari terapi yang mempunyai nilai lebih dalam terapi, belum diketahui secara
lengkap mengenai peristiwa yang dialami oleh pasien, pada fase ini
pasien.
pasien yang mengikuti gerakan jari terapis. Gerakan jari dari terapis
Proses ini dapat diulang sampai proses terapi selesai ataupun sampai
24
pasien sudah tidak merasakan emosi dan respon fisik yang negatif
g. Fase VII closure, terapis memuji pasien atas usaha yang dilakukan dan
2.5.2 Pharmakologi
gangguan ini, hal tersebut dilihat dari tiga randomized controlled trials (RCTs) yang
intravena pada korban yang mengalami syok septic di intensif care salah satu rumah
gejala PTSD, namun belum ada penelitian tentang pemberian obat ini pada populasi
25
umum. Study yang kedua tentang pemberian propanolol, hal ini berdasarkan hipotesa
adanya gelombang adrenergic pada awal setelah terjadi peristiwa traumatik. Pitman
menggunakan obat-obatan untuk terapi PTSD adalah pilihan ke dua, merupakan terapi
Pilihan golongan obat yang dianggap bisa dipakai untuk pasien PTSD adalah:
Efek samping dari obat ini adalah mual, mulut kering, asthenia dan ejakulasi
abnormal.
2.5.2.2 Obat kedua adalah sertraline, obat ini dianggap efektif untuk PTSD di
Inggris, obat jenis ini hanya efektif untuk wanita, sedangkan untuk pria
tidak. Efek samping dari obat ini dibandingkan plasebo, sertraline secara
makan
26
2.6 Prognosis
dipertimbangkan adalah intervensi yang melibatkan setiap orang, dan intervensi yang
ditargetkan untuk orang yang menunjukan gejala PTSD. Intervensi yang digunakan
adalah intervensi psikologi single session, jenis yang sering digunakan adalah
mewawancarai (debriefing) orang tersebut tentang peristiwa yang dialami, namun dari
meta-analysis menunjukan tidak ada bukti positif tentang efektifitas intervensi ini.
Intervensi ini cukup berbahaya bagi beberapa orang menurut beberapa studi
menunjukan hasil lebih buruk daripada yang tidak disertai komponen emosi, tapi
salah satu rumah sakit di negara Swiss, dapat menurunkan resiko PTSD dalam
setelah trauma berhasil mencegah timbulnya gejala PTSD (Bison, 2007: 399).