Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemerkosaan

2.1.1 Pengertian

Pemerkosaan adalah terjadinya penetrasi seksual seberapapun kecilnya

terhadap vagina atau anus dari korban oleh pemerkosa atau menggunakan benda atau

penetrasi secara oral oleh alat kelamin pelaku dengan menggunakan paksaan,

kekerasan, ancaman terhadap korban atau orang ketiga. Adanya kekerasan, ancaman,

atau ancaman dengan kekerasan merupakan elemen penting yang menggambarkan

tidak adanya persetujuan atau ketidakmampuan menolak dari korban (Eriksson,

2011: 382).

Pemerkosaan menurut Muladi pada Pasal 423 RKUHP tidak hanya

berkaitan dengan perkosaan dengan kekerasan (violence rape), tetapi juga mencakup

persetubuhan yang bertentangan dengan kehendak perempuan; tanpa persetujuan;

karena penipuan; atau karena hokum (statutory rape), wanita masih dibawah umur 14

tahun; atau karena pinsan atau tidak berdaya; demikian pula apabila kondisi tersebut

dilakukan dengan oral atau anal, atau dengan menggunakan benda yang bukan

anggota tubuhnya (artificial organ)(Mulyadi, RKUHP. 2004: 75).

Pemerkosaan adalah suatu tindak kriminal kekerasan dan penghinaan

terhadap seorang wanita yang dilakukan melalui cara seksual, diluar keinginan dan

tanpa persetujuan wanita tersebut, baik secara paksa atau wanita takut akan paksaan

4
5

atau karena obat-obatan atau minuman keras (Videback, 2008: 286). Konteks ini

menggambarkan adanya pemaksaan atau karena efek dari obat-obatan atau terjadi

hubungan seksual dengan paksaan pada wanita yang tidak mampu melakukan

penilaian yang rasional dan juga wanita berusia di bawah usia yang sudah dapat

memberi persetujuan. Taylor, dkk (2009: 528) lebih lanjut mengemukakan bahwa

aktivitas seksual paksa tanpa persetujuan partner tergolong dalam pemerkosaan

(rape).

Pemerkosaan adalah segala bentuk pelecehan seksual termasuk anal dan oral

yang tidak ada persetujuan dari korban dan dapat menyebabkan defisiensi mental,

psikosis atau perubahan tingkat kesadaran seperti dalam keadaan tidur penggunaan

obat-obat atau penyakit (Wong 2009: 627). Pendapat ini senada dengan definisi

pemerkosaan menurut Kaplan dan Sadock (2008: 398) adalah suatu perbuatan

senggama terhadap korban yang tidak menghendaki atau dilakukan secara paksa dan

dengan kekerasan, juga senggama melalui dubur dan felasio (dengan mulut) dapat

dilakukan dengan kekerasan dan dipaksakan sehingga dapat disebut perkosaan.

Wicaksana (2008: 90) menyatakan secara sederhana definisi pemerkosaan

adalah penganiayaan fisik dan emosional yang mengakibatkan kegoncangan psikis

bagi korbannya. Pemerkosan meninggalkan korbannya dengan luka-luka batin yang

sulit disembuhkan dan sering kali sangat malu untuk melaporkan diri. Individu yang

menjadi pemerkosa menurut laporan sekitar setengahnya dilakukan oleh orang yang

tidak dikenal dan setengah sisanya oleh pria yang dikenal korban (Videback 2008:
6

286). Pemerkosaan dapat terjadi antara orang yang tidak saling kenal, antar teman,

orang yang sudah menikah, dan sesama jenis.

2.1.2 Korban Pemerkosaan

Korban perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh

seseorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan/atau

hukum yang berlaku adalah melanggar (Wignjosoebroto, 2007: 25). Korban

pemerkosaan dapat mencakup berbagai usia, mulai dari anak-anak, gadis remaja,

perempuan yang telah menikah, perempuan yang hidup di desa, yang hidup di

kota hingga lansia dapat menjadi korban. Data selama ini menunjukkan pemerkosaan

lebih sering dilakukan oleh seorang yang mengenal korban. Korban pada kasus yang

dilaporkan memilki rentang usia dari 15 bulan sampai 82 tahun. Insiden yang paling

tinggi terjadi pada remaja putri dan wanita berusia 16 sampai 24 tahun. Remaja putri

berusia kurang dari 18 tahun adalah korban dalam 61% pemerkosaan yang

dilaporkan (American Medical Association,, 2008)

Hal senada dikemukakan oleh Wicaksana (2008: 91) , bahwa usia korban

bisa bervariasi, mulai bayi 15 bulan sampai nenek-nenek 82 tahun. Usia paling rawan

adalah 16 sampai 24 tahun, tapi seperlima dari seluruh korban berusia antara 12

sampai 15 tahun. Fakta lain menuut Taylor, dkk (2009: 528) bahwa 44 persen

korban pemerkosaan berusia di bawah 18 tahun, dan 15 persen di bawah 12 tahun.

Korban dirumuskan sebagai manusia yang mengalami penderitaan akibat perbuatan

jahat orang lain. Penderitaan ini tidak hanya berdampak dalam kehidupan korban
7

(anak) saja melainkan secara tidak langsung juga membawa dampak kepada

kehidupan keluarga korban, masyarakat dan negara dimana korban berada.

Definisi mengenai korban perkosaan tersebut diatas dapat menjadi dasar

kesimpulkan bahwa korban perkosaan adalah seseorang yang berusia 16-24 tahun

yang telah menjadi korban tindakan pemaksaan hubungan seksual dari laki- laki

kepada perempuan. Pemaksaan hubungan seksual tersebut dapat berupa ancaman

secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan seksual antara pelaku dan korban

tidak hanya berupa penetrasi vagina, akan tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara

anal dan oral.

2.1.3 Faktor Risiko Terjadinya Perkosaan

Faktor risiko terjadinya perkosaan menurut Central Disease Control and

Prevention/CDC (2017), meliputi risiko yang berasal dari personal atau korban, faktor

yang bersal dari hubungan seseorang, komunitas dan masyarakat. Faktor personal yang

memperbesar peluang seseorang menglami permerkosaan meliputi penggunaan

alkohol dan narkoba, kejahatan, defisit empati, agresivitas umum dan penerimaan

kekerasan, inisiasi awal seksual, fantasi seksual tentang kekerasan, preferensi untuk

seks impersonal dan kecendrungan terhadap seks berisiko, paparan dari media secara

eksplisit mengenai seks, permusuhan terhadap wanita, kepatuhan terhadap norma

peran gender tradisional, hipermaskulinitas, perilaku bunuh diri dan kecendrungan

melakukan viktimisasi seksual.

Faktor hubungan merupakan faktor tidak langsung lain yang memperbesar

risiko terjadinya pemerkosaan. Hal tersebut meliputi lingkungan keluarga yang


8

ditandai dengan kekerasan fisik dan konflik, masa kecil dengan pelecehan fisik,

seksual, atau emosional, lingkungan keluarga yang emosional dan tidak mendukung,

hubungan orang tua-anak yang buruk, terutama dengan ayah, asosiasi dengan teman

agresif, hiperaktif, atau memiliki kenakalan seksual serta keterlibatan dalam hubungan

intim yang kasar atau kasar serta keterlibatan dalam hubungan intim yang kasar atau

kasar. Komunitas seseorang selain faktor personal dan hubungan menjadi elemen yang

memberikan pengaruh terhadap risiko perkosaan seperti kemiskinan, kurangnya

kesempatan kerja, kurangnya dukungan kelembagaan dari sistem kepolisian dan

peradilan, toleransi umum terhadap kekerasan seksual di masyarakat, dan lemahnya

sanksi masyarakat terhadap pelaku kekerasan seksual.

Individu yang hidup dengan masyarakat tertentu dapat menjadi lebih mudah

mengalami pemerkosaan dibandingkan masyarakat lain seperti norma masyarakat yang

mendukung kekerasan seksual, norma-norma sosial yang mendukung superioritas laki-

laki dan hak seksual, norma masyarakat yang menjaga inferioritas wanita dan

kepatuhan seksual, hukum dan kebijakan yang lemah terkait dengan kekerasan seksual

dan kesetaraan gender, tingkat kejahatan tinggi dan bentuk kekerasan lainnya.

Faktor kerentanan terjadinya pemerkosaan menurut Wieman (dalam Wong,

dkk 2009: 627) meliputi teman kencan dengan usia kencan yang relatif muda, aktivitas

seksual yang dilakukan lebih dini, usia menarke lebih awal, riwayat pelecehan seksual

atau menjadi korban, dan penerimaan kekerasan terhadap wanita. Terdapat tiga

hubungan antara pelaku dan korban yang teridentifikasi untuk pemerkosaan pada

remaja menurut Wong, dkk (2009: 627) yaitu orang asing (individu tidak mengenal
9

korban), bukan orang asing (individu dikenal oleh korban: kadang-kadang

dikategorikan dalam date rape atau (acquaintance rape). atau inses.

Umumnya pemerkosaan dilakukan oleh orang yang telah dikenal seperti

keluarga, saudara, tetangga, guru, atasan bahkan pemuka agama yang dihormati.

Pemerkosaan yang terjadi karena orang yang baru dikenali, biasanya terjadi setelah

tatap muka. Pergaulan sehari-hari dan lingkungan memberikan pengaruhi penting

seperti cara berinteraksi, dengan siapa interaksi dilakukan, dengan siapa menghabiskan

waktu serta berinteraksi sosial setiap harinya. Menurut Taylor, dkk (2009: 528) 80%

korban pemerkosaan mengenal pelaku pemerkosaan, dan separuh dari kasus itu,

pemerkosanya adalah saudara atau pasangan, pacar, atau bekas pacar.

2.1.4 Dampak Psikologis Pemerkosaan

Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan

yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka

panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti

kesakitan secara fisik, rasa bersalah pada diri sendiri (self-blaming), takut, cemas,

malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang gejala psikologis tertentu yang

dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa

percaya diri yang rendah, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan

reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang

yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah Posttraumatic Stress

Disorder atau PTSD (Faturochman, 2002 : 6).


10

Hal senada dikemukakan oleh Supardi dan Sadarjoen (2006:12) bahwa

perkosaaan yang terjadi pada seseorang baik waita atau pria dari segala rentang usia,

tidak sesederhana dampak psikologisnya. Perasaan yang ada meliputi rasa dendam,

marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya

dan kemudian menyebar kepada obyek -obyek atau orang-orang lain. Perkosaan

menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban yang dikenal dengan

Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD). Jangka waktu

merasakan stres berbeda-beda pada setiap individu demikian halnya dengan tingkatan

stres tersebut, tergantung kompleksitas masalah yang mengikutinya, dukungan

keluarga dan proses terapi yang dilakukan.

2.2 Posttraumatic Stress Disorder (PTSD)

2.2.1 Pengertian

Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan sindrom ecemasan,

labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah

stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. Gangguan ini

dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara

ekstrem yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu

kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya (Sadock

& Sadock, 2008: 258).

PTSD dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-

Text Revision/DSM-IV-TR (DSM adalah buku standar kriteria untuk menegakkan


11

diagnosis gangguan mental yang disusun oleh American Psychiatric Association, dan

telah mengalami beberapa kali perubahan/revision) didefinisikan sebagai suatu

kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung

oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, cidera serius, ancaman

terhadap integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan

ketakutan yang ekstrem, horor, rasa tidak berdaya (Sadock, & Sadock, 2007: 1279).

Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan sindrom ecemasan,

labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah

stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. Gangguan ini

dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara

ekstrem yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu

kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya (Sadock

& Sadock, 2008: 258).

Posttraumatic Stress Disorder mengacu pada terbentuknya gejala (symptom)

setelah terpapar pengalaman yang sangat traumatis atau mengalami bencana.

Pengalaman traumatis yang terjadi umumnya mengancam kehidupan seseorang atau

seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan individu yang melibatkan mutilasi

fantastis, kematian, luka yang serius atau kekerasan fisik (Hockenberry, Wilson, &

Wong, 2013 : 504).

2.2.2 Etiologi

Ada multipel penyebab dari PTSD, mulai dari faktor fisik, psikis, biologi,

lingkungan atau spiritual. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi pencetus atau yang
12

mempertajam inisiasi dan perkembangan PTSD, namun tingkatan dari gangguan

mental ini bergantung pada lamanya merasakan pengalaman traumatis serta

intensitasnya. PTSD dapat terjadi di semua usia termasuk usia anak. Kejadian PTSD

meskipun dapat dialami oleh setiap orang si setiap tahapan usia namun tidak semua

individu yang mengalami pengalaman traumatis menderita PTSD. Wanita lebih mudah

mengalami PTSD dan individu ada beberapa kejadian dalam keluarga yang rentan

menyebabkan seseorang mengalami PTSD. Seseorang dapat mengalami PTSD ketika

teman atau keluarganya mengalami pengalaman mengerikan atau yang mengancam

sebagian lainnya disebabkan karena karena kejadian tiba-tiba atau kematian yang tidak

diharapkan dari orang yang dicintai (Adams, 2017: 30).

Teori lain mengemukakan bahwa dari penelitian yang dilakukan didapatkan

data mengenai pengaruh genetik dalam mendukung berkembangnya PTSD.

Lingkungan selain genetik, berdasarkan hasil studi memberikan pengaruh signifikan

terhadap berkembangnya gangguan ini pada individu. Besarnya pengaruh terlihat dari

tidak tercetusnya PTSD pada individu dengan kecendrungan gen tertentu tanpa

lingkungan yang memberikan tekanan ekstrem seperti pengalaman adanya tornado atau

dukungan sosial yang minim. Keadaan lain yang dapat mempermudah kejadian PTSD

adalah jenis kelamin. Wanita lebih rentan terhadap adanya konflik dalam keluarga

dibandingkan laki-laki. Keadaan yang sama ditemukan pada individu dengan gangguan

sintesa, pelepasan atau metabolisme dari kombinasi hormon serta neurotransmitter

(Adams, 2017: 46).


13

Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam

perkembangan PTSD. Tubuh akan mengaktifkan respon fight or flight ketika dalam

keadaan takut dan terancam. Tubuh dalam reaksi ini mengeluarkan adrenalin yang

menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan glikogenolisis.

Inaktivasi tubuh terhadap respon stres dimulai dan menyebabkan pelepasan hormon

kortisol, setelah ancaman bahaya menghilang. Pelepasan hormon kortisol kurang dari

kebutuhan tubuh untuk inaktivasi respons stres dapat menyebabkan dampak stres dari

peningkatan adrenalin tetap ada. Korban trauma yang berkembang menjadi PTSD

seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat

kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih

ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, dimana hormon stres meningkat dan pada

akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan fisik (Blaney & Millon, 2009 : 461)

2.2.3 Faktor Risiko

Faktor yang menjadi risiko PTSD menurut Taylor (2017: 27) sangat beragam

dan sama untuk usia anak dan dewasa, meliputi tingkat keterpaparan, tingkat

ketergangguan dari sistem pendukung sosial dan tingkat pretrauma psikopatologi.

Tingkat stres orang tua dan psikopatologi diprediksi menjadi faktor risiko terhadap

anak mengalami PTSD. Peran orangtua sangat penting dalam berkembangnya PTSD

pada anak karena orangtua menjadi role model terhadap pengelolaan situasi traumatik

yang telah membuat keluarga menderita. Anak yang mengamati orangtua menjadi

sangat stres karena trauma yang ada akan urut mengalami stres. Konsisten dengan teori
14

ini, ibu hamil dan melahirkan yang mengalami trauma persisten dan adanya trauma lain

dalam keluarga telah menjadi sumber PTSD anak.

Trauma tidak cukup untuk membangun PTSD, dan diketahui terdapat faktor

risiko yang saling terkait dan menjadi pencetusnya. Laporan menyebutkan ada

keterlibatan beberapa faktor biologi dan psikologi yang menempatkan seorang individu

menjadi lebih rentan atau tidak. Sejumlah trauma masa lalu dengan frekuensi lebih

tinggi dialami seseorang akan mempermudah berkembangnya gejala-gejala PTSD

setelah terjadinya keadaan yang menegangkan. Elemen yang termasuk dalam faktor

risiko meliputi riwayat trauma sebelumnya, riwayat adanya depresi, riwayat adanya

PTSD, riwayat adanya gangguan ansietas, riwayat keluarga mengalami ansietas,

gangguan dalam hubungan orangtua anak, tingkat keparahan dari keterpaparan serta

intelejensi (Hales, Yudofsky & Gabbard, 2008: : 568)

Faktor resiko terjadinya PTSD menurut Adshead & Ferris (2007: 358-368)

dilihat dari aspek trauma, pengalaman saat trauma, karakteristik masing-masing

individu dan faktor post-trauma yaitu :

2.2.3.1 Aspek trauma

Aspek yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami,

peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak

korban meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama

kekerasan seksual.
15

2.2.3.2 Perasaan saat trauma

Perasaa yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa

kurang mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan,

serta adanya gejala disosiatif saat kejadian.

2.2.3.3 Karakteristik individu

Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita

gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya

penyangkalan terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.

2.2.3.4 Faktor pasca trauma.

Faktor ini berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau penolakan

atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan sekitar.

2.3 Manifestasi Klinik

Deskripsi klinis yang menggambarkan PTSD dikategorikan pada tiga

klasifikasi seperti ketumpulan psikis, berulangnya pengalaman trauma dan peningkatan

gerakan otonom. Berulangnya pengalaman traumatis meliputi berulangnya rasa nyeri,

gangguan ingatan, menghayal dengan intensitas sering (daydream), atau mimpi buruk.

Kondisi disosiatif dapat terjadi, dari menit sampai hari yang terlihat seperi mimpi,

keadaan tidak nyata diikuti ingatan yang kabur seta distorsi waktu. Ketumpulan fisik

atau tertidurnya emosi adalah manisfestasi dari respon berkurang terhadap dunia luar

dengan perasaan terpisah dari oleh orang lain, kehilangan ketertarikan terhadap

aktifitas biasa, dan ketidakmampuan merasakan emosi seperti keintiman, kelembutan


16

atau ketertarikan seksual. Gejala lain yang dapat diamati dari PTSD yang tergolong

peningkatan gerakan otonom adalah hiperaktivitas dan iritabilitas, respon terkejut yang

berlebihan, sukar bekonsentrasi, dan gangguan tidur. Korban perkosaan takut untuk

berjalan sendiri selama beberapa waktu. Situasi yang mengingatkan pada trauma

sebenarnya secara sistematis dihindari.

Gejala lain mungkin adanya perasaan bersalah karena tetap hidup, bersalah

karena tidak berusaha mencegah trauma, depresi, ansietas, serangan panik, malu dan

marah. Episode serangan ini mungkin mempunyai intensitas yang panjang,

peningkatan iritabilitas, meledak-ledak, dan sikap bermusuhan. Gejala yang dapat

menyertai atau merupakan komplikasi terkait dengan PTSD dapat termasuk

penyalahgunaan zat, perilaku melukai diri sendiri, percobaan bunuh diri, gangguan

dalam bekerja dan gangguan dalam hubungan interpersonal ((Hales, Yudofsky &

Gabbard, 2008: : 567)

2.4 Diagnosis PTSD

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk PTSD merinci bahwa gejala

mengalami, menghindari, dan terus terjaga telah berlangsung lebih dari 1 bulan. Pasien

yang mengalami gejala kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai adalah gangguan

stres akut. Kriteria diagnosis DSM-IV-TR mengenai PTSD memungkinkan perincian

klasifikasi gangguan untuk akut atau kronis. Gangguan PTSD tergolong akut bila

gejala yang diderita telah berlangsung kurang dari 3 bulan dan PTSD tergolong kronis

jika gejala telah ada selama 3 bulan atau lebih. DSM-IV-TR juga memungkinkan

klinisi merinci bahwa gangguan tersebut adalah dengan awitan yang tertunda jika
17

awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah peristiwa yang memberikan stres (Sadock, &

Sadock,, 2007:1279).

2.4.1 Kriteria diagnosis bagi penderita gangguan stres pascatrauma menurut DSM-

IV-TR

2.4.1.1 Kejadian traumatik

a. Satu atau banyak peristiwa yang membuat seseorang mengalami,

menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa

ancaman kematian, cidera yang serius sehingga mengancam integritas

fisik dirinya sendiri atau orang lain.

b. Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan atau

tidakberdayaan yang sangat kuat.

2.4.1.2 Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:

a. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya

dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi).

b. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya

(yang mencemaskan).

2.4.1.3 Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:

a. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang

dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, haluinasinya).
18

b. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang

mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa

trauma).

2.4.1.4 Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma

dan mematikan perasaan/tidak berespon terhadap suatu hal sehingga

akan berdampak pada perubahan rutinitas pribadi

a. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang

berhubungan dengan kejadian trauma.

b. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat

membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.

c. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma.

d. Kurangnya ketertarikan dalam berpartisipasi terhadap peristiwa penting.

e. Merasa terasing dari orang di sekitarnya.

f. Terbatasnya rentang emosi (tidak dapat merasakan cinta dan dicintai).

g. Perasaan bahwa masa depannya suram.

2.4.1.5 Gejala hiperarousal yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di

bawah ini:

a. Sulit untuk memulai tidur/sulit mempertahankannya.

b. Sulit berkonsentrasi.

c. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya.

d. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan).


19

e. Reaksi kaget yang berlebihan.

2.4.1.6 Durasi dari gangguan (gejala pada kriteria kedua, tiga dan empat) telah

dialami lebih dari sebulan.

2.4.1.7 Gangguan/gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan

fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting

lainnya.

2.4.2 Kriteria diagnosis PTSD menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa (PPDGJ) III dalam F 43.1 yaitu:

2.4.2.1 Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu

enam bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara

beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui enam

bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya

waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu enam bulan,

asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif

kategori gangguan lainnya.

2.4.2.2 Pengkajian pada pasien harus mendapatkan bukti tambahan selain trauma,

yaitu bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut

secara berulang-ulang kembali (flashback).

2.4.2.3 Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya

dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.


20

2.4.2.4 Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,

misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam

kategori F 62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah

mengalami katastrofia).

Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya

semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memilki

keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam

bereaksi terhadap stres. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak

memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun secara jelas anak tersebut

memiliki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada dewasa. Umumnya anak

tidak memiliki tiga tanda dari numbing (mematikan perasaannya) dan withdrawl

(menarik diri) seperti pada orang dewasa karena kemampuan verbal untuk

mengekspresikan perasaannya masih kurang. Anak-anak mungkin mengalami

perubahan antara hiperarousal dan numbing/withdrawl.

2.5 Penatalaksanaan

Evaluasi psikologis merupakan langkah awal yang sebaiknya dilakukan

nsbelum menjalani terapi atau program penyembuhan. Tindakan ini untuk memahami

kepribadian, trauma yang dialami, dan dampak dari trauma tersebut pada dirinya .

Evaluasi juga dapat membantu terapis untuk memahami berbagai risiko tambahan dan

menemukan kekuatan dari klien. Hal ini harus sangat diperhatikan karena proses

evaluasi dapat dialami sebagai proses yang sangat berat dan dapat menimbulkan trauma

sekunder. Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat
21

dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi dan

farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini

dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif

(Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2007: 263).

2.5.1 Terapi Psikologi

Laporan dari The National Institute for Health and Clinical Excelence

(NICE) lini pertama dalam penanganan PTSD adalah trauma-focused cognitive-

behavioural therapy (TFCBT) atau eye movement desensitization and reprocessing

(EMDR).

2.5.1.1 Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT)

Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT) ini mencakup

pendidikan tentang PTSD, pemantauan gejala-gejala PTSD, manajemen

kecemasan, pemaparan terhadap rangsangan yang mengakibatkan

kecemasan dalam suasana yang mendukung dan manajemen kemarahan.

Pendekatan kognitif-pilaku terutama terapi pemaparan (exposure therapy)

efektif untuk PTSD karena kekerasan seksual. Terapi pemaparan ini

diantaranya, konfrontasi ketakutan namun situasinya tidak membahayakan

yang berkaitan dengan trauma yang dialami misalnya, saat tidur tidak

menggunakan penerangan, atau pergi ke tempat ramai. Terapi ini

memfasilitasi proses emosional dengan menolong pasien untuk bereaksi

dengan sedikit rasa takut terhadap memori atau ingatan tentang peristiwa

yang dialami. Terapi ini dapat dikombinasikan dengan cognitive- exposure


22

therapy dan stress-inoculation therapy (penataan kembali kognisi, pelatihan

kemampuan coping, dan manajemen stres). Menurut Foa et al kombinasi

terapi pemaparan berkepanjangan dan stress inoculation therapy tersebut

efektif untuk mengurangi gejala-gejala PTSD pada korban pemerkosaan.

Penelitian selanjutnya menyatakan terapi-terapi tersebut tidak efektif bila

tidak dikombinasikan. Resick et al membandingkan pemaparan

berkepanjangan dengan cognitive processing therapy (mengkombimasikan

pemaparan dalam bentuk menulis dan membaca tentang trauma dan terapi

kognitif) untuk meminimalkan perhatian. Penelitian ini menunjukan kedua

terapi tersebut efektif mengurangi gejala PTSD dibandingkan kelompok

kontrol.

2.5.1.2 Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR)

Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR) adalah terapi

yang menggunakan gerakan bola mata bolak-balik secara volunter untuk

mengurangi kecemasan yang berhubungan dengan pikiran yang

mengganggu pasien PTSD.. Terapi ini difokuskan pada gambaran trauma

serta pikiran dan respon afektif negatif yang ditimbulkan oleh trauma.

Tujuan terapi ini agar seseorang dapat berpikir dan bersikap lebih positif

terhadap trauma yang dialami. EMDR menggunakan stimulasi bilateral

berupa gerakan mata saccadic atau rangsangan bolak balik mata lainnya,

dilakukan saat keadaan terpapar (fokus terhadap ingatan, emosi dan kognitif
23

yang mengganggu). Komponen gerakan saccadic mata yang bagaimana

dari terapi yang mempunyai nilai lebih dalam terapi, belum diketahui secara

pasti. Terdapat delapan fase dalam terapi ini, yaitu :

a. Fase I assessment, dalam fase ini terapis sudah mendapatkan cerita

lengkap mengenai peristiwa yang dialami oleh pasien, pada fase ini

digambarkan rencana terapi yang sudah disesuaikan dengan pasien.

b. Fase II persiapan, pasien mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan

terapi, metode terapi dijelaskan, terapi ini disesuaikan dengan masing-

masing individu sesuai dengan pendidikan dan kondisi psikologisnya,

dalam fase ini disepakati stimulasi bilateral yang digunakan.

c. Fase III penilaian target memori, selama fase ini pasien

mengidentifikasi ingatan, kognisi, dan emosi yang akan diubah. Terapi

normalnya fokus terhadap bayangan yang menunjukan ingatan buruk

pasien.

d. Fase IV desensitisasi, pasien diminta menanamkan dalam pikirannya

tentang gambaran atau bayangan trauma bersamaan dengan kognisi

negatifnya. Stimulasi bilateral dimulai sampai semua ingatannya saling

terhubung, stimulasi biasanya diberikan melalui gerakan cepat mata

pasien yang mengikuti gerakan jari terapis. Gerakan jari dari terapis

ada 30 gerakan namun hal ini disesuaikan dengan kondisi pasien.

Proses ini dapat diulang sampai proses terapi selesai ataupun sampai
24

pasien sudah tidak merasakan emosi dan respon fisik yang negatif

terhadap bayangan traumanya.

e. Fase V Instalasi, pikiran positif ditanamkan dengan proses stimulasi

yang sama dengan sebelumnya.

f. Fase VI body scan, pasien diminta untuk berkonsentrasi dan

mengidentifikasi perasaannya. Jika pasien merasakan perasaan negatif,

stimulasi bilateral diulang kembali, namun jika positif stimulasi

tersebut digunakan untuk menguatkan perasaannya.

g. Fase VII closure, terapis memuji pasien atas usaha yang dilakukan dan

pencapaiannya serta dukungan dan semangat pasien. Penterapi juga

memberikan pelatihan peregangan dengan tahanan.

h. Fase VIII debriefing the experience, pasien diwawancarai dan

dijelaskan mengenai efek yang mungkin akan dialami pasien nantinya

setelah terapi selesai.

2.5.2 Pharmakologi

Selain dalam pengobatan untuk pasien Post Traumatic Stress Disorder

(PTSD), intervensi secara pharmakologi dipercaya dapat mencegah terjadinya

gangguan ini, hal tersebut dilihat dari tiga randomized controlled trials (RCTs) yang

dipublikasikan. Level kortisol menjadi dasar pemberian hydrocortisone secara

intravena pada korban yang mengalami syok septic di intensif care salah satu rumah

sakit di Swiss, dan menunjukan bahwa pemberian hydrocortisone dapat menurunkan

gejala PTSD, namun belum ada penelitian tentang pemberian obat ini pada populasi
25

umum. Study yang kedua tentang pemberian propanolol, hal ini berdasarkan hipotesa

adanya gelombang adrenergic pada awal setelah terjadi peristiwa traumatik. Pitman

et al berhipotesa bahwa pemberian propanolol 6 jam setelah trauma berhasil mencegah

timbulnya gejala PTSD.

Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE)

menggunakan obat-obatan untuk terapi PTSD adalah pilihan ke dua, merupakan terapi

alternatif setelah terapi psikologis. NICE merekomendasikan terapi pharmakologi

diberikan apabila Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT) tidak

efektif, kontraindikasi terhadap pasien ataupun karena menolak terapi psikologi.

Pilihan golongan obat yang dianggap bisa dipakai untuk pasien PTSD adalah:

2.5.2.1 Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)

Jenis obat pertama dari golongan SSRIs adalah paroxetine. Penelitian

double blind RCTs tentang paroxetine yang pernah dipublikasikan,

menunjukan efek positif dibandingkan plasebo, namun paroxetine tidak

direkomendasikan oleh NICE sebagai terapi pilihan pertama untuk PTSD.

Efek samping dari obat ini adalah mual, mulut kering, asthenia dan ejakulasi

abnormal.

2.5.2.2 Obat kedua adalah sertraline, obat ini dianggap efektif untuk PTSD di

Inggris, obat jenis ini hanya efektif untuk wanita, sedangkan untuk pria

tidak. Efek samping dari obat ini dibandingkan plasebo, sertraline secara

signifikan meningkatkan insomnia, diare dan mual serta penurunan nafsu

makan
26

2.5.2.3 Tricyclics dan Monoamine Oxidase inhibitors. Pemberian tricyclics dan

golongan MAOIs seperti amitriptyline, imipramine, dan phenelzine,

memberikan efek positif, namun efektifitas obat-obat tersebut belum

diketahui secara pasti di populasi umum.

2.6 Prognosis

Penelitian yang beragam menyatakan bahwa pemberian intervensi secepat

mungkin setelah seseorang mengalami trauma dapat mencegah atau mengurangi

resiko Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Dua pendekatan yang

dipertimbangkan adalah intervensi yang melibatkan setiap orang, dan intervensi yang

ditargetkan untuk orang yang menunjukan gejala PTSD. Intervensi yang digunakan

adalah intervensi psikologi single session, jenis yang sering digunakan adalah

mewawancarai (debriefing) orang tersebut tentang peristiwa yang dialami, namun dari

meta-analysis menunjukan tidak ada bukti positif tentang efektifitas intervensi ini.

Intervensi ini cukup berbahaya bagi beberapa orang menurut beberapa studi

menyatakan bahwa. Studi yang terbaru tentang pemberian emotional debriefing

menunjukan hasil lebih buruk daripada yang tidak disertai komponen emosi, tapi

difokuskan ke edukasi dan fakta-fakta, pada orang yang mengalami hyperarousal.

Pemberian hydrocortisone pada penderita syok septik di intensif care

salah satu rumah sakit di negara Swiss, dapat menurunkan resiko PTSD dalam

pemantauan selama 31 bulan dibandingkan plasebo. Pemberian propanolol 6 jam

setelah trauma berhasil mencegah timbulnya gejala PTSD (Bison, 2007: 399).

Anda mungkin juga menyukai