Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persediaan merupakan salah satu aktiva yang paling aktif dalam operasi kegiatan

perusahaaan dagang. Sebagaian besar sumber daya perusahaan yang diinvestasikan dalam

bentuk barang-barang yang dibeli atau diproduksi. Biaya barang barang ini harus dicatat,

dikelompokan, dan diikhtisarkan selama periode akuntansi. Pada akhir periode, biaya

dialokasikan diantara aktivitas periode berjalan dan aktivitas periode mendatang yaitu diantara

barang barang yang berada dalam persediaan untuk dijual periode mendatang.

Persediaan juga merupakan aktiva lancar terbesar dari perusahaan manufaktur maupun

dagang. Pengaruh persediaan terhadap laba lebih mudah terlihat ketika kegiatan bisnis

berfluktuasi. Selama iklim usaha baik, penjualan menjadi tinggi dan persediaan bergerak lebih

cepat dari pembelian ke penjualan. Namun ketika kondisi ekonomi menurun, tingkat penjualan

juga menjadi menurun, persediaan bertumpuk dan perlu dilakukan penjualan meskipun

mengalami kerugian.

Pengertian persediaan menurut Skousen, Stice dan Stice (2004:653) adalah sebagai

berikut : Kata persediaan ditujukan untuk barang- barang yang tersedia untuk dijual dalam

kegiatan bisnis normal, dan dalam kasus perusahaan manufaktur, maka kata ini ditujukan untuk

proses produksi atau yang ditempatkan dalam kegiatan produksi.

IAS 2 merupakan standard akuntansi keuangan international yang mengatur mengenai

persediaan. Tujuan dari IAS 2 adalah untuk menentukan perlakuan akuntansi untuk persediaan.

IAS 2 memberikan panduan untuk menentukan biaya persediaan dan untuk selanjutnya
mengakui beban, termasuk setiap penurunan-down menjadi nilai realisasi bersih. Hal ini juga

memberikan panduan rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya persediaan. IAS 2

menyatakan dasar penentuan dan akuntansi untuk persediaan sebagai suatu aset, hingga

pendapatan yang terkait diakui. Standar juga memberikan pedoman mengenai penilaian

persediaan dan konsekuensi penghapusannya sebagai suatu beban (expense), dan perlakuan

yang harus di adopsi atas pendapatan terkait yang di akui.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai persediaan berdasarkan IAS 2, yaitu ruang lingkup,

dasar penilaian, pengukuran biaya perolehan, dan pengungkapan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan sebagaimana dijelaskan pada latar belakang diatas, penulis akan

mengkaji beberapa permasalahan sebagai berikut :

1 Bagimana ruang lingkup IAS 2 ?

2. Apa dasar penilaian persediaan?

3. Bagaimana ketentuan pengukuran biaya perolehan ?

4. Bagaimana pengungkapan kebijakan akuntansi persediaan berdasarkan IAS 2 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk menghetahui ruang lingkup IAS 2.

2. Untuk mengetahui dasar penilaian persediaan.

3. Untuk mengetahui ketentuan pengukuran biaya perolehan.

4. Untuk pengungkapan kebijakan akuntansi persediaan berdasarkan IAS 2.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penilaian Persediaan.

Menurut IAS 2 dalam buku IFRS Interpretation and Application of International

Financial Reporting Standards, Inventories are defined ad items that are held for sale in the

ordinary course of business; int the process of production for such sale; or in the form of

materials or supplies to be consumed in the production process or in the rendering of

services, yang bila diartikan, Persediaan didefinisikan sebagai barang-barang yang dimiliki

untuk dijual dalam kegiatan usaha sehari, dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau

dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk dikonsumsi dalam proses produksi atau

pemberian jasa.

IAS 2 mendiskripsikan bahwa basis utama akuntansi persediaan adalah kas, dan kas

didefinisikan sebagai jumlah kas pembelian atau kas konversi, termasuk kas lain untuk

membuat persediaan ada di lokasi perusahaan dan dalam kondisi seperti pada saat pelaporan

persediaan. Dikatakan bahwa kas atas pembelian persediaan mencakup harga beli, biaya

angkut, asuransi, dan biaya penanganan persediaan (handling costs). Potongan tunai, rabat, dan

jenis-jenis potongan pembelian lain jika ada harus dikurangkan ke biaya persediaan. Dapat

disimpulkan bahwa sampai dengan titik ini, tidak ada perbedaan kententuan pengukuran kas

persediaan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat aturan yang boleh dikatakan

sama persis, karena memang untuk kasus kas perolehan persediaan tidak ada ruang untuk

penerapan konsep principles-based, sehingga mau tidak mau harus menggunakan konsep rules-

based.
Untuk kasus persediaan yang memerlukan proses produksi cukup lama, IAS 23

mengatur bahwa bagian dari biaya pendanaan (borrowing costs) harus diperlakukan sebagai

bagian dari biaya persediaan. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa IFRS justru sangat

mengatur tentang bagaimana biaya pendanaan harus diperlakukan, atau justru menggunakan

rules-based dan bukannya menggunakan principles-based. Semestinya jika konsisten

menggunakan principles-based, financing costs untuk keperluan proses produksi yang panjang

semacam ini tetap diperlakukan sebagai period costs dan bukannya diperlakukan sebagai

production costs, karena jika manajemen memutuskan untuk tidak menggunakan dana luar

dalam proses produksinya, maka financing costs tidak akan pernah terjadi.

IAS 2 menyebutkan bahwa biaya konversi untuk proses produksi persediaan mencakup

seluruh biaya yang berhubungan langsung dengan proses produksi persediaan, seperti biaya

tenaga kerja langsung dan biaya overhead. Alokasi biaya overhead harus dilakukan secara

sistematis dan rasional, dan dalam kasus biaya overhead tetap, yaitu yang jumlahnya tidak

berubah-ubah menyesuaikan dengan volume produksi, alokasi harus dilakukan berdasarkan

tingkat produksi normal. Dalam periode tingkat produksi turun secara tidak normal, sebagian

dari biaya overhead tetap harus dibebankan langsung ke periode terjadinya biaya, atau dengan

kata lain harus diperlakukan sebagai biaya periode (period costs), dan tidak diperhitungkan

sebagai bagian dari biaya persediaan. Dalam kasus standard pengukuran biaya produksi ini,

sekali lagi dapat dirasakan bahwa IFRS membuat aturan dengan cukup jelas tetang bagaimana

pengukuran biaya produksi harus dilakukan, sama sekali tidak berbeda dengan standard

pengukuran biaya produksi versi US GAAP, sehingga dapat disimpulkan baik IFRS maupun

US GAAP tetap menggunakan konsep rules-based, dan bukannya menggunakan

konsep principles-based. Berdasarkan paparan dalam paragraf ini, sama sekali tidak ada alasan
untuk bisa mengatakan IFRS menggunakan principles-based dan US GAAP menggunakan

konsep rules-based.

Biaya produksi selain bahan baku dan biaya konversi (biaya tenaga kerja langsung dan

biaya overhead) hanya akan dibebankan sebagai bagian dari biaya persediaan pada saat biaya

tersebut dipandang sangat diperlukan untuk membuat persediaan dalam kondisi siap untuk

dijual atau dilaporkan dalam laporan keuangan. Contoh biaya semacam ini adalah biaya

perancangan produk dan biaya persiapan produksi untuk memenuhi kepuasan sekelompok

pelanggan tertentu. Di sisi lain, seluruh biaya riset dan pengembangan produk, berdasarkan IAS

38, tidak boleh diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan. Biaya lain yang juga tidak

perperbolehkan diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan adalah biaya administrasi

dan biaya penjualan atas persediaan, biaya sisa bahan-bahan produksi, serta biaya

penggudangan persediaan. Biaya lain yang harus dimasukkan sebagai bagian dari biaya

overhead, dan oleh karenanya diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan adalah biaya

perbaikan dan pemeliharaan mesin, biaya peralatan produksi, biaya sewa peralatan produksi,

biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya gaji pengawas produksi, biaya bahan-bahan produksi

tidak langsung, biaya pengendalian dan pengawasan kualitas produk, dan biaya atas peralatan

kecil yang tidak dikapitalisasi. Ketentuan dalam IFRS atas biaya produksi selain biaya bahan

baku dan biaya konversi, yang diuraikan dalam paragraf ini, juga memperjelas fakta bahwa

untuk kasus ini IFRS tidak menggunakan principles-based, tetapi menggunakan rules-

based sebagaimana yang terjadi pada US GAAP.

2.2 Ruang Lingkup IAS 2.

Sebelum tahun 2005 IAS 2 membolehkan penggunaan tiga alternatif pengukuran kas

persediaan, yaitu metode FIFO dan rata-rata tertimbang yang oleh IAS 2 disebut sebagai
benchmark treatments, serta satu lagi metode yang oleh IAS 2 disebut sebagai allowed

alternative treatments yaitu metode LIFO. Namun efektif mulai 1 Januari 2005 IFRS tidak

membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas yang berlaku

tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang. Pembatasan penggunakan metode

akuntansi semacam ini merupakan indikasi bahwa IFRS pada dasarnya tidak sepenuhnya

menggunakan principles-based, bahkan dalam kasus akuntansi persediaan menjadi lebih rules-

based dibanding US GAAP.

Tujuan Pernyataan ini adalah mengatur perlakuan akuntansi untuk persediaan.

Permasalahan pokok dalam akuntansi persediaan adalah penentuan jumlah biaya yang diakui

sebagai aset dan perlakuan akuntansi selanjutnya atas aset tersebut sampai pendapatan terkait

diakui. Pernyataan ini menyediakan panduan dalam menentuan biaya dan pengakuan

selanjutnya sebagai beban, termasuk setiap penurunan menjadi nilai realisasi neto. Pernyataan

ini juga memberikan panduan rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya

persediaan.

Persediaan adalah salah satu aset lancar signifikan bagi perusahaan pada umumnya,

terutama perusahaan dagang, manufaktur, pertanian, kehutanan, pertambangan, kontraktor

bangunan, dan penjual jasa tertentu. Hal ini menyebabkan akuntansi untuk persediaan menjadi

suatu masalah penting bagi perusahaan-perusahaan tersebut.

Menurut IAS No.2 inventory atau persediaan adalah :

a. Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal

b. Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau


c. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi

atau pemberian jasa

Terdapat beberapa poin penting terkait dengan definisi tersebut diatas :

a. Persediaan merupakan aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal.

Ini berarti aset yang dikelompokkan sebagai persediaan adalah aset yang memang

selalu dimaksudkan untuk dijual atau digunakan dalam proses produksi atau

pemberian jasa.

b. Perlengkapan yang dimaksudkan sebagai persediaan adalah perlengkapan yang

digunakan dalam proses produksi, sehingga perlengkpan kantor (seperti alat tulis

kantor) dengan tujuan untuk digunakan administrasi kantor dan bukan untuk dijual,

bukanlah bagian dari persediaan.

c. Perlengkapan tersebut juga harus merupakan perlengkapan yang digunakan secara

regular dalam proses produksi dan bukan perlengkapan yang hanya bisa digunakan

bersamaan dengan aset tetap.

IAS 2 diterapkan untuk semua persediaan, kecuali :

a) Barang dalam proses yang timbul menurut kontrak konstruksi (IAS 11

mengenai kontrak konstruksi)

b) Instrumen keuangan (misal saham, surat hutang, obligasi) yang dimiliki sebagai

persediaan (IAS 32 mengenai instrumen keuangan)

c) Aset biologis dan memproduksi yang terkait dengan aktivitas pertanian (IAS 41

mengenaipertanian).

IAS 2 ini tidak berlaku untuk pengukuran persediaan bagi pialang-pedagang komoditi

yang mengukur persediaannya pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual, sesuai
dengan praktik yang berlaku pada industri. Ketika persediaan tersebut diukur pada nilai wajar

setelah dikurangi biaya untuk menjual, maka perubahan nilai wajar setelah dikurangi biaya

untuk menjual diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya .

2.3 Dasar Penilaiain

a) Nilai Realisasi Neto (Net Realizable Value)

Nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi

estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat penjualan.

Nilai realisasi neto mengacu kepada jumlah neto yang entitas berharap untuk direalisasi dari

penjualan persediaan dalam kegiatan usaha biasa. Nilai wajar mencerminkan suatu jumlah di

mana persediaan yang sama dapat dipertukarkan antara pembeli dan penjual yang

berpengetahuan dan berkeinginan di pasar. Nilai realisasi neto adalah nilai khusus entitas

sedangkan nilai wajar tidak tergantung pada nilai khusus entitas. Nilai realisasi neto untuk

persediaan bisa tidak sama dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual.

IAS 2 menyatakan bahwa estimasi net realizable value harus diterapan untuk setiap

jenis persediaan atau item demi item, kecuali terdapat sekelompok persediaan yang sejenis dan

dapat dinilai secara tepat per kelompok jenis persediaan. Sebagai pedoman umum, penilaian

harus dilakukan untuk setiap jenis persediaan untuk mencegah kemungikan terjadinya

kompensasi unrealized gain dengan unrealized loss kelompok persediaan lain, sehingga

menurunkan jumlah rugi yang harus diakui, hal ini penting untuk diperhatikan mengingat IFRS

melarang pengakuan unrealized gain pada laporan rugi-laba. Dikatakan bahwa evaluasi

penurunan nilai persediaan yang dilakukan atas sekelompok persediaan, tidak atas item per

item persediaan, adalah merupakan mekanisme tidak langsung atau ?backdoor

mechanism? untuk mengakuiunrealized gain yang seharusnya tidak diakui, sehingga perlu
ditegaskan bahwa tuntutan dasar evaluasi penurunan nilai persediaan adalah diterapkan atas

item demi item persediaan. Paparan dalam dua paragraf di atas menegaskan bahwa IAS 2

sangat mengatur penerapan net realizable value, yaitu harus diterapkan item demi item demi

untuk mencegah potensi pengakuan unrealized gain secara tidak langsung, di sisi lain US

GAAP tidak mengatur hingga sedetil ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa IFRS ternyata

justru lebih condong ke rules-based dan bukannya berbasis pada konsep principles-based.

Recoveries of previously recognized losses. Untuk kasus terjadinya kenaikan kembali

nilai persediaan, IAS 2 mendeskripsikan bahwa pengukuran net realizable value harus

dilakukan pada setiap periode pelaporan keuangan, dan pada saat tidak terdapat lagi fakta

adanya penurunan nilai persediaan, misalnya karena nilai persediaan mengalami kenaikan

kembali, maka penurunan nilai persediaan harus dibatalkan dengan membuat jurnal koreksi,

dan karena penurunan nilai persediaan telah dimasukkan ke dalam laporan rugi-laba, maka

jurnal koreksi atas penurunan nilai persediaan juga harus direfleksikan dalam laporan rugi-laba.

Juga ditegaskan bahwa jurnal koreksi atau recovery hanya diperkenankan maksimum sebesar

penurunan nilai yang telah diakui pada periode sebelumnya. Dalam kasus ini perbedaannya

dengan US GAAP adalah bahwa dalam US GAAP penurunan nilai persediaan yang telah

diakui pada periode sebelumnya tidak boleh ditutup dengan kenaikan nilai pada periode

berikutnya. Dari sudut pandang istilah konsep principles-based dan ruled-based, ternyata

untuk kasus inipun keduanya lebih bisa dikatakan sama-sama menggunakan ruled-based.

b) Nilai wajar

Nilai wajar adalah jumlah di mana suatu aset dipertukarkan, atau kewajiban

diselesaikan, antara pihak yang berpengetahuan dan berkeinginan dalam suatu transaksi yang

wajar
c) Komoditi

Komoditi adalah barang dagangan yang menjadi subjek kontrak berjangka yang

diperdagangkan di bursa berjangka

d) Nilai khusus entitas

Nilai khusus entitas adalah nilai kini dari arus kas yang diharapkan oleh suatu entitas

yang timbul dari penggunaan aset berkelanjutan dan dari pelepasannya pada akhir umur

manfaat atau yang diharapkan terjadi ketika penyelesaian kewajiban.

2.4 Metode Penilaian Persediaan

Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:235), ada tiga metode yang dapat

digunakan untuk menilai persediaan, yaitu :

1. First-in, first out (FIFO).

2. Last-in, first-out (LIFO).

3. Average cost.

Seperti yang sudah dibahas diawal, bahwa pada tanggal 1 Januari 2005 IAS 2 sudah

tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas yang berlaku

tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang.

a. Metode First-in, First Out (FIFO).

Metode FIFO mengasumsikan persediaan yang dibeli pertama kali akan dijual terlebih

dahulu. Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236) pengakuan cost of goods sold

dengan menggunakan metode FIFO adalah sebagai berikut : Under the FIFO method, the

costs of the earliest goods purchased are the first to be recognized as cost of goods sold.

Sedangkan, untuk perhitungan persediaan akhir (ending inventory) dengan menggunakan

metode FIFO menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236) adalah sebagai berikut :
Under FIFO, the cost of ending inventory is found by taking the unit cost of the most recent

purchase and working backward until all units of inventory are costed.

Dengan menggunakan metode FIFO, perusahaan akan menghasilkan laba yang lebih

besar dibandingkan dengan menggunakan metode LIFO maupun metode rata-rata karena biaya

unit yang lebih rendah dari pembelian persediaan pertama kali. Tetapi, dengan laba yang besar,

maka perusahaan juga akan membayar pajak yang lebih besar sehingga tidak dapat dilakukan

penghematan pajak jika menggunakan metode FIFO. Manajemen perusahaan akan lebih

memilih untuk menggunakan metode FIFO karena dengan nilai laba perusahaan yang besar

akan menunjukkan bahwa kinerja manajemen perusahaan tersebut bagus dan manajemen akan

mendapatkan kompensasi berupa bonus yang cukup besar dari perusahaan. Perusahaan yang

menggunakan metode FIFO pada saat terjadi inflasi akan menghasilkan laba yang besar

sedangkan pada saat terjadi deflasi, perusahaan yang menggunakan metode FIFO akan

menghasilkan laba yang kecil.

b. Metode Rata-Rata Tertimbang - AVERAGE

Metode rata-rata mengasumsikan persediaan yang tersedia untuk dijual memiliki rata-

rata biaya per unitnya sama. Menurut Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2005:238) perhitungan

unit cost berdasarkan formula rata-rata tertimbang adalah sebagai berikut : Under this method,

the cost of goods available for sale is allocated on the basis of the weighted-average unit

cost. Berikut adalah formula perhitungan unit cost berdasarkan metode rata-rata

tertimbang (weighted-average method) :


Setelah dilakukannya perhitungan unit cost, selanjutnya menurut Weygandt, Kieso, dan

Kimmel (2005:238) untuk mengetahui nilai biaya dari persediaan akhir adalah sebagai berikut

: The weighted-average unit cost is then applied to the units on hand. This computation

determines the cost of the ending inventory.

Pada sistem periodik, metode rata-rata disebut metode rata-rata tertimbang

(weighted average method) dan pada sistem perpetual disebut dengan metode rata-rata

bergerak (moving average method) (Abdullah dan Djalil, 2004) dalam Metallia (2007).

Dengan menggunakan metode rata-rata, perusahaan akan dapat melakukan penghematan pajak

(tax saving) dikarenakan laba yang di dapat perusahaan dengan menggunakan metode tersebut

akan lebih kecil. Tetapi, pada saat menggunakan metode rata-rata akan dapat menghasilkan

nilai akhir persediaan di antara FIFO dan LIFO.

c. Metode Last In First Out (LIFO)

Metode LIFO mengasumsikan persediaan yang terakhir dibeli akan dijual terlebih

dahulu. Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:237) menyatakan bahwa pengakuan cost of

goods sold dengan menggunakan metode LIFO adalah sebagai berikut : Under the LIFO

method, the costs of the latest goods purchases are the first to be assigned to cost of goods

sold. Sedangkan, untuk mengetahui nilai persediaan akhir (ending inventory) dengan

menggunakan metode LIFO adalah sebagai berikut : Under the LIFO method, the cost of

ending inventory is found by taking the unit cost of the oldest goods and working

forward until all units of inventory are costed.

Dengan menggunakan metode LIFO, perusahaan akan menghasilkan laba yang kecil

sehingga dapat melakukan penghematan pajak. Pada saat inflasi, perhitungan harga beli

terakhir dibebankan ke operasi dalam periode kenaikan harga sehingga mengurangi laba dan
menghasilkan pengurangan pajak.

2.5 Sistem Pencatatan Persediaan

Adapun sistem pencatatan persediaan dapat digolongkan ke dalam dua cara yaitu:

a. Sistem Periodic Atau Fisik (Physical Method)

Menurut Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem periodik ialah sistem

persediaan di mana jumlah yang ditentukan hanya berkala oleh perhitungan fisik. Menurut

Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), dalam sistem persediaan periodik, rincian

catatan persediaan barang yang dimiliki tidak disesuaikan secara terus menerus dalam satu

periode. Harga pokok penjualan barang ditentukan hanya pada akhir periode akuntansi.

Menurut sistem ini setiap pembelian atau pemasukan maupun penjualan

(pengeluaran) persediaan tidak dicatat atau dibukukan kedalam perkiraan persediaan.

Pembelian barang dibukukan keperkiraan-keperkiraan pembelian dan beberapa perkiraan

lain seperti potongan pembelian dan pengembalian pembelian. Penjualan dibukukan ke

perkiraan penjualan.

Dengan sistem ini jumlah persediaan akhir diketahui setelah dilakukan perhitungan

fisik (invertory taking) terhadap barang yang ada digudang. Selanjutnya setelah perhitungan

fisik maka perlu dilakukan closing (penutup) terhadap persediaan awal. Jadi dalam buku

besar persediaan hanya terdapat jumlah persediaan awan dan persediaan akhir. Bagi

perusahaan dagang jika menggunakan metode ini maka sistem pencatatannya adalah

sebagai berikut:

Saat Pembelian:

Purcahase Rp xxx

Cash/Account Payable Rp xxx


Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:

Cash/Account Payable Rp xxx

Purchase Return Rp xxx

Saat penjualan:

Cash/Account Receivable Rp xxx

Sales Rp xxx

Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:

Sales Return Rp xxx

Cash/Account Receivable Rp xxx

b. Sistem Perpetual atau Kontinyu (Perpetual Method)

Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), Dalam sistem persediaan

perpetual, rincian catatan mengenai setiap pembelian dan penjualan persediaan disimpan.

Sistem ini secara terus menerus menunjukkan persediaan yang harus dimiliki untuk setiap

jenis barang. Berdasarkan sistem persediaan perpetual, harga pokok penjual ditentukan

setiap kali terjadi penjualan. Menurut Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem

perpetual ialah sistem persediaan di mana pembaruan catatan jumlah persediaan selalu

dilakukan dan disimpan.

Menurut sistem ini, setiap saat harus dilakukan pencatatan atas penambahan

ataupun pengurangan persediaan akibat adanya pembelian, pemakaian bahan baku

dan penjualan sehingga jumlah maupun nilai persediaan dapat diketahui sewaktu-waktu

tanpa melakukan perhitungan fisik. Untuk perusahaan dagang, pencatatan yang dilakukan

menurut metode ini adalah sebagai berikut:


Saat pembelian:

Merchandise Inventory Rp xxx

Account Payable/Cash Rp xxx

Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:

Account Payable/Cash Rp xxx

Account Payable/Cash Rp xxx

Saat penjualan:

Account Receivable/Cash Rp xxx

Sales Rp xxx

Cost of Good Sold Rp xxx

Merchandise Inventory Rp xxx

Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:

Sales Return Rp xxx

Cash/Account Receivable Rp xxx

Marchandise Inventory Rp xxx

Cost of Good Sold Rp xxx

Karena sistem perpetual dicatat setiap ada perubahan dalam persediaan, maka saldo

dalam perkiraan yang ada di neraca saldo adalah saldo perkiraan persediaan akhir,

sehingga tidak diperlukan ayat jurnal penyesuaian.

2.6 Pengukuran Biaya Perolehan

Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang lebih

rendah, Biaya persediaan harus meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya
lain yang timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini.

a) Biaya Pembelian

Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak lainnya (kecuali yang

kemudian dapat ditagih kembali oleh entitas kepada otoritas pajak), biaya pengangkutan,

biaya penanganan, dan biaya lainnya yang secara langsung dapat diatribusikan pada

perolehan barang jadi, bahan, dan jasa. Diskon dagang, rabat dan hal lain yang serupa

dikurangkan dalam menentukan biaya pembelian

b) Biaya Konversi

Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait dengan unit yang

diproduksi, misalnya biaya tenaga kerja langsung. Termasuk juga alokasi sistematis

overhead produksi tetap dan variabel yang timbul dalam mengonversi bahan menjadi barang

jadi. Overhead produksi tetap adalah biaya produksi tidak langsung yang relatif konstan,

tanpa memerhatikan volume produksi yang dihasilkan, seperti penyusutan dan pemeliharaan

bangunan dan peralatan pabrik, dan biaya manajemen dan administrasi pabrik. Overhead

produksi variabel adalah biaya produksi tidak langsung yang berubah secara langsung, atau

hampir secara langsung, mengikuti perubahan volume produksi, seperti bahan tidak

langsung dan biaya tenaga kerja tidak langsung.

c) Biaya Standard

Biaya standar memperhitungkan tingkat normal penggunaan bahan dan perlengkapan,

tenaga kerja, efisiensi dan utilisasi kapasitas. Biaya standar di-review secara reguler dan,

jika diperlukan, direvisi sesuai dengan kondisi terakhir

d) Metode eceran

Metode eceran seringkali digunakan dalam industri eceran untuk menilai persediaan dalam
jumlah besar item yang berubah dengan cepat, dan memiliki marjin yang sama saat tidak

praktis untuk menggunakan metode penetapan biaya lainnya

e) Biaya-biaya Lain

Biaya-biaya lain hanya dibebankan sebagai biaya persediaan sepanjang biaya tersebut

timbul agar persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini. Misalnya, dalam keadaan

tertentu diperkenankan untuk memasukkan overhead nonproduksi atau biaya perancangan

produk untuk pelanggan tertentu sebagai biaya persediaan.

2.7 Pengendalian dan Pengungkapan

Menurut standard akuntansi keuangan IAS 2, dalam hal penyajian persediaan pada

laporan keuangan perlu diungkapkan beberapa hal berikut ini :

a) kebijakan akuntansi yang digunakan dalam pengukuran persediaan, termasuk rumus

biaya yang digunakan;

b) total jumlah tercatat persediaan dan jumlah nilai tercatat menurut klasifikasi yang

sesuai bagi entitas

c) jumlah tercatat persediaan yang dicatat dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk

menjual;

d) jumlah persediaan yang diakui sebagai beban selama periode berjalan;

e) jumlah setiap penurunan nilai yang diakui sebagai pengurang jumlah persediaan yang

diakui sebagai beban dalam periode berjalan sebagaimana dijelaskan pada paragraf 32;

f) jumlah dari setiap pemulihan dari setiap penurunan nilai yang diakui sebagai pengurang

jumlah persediaan yang diakui sebagai beban dalam periode berjalan sebagaimana

dijelaskan pada paragraf 32;


g) kondisi atau peristiwa penyebab terjadinya pemulihan nilai persediaan yang diturunkan

sebagaimana dijelaskan pada paragraf 32; dan

h) nilai tercatat persediaan yang diperuntukkan sebagai jaminan kewajiban.

Informasi tentang jumlah tercatat yang disajikan dalam berbagai klasifikasi persediaan

dan tingkat perubahannya masing-masing berguna bagi pemakai laporan keuangan. Klasifikasi

persediaan yang biasa digunakan adalah barang dagangan, perlengkapan produksi, bahan,

barang dalam penyelesaian, dan barang jadi. Persediaan dalam pemberi jasa biasanya disebut

pekerjaan dalam penyelesaian.

Biaya persediaan yang diakui sebagai beban selama periode, seringkali disebut sebagai

beban pokok penjualan, meliputi biaya-biaya yang sebelumnya diperhitungkan dalam

pengukuran persediaan yang saat ini telah dijual, overhead produksi yang tidak teralokasi, dan

jumlah biaya produksi persediaan yang tidak normal. Kondisi tertentu dari entitas juga

memungkinkan untuk memasukkan biaya lainnya, seperti biaya distribusi.

Beberapa entitas mengadopsi suatu format laporan laba rugi yang mengakibatkan

jumlah yang diungkapkan adalah selain biaya persediaan yang diakui sebagai beban selama

periode yang bersangkutan. Dalam format ini, entitas menyajikan analisa beban menggunakan

klasifikasi berdasarkan sifat dari beban. Dalam kasus ini, entitas mengungkapkan biaya yang

diakui sebagai beban untuk bahan baku dan bahan habis pakai, biaya tenaga kerja, dan biaya

lainnya bersama-sama dengan jumlah perubahan neto persediaan pada periode tersebut

Anda mungkin juga menyukai