Anda di halaman 1dari 52

Kekhalifahan Abbasiyah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kekhalifahan Abbasiyah


7501258

Wilayah kekuasan terluas Bani Abbasiyah ,sek 850.

Ibukota Bagdad, Kairo

Bahasa Arab(resmi), Aram,Armenia, Berber, Georgia,Yunani, Yahudi, Persia


Tengah, Turkik

Agama Islam

Pemerintahan Monarki

Sejarah

- Didirikan 750

- Dibubarkan 1258

Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: , al-khilfah al-abbsyyah) atauBani Abbasiyah (Arab:


, al-abbsyyn) adalah kekhalifahan kedua Islamyang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak).
Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan
menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah
merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah
dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib(566-
652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan
memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup
setelah naiknya bangsaTurki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka
bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran,
kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering
disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan
diri,Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan
serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan
sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.

Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di timur
laut Tikrit, Iraq sekarang.

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Pendahuluan

2 Menuju puncak keemasan

3 Pengaruh Mamluk

4 Pengaruh Bani Buwaih

5 Pengaruh Bani Seljuk

6 Kemunduran

o 6.1 Masa Disintegrasi (1000-1250 M)

o 6.2 Persaingan antar Bangsa

6.2.1 Yang berbangsa Persia:

6.2.2 Yang berbangsa Turki:

6.2.3 Yang berbangsa Kurdi:

6.2.4 Yang berbangsa Arab:

6.2.5 Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:

o 6.3 Kemerosotan Ekonomi

o 6.4 Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.

o 6.5 Ancaman dari Luar


o 6.6 Perang Salib

o 6.7 Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya Baghdad

7 Kronologi Kekhalifahan Bani Abbasiyyah

8 Silsilah para khalifah

9 Kekhalifahan Abbasiyah di Kairo

10 Referensi

11 Sumber Lain

12 Lihat pula

Pendahuluan[sunting | sunting sumber]

Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan
pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Selanjutnya pada masa pemerintahan KhalifahMarwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya
pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik
sebagai khalifah.

Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali
kepemimpinan gayaIslam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah.
Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya
orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan
pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.

Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam. Pada masa
pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun
kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinastiFatimiyyah mengaku dari keturunan anak
perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul
kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia,
dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina,
sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai,
dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh
pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol,
kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali
pada tahun 1031.

Menuju puncak keemasan[sunting | sunting sumber]

Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari
khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola
pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial,
dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d.
656 H (1258 M).

Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Daulah Abbas menjadi lima periode:

1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.

2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.

3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di
bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).

5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi
kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis,
para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi
lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan
Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya
digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama
dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang
mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya
adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesirdibunuh
karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan
kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi
pesaing baginya.

Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan
menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia,Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat
pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur
melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga
eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid
bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan
kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjukMuhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa
dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekadar untuk
mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas
melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.

Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari
pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah
merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke
utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia
berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti
tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut
Kaspia, Turki di bagian lainOxus, dan India.

Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata:


Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)

Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan
mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa'
al-Rasyiduun. Di samping itu, berbeda dari daulatBani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar
takhta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar takhta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.

Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan
al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-
Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-
Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).

Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi
dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit
antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.

Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-
809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk
keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada
pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan
tak tertandingi.

Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada
masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-
buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli
(wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya
yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan
tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk
dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-
orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit
profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian,
dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani
Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan
intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik
antarbangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.

Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.

1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari
pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam.
Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat
kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan
pemerintahan dinasti ini.

2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-
kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.

3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum
ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas
sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan,
misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri
dari dua tingkat:

1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-
dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti
tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.

2. Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah
menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada
umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid
atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di
istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.

Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya
perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi. Perkembangan
lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini
sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku
sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling
tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:

1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-
bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna.
Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping
itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra.
Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan
pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.

2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-
Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya
dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-
Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan
kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan
kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan
saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam
bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi
tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode
rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat.
Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa
tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan
ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi.
Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.

Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu
Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan
yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya
telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan
pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat
di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M)
banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu
ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855
M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan
para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka
lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-
Arab. Di samping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para
mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi,
karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.

Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun
ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung
pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru
mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan
pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran
Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-
835M).Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M)
yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-
Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra.
Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh
tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di
bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-
Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal
di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-
Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles.
Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan
berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosofberhasil menemukan sistem peredaran darah
pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran
paling besar dalam sejarah.

Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal
sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut
teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia,
terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah
menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal
nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang
menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang
sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-
Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.

Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak
menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn
Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd
yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat,
sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam
mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini
adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia,
dan Hindustan.

Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim.
Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan
karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa.
Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa.
Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika,
dan astronomi seperti Euclid dan ClaudiusPtolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa
tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa
klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring
dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan
kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode
pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran.Wallahul
Mustaan.

Pengaruh Mamluk[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mamluk

Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara budak yang
disebut Mamluk pada abad ke-9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini didominasi oleh
bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berberdari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah
suatu inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.

Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah. karena berbagai
kondisi yang ada di umatmuslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan
tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal denganBani Mamalik berhasil berkuasa, yang pada mulanya
mengambil inisiatif merebut kekuasaan kerajaan Ayyubiyyah yang pada masa itu merupakan kepanjangan
tangan dari khilafah Bani Abbas, hal ini disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas
dalam memimpin kerajaan. Bani Mamalik ini mendirikan kesultanan sendiri di Mesir dan memindahkan ibu kota
dari Baghdad ke Cairosetelah berbagai serangan dari tentara tartar dan kehancuran Baghdad sendiri setelah
serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Walaupun berkuasa Bani Mamalik tetap menyatakan diri
berada di bawah kekuasaan (simbolik) kekhalifahan, dimana khalifah Abbasiyyah tetap sebagai kepala negara.

Pengaruh Bani Buwaih[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Buwayhiyah

Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat
pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap
sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat
didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang
merdeka. Di antara faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam
sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.

Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan
tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah
tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah
usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi
karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam
bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan
mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan
menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-
orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah
pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.

Pengaruh Bani Seljuk[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kesultanan Seljuk Raya

Setelah jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro (Seljuk Agung), posisi
dan kedudukan khalifah Abbasiyah sedikit lebih baik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama
dikembalikan bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan untuk membendung faham Syi'ah dan
mengembangkan manhaj Sunni yang dianut oleh mereka.

Kemunduran[sunting | sunting sumber]

Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah
memerdekakan diri, adalah:

1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit
dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah.

2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.

3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar.
Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Masa Disintegrasi (1000-1250 M)[sunting | sunting sumber]
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada
persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas,
dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil
memperoleh kemerdekaan penuh.

Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi
berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani
Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya
sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaanIslam. Hal ini tidak seluruhnya
benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui
diSpanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat
nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu
berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khilafah ditandai
dengan pembayaran pajak.

Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-
provinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya adalah:

1. Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,

2. Penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik
dan ekspansi.

Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada
persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas.
Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:

1. Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan
penuh, seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko.

2. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat,
seperti daulah Aghlabiyah diTunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.

Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko, provinsi-provinsi itu pada mulanya tetap
patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi
pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan
diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di
antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.

Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad
kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki
kekuatan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan militer
Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah
mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem
perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan
selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama
pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u
arabiyah (kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan
keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran
keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam
kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut,
bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.

Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa
keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik.
Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah
dalam memimpin roda pemerintahan.

Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode
kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu,
walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak
adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad
dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa
inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa
perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam
sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.

Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua.
Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah
terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak
sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur
roda pemerintahan. Di samping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah
sebagai berikut:

Persaingan antar Bangsa[sunting | sunting sumber]


Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar
belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-
sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.
Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-
orang Arab.

1. Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan
warga kelas satu.
2. Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian,
khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja
dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh
mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam).

Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang
berbeda, seperti Maroko,Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit.
Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam
tersebut dengan kuat. Akibatnya, di samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain
yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.

Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah
menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara.
Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem
perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka
yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat
berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan
sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang
kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil,
seorang khalifah yang lemah, naik takhta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani
Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut
oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada
periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu.

Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa
khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:

Yang berbangsa Persia:[sunting | sunting sumber]

1. Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).

2. Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).

3. Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).

4. Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).

5. Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).


Yang berbangsa Turki:[sunting | sunting sumber]

1. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).


2. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).

3. Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).

4. Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:

a. Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn
Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-
522H/1037-1127 M). Dan Sulthan Alib Arselan Rahimahullahmemenangkan Perang Salib ke I atas
kaisar Romanus IV dan berhasil menawannya.

b. Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).

c. Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).

d. Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).

e. Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia), (470-700 H/1077-1299 M).
Yang berbangsa Kurdi:[sunting | sunting sumber]

1. al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).

2. Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).

3. al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin


al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.
Yang berbangsa Arab:[sunting | sunting sumber]

1. Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).

2. Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).

3. Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).

4. 'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).

5. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).

6. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).

7. Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).

8. Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).


Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:[sunting | sunting sumber]

1. Umayyah di Spanyol.

2. Fatimiyah di Mesir.

Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa,
terutama antara Arab, Persia dan Turki. Di samping latar belakang kebangsaan, dinasti-
dinasti itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatar
belakang Syi'ahmaupun Sunni.
Kemerosotan Ekonomi[sunting | sunting sumber]
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehinggaBaitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh
antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.

Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun


sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu
disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan
yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-
dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan
pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan
pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat
melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara
morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik
dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.

Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme


kesukuan.[sunting | sunting sumber]
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita
orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya
gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para
khalifah. Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkanAl-Mahdi merasa perlu
mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq
berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran,
sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak.
Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik
ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan
dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal
sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah.
Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan
penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn
Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya,al-Muntashir (861-862 M.), kembali
memperkenankan orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah
berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus
tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesiradalah dua dinasti
Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.

Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik


antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran
dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh
golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun,
khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai
mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M),
aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali naik
daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang rasional dipandang
oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual padahal
para salaf telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai
dengan yang dibawa oleh Rasulullah.

Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti
Seljuk yang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan
secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan
berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama
paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak
menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam konon sampai
sekarang.

Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:

Agama Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam seperti juga


agama Isa alaihis salaam, terkeping-keping oleh perpecahan dan
perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak
yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang
mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan
permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal
yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas


manusia... telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam...Pendapat
bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab
binasanya jiwa-jiwa berharga

Ancaman dari Luar[sunting | sunting sumber]


Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur.

1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan


menelan banyak korban.

2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah


disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang
setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib
itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di
wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen
Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib
dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat
dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima
tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh
orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi
dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-
kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-
pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.
Perang Salib[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Salib

Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada
umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali
keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta
menghambat pengaruh dan invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen.
Sebagaimana sebelumhnya tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun 464 H
(1071 M), yang hanya berkekuatan 20.000[1] 30.000 [2] prajurit, dalam peristiwa ini
berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000[2] 70.000[3], terdiri dari
tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia, peristiwa ini dikenal
denganperistiwa Manzikert.

Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib,


namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di
wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi
lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah
belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah
di Baghdad.

Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya


Baghdad[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Ilkhanat

Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba
di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas
di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung
"topan" tentara Hulagu Khan.

Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil
kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah
menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak
perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim, putera khalifah. Dengan demikian,
Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali
kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk".

Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan
membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan
kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para
panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri
dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di
luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua,
termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.

Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad.


Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang
dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan
memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan
gerakan ke Syria dan Mesir.

Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja
mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal
dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat
kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu
pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin
Hulaghu Khan tersebut.
Kronologi Kekhalifahan Bani Abbasiyyah[sunting | sunting
sumber]

750 - Abu al-Abbas al-Saffah menjadi Khalifah pertama Bani Abbasiyah.

752 - Bermulanya Kekhalifahan Bani Abbasiyah.

755 - Pemberontakan Abdullah bin Ali. Pembunuhan Abu Muslim.

756 - Abd ar-Rahman I mendirikan kerajaan Bani Umayyah di Spanyol.

763 - Pembangunan kota Bagdad. Kekalahan tentara Abbasiyyah di Spanyol.

786 - Harun ar-Rasyid menjadi Khalifah.

792 - Serangan ke utara Perancis.

800 - Kaidah keilmuan mulai terbentuk. Aljabar diciptakan oleh Al-Khawarizmi.

805 - Kampanye melawan Byzantium. Merebut Pulau Rhodes dan Siprus.

809 - wafatnya Harun ar-Rasyid. al-Amin dilantik menjadi khalifah.

814 - Perang saudara antara al-Amin dan al-Ma'mun. al-Amin terbunuh dan al-
Ma'mun menjadi khalifah.

1000 - Masjid Besar Cordoba dibangun.

1005 - Multan dan Ghur ditawan.

1055 - Baghdad dikuasai oleh tentara Turki Seljuk. Pemerintahan Abbasiyah-Seljuk


dimulai sampai sekitar tahun 1258 ketika tentara Mongol menghancurkan Baghdad.

1071 - Peristiwa Manzikert. Sulthan Alp Arselan beserta pasukannya yang hanya
berjumlah 15.000 tentara berhasil mengalahkan gabungan tentara salib yang
dipimpim oleh Kaisar Romanus IV yang berjumlah 200.000 tentara.

1072 - Sulthan Alp Arselan berhasil menguasai Asia Tengah (Anatolia). dan
meneruskan kepungannya terhadap kerajaanByzantium.

1085 - Tentara Kristen menawan Toledo, Spanyol.

1091 - Bangsa Norman merebut Sisilia, pemerintahan Muslim di sana berakhir.

1095 - Perang Salib pertama dimulai.

1099 - Tentara Salib merebut Baitulmuqaddis. Mereka membunuh semua


penduduknya.

1144 - Nur al-Din merebut Edessa dari tentara Salib. Perang Salib Kedua dimulai.

1187 - Salahuddin Al-Ayubbi merebut Baitulmuqaddis dari tentara Salib. Perang


Salib Ketiga dimulai.

1194 - Tentara Muslim merebut Delhi, India.

1236 - Tentara Salib merebut Cordoba, Spanyol.


1258 - Tentara Mongol menyerang dan memusnahkan Baghdad. Ribuan penduduk
terbunuh. Kejatuhan Baghdad. Tamatnya pemerintahan Kerajaan Bani Abbasiyyah
di Baghdad.
Silsilah para khalifah[sunting | sunting sumber]

Di bawah ini merupakan silsilah para khalifah dari Bani Abbasiyah, mulai dari Abbas bin
Abdul-Muththalib sampai khalifah terakhir dari Bani Abbasiyah yang berkuasa
di Baghdad.

ABBAS
pendiri Bani Abbasiyah

Ibnu Abbas

Ali

Muhammad

1. AS-SAFFAH 2. AL-MANSUR
Ibrahim Musa
(k. 750-754) (k. 754-775

3. AL-MAHDI
(k. 775-785)

5. AR-RASYID 4. AL-HADI Ibrahim al-Mubarak


(k. 786-809) (k. 785-786

6. AL-AMIN 7. AL-MA'MUN 8. AL-MU'TASIM


al-Qasim al-Mu'taman
(k. 809-813) (k. 813-833) (k. 833-842

10. AL-
9. AL-WATSIQ 12. AL-MUSTA'IN
MUTAWAKKIL
(k. 842-847) (k. 862-866)
(k. 847-861)

14. AL-
13. AL-MU'TAZZ 11. AL-MUNTASHIR 15. AL-MU'TAMID
MUHTADI al-Muwaffaq
(k. 866-869) (k. 861-862) (k. 870-892)
(k. 869-870)

16. AL-
MU'TADHID
(k. 892-902)

17. AL-
18. AL-MUQTADIR 19. AL-QAHIR
MUKTAFI
(k. 908-935) (k. 932-934)
(k. 902-908)

22. AL-
20. AR-RADHI 21. AL-MUTTAQI 23. AL-MUTHI'
MUSTAKFI Ishaq
(k. 934-940) (k. 940-944) (k. 946-974)
(k. 944-946)

25. AL-QADIR 24. ATH-THA'I


(k. 991-1031) (k. 974-991)

26. AL-QA'IM
(k. 1031-1075)

27. AL-MUQTADI
(k. 1075-1094)

28. AL-MUSTAZHIR
(k. 1094-1118)

29. AL-
30. AL-MUQTAFI
MUSTARSYID
(k.1136-1160)
(k. 1118-1135)

32. AL-
30. AR-RASYID
MUSTANJID
(k. 1135-1136)
(k.1160-1170)

33. AL-
MUSTADHI'
(k.1170-1180)

34. AN-NASHIR
(k.1180-1225)

35. AZH-ZHAHIR
(k.1225-1226)

1. AL-MUSTANSHIR 36. AL-


II MUSTANSHIR
Berkuasa diKairo (k. 1226-1242)
37. AL-
MUSTA'SHIM
(k. 1242-1258)

[4]
Catatan:

k. merupakan tahun kekuasaan

Angka, merupakan nomor urut seseorang menjadi khalifah.

Nama dengan huruf kapital merupakan khalifah yang berkuasa.

Kekhalifahan Abbasiyah di Kairo[sunting | sunting sumber]


Al-Mustanshir II 1261 Al-Mutawakkil I (kembali berkua
Al-Hakim 1262-1302 Al-Musta'in 1406-1414
Al-Mustakfi I 1302-1340 Al-Mu'tadid II 1414-1441
Al-Wathiq I 1340-1341 Al-Mustakfi II 1441-1451
Al-Hakim II 1341-1352 Al-Qa'im 1451-1455
Al-Mu'tadid I 1352-1362 Al-Mustanjid 1455-1479
Al-Mutawakkil I 1362-1383 Al-Mutawakkil II 1479-1497
Al-Wathiq II 1383-1386 Al-Mustamsik 1497-1508
Al-Mu'tasim 1386-1389 Al-Mutawakkil III 1508-1517
Referensi[sunting | sunting sumber]

1. ^ Markham, Paul. "Battle of Manzikert: Military Disaster or Political Failure?"

2. ^ a b Haldon 2001, hlm. 172

3. ^ Norwich 1991, p. 238.

4. ^ AS-SUYUTHI, Imam; TARIKH KHULAFA`, Sejarah Para Penguasa

Islam. Jakarta: AL-KAUTSAR, 2006. ISBN 979-592-175-4


Sumber Lain[sunting | sunting sumber]

1. Sejarah Bani Abbasiyyah, Muhammad Syu'ub, Terbitan PT.Bulan Bintang.

2. Tarikh Islamy, Ibn Khaldun.

3. Al-Bidaayah Wan Nihaayah, Ibn Katsir.


4. Ibnu Khaldun, Bapak Ekonomi
& Sosilogi
5. JANUARY 10, 2010 BY MOI
6. 2

7. Dunia mendaulatnya sebagai `Bapak Ekonomi & Sosiologi Islam. Sebagai


salah seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh. Sederet
pemikir Barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee,
Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikirannya.
8. Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan
sekaligus sarjana. Dialah Ibnu Khaldun, penulis buku yang melegenda, Al-Muqaddimah. Ilmuwan besar
yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H itu memiliki nama lengkapWaliuddin
Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Nenek moyangnya berasal dari
Hadramaut (Yaman) yang bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 M, setelah semenanjung itu
ditaklukan Islam.
9. Setelah Spanyol direbut penguasa Kristen, keluarga besar Ibnu Khaldun hijrah ke Maroko dan kemudian
menetap di Tunisia. Di kota itu, keluarga Ibnu Khaldun dihormati pihak istana dan tinggal di lahan milik
dinasti Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibnu Khaldun sudah hidup dalam komunitas kelas atas.
10. Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam berada diambang degradasi dan disintegrasi. Kala itu,
Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad
dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum
kelahiran Ibnu Khaldun.
11. Guru pertama Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal Alquran dan
menguasai tajwid. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama
Andalusia yang hijrah ke Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dalam semua bidang studi.
12. Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat menginjak usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang wabah
penyakit pes yang menelan ribuan korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai Black Death itu, para
ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko).
13. Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Ibn Khaldun dalam pandangan Penulis Barat dan Timur
memaparkan, di usia yang masih muda, Ibnu Khaldun sudah menguasi berbagai ilmu Islam klasik seperti
filsafat, tasawuf, dan metafisika. Selain menguasai ilmu politik, sejarah, ekonomi serta geografi, di bidang
hukum, ia juga menganut madzhab Maliki.
14. Sejak muda, Ibnu Khaldun sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai intrik politik. Pada masa itu, Afrika
Utara dan Andalusia sedang diguncang peperangan. Dinasti-dinasti kecil saling bersaing memperebutkan
kekuasaan, di saat umat Islam terusir dari Spanyol. Tak heran, bila dia sudah terbiasa mengamati fenomena
persaingan keras, saling menjatuhkan, saling menghancurkan.
15. Di usianya yang ke-21, Ibnu Khaldun sudah diangkat menjadi sekretarisSultan Al-Fadl dari Dinasti
Hafs yang berkedudukan di Tunisia. Dua tahun kemudian, dia berhenti karena penguasa yang didukungnya
itu kalah dalam sebuah pertempuran. Ia lalu hijrah ke Baskarah, sebuah kota di Maghrib Tengah (Aljazair).
16. Ia berupaya untuk bertemu dengan Sultan Abu Anam, penguasa Bani Marin dari Fez, Maroko, yang tengah
berada di Maghrib Tengah. Lobinya berhasil. Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis ilmu
pengetahuan dan sekretaris sultan setahun kemudian. Ia menduduki jabatan itu selama dua kali dan sempat
pula dipenjara. Ibnu Khaldun kemudian meninggalkan negeri itu setelah Wazir Umar bin Abdillah murka.
17. Ia kemudian terdampar di Granada pada 764 H. Sultan Bani Ahmarmenyambut kedatangannya dan
mempercayainya sebagai duta negar diCastilla, sebuah kerajaan Kristen yang berpusat di Seville.
Tugasnya dijalankan dengan baik dan sukses. Namun tak lama kemudian, hubungannya dengan Sultan
kemudian retak.
18. Dua tahun berselang, jabatan strategis kembali didudukinya. Penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah
Muhammad mengangkatnya menjadi perdana menteri sekaligus, khatib dan guru di Bijayah. Setahun
kemudian, Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, gubernur Qasanthinah (sebuah kota di
Aljazair). Ibnu Khaldun lalu hijrah ke Baskarah.
19. Ia kemudian berkirim surat kepada Abu Hammu, sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad yang isinya akan
memberi dukungan. Tawaran itu disambut hangat Sultan dan kemudian memberinya jabatan penting.
Iming-iming jabatan itu ditolak Ibnu Khaldun, karena akan melanjutkan studinya secara otodidak. Ia
bersedia berkampanye untuk mendukung Abu Hammu. Sikap politiknya berubah, tatkala Abu Hammu
diusir Sultan Abdul Aziz.
20. Ibnu Khaldun kemudian berpihak kepada Abdul Aziz dan tinggal di Baskarah. Tak lama kemudian,
Tilmisan kembali direbut Abu Hammu. Ia lalu menyelamatkan diri ke Fez, Maroko pada 774. Saat Fez
jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, ia kembali pergi ke Granada buat yang kedua kalinya. Namun,
penguasa Granada tak menerima kehadirannya.
21. Ia balik lagi ke Tilmisan. Meski telah dikhianati, namun Abu Hammu menerima kehadiran Ibnu Khaldun.
Sejak saat itulah, Ibnu Khaldun memutuskan untuk tak berpolitik praktis lagi. Ibnu Khaldun lalu menyepi
di Qalat Ibnu Salamah dan menetap di tempat itu sampai tahun 780 H. Dalam masa menyepinya itulah,
Ibnu Khaldun mengarang sejumlah kitab yang monumental.
22. Di awali dengan menulis kitab Al-Muqaddimah yang mengupas masalah-masalah sosial manusia, Ibnu
Khaldun juga menulis kitab Al-`Ibar (Sejarah Umum). Pada 780 H, Ibnu Khaldun sempat kembali ke
Tunisia. Di tanah kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab AlIbar.
23. Empat tahun kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan politik di Maghrib.
Di Kairo, Ibnu Khaldun disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia
didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak lama kemudian, dia
diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan.
24. Ibnu Khaldun sempat mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan, lantaran keluarganya mengalami
kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya lagi menjadi dosen di sejumlah madrasah. Setelah menunaikan
ibadah haji, ia kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada 803 H, dia bersama
pasukan Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus untuk mengusir Timur Lenk, penguasa Mogul.
25. Berkat diplomasinya yang luar biasa, Ibnu Khaldun malah bisa bertemu Timur Lenk yang dikenal sebagai
penakluk yang disegani. Dia banyak berdiskusi dengan Timur. Ibnu Khaldun, akhirnya kembali ke Kairo
dan kembali ditunjuk menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada 25 Ramadhan 808 H di Kairo.
Meski dia telah berpulang enam abad yang lalu, pemikiran dan karya-karyanya masih tetap dikaji dan
digunakan hingga saat ini.

26.
27. AL MUQADDIMAH, SEBUAH KARYA ABADI
28. Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya menyepi di Qalat Ibn
Salamah istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itu,
Ibnu Khaldun berhasil merampungkan sebuah karya monumental yang hingga kini masih tetap dibahas dan
diperbincangkan.
29. `Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya
orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik, ungkap Ibnu
Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Tarif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa
Sharqan.
30. Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J
Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
31. Menurut Ahmad Syafii Maarif, salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering dikutip
adalah: `Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan
sosial. Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah
menjadi tiga bagian utama .
32. Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim.
Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur. Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar
bagi pemahaman sejarah.
Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad
ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul Al-`Ibar, kenyataannya Al-
Muqaddimah lebih termasyhur.
33. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu.
Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-
pengujian yang kritis.
34. `Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-
dongeng, papar Syafii Maarif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik
pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Almuqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibnu
Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.
35. Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun
adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi
dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara
lain; `Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang.
36. Pemikiran Ibnu Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum
Aguste Comte pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme Barat metode
penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu Khaldun (1332-1406).
37. Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis,
dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat
ini. `Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial, papar
Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon.
38. KONSEP EKONOMI IBNU KHALDUN
39. Ibnu Khaldun juga banyak memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu ekonomi. Tak heran, bila dia juga
dijuluki sebagai `Bapak Ekonomi.
Gagasan dan pemikiran tentang ekonomi Ibnu Khaldun telah mengilhami sejumlah ekonom terkemuka.
Empat abad setelah Ibnu Khaldun berpulang, pemikirannya tentang ekonomi muncul kembali
melalui Adam Smith serta David Ricardo.
40. Setelah itu, Karl Marx serta John Maynard Keynes juga banyak menyerap pemikiran Ibnu Khaldun.
Salah satu pengaruh pemikiran Ibnu Khaldun yang diadopsi Karl Marx antara lain, mengenai dialektika
yang saling mempengaruhi antara pemikiran dan dasar material. Selain itu, mengenai beberapa cara
spesifik variabel ekonomi, khususnya dengan peran tenaga kerja dalam hubungan sosial.
41. Ibnu Khaldun begitu menghormati tenaga kerja sebagai salah satu dari dasar utama masyarakat dan diskusi
tentang profit sebagai nilai yang didapat dari pekerjaan manusia. Pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun
menggabungkan hablum minallah dan hablum minnanas.
42. Ia mendefinisikan ekonomi secara sosial sebagai aktivitas ekonomi yang dipengaruhi oleh interaksi sosial
dan sebaliknya mereka mempengaruhinya. Prespektif tersebut digunakan Ibn Khaldun dalam menganalisis
nilai pekerja manusia, dalam arti mata pencaharian dan stratifikasi ekonomi sosial. Ibnu Khaldun juga
berpendapat bahwa organisasi sosial adalah sesuatu yang diperlukan bagi usaha manusia dan
keinginannya untuk hidup dan bertahan hidup dengan bantuan makanan. Untuk mencapai tujuan ini
kemampuan individu saja tidaklah cukup.
43. Dalam Al-Muqqadimah, Ibnu Khaldun juga memberikan keutamaan, bukan eksklusif, posisi faktor
ekonomi dalam sejarah. Aktivitas intelektual dari manusia, seni dan ilmu pengetahuan, sikap dan perilaku
moralnya, gaya hidup dan selera, standar kehidupan dan adat didefinisikan Ibnu Khaldun melalui derajat
atau tingkatan produksi.
44. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam:
Sebuah Kapita Selekta
45. Filed under: dosen 1 Comment
46. February 11, 2010
47. Oleh:
Krishna Adityangga, SEI, MSI.
Dosen STEI HAMFARA, Direktur Sharia Hommy
adityangga@yahoo.com, 081578079032
48. Pengantar
Perjalanan sejarah mengarahkan kepada kita untuk mengetahui bahwa ekonomi
Islam telah mengalami kehilangan pengakuan selama masa kemunduran hingga
masa modernis. Hingga tiba saatnya terjadi upaya pengakuan kembali, setelah
adanya pernyataan para kaum cendekiawan bahwa konsep rumusan ekonomi
Islam yang telah digagas para ulama masa keemasan ketika Islam mengalami
zaman kemunduran telah dilakukan tindak plagiatisme terhadap banyak segi
keilmuannya. Menurut Chapra , meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan
umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum
muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan
penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan
pengetahuan manusia.
49. Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan
perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada
umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Buku-buku teks ekonomi
Barat hampir tidak pernah menyebutkan peranan kaum muslimin ini. Menurut
Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena
tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun
Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang
layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.
50. Para sejarahwan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi
bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif.
Sebagai contoh, sejarahwan sekaligus ekonom terkemuka, Joseph Schumpeter,
sama sekali mengabaikan peranan kaum muslimin. Ia memulai penulisan
sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan
jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas
Aquinas (1225-1274 M).
ISLAM
> ABAD VII M ABAD VII-ABAD XV M ABAD XV-1924M 1924-sekarang
Rasul 571 M
Rasul diutus 610 M
Rasul Hijroh 622 M
Rasul Wafat 632 M
Islam mengatur segala aspek kehidupan Masa Keemasan Islam (700-1400M)
Contoh para tokoh:
1. Al Khawarizm; ahli matemtika& astronomi
2. Al Farghoni; astronomi
3. Jabbir Ibn Hayan;kimia
4. Al Battani; Matematika Kemunduran Runtuhnya Khilafah Islamiyah
BARAT
ABAD V-XV M ABAD XV-XVI M ABAD XVI sekarang
Abad pertengahan/ kegelapan
Gereja dan raja mengatur segala aspek kehidupan Modernisasi Sekularisme
(pemisahan agama dan kehidupan dunia)
51. Tabel 1
Perjalan Sejarah Islam-Barat Dari Abad Ke Abad
Fase Pemikiran Ekonomi Islam
Adalah hal yang sangat sulit untuk dipahami mengapa para ilmuwan Barat tidak
menyadari bahwa sejarah pengetahuan merupakan suatu proses yang
berkesinambungan, yang dibangun di atas fondasi yang diletakkan para
ilmuwan generasi sebelumnya. Jika proses evolusi ini disadari dengan
sepenuhnya, menurut Chapra, Schumpeter mungkin tidak mengasumsikan
adanya kesenjangan yang besar selama 500 tahun, tetapi mencoba menemukan
fondasi di atas mana para ilmuwan Skolastik dan Barat mendirikan bangunan
intelektual mereka.
52. Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal fikiran dengan tetap
berpegang teguh pada Alquran dan hadis Nabi, konsep dan teori ekonomi
dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendekiawan Muslim
terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga
berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.
53. Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa
Rasulullah saw dan al-Khulafa al-Rasyidun merupakan contoh empiris yang
dijadikan pijakan bagi para cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori
ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada
pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan, dan kebebasan, yang
tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi
Islam sejak masa awal.
54. Berkenaan dengan hal tersebut, Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi
Islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan
dan fase stagnasi:
55. Tabel 2.
Pengelompokan Fase Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam
56. Fase pertama merupakan fase abad pertama hingga kelima Hijriyah (abad ke-11
Masehi). Pemikiran ekonomi dirintis oleh para fuqaha, sufi dan filosof. Pemikiran
fuqaha terfokus pada apa manfaat (maslahah) sesuatu yang dianjurkan dan apa
kerugian (mafsadah) bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama, bersifat
normatif berwawasan positif dan cenderung mikroekonomi. Kontribusi para sufi
terletak pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang saling
menguntungkan, tidak rakus dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan
Allah swt dan secara tetap menolak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang
terlalu tinggi, bersifat normatif berwawasan positif dan cenderung
mikroekonomi. Fokus pembahasan filosof tertuju pada konsep kebahagiaan
(saadah) dalam arti luas, pendekatannya global dan rasional serta
metodologinya syarat dengan analisis ekonomi positif dan cenderung
makroekonomi. Beberapa tokoh fase pertama diantaranya :
57. NO. NAMA TOKOH FOKUS PEMIKIRAN
1. Zaid bin Ali
(w. 80 H/738 M) Keabsahan jual beli secara tangguh dengan harga yang lebih
tinggi daripada jual beli secara tunai.
2. Abu Hanifah
(w. 150 H/767 M) - Jual beli salam
- Pembelaan hak-hak ekonomi kaum lemah
3. Abu Yusuf
(w. 182 H/ 798 M) - Keuangan publik
- Pembentukan dan pengendalian harga
4. Asy-Syaibani
(w. 189 H/804 M) - Konsep kerja
- Perilaku konsumen dan produsen
- Spesialisai dan distribusi pekerjaan.
5. Ibn Miskawaih
(w. 421 H/1030 M) Konsep Uang
58. Fase kedua dimulai pada abad ke-11 sampai dengan ke-15 Masehi. Fase kedua
dikenal sebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual
yang sangat kaya.
Realitas politik ditandai oleh dua hal, yakni:
a. Disintegrasi pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan terbaginya kerajaan ke
dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan
daripada kehendak rakyat
b. Merebaknya korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi
moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan
yang semakin lebar antara si kaya dengan si miskin
Pada fase ini wilayah kekuasaan Islam yang terbentang dari Barat sampai Timur
melahirkan berbagai pusat kegiatan intelektual. Beberapa tokoh fase pertama
diantaranya:
NO. NAMA TOKOH FOKUS PEMIKIRAN
1. Al-Ghazali
(w. 505 H/1111 M) - Perilaku konsumen
- Evolusi pasar
- Konsep Uang
- Pajak
2. Ibnu Taimiyah
(w. 728 H/1328 M) - Konsep Harga
- Hisbah
- Keuangan negara
- Konsep Uang
3. Ibnu Khaldun
(w. 808 H/1406 M) - Keuangan publik
- Konsep harga
- Konsep uang
- Teori produksi
4. Al-Maqrizi
(w. 845 H/1441 M) - Konsep Uang
- Teori inflasi
59. Fase ketiga dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi.. Fase kedua dikenal
sebagai fase tertutupnya pintu ijtihad (independent judgment). Para fukaha
hanya menuliskan kembali catatan-catatan para pendahulunya dan
mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing-masing
mazhab. Gerakan pembaharu baru timbul pada dua abad terakhir yang menyeru
untuk kembali kepada Alquran dan al-Hadis sebagai pedoman hidup. Tokoh-
tokoh fase ketiga ini diantaranya:
1. shah waliallah (w.1176H/1762M)
2. Jamaluddin al Afhgani (w.1315H/1897M)
3. Muhammad Abduh (w.1320H/1905M)
4. Muhammad Iqbal (w.1357 H/1938M)
60. Kemunculan Pemikiran dan Mazhab Ekonomi Islam Modern
Pada era modernis, ekonomi Islam mulai dirajut kembali untuk dimunculkan
sebagai sebuah konsep ilmu teoritis maupun aplikatif. Pembagian mazhab alur
pemikiran Ekonomi Islam muncul dalam tiga mazhab. Mazhab Baqir As Sadr,
Mainstream, dan alternatif Kritis. Hal yang melatarbelakangi pembagian ketiga
mazhab ini adalah adanya perbedaan pendapat akan adanya konsep apa dan
bagaimana ekonomi Islam. Akan tetapi, belum secara pasti dapat dibuktikan
bahwa aplikasi konsep dan teori ekonomi Islam di masyarakat saat ini adalah
sudah cukup dinaungi oleh ketiga mazhab tersebut diatas.
61. Dalam bahasan ekonomi Islam modern, Sudarsono (2008) membagi fase
perkembangan ekonomi Islam modernis dalam dua bagian . Fase pertama
(sebelum 1970-an) kebanyakan sarjana ekonomi Islam lebih condong pada
pewacanaan pendekatan normatif dan teknis kelembagaan. Sedangkan, fase
kedua (1980) sarjana muslim lebih memfokuskan diri pada usaha merumuskan
aspek filosofis dan metodologi ekonomi Islam.
Upaya pemunculan kembali ekonomi Islam ditengah masyarakat dunia dengan
tawaran konseptual keilmuan dan sistem ekonomi yang seolah nampak baru
mulai diupayakan secara masif semenjak abad modernis, khususnya seperti
halnya yang telah terjadi di Indonesia, ekonomi Islam telah terasa masif
semenjak munculnya kegiatan perbankan syariah di Indonesia yang dipelopori
oleh Bank Muamalat Indonesia.
62. Dalam perkembangannya ekonom-ekonom muslim tidak menghadapi masalah
perbedaan pendapat yang berarti. Namun ketika mereka diminta untuk
menjelaskan apa dan bagaimanakah konsep ekonomi Islam itu, mulai muncullah
perbedaqaan pendapat. Sampai saat ini, pemikiran ekonom-ekonom muslim
kontemporer dapat kita klasifikasikan setidaknya menjadi tiga mazhab, yakni:
Mazhab Baqir as-Sadr, Baqr As Shadr
Mazhab mainstream; Umar Chapra, As Siddiqi, etc.
Mazhab Alternatif-kritis
Masing-masing dari ketiga mazhab diatas telah memiliki ciri menonjol yang bisa
saling berkonfrontasi, sepertihalnya mainstream yang terlihat paling moderat
karena sikapnya terhadap teori ekonomi konvensional yang tidak semata-mata
dihapus, melainkan dipilah berdasarkan prinsip metodologi teori ekonomi Islam
jika didapatkan sesuatu yang tidak salah dan dibolehkan atau dibenarkan maka
hal itu dilaksanakan, dan apabila ada yang salah maka hal itu dihilangkan.
Begitu juga sikapnya terhadap permasalahan pangkal dari sebuah teori ekonomi
berupa scrachity (kelangkaan) yang titik tolaknya pada dasarnya sama,
melainkan lebih pada pola distribusinya. Hal ini berbeda sama sekali dengan As
Shadr, yang sampai tegasnya mazhab ini berpendapat bahwa jika, ingin
dinamakan dengan ekonomi Islam, seharusnya tidak perlu pakai istilah ekonomi
melainkan dengan istilah yang berubah total yakni iqtishoduna. Permasalahan
ini, dikarenakan mazhab as Sadhr tidak menyetujui jika, permasalahan ekonomi
adalah sama dengan konvensional yakni pada kelangkaan sumber daya. Sebab
menurut mazhab ini, pada dasarnya Allah telah menurunkan secara jelas ayat
yang menegaskan bahwa sumber daya yang ada itu pada dasarnya sudah cukup,
tinggal bagaimana manusia mengolahnya dan mendistribusikannya. Sedangkan
mazhab kritis, lebih pada analisa mendalam mengenai hasil temuan-temuan
sistem ekonomi yang ada termasuk ekonomi Islam untuk dikritisi kembali dan
secara terus menerus.
Diantara ketiga mazhab ini, jika dikaji berdasarkan teori dialektika dan sebuah
kesatuan metodolgi bukanlah tiga teori yang sebenarnya layak untuk
menimbulkan klaim hingga pada akhirnya menimbulkan terjadi konflik
dialektika teori yang meruncing. Akan tetapi, dari ketiga mazhab ekonomi Islam
ini, pada dasarnya memiliki sebuah kesatuan dan mampu untuk saling mengisi
satu sama lain yang didasarkan dari peran teori yang diusung oleh masing-
masing mazhab.
Sepertihalnya kekurangan pada mazhab mainstream yang cenderung mudah
disalah persepsikan sebagai ekonomi minus riba plus zakat dapat untuk
kemudian ditegaskan kembali oleh mazhab As Shadr dan dikoreksi secara terus
menerus oleh alternatif kritis.
Teori pada dasarnya akan mengalami evolusi melalui pelestarian, inovasi, dan
kepunahan, maka terdapat suatu proses evolusi dalam sejarah manusia. Proses
ini ditandai dengan dua kecenderungan, yakni adanya keanekaragaman dan
kemajuan. keanekaragaman mengacu kepada kenyataan bahwa jumlah dan
aneka ragam masyarakat sangat meningkat, dan pola-pola adaptasi manusia
semakin lama semakin berbeda-beda. Sementara kemajuan tidak mengacu
kepada peningkatan kebahagiaan atau moralitas tetapi kepada perkembangan
teknologi dan kepada perubahan organisasi dan ideologi yang terjadi
bersamaan dengan perkembangan teknologi.
63. Geliat Kemunculan Proptotipe Ekonomi Islam Modern, sebagai penutup
Keuangan Islam bukanlah temuan dari gerakan politik ekstrim Islam abad ini,
namun bersumber dari perintah yang ada dalam al Quran dan sunnah Nabi
Muhammad. Keyakinan-keyakinan pokok hukum Islam yang bersumber wahyu
berkenaan dengan urusan perdagangan ini merupakan bagian dari agama yang
sama nilainya dengan pernikahan. Hukum Islam telah mengambil serangkaian
ketentuan yang saling terkait dari kitab suci yang melarang pengambilan bunga
dan praktek spekulasi yang tidak wajar. Pada abad pertengahan, kedua praktek
tersebut dianggap sebagai perbuatan dosa sekaligus melanggar hukum, dan
benar-benar dihindari. Praktek keuangan dalam bentuk Islam yang berumur
ratusan tahun tersebut sebagia besar mengalami kemunduran selama kurun
waktu kekaisaran kolonial Eropa, keitka hampir seluruh dunia Islam berada di
bawah kekuasaan Barat. Di bawah pengaruh negara-negara Eropa, sebagain
besar negara mengadopsi sistem perbankan dan model perusahaan yang
terilhami Barat serta meninggalkan praktek-praktek perdagangan Islam. Dengan
demikian, periode modern keuangan Islam dimulai ketika negara-negara Islam
mendapatkan kemerdekaan setelah Perang Dunia Kedua.
64. Lembaga Keuangan Islam paling awal tercatat adalah Mit Ghamr Project.
Lembaga ini didirikan di Mesir pada 1963 dan segerak diikuti oleh Nasser Social
Bank pada 1971. Tonggak sejarah berikutnya adalah pendirian, berdasarkan
Organisasi Konferensi Islam (OKI), The Multinational IDB PADA 1973. Selama
70-an banyak lembaga keuangan Islam didirikan di sejumlah negara-sebagian
merupakan lembaga pemerintahan, sebagain merupakan lembaga yang berbagi
kepemilikan antara pemerintah dengan swasta, dan sebagain lagi adalah
lembaga swasta.
65. Gelombang jatidiri Islam yang lebih kuat telah memberikan dorongan positif
yang lain bagi penerapn prinsip-prinsip Islam dalam bisnis dan keuangan.
Karena jenuh dengan politik dan kebudayaan Barat, dan diilhami oleh kesalehan
relijius, sejumlah Muslim taat yang terus bertambah jumlahnya berusaha untuk
menyesuaikan kehidupa mereka di dunia modern dengan ajaran agamanya.
Berakhirnya kolonialisme dan munculnya trend keberagamaan telah merangsang
kebangkitan kembali keuangan Islam.
66. Referensi:
Abul Hasan, M. Sadeq. (t.t). Reading in ISLAMIC ECONOMIC THOUGT, (edisi), IIT
(ttp: tnp).
Adityangga, Krishna. 2006. Membumikan Ekonomi Islam. Jogjakarta: Pilar
Media.
Baqr As Shadr, 2008, Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishoduna, Ziyad, Jakarta.
Chapra, Umar, 2004, The Future of Economic: An islamic Perspective, STEI
SEBI, Jakarta.
Helius Syamsudin, Metodologi Sejarah, ..
Karim, Adiwarman. 2003. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Kedua. Jakarta:
IIIT Indonesia.
Masudul Alam Choudhury, t.t. Contributions to Islamic Economic Theory, (Edisi).
New York: St. Martins Press.
Mohammad Umar, Chapra, 2001, What is Islamic Economics?, IDB-IRTI
Zohreh Ahnghari. 1991. The Origin And Evolution Of Islamic Economic Thought,
USA: UMI (University Microfilm International).

Makalah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam peradaban ummat Islam, Bani Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah peradaban
ummat Islam yang terjadi. Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang
memperoleh masa kejayaan yang gemilang. Pada masa ini banyak kesuksesan yang diperoleh
Bani Abbasiyah, baik itu dibidang Ekonomi, Politik, dan Ilmu pengetahuan. Hal inilah yang
perlu untuk kita ketahui sebagai acuan semangat bagi generasi ummat Islam bahwa peradaban
ummat Islam itu pernah memperoleh masa keemasan yang melampaui kesuksesan negara-
negara Eropa. Dengan kita mengetahui bahwa dahulu peradaban ummat Islam itu diakui oleh
seluruh dunia, maka akan memotifasi sekaligus menjadi ilmu pengetahuan kita mengenai
sejarah peradaban ummat Islam sehingga kita akan mencoba untuk mengulangi masa keemasan
itu kembali nantinya oleh generasi ummat Islam saat ini.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah berdirinya Bani Abbasiyah ?

2. Seperti apa masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?

3. Apa saja yang diperoleh pada masa kejayaan Bani Abbasiyah ?


4. Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah ?

5. Bagaimana akhir masa kekuasaan Bani Abbasiyah ?

BAB II

ISI

Peradaban Islam pada masa Dinasti Bani Abbasiyah

A. Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas Ash-shaffah, dan
sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Bani Abbas melewati rentang waktu yang sangat
panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258 M. Berdirinya pemerintahan ini
dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim
(alawiyun ) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak berkuasa
adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.

Kelahiran bani Abbasiyah erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang di lancarkan oleh
golongan syi'ah terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Golongan Syi'ah selama pemerintahan
Bani Umayyah merasa tertekan dan tersingkir karena kebijakan-kebijakan yang di ambil
pemerintah. Hal ini bergejolak sejak pembunuhan terhadap Husein Bin Ali dan pengikutnya di
Karbela.
Gerakan oposisi terhadap Bani Umayyah dikalangan orang syi'ah dipimpin oleh Muhammad Bin
Ali, ia telah di bai'ah oleh orang-orang syi'ah sebagai imam. Tujuan utama dari perjuangan
Muhammad Bin Ali untuk merebut kekuasaan dan jabatan khalifah dari tangan Bani Umayyah,
karena menurut keyakinan orang syi'ah keturunan Bani Umayyah tidak berhak menjadi imam
atau khalifah, yang berhak adalah keturunan dari Ali Bin Abi Thalib, sedangkan bani umayyah
bukan berasal dari keturunan Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya golongan ini memakai nama
Bani Hasyim, belum menonjolkan nama Syi'ah atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk
mencari dukungnan masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung dalam gerakan ini adalah
keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul Muthalib. Keturunan ini bekerjasama untuk
menghancurkan Bani Umayyah.

Strategi yang digunakan untuk menggulingkan Bani Umayyah ada dua tahap :

Gerakan secara rahasia

Propoganda Abbasiyah dilaksakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia,
akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan
Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin

Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti umayyah dan dipenjarakan di
Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas untuk

menggantikan kedudukannya ketika ia telah mengetahui bahwa ia akan di eksekusi dan


memerintahkan untuk pindah ke kuffah.

Tahap terang-terangan dan terbuka secara umum

Tahap ini dimulai setelah terungkap surat rahasia Ibrahim bin Muhammad yang ditujukan kepada
Abu Musa Al-Khurasani Agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab di Khurasan.
Setelah khalifah Marwan bin Muhammad mengetahi isi surat rahasia tersebut ia menangkap
Ibrahim bin Muhammad dan membunuhnya. Setelah itu pimpinan gerakan oposisi dipegang oleh
Abul Abbas Abdullah bin Muhammad as-saffah, saudara Ibrahim bin Muhammad.

Abul Abbas sangat beruntung, karena pada masanya pemerintahan Marwan bin Muhammad
telah mulai lemah dan sebaliknya gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan
bertambah luas pengaruhnya. Keadaan ini tambah mendorong semangat Abul Abbas
untuk menggulingkan khalifah Marwan bin Muhammad dari jabatannya. Untuk maksud tersebut
Abul Abbas mengutus pamannya Abdullah bin Ali untuk menumpas pasukan Marwan bin
Muhammad. Pertempuran terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh khalifah Marwan bin
Muhammad dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi sungai Al-Zab Al-Shagirdi, Iran. Marwan
bin Muhammad terdesak dan melarikan diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan
terakhir di Mesir. Abdullah bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai ke
Mesir dan akhirnya terjadi pertempuran disana. Marwan bin Muhammad pun akhirnya tewas
karena pasukannya sudah sangat lemah yaitu pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H/750 M. Pada
tahun 132 H/ 750 M Abul Abbas Abdullah bin Muhammad diangkat dan di bai'ah menjadi
khalifah , dalam pidato pembiatan tersebut , ia antara lain mengatakan "saya berharap semoga
pemerintahan kami ( Bani Abbas ) akan mendatangkan kebaikan dan kedamaian pada kalian.
Wahai penduduk koufah, bukan intimidasi, kezaliman, malapetaka dan sebagainya. Keberhasilan
kami beserta ahlul Bait adalah berkat pertolongan Allah SWT. Hai penduduk koufah, kalian
adalah tumpuan kasih sayang kami, kalian tidak pernah berubah dalam pandangan kami,
walaupun penguasa yang zalim ( Bani Umayyah ) telah menekan dan menganiaya kalian. Kalian
telah dipertemukan oleh Allah dengan Bani Abbas, maka jadilah kalian orang-orang yang
berbahagia dan yang paling kami muliakan..... ketahuilah, hai penduduk koufah, saya adalah al-
saffah". Setelah Abul Abbas resmi menjadi khalifah ia tidak lagi mengambil Damaskus sebagai
pusat pemerintahan tetapi ia memilih Koufah sebagai pusat pemerintahannya, dengan beberapa
pertimbangan sebagai berikut:

1) Para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus

2) Kota Koufah jauh dari Persia, walaupun orang-orang Persia merupakan tulang punggung
Bani Abbas dalam menggulingkan Bani Umayyah

3) Kota Damaskus terlalu dekat dengan wilayah kerajaan Bizantium yang merupakan ancaman
bagi pemerintahannnya, akan tetapi pada masa pemerintahan khalifah Al-Mansur (754-775 M )
dibangun kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang baru.

B. Masa kekuasaan Bani Abbasiyah

Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para sejarawan
biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :

Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai
meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.

Masa Abbasiayah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai
berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.

Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai
masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M

Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai
jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656
H/1258 M.

1) Masa Abbasiyah I ( 132 H/750 M-232 H/847 M )

Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan berlangsung selama satu abad hingga
meninggalnya khalifah Al-Watsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan Bani
Abbasiyah. Hal ini disebabkan karena keberhasilannya memperluas wilayah kekuasaan.

Wilayah kekuasaannya membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia
hingga ke sungai Nil. Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi dalam
penyebaran Islam mereka adalah khalifah Abul Abbas ash-shaffah(750-754 M), Al-Mansyur (
754-775 M), Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-
Amin (809 M), Al-Ma'mun (813-833 M), Ibrahim (817 M), Al-Mu'tasim (833-842 M), dan Al-
Wasiq (842-847 M).

2) Masa Abbasiyah II ( 232 H/847 M-334 H/946 M)

Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq dan berakhir ketika keluarga
Buwaihiyah bangkit memerintah. Sepeninggal Al-Wasiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi
khalifah, masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.

Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang berasal dari Turki berhasil
mengontrol pemerintahan. Ada empat khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol
pemerintahan dari pada pemerintahan yang efektif, keempat pemerintahan itu adalah Al-
Muntasir (861-862 M ), Al-Musta'in (862-866 M), Al-Mu'taz (866-896 M), dan Al-Muhtadi
(869-870 M). Masa pemerintahan ini dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar
keseluruh wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan diri dari wilayah Bani Abbas
dan menjadi wilayah merdeka seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.

3) Masa Abbasiyah III (334 H/946 M -447 H/1055 M)

Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah, yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah
Al-Muktafi (946 M) sampai dengan khalifah Al-Qaim (1075 M). Kekuasaaan Buwaihiyah
sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu Persia timur, Transoxania, dan Afganistan yang
semula dibawah kekuasaan Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi. Kemudian sejak
tahun 869 M, dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir.

Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa Turki. Untuk keselamatan, khalifah
meminta bantuan kepada Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa karena
mereka masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat dunia islam dan menjadi kediaman
Khalifah
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah telah begitu lemah hingga tidak
memiliki kekuasaan diluar kota Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah menjadi
dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di Khurasan (874-965 M), dinasti
Hamdaniayah di Suriah (924-1003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti
Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan dinasti Gaznawi di Afganistan (962-1187 M)

4) Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M -656 H/1258 M)

Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan mengambil alih pemerintahan
Abbasiyah. Masa seljuk berakhir pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol
menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh dunia Islam terutama bagian timur.

C. Masa Kejayaan Peradaban Bani Abbasiyah

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan, secara politis
para khalifah memang orang-orang yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus
Agama. Disisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi perkembangan Filsafat dan ilmu pengetahan dalam Islam.

Peradaban dan kebudayyan Islam berkembang dan tumbuh mencapai kejayaan pada masa Bani
Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan pada masa ini Abbasiyah lebih menekankan pada
perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Disinilah letak
perbedaan pokok dinasti Abbasiyah dengan dinasti Umayyah.

Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Al- Rasyid (786-809 M)
dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan
makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas
wilayahnya mulai dari Afrika Utara sampai ke India.
Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang
sangat pesat, hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa
administrasi yang sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa pengetahuan,
selain itu juga ada dua hal yang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan yaitu :

a. Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain yang telah lebih dulu
mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbas, bangsa-bangsa
non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna.
Bangsa-bagssa itu memberi saham tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Pengaruh Persia sangat kuat dalam bidang ilmu pengetahuan. Disamping itu, bangsa Persia
banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dari
bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani terlihat dari
terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama Filsafat.

b. Gerakan penerjemahan berlangsung selama tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-
Mansyur hingga Hasrun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemah adalah buku-buku
dibidang ilmu Astronomi dan Mantiq. Fase kedua terjadi pada masa khalifah Al-Makmun hingga
tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemah adalah bidang filsafat, dan kedokteran. Dan
pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Selanjutnya bidang-biadang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

Di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809 H) adalah zaman yang gemilang bagi Islam.
Zaman ini kota baghdad mencapai puncak kemegahannya yang belum pernah dicapai
sebelumnya, Harun sangat cinta pada sastrawan, ulama, Filosof yang datang dari segala penjuru
ke Baghdad. Salah satu pendukung utama tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan tersebut adalah
didirikannya pabrik kertas di Baghdad. Orang Islam pada awalnya membawa kertas dari
Tiongkok, usaha pembuatan kertas erat kaitannya dengan perkembangan Universitas Islam.
Pabrik kertas ini memicu pesatnya penyalinan dan pembuatan naskah-naskah, dimasa itu seluruh
buku ditulis tangan. Ilmu cetak muncul pada tahun 1450 M ditemukan oleh gubernur di Jerman.
Dikota-kota besar islam muncul toko-toko buku yang sekaligus juga berfungsi sebagai sarana
pendidikan dan pengajaran non-formal.

Popularitas Bani Abbasiyah ini juga ditandai dengan kekayaan yang dimanfaatkan oleh khalifah
Al-Rasyid untuk keperluan sosial seperti Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan faramasi
didirikan, dan pada masannya telah ada sekitar 800 orang dokter, selain itu pemandian-
pemandian umum didirikan. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada zaman inilah negara Islam
menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

Adapun ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbasiayah adalah sebagai berikut
:

Ilmu Kedokteran

Pada mulanya Ilmu Kedokteran telah ada pada saat Bani Umayyah, ini terbukti dengan adannya
sekolah tinggi kedokteran Yundisapur dan Harran.. Dinasti Abbasiyah telah banyak melahirkan
dokter terkenal diantaranya sebagai berikut

Hunain Ibnu Ishaq (804-874 M) terkenal segai dokter yang ahli dibidang mata dan
penerjema buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.

Ar-Razi (809-1036 M) terkenal sebagai dokter yang ahli dibidang penyakit cacar dan
campak. Ia adalah kepala dokter rumah sakit di Baghdad. Buku karangannya dbidang ilmu
kedokteran adalah Al-Ahwi.

Ibnu Sina (980-1036 M), yang karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun Fi At-Tibb dan
dijadikan sebagai buku pedoman bagi Universitas di Eropa dan negara-negara Islam.
Ibnu Rusyd (520-595 M) terkenal sebagai dokter perintis dibidang penelitian pembuluh
darah dan penyakit cacar. Dll.

Ilmu tafsir

Pada masa ini muncul dua alirang yaitu ilmu tafsir Al-matsur dan Tafsir Bir ra'yi, aliran yang
pertama lebih menekan pada ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist dan pendapat tokoh-tokoh sahabat.
Sedangkan aliran tafsir yang kedua lebih menekan pada logika ( rasio ) dan Nash. Diantara
ulama tafsir yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H) dengan
karangannya jami' al-bayan fi tafsir Al-Qur'an, Al-Baidhawi dengan karangannya Ma'alim al-
tanzil, al-Zakhsyari dengan karyanyaal-kassyaf, Ar-Razi(865-925 M) dengan karangannya al-
Tafsir al-Kabir, dan lain-lainnya.

Ilmu Hadist

Pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz (717-720 M) dari Bani Umayyah sudah
mulai usaha untuk mengumpulkan dan membukukan Hadist. Akan tetapi perkembangan ilmu
hadist yang paling menonjol pada amasa Bani Abbasiyah, sebab pada masa inilah muncul ulama-
ulama hadist yang belum ada tandingannya sampai sekarang. Diantara yang terkenal ialah Imam
Bukhari (W.256 H) ia telah mampu mangumpulkan sebanyak 7257 Hadist dan setelah
diteliti terdapat 4000 hadist Shahih dari yang telah berhasil dikumpulkan oleh imam Bukhari
yang disusun dalam kitabnya Shahih Bukhari. Imam Muslim ( W. 251 H) terkenal sebagai
seorang ulama hadist dengan bukunya Shahih Muslim, buku karangan imam Bukhari dan
Muslim diatas lebih berpengaruh bagi umat Islam dari pada buku-buku hadist lainnya,
seperti Sunan Abu Daud oleh Abu Daud ( W.257 H) sunan Al- Turmizi oleh imam Al-
Turmizi(W.287 H) Sunan Al-Nasa'i oleh Al-Nasa'i ( W.303 H) dan sunan Ibnu-Majah oleh
Imam Ibnu Majah ( W.275 H) keenam buku hadist tersebut lebih dikenal dengan sebutan Al-
Kutub Al-Sittah.

Ilmu Kalam
Bukanlah hal yang berlebihan jika dikatakan pada masa Bani Abbasaiyah merupakan dasar-dasar
Ilmu Fiqh. Ilmu ini disusun oleh ulama-ualama yang terkenal pada masa itu dan masih besar
pengaruhnya sampai sekarang, Diakalangan Ulama Ahlu al-Sunnah wal jamaah. Muncul Imam
Abu Hanifah(810-150 H) yang lebih cendrung memakai akal (rasio) dan Ijtihad, Imam Malik Bin
Anas (93-179 H) yang lebih cendrung memakai hadist dan menjauhi sampai batas tertentu
pemakaian Rasio, Imam Syafi'i (150-204 H) yang berusaha mengkompromikan aliran Ahl al-
Ra'yi, dengan Ahl al-Hadist dalam Fiqh, dan Imam Ahmad bin Hambal(164-241 H) yang
merupakan tokoh aliran Fiqh yang keras, ketat dan kurang luwes dari aliran-aliaran fiqh yang
lainnya. Buku karang mereka masih dapat kita temukan sampai sekarang yaitu al-muawatta, al-
umm, al-risalah, dan sebagainya.

Ilmu Tashawuf

Dalam bidang ilmu Tashawuf juga muncul ulama-ulama yang terkenal pada masa pemerintahn
Daulah Bani Abbasiyah. Imam Al-Ghazali sebagai seorang ulama sufi pada masa Daulah Bani
Abbasiyah meninggalkan karyanya yang masih beredar sampai sekarang yaitu buku Ihya' Al-
Din, yang terdiri dari lima jilid. Al-Hallaj (858-922 M) menulis buku tentang Tashawuf yang
berjudul Al-Thawasshin, Al-Thusi menulis buku al-lam'u fi al-Tashawuf, Al-Qusyairi (W.
465 H) dengan bukunya al-risalat al-Qusyairiyat fi il'm al-Tashawuf.

Ilmu Matematika

Terjemahan dari bahasa asing ke bahasa Arab menghasilkan karya dibidang matematika.
Diantara ahli matematika islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, adalah seorang pengarang
kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung) dan penemu angka Nol. Tokoh lainnya adalah Abu
Al-Wafa Muhammad Bin Muhammad Bin Ismail Bin Al-Abbas terkenal sebagi ahli ilmu
matematika.

Ilmu Farmasi

Diantara ahli farmasi pada masa Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal
adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), jami' al-mufradat al-adawiyah (berisi tentang
obat-obatan dan makanan bergizi).

Dan masih banyak lagi ilmu yang berkembang pada masa Bani Abbasiyah berkuasa, hal ini
terlihat bahwa saat Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M) memerintah ia mendirikan Universitas
Mustansiriah di Baghdad yang dapat dibanggakan karena telah mampu melampaui Universitas di
Eropa. Mereke mempunyai Fakultas-fakultas yang sempurna, mahaguru digaji berdasarkan
banyak mahasiswa yang terdapat dalam Fakultasnya, setiap Mahasiswa dan Mahaguru
mendapatkan satu dinar emas setiap bulannya, dan rata-rata setiap Fakultas tidak ada yang
kurang dari 3000 Mahasiswa didalamnya. Setiap Mahasiswa boleh makan ke dapur umum
Mahasiswa dengan Cuma-Cuma, sebuah perpustakaan besar terdapat dalam Universitas itu.
Setiap mahasiswa yang berkeinginan menyalin buku-buku atau ingin menyusun buku baru, ada
sebuah kantor yang mengurus persediaan kertas, pena dan tinta untuk keperluan itu. Disamping
Universitas dibangun sebuah rumah sakit untuk mahasiswa diperiksa kesehatannya, hal inilah
yang menyebabakan berbagai Universitas di Eropa mengambil contoh pada Universitas
Mustansiriah itu.

D. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyah

Menurut W. Montgomery, bahwa beberapa faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah adalah
:

1. Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya antara penguasa dan pelaksana
pemerintah sudah sangat rendah.

2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat


tinggi.

3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat
besar. Pada saat iu kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak
ke Baghdad.
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M. A diantara hal yang menyebabkan kemunduran Daulah
Bani Abbasiayah Adalah :

1. Persaingan antar bangsa

Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia,
persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib pada saat pemerintahan Bani Umayyah,
keduanya sama-sama tertindas. Setelah dinasti Abbasiyah berdiri Bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antar bangsa menjadi pemicu untuk
saling berkuasa. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk berkusa telah dirasakan sejak awal
pemerintahan Bani Abbas.

2. Kemerosotan Ekonomi

Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemerosotan Ekonomi bersamaan dengan Kemunduran


dibidang Politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan pemerintahan
yang kaya, dan keuangan yang masuk lebih besar dari pada yang keluar, sehingga Baitul Mal
penuh dengan Harta. Setelah khalifah mengalami periode kemunduran , pendapatan negara
menurun, dengan demikian terjadi kemerosotan ekonomi.

3. Konflik Keagamaan

Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan masalah kebangsaan. Pada periode Abbasiyah ,
konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga terjadi perpecahan. Berbagai Aliran
keagaam seperti Mu'tazillah, Syi'ah, Ahlus sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan
pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan
yang ada.

4. Perang Salib

Perang salib merupakan sebab dari eksternal ummat Islam. Pernag salib yang terjadi beberapa
gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian Bani Abbasiyah terpecah belah
untuk menghadapi tentara salib sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.

5. Serangan Bangsa Mongol

Serangan tentara mongol ke wilayah Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi
serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuasaan
Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah pada kekuatan Mongol.

E. Masa Akhir Kekuasaan Bani Abbasiyah

Akhir dari kekuasaan Bani Abbasiyah adalah saat Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol
yang dipimpin oleh Hulagu Khan (656 H/1258 M). Ia adalah saudara dari Kubilay Khan yang
berkuasa di Cina sampai ke Asia Tenggara, dan saudaranya Mongke Khan yang menugaskannya
untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina kepangkuannya. Baghdad
dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Pada mulanya Hulagu Khan mengirim suatu tawaran
kepada Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir Al-Mu'tashim billah untuk bekerja sama
menghancurkan gerakan Assassin. Tawaran tersebut tidak dipenuhi oleh khalifah. Oleh karena
itu timbullah kemarahan dari pihak Hulagu Khan. Pada bulan september 1257 M, Khulagu Khan
melakukan penjarahan terhadap daerah Khurasan, dan mengadakan penyerangan didaerah itu.
Khulagu Khan memberikan ultimatum kepada khalifah untuk menyerah, namun khalifah tidak
mau menyerah dan pada tanggal 17 Januari 1258 M tentara Mongol melakukan penyerangan.

Pada waktu penghancuran kota Baghdad, khalifah dan keluarganya dibunuh disuatu daerah dekat
Baghdad sehingga berakhirlah Bani Abbasiyah. Penaklukan itu hanya membutuhkan beberapa
hari saja, tentara Mongol tidak hanya menghancurkan kota Baghdad tetapi mereka juga
menghancurkan peradaban ummat Islam yang berupa buku-buku yang terkumpul di Baitul
Hikmah hasil karya ummat Islam yang tak ternilai harganya. Buku-buku itu dibakar dan dibuang
ke sunagi Tigris sehingga berubah warna air sungai tersebut, dari yang jernih menjadi hitam
kelam karena lunturan air tinta dari buku-buku tersebut.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang merupakan masa keemasan
dan kejayaan dari peradaban ummat Islam yang pernah ada. Pada masa Bani Abbasiyah
kekayaan negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat sangat tinggi. Pusat peradaban Islam
mengalami kemajuan yang pesat sehingga pada masa ini banyak muncul para tokoh ilmuan dari
kalangan Ummat Islam, baik itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum seperti ilmu kedokteran
yang telah mencetak dokter seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya, sehingga pada masa
ini telah ada lebih dari 800 dokter yang berada di kota Baghdad. Dalam bidang matematika
melahirkan ilmuan bernama Al-Khawarizmi yang merupakan penemu angka Nol. Demikian juga
dari biang ilmu agama, adanya perkembangan ilmu tafsir, ilmu kalam, filsafat Islam, dan ilmu
tashauf, yang juga melairkan tokoh-tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa
pemerintahan khalifah Harun Al-rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin, karena pada masa
inilah puncak dari kejayaan Bani Abbasiyah, pembangunan dilakukan dimana-mana, baik
pembangunan rumah sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum.

Namun diakhir pemerintahan Khalifah Bani Abbasiyah, Islam mengalami keterpurukan yang
sangat parah. Hal ini disebabkan dari serangan tentara Mongol yang telah mengahncurkan pusat
peradaban Ummat Islam di Baghdad dan mengahancurkan Pusat ilmu pengetahuan yaitu Baitul
Hikmah, yang berisi buku-buku karangan pakar ilmu ummat Islam yang tak ternilai harganya.
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Amin, Samsul Munir,M. A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009

Prof. Dr. H. Harun, Maidir dan Drs. Firdaus, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam jilid II, Padang :
IAIN-IB Press, 2001

Dra. Hj. Ismail, Chadijah, sejarah pendidikan Islam, Padang : IAIN-IB Press, 1999

Wahid, N. Abbas dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, Solo : PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2009

Dr. Yatim,Badri, M. A, Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1993

1. Drs. Samsul Munir Amin, M.A, sejarah peradaban islam ( Jakarta : Amzah, 2009) hal
138

2. Prof. Dr. H. Maidir Harun dan Drs. Firdaus, M. Ag, sejarah peradaban islam jilid II (
Padang : IAIN-IB Press, 2001 ) hal 1

3. Prof. Dr. H. Maidir Harun dan Drs. Firdaus, op.cit, hal 4-8

4. Drs. Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hal 141


5. N. Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayyan Islam (Solo : PT. Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2009)

6. Drs. Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hal 145-146

7. Dra. Hj. Chadijah Ismail,sejarah pendidikan Islam ( Padang : IAIN-IB Press,1999) hal 41

8. Dr. Badri Yatim, op.cit, hal 52-53

9. Prof. Dr. H. Maidir Harun dan Drs. Firdaus, op.cit, hal 25

10. N. Abbas Wahid dan Suratno, op.cit, hal 50

11. Prof. Dr. H. Maidir Harun dan Drs. Firdaus, op.cit, hal 20-24

12. Drs. Samsul Munir Amin, op.cit, hal 150-151

13. Dra. Hj. Chadijah Ismail, op.cit, hal 45-46

14. Drs. Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hal 155

15. Dr. Badri Yatim, M. A, op.cit, hal 80-85

16. Prof. Dr. H. Maidir Harun dan Drs. Firdaus, M. Ag, op.cit, hal 59- 60

17. Dr. Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hal 156-157

Anda mungkin juga menyukai