Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonephritis (GN)
ditandai dengan edema anasarka, proteinuria massif > 3,5 g/hari, hipoalbuminemia < 3,5g/dl,
hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis
tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi
pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga
berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap komplikasi yang terjadi pada SN.
Hipoalbuminemia, hyperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen,
hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormone tiroid sering
dijumpai pada SN.

Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang


berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder
yang disebabkan oleh penyakit tertentu, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan,
penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-
familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas masif.
Umumnya pada SN, fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang
menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan
menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang
menjadi kronik. Jika tidak terdiagnosa atau tidak diterapi, sindrom ini dapat berakibat kerusakan
pada glomeruli hingga menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus hingga berakhir gagal
ginjal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kompleks gejala klinik yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
- edema umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
- Proteinuria, termasuk albuminuria ; sebagai batas biasanya ialah bila kadar protein
plasma total kurang dari 6 gram per 100 ml dan fraksi albumin kurang dari 3 gram per
100 ml.
- Hiperlipidemi, khususnya hiperchlolesterolemi ; sebagai batas biasanya ialah bila kadar
cholesterol plasma total lebih dari 300 miligram per 100 ml.
- Lipiduria ; dapat berupa lemak bebas, sel epitel bulat yang mengandung lemak (ovel
fat bodies), torak lemak.

Epidemiologi
Sindrom nefrotik yang tidak meneyrtai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik
primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu
penyakit yang diturunkan secara resesif autosom. Kelompok responsif steroid sebagai besar
terdiri dari sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di jakarta di antara
364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM. Kelompok tidak responsif steroid
atau resisten steroid dengan kelainan glomerulus lain. Disebut sindrom nefrotik sekunder
apabila penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena, obat-obatan, alergen dan toksin,
dll. Sindrom nefrotik dapat timbul dan bersifat sementara pada tiap penyakit glomerulus
dengan keluarnya protein dalam jumlah yang cukup banyak dan cukup lama.

Etiologi
Sebab yang pasti belum diketahui ; akhir-akhir ini dianggap sebagai satu penyakit
autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :
I. Glomerulonefritis Primer
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk. Membangi dalam 4 golongan
yaitu :
1. Kelainan minimal
Dengan mikrospok biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan mikroskop
elektron terdapat IgG atau imunoglobulin bet-1C pada dinding kapiler glomerulus.
Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.
2. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi set. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis kurang baik.
3. Glomerulonefritis proliferatif
a. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus.
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan
Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik.
Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah
pengobatan yang lama.
b. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai (kapsular) dan
viseral.
c. Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai (simpai
(kapsular) dan viseral.
d. Glomerulonefritis membranopliferatif.
Proliferasi sel mesangial dan penempaan fibrin yang menyerupai membrana
basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta 1A rendah.
e. Lain-lain.
Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas.
f. Glomeruloksklerosis fokal segmental.
Pada glomerulosklerosis fokal segmental ( GSFS ), faktor plasma yang diproduksi
oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap naiknya
permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, -
actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan glomerulosklerosis fokal
segmental ( GSFS ). Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi
NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi
glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait
protein.
II. Glomerulonefritis sekunder akibat :
Infeksi : HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, lepra, tuberkulosis, skistosoma,malaria
III. Keganasan
Adenomakarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgkin, mieloma multipel, dan
karsinoma ginjal
IV. Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, MCTD (mixed connective tissue
disease)
V. Efek obat dan toksin
NSAID, preparat emas, penisilamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin
VI. Lain-lain
Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronik, refluks
vesikoureter, atau sengatan lebah.
Patofisiologi
Proteinuria
Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis lainnya
dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan berat untuk membedakan
dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi
protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap
proteinuria berat.

Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan
dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin
dan disebut sebagai proteinuria selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan
secara sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan
rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan adanya
proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan
responsif terhadap steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi
maka agak sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan
pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.

Perubahan pada filter kapiler glomerulus


Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada tipe
kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan
semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti
albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga
terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya.
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna
dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif,
seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan hepartinase
mengakibatkan timbulnya albuminaria.
Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki
sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang penting untuk
mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu protein
dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung asam
sialat ditemukan terbanyak kelainan pada model eksperimenal nefrosisis aminonkleosid.
Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid
yang menyebabkan hilangnya proteinuria.

Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan pengeluaran
akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang,
laju sintesis albumin, degradasi ini hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak
dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju sekresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat
kembali normal atau hampri normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein.
Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan
meningkat atau normal.
Jumlah albumin absolut yagn didegradasi masih normal atau di bawah normal,
walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka
katabolisme pool fraksional yagn menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya
katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat
menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yagn normal albumin plasma yang rendah
tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya
katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di
dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam
plasma adalah menurunnya - 1 globulin, (normal atau rendah), dan - 2-globulin, B
globulin dna figrinogen meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya - 2 globulin
disebabkan oleh retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya
laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM
dapat meningkat dan IgG menurun.
Kelainan metabolisme lipid
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan kenaikan ini tampak lebih nyata
pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi tebalik antara konsentrasi albumin
serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada
pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien dengan analbuminemia kongenital
dapat juga timbul hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya
disebabkan oleh penyakti ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas
sangat rendah (VLDL) dan lipoprotien densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-
kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau
meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol
total tetap rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh
sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa
keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan
meningkatnya sintesis albumin dan sekudner terhadap lipoprotein, melalui jalur yang
berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin
yang normal. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya -glikoprotein
asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini
menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya,
karena ofek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus pilivinilpirolidon tanpa
mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL tetap meningkat
walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan LDL tetap meningkat
pada SN relaps frekuensi yang menetap bahkan selama remisi. Lipid dapt juga ditemukan
di dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu merupakan
tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah ester
kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apbila dilihat dengan cahaya
polarisal.
Edema
Keterangan klinik pembentukan edema pada sidnrom nefrotik sudah dianggap jelas dan
secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa mekanisme
hipotesis ini tidak memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik mengenai
pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik
intravaskular yang menyebabkan cairan merembes keruang interstisial. Dengan
meningkatnya permealiblitas kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria
dan hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunya tekanan onkitik koloid plasma
intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding
kapiler dari ruagn intravaskular ke ruang interstial yang menyebabkan terbentuknya edema.
Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik hidorpatik koloid plasma

Volume plasma

Retensi Na renal sekunder

Edema

Terbentuknya edema menurut teori underfilled

Sebagai akibat pergeseran cairan volume plasma total dan volume darah arteri dalam
peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume
plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium
renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan
tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi
sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya
akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik
plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini
jelas memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi terjadi kenaikan kadar renin plasma dan
aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua
pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma
dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep
teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan
edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstiasial. Teori overfilled
ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan
aldosteron menurun seukunder terhadap hipervolemia.
Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primeri
Albuminuria

Hipoalbuminemia
Volume plasma

Edema

Terjadinya edema menurut teori overfilled

Melzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik.
Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer denan kadar
renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan
kadar albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologi
kelompok ini sesuai dengan teori tradisional underfilled yaitu retensi natrium dan air
merupakan fenomena sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai
dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan aldosteron
rendah yang meningkat sesudah persediaan natrium habis. kelompok kedua ini dijumpai
pada glomerulonefritis kronik dengan LFG yang relatif lebih rendah dan albumin plasma
lebih tinggi dari kelompok petama. Karakteristik patofisiologi kelompok keduaini sesuai
dengan teori overfilled pada SN dengan retensi air dan natrium yang merupakan fenomena
primer intrarenal.
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin saja
kedua proses underfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu
yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi rangsangan
yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat
mengecilnya volume intravaskular akan merangsang kelarnya renin dan menimbulkan
rangsangan non osmotik untuk keluarnya hormon volume urin yang sedikit dan pekat
dengan sedikit natrium.
Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi umumnya
menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan volume darah
normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya menderita kelainan
BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang
berguna untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak
disamping adanya SNKM. Namun derajat tumpang tindihya terlalu besar, sehingga sukar
untuk membedakan pasien antara kedua kelompok histologis tersebut atas dasar
pemeriksaan renin. Peran peptida natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan
diuresis masih belum pasti.
Manifestasi klinis
Edema
Di masa lalu orangtua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu makan yang
kurang. Mudah terangsang adanya gangguan gastrointestinal dan sering terkena infeksi
berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya dengan beratnya edema, sehingga
dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema.
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema dapat dicegah
pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten dengan komplikasi
yang menggangu merupakan masalah klinik utama bagi mereka yang menjadi non
responden dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi. Edema umumnya
terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orangtua atau anak yang
besar sebelum kedokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini.
Edema dapat menetap atau bertabah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilangkan dan
timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin
atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai
bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Edema berpindah dengan
perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam posisi berdiri. Kadang-kadang pada edema
yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada
keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan
skrotum atau labia, bahkan efusi plerura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas
dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnustrisi sebagai tanda adanya edema
menyeluruh sebelumnya.
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering dialami
pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan
infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema submukosa di mukosa usus.
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis
albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut
yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan
adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak
diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati.
Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan
kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya.
Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang
ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites terjadi
hernia umbilikalis dan prolaps ani.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka pernapasan
sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadigawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian infus albumin dan obat furosemid.
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit berat
umumnya yang merupakan stres nonspesifik .Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi,
penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya.
Klasifikasi histopatologi
Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada SN yang digunakan sesuai dengan
rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan dengan pemeriksaaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan
mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Pada tabel di bawah ini dipakai istilah /
terminologi yang sesuai dengan laporan ISKDC (1970) dan Habib dan Kleinknecht (1971).
Tabel 6.1 Klasifikasi Kelainan Glomerulus pada SN Primer
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus EKSUDATIF
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotlial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe IIi dengan deposit subendotlial transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Morfologi Kelainan Glomerulus Primer


A. Penyakit kelainan minimal (KM)
ISKDC (1978) malaporkan pada penelitiannya diantara 521 pasien SN, 76,4%
menderita KM. Pada penelitian di Jakarta (Wila Eirya, 1992) diantara 364 pasien yang
dibiopsi 44,2% menunjukkan Km.
B.Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Penyakit glomerulus fokal merupakan suatu proses penyakit yang mengenai hanya
beberapa glomerulus, sedang yang lainnya tampak normal. Penyakit glomerular segmental
menyatakan beberapa lobus gloemrulus terkena, sedangkan yang lain masih normal.
Kelainan ini dapat dijumpai pada beberapa kelainan glomerulus atau bahkan pada kelainan
tubulo interstisial. Namun kelainan ini ditemukan tersendiri pada pasien dengan SN.
Apakah kelainan ini merupakan penyakit tersendiri atau suatu progresivitas penyakit KM
belum dapat dipastikan. Kemungkinan ialah bahwa keduanya dapat terjadi keadaan klinis
yang berbeda. Pada glomerulosklerosis fokal segmental ( GSFS ), faktor plasma yang
diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap naiknya
permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, -actinin 4)
dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan glomerulosklerosis fokal segmental ( GSFS ).
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen
WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk
nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.
C.Glomerulunefritis proliferatif mesangial (GNPM)
Secara histologis kelainan ini menunjukkan pembesaran merata dan pertambahan
selularitas didaerah mesangial yang mengandung masing-masing 4 sel. Dibawah
mikroskop cahaya tidak mungkin untuk menetapkan adanya pertambahan selularitas
sebagai akibat proliferasi monosit atau proliferasi sel meangial glomerulus atau keduanya.
Diperlukan pemulasan khusus untuk membedakan hiperselularitas ini yaitu dengan esterase
monospesifik atau enzim lisosomal lainnya yang terdapat didalam monosit.
D.Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
Dikenal 3 subtipe pada kelainan ini yaitu tipe I yang merupakan tipe klasik dan tipe III
yang erat hubungannya, hanya berbeda paada letak deposit imunnya. Sedang tipe II, atau
penyakit deposit padat (denso-deposit disease) walpun klinis hampir serupa, namun
menunjukkan kelainanmorfologis dan imunologis yang sangat berbeda, sehingga suatu
penyakit yang berbeda.
E.Glomerulopati Membranosa (GM)
Kelainan ini untuk pertama kali dilaporkan oleh Bill dalam tahun 1950. Dibedakan 2
jenis bentuk klinik yaitu yang didiopatik dan sekudner. Penyakit GM ditandai dengan
kelainan dinding kapiler glomerulus yang progresif dan kompleks. Berdasarkan ME,
kelainan ini terdiri atas deposit padat electron dan spikes yang tampak menonjol dair
membran basal. Deposit ini homogen, berdekatan dan dipisahkan oleh sikes.
Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada penderit SN tergangung faktor-faktor sebagai berikut :
histopatologi renal, lamanya sakit, umur dan jenis kelamin penderita.
1. Infeksi
Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan tubuh yaitu gama
globulin serum, penurunan konsentrasi IgG, abnormalitas komplemen, penurunan
konsentrasi transferin dan seng, serta pungsi lekosit yang berkurang. Infeksi yang serign
terjadi berupa pertonitis primer, selulitas infeksi saluran kemih, bronkpneumonia dan
infeksi virus.
2. Tromboemboli dan gangguan koagulasi
pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan tromboemboli baik
pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan ini disebabkan oleh faktor-faktor :
perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini penignkatan fakto V.X.VII.
Fibrinogen dan fakto von Willebrand.
perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemai, hiperlipodemia
perubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipid
Peran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Fc. VIII dan
memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosisi besar kostikosteroid
akan menignkatkan AT III dan mencegah agregasi trombost.
Diuretik akan menurunkan voluem plasma sehingga meninggikan angka hematokrit
dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi fibrinogen akan meningkat.
3. Perubahan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein
Pada penderita SN terjadi peningkatan total kolesterol, LDL dan VLDL serta
apolipoprotein di dalam plasma sementara HDL dapt normal atau turun khususnya HDL
Hiperlipidemia ini berlangsung lama dan tidak terkontrol dapat mempercepat proses
aterosklerosis pembuluh darah koroner. Aorta dan arteria renalis. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya penyakti jantung eskemik ataupun trombosis arteri Renalis.
Tidak sepeti pada lemak, penelitian mengenai perubahan metabolisme karbohidrat
belum komprehensif. Namun telah diketahui pada hati yang mensintesis protein lebih
besar akan meningkatkan ptikogenolisis, selain itu didapatkan penignkatan ambang
vespin terhadap insulin dan glukosa. Hal ini dapat terjadi hipoalbuminemia pada
keadaan malnutrisi kronik. Sejumlah protein plasma yang penting pada transport besi,
hormon dan obat-obatan, karena molekulnya kacil, dengan mudah keluar melalui urin,
kehilangan zat-zat tersebut akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
Transferin ion yang menurun menyebabkan anemia
Penurunan seruloplasmin belum dilaporkan akibat klinisnya
Berkurangnya albumin pengikat seng dan besi menyebabkan hipogensia dan
penurunan sel-sel imunitas.
Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi metabolisme kalsium
sehingga terjadi osteomalasia dan hiper paratiroid.
Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay dosis lebih
besar terhadap kortikosteroid.
Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita jatuh dalam
keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi protein diberikan 2-3 5
gram/kg/24 jam untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen. Diet rendha protein,
meski dapat mengurangi proteinuria dalam jangka penek mempunyai risiko
kesimbangan negatif di masa mendatang.

4. Gagal Ginjal Akut (GGA)


Komplikasi ini mekanismenya belum jelas. Namun banyak ditemukan pada penderita
SN dengan lesi minimal dan gromerulosklerosis fokal. diperkirakan akibat hipovelemia
dan penurunan perfusi ke ginjal. akibat dari GG pada penderita SN cukup serius. 18%
meninggal. 20% dapt bertahan tapi tidak ada perbaikan fungsi ginjal dan memerlukan
dialisis.
Penatalaksanaan
Kasus SNP dengan KM pada pemeriksaan histologisnya dapat sembuh dengan
pengobatan prednison dalam waktu sebulan atau dapat meninggal dalam waktu setahun.
Sebenarnya kalau anak sembuh atau apabila penyakitnya berlangsung progresif cepat dan
mengakibatkan kematian tidak merupakan masalah. Namun akan menimbulkan masalah
psikologis apabila manifestasi klinis penyakitnya hilang timbul, kambuh berulang, disertai
gejala edema, asites dan proteinuria. Di samping itu pemberian obat yang lama dapat
menimbulkan efek samping seperti muka rembulan, obesitas, hipertensi, katarak,
osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan.
Efek samping yang paling seirng dijumpai adalah obesitas, habitus, cushingoid, katarak,
hipertensi, osteopororis, gangguan pertumbuhan dan gangguan psiko-emosi. Sebetulnya
semua sistem di dalam tubuh dapat terkena efek samping obat tersebut.
Banyak peneliti yang melaporkan hasil yang dapat menurunkan frekuensi dengan obat
sitostatika, steroid jangka lama dengan dosis rendah, atau pemberian levamisol.
1. Kortikosteroid
Pengobatan baku kortikosteroid menurut ISKDC (1978) adalah prednison atau
prenisolon dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kgBB) setiap hari selama 4 minggu,
dilanjutkan denan 40 mg/m2/hari secara intermiten (3 hari dalam 1 minggu) atau dosis
alternating (selang sehari) selama 4 minggu. Studi kolaboratif Jerman (1990)
melaporkan bahwa dengan memperpanjang cara pemberian sehari seperti yang
dilaporkan ISKDC didapatkan penurunan angka relaps 12 bulan setelah obat dihentikan
36% kasus pada pemberian 12 minggu dibandingkan dengan 81% kasus dengan cara
pemberian baku ISKDC 8 minggu. Bila terjadi kambuh setelah pengobatan dihentikan,
maka pengobatan diulang dengan cara buku ISKDC yaitu dosis penuh tiap hari sampel
terjadi remisi dan dilanjutkan dengan 4 minggu dosis intermiten atau selang sehari.
Menurut Ehrich dkk. dengan memperpanjang pemberian prednison tersebut diharapkan
akan mengurangi terjadinya kambuh sering, tanpa menambah risiko efek samping
steroid.

Gambar pengobatan SN resisten steroid

Keterangan Gambar:
a. Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
b. Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid oral.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
c. Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu
kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
d. Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid puls
(6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

2. Sitostatika
Penggunaan obat sitostatika pada kasus SNP-KS dan SNP-DS telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti dan dapat memperpanjang remisi, bahkan pada beberapa penderita
menimbulkan remisi permanen. Apabila dibandingkan pengobatan sitostatika pada
penderita SNP-DS dengan SNP-KS, hasilnya lebih baik pada kambuh sering daripada
yang dependen steroid. Siklosfosfamid dan klorambusil merupakan obat yang banyak
dipakai dengan efek yang hampir sama.
a. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada sindrom nefrotik resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada sindrom nefrotik resisten steroid yang mengalami remisi
dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi
karena sindrom nefrotik yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun
bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian CPA
oral dan puls dapat dilihat pada gambar.
b. Klorambusil
Klorambusil mempunyai efek sama dengan siklofosfamid dalam memperpanjang
masa remisi SNP-KS dan SNP-DS. Studi kolaboratif Jerman mendaptkan remisi 87%
kasus selama 30 bulan pada penderita kambuh sering.
Alatas dkk. dalam suatu studi kontrol pada 20 kasus SNP-KS melaporkan pada
kelompok yang diberi klorambusil (8 minggu) dengan prednison interminten selama
pengobatan 12 bulan hanya 12% kasus yang mengalami kekambuhan, sedangkan pada
kelompok kontrol yang diberi plasebo dengan prednison intermiten, 88% kasus
mengalami kekambuhan.
3. Siklosporin A (Si A)
Siklosporin A (Si A) adalah suatu imunosupresan yang banyak digunakan pada
transplantasi ginjal, merupakan obat alternatif lain di samping steroid. SiA besifat
menghambatr generasi dan aktival sel T sitotoksik. Akhir-akhir ini SiA dicoba pada
SNP-KS dan resisten steroid. Pada kasus SNP-KS dan SNP-DS. Tejani dkk melaporkan
11 dari 13 kasus mengalami remisi dengan pemberian SiA selam 8 minggu. Niaudet dkk
memberikan SiA 2-8 bulan, 80% dilaporkan mengalami remisi. Namun bila obat
dihentikan akan terjadi kekambuhan kembali, sehingga dikatakan obat ini menimbulkan
efek dependen SiA. Pada kasus SNP-RS pemberian SiA tidak memberiakn hasil
memuaskan. Dosis yang dipakai adalah 5 mg/kgBB/hari, disesuaikan dengan kadar SiA
darah 200-400 /ml. Obat ini dapat menimbulkan nefritis interstisialis sehingga pada
pemberian jangka panjang perlu dilakukan pemantauan denan biopsi ginjal. karena obat
ini mahal harganya dan hasilnya kurang memuaskan, pemakaian obat ini pada kasus SN
belum dapat diterima sebagai pengobatan alternatif. Jika SiA akan dipakai sebaiknya
untuk kasus yang sudah tidak mempan dengan obat sitostatika lainnya.
Efek samping SiA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan
juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian SiA perlu pemantauan terhadap:
1) Kadar SiA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2) Kadar kreatinin darah berkala
3) Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan SiA pada SNRS telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena
harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.
4. Levamisol
Levamisol adalah suatu anti hemintik yang ternyata mempunyai efek imunologis
menstimuloasi sel T. sesuai dengan teori Shalhoub pada sindrom nefrotik ditemukan
adanya gangguan fungsi sel T. akhir-akhir perhatian pada levamisol muncul kembali
dengan waktu pemberian yang lebih lama. Perhimpunan Nefrologi Pediatri Inggris
melakukan uji klinis dengan kontrol pada kasus SNP-DS dan melaporkan bahwa
levamisol dapat memperpanjang masa remisi. Efek samping yang dilaporkan hanya
sedikit dan sebagaian besar penderita adalah SNP-KM. Dosis yang dipakai adalah 2-3
hari (+ 4 bulan) pada 61 kasus SNP-DS. Pada kasus yang diberi levamisol, 14 orang
anak tetap dalam remisi sedangkan pada yang tidak diberi levamisol hanya 4 orang anak
yang tetap remisi. Efek samping yang dapat ditemukan adalah gejala gastrointestinal,
mual dan muntah, serta agranulositosis yang bersifat reversibel apabila obat dihentikan.

Prognosis
Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara lain umur, jenis
kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal. prognosis pada
umur muda lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih baik daripada laki-laki.
Makin dini terdapat penyulitnya, biasanya prognosisnya lebih buruk. Kelainan minimal
mempunyai respons terahdap kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan lesi dan
mempunyai prognosis paling buruk pada glomerulonefritis proliferatif. Sebab kematian
pada sindroma nefrotik berhubungan dengan gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia,
infeksi sekunder (misalnya pneumonia).
BAB III
KESIMPULAN

Telah dibicarakan penyakit sindroma nefrotik yang merupakan penyakit ginjal yang
terbanyak. Umumnya menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
laboratorium terhadap sindroma nefrotik tersebut. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah
sindroma nefrotik primer. Kelainan minimal memberikan respons yang baik terhadap pengobatan
dan mempunyai prognosis baik. Untuk memperoleh hasil pengobatan yang optimum perlu kerja
sama antara penderita dan dokter yang mengobatinya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan C. Sindrom Nefrotik : Patogenesis dan Penatalaksanaan Samarinda: Universitas


Mulawarman; 2006.
2. Purnawan Junadi, Atiek. S. Soemasto, Gusna Amelz. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Kedua,
Penerbit Media Aescullapius, FKUI, 1982.
2. Prof. DR. Dr. A. Halim Mubin, SpPD, MSc, KPTI, Ilmu Penyakit Dalam, Diagnosis dan Terapi.
p : 19 - 23
3. M.W. Haznam, Terapi Standard Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP RSHS.

4. Rani,azis A, Soegondo,sidartawan, Uyainah Z,Anna. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan


Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.edisi 3. Jakarta : Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

5. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai