Anda di halaman 1dari 49

Borang Portofolio Kasus Neurologi

Topik : Bells Palsy


Tanggal (kasus) : 30 Mei 2016 Presenter : dr. Vera Arista
Tanggal Presentasi : 20 Oktober 2016 Pendamping : dr. Pretty Sepsinola
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Lubuk Sikaping
Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Perempuan, usia 61 tahun, mulut mencong ke kiri, didiagnosis dengan Bells Palsy
Mengenali, melakukan penegakan diagnosis dan pengobatan awal pada Bells
Tujuan :
Palsy
Bahan
Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Bahasan :
Cara
Diskusi Presentasi dan Diskusi E-mail Pos
Membahas :
Nama : Ny. R, Perempuan, 61 tahun, BB :
Data Pasien : No. Registrasi : 09.90.00
50 kg, TB : 155cm
Nama RS : RSUD Lubuk Sikaping Telp : - Terdaftar sejak : 30 Mei 2015
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis : Bells Palsy

2. Gambaran Klinis :
Keluhan Utama : Mulut mencong ke kiri

3. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan:
Mulut mencong ke sebelah kiri sejak hari 3 hari SMRS, tidak ada bicara pelo.
Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup sempurna dan terasa kering.
Sebelum merasakan keluhan, pasien menaiki motor pada saat hujan di malam hari.
Tidak ada riwayat trauma/terjatuh.
Tidak ada riwayat kejang dan penurunan kesadaran.
Tidak ada gangguan penglihatan selama keluhan ini dirasakan.

1
Gangguan pendengaran tidak ada
Gangguan pengecapan tidak ada
Kelumpuhan anggota gerak tidak ada
Di keluarga pasien tidak ada yang merasakan keluhan yang seperti dirasakan pasien saat ini.
Keluhan seperti ini baru dirasakan pertama kali.
BAB dan BAK normal
4. Riwayat Pengobatan: OS belum pernah berobat sebelumnya
5. Riwayat Kesehatan / penyakit
Riwayat hipertensi diketahui, kontrol tidak teratur, obat yang diminum lupa.
Riwayat penyakit seperti yang diderita sekarang tidak ada. Riwayat merokok disangkal.
Riwayat penyakit DM disangkal. Riwayat penyakit paru tidak ada. Riwayat penyakit jantung
tidak ada.
6. Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang diderita pasien,
tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit DM, penyakit paru dan penyakit jantung.
7. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :
Pasien tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, maupun menggunakan obat-obatan terlarang.

Daftar Pustaka :
1. Dhingra PL. Facial Nerve and its Disorders. In: Disease of Ear Nose and Throat. 4th ed.
Elsevier. New Delhi. 2007. 90-5.
2. Lee KJ. Facial nerve paralysis. In: Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed.
Mc Graw-Hill Medical Publishing. New York. 2003.169-89
3. Soefferman RA. Facial nerve injury and decompression. In: Nadol JB,Mckenna MJ (ed).
Surgery of the Ear and Temporal Bone. 2nd ed. Lippincott Williams & Wikins. Philadephia.
2005. 435-49.
4. May M. Anatomy for the clinician. In: May M, Schaitkin BM (ed). The Facial Nerve. 2nd ed.
Theime. New York. 2000.1-53.
5. Lustig LR, Niparko JK. Disorder of the facial nerve. In: Lalwani AK (ed).Current Diagnosis
& Treatment in Otolaryngology-Head Neck Surgery. McGraw Hill. New York. 2008. 903-29
6. Ballenger JJ. Paralisis Nervus Fasialis. Dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Jilid 2. Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta.1997. 554-65
7. Nara,Sukardi. Bells Palsy. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/espalsy.pdf/espalsy.html.
8. John YS Kim. Facial Nerve Paralysis. Diakses dari

2
www.emedicine.com/plastic/topic522.htm.
Hasil Pembelajaran :
1. Mampu mengenali kasus Bells Palsy
2. Penegakkan diagnosis Bells Palsy
3. Mengenal faktor resiko Bells Palsy
4. Tatalaksana Bells Palsy
5. Edukasi untuk mencegah Bells Palsy
6. Edukasi penatalaksanaan non farmakoterapi Bells Palsy

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

Subjektif :

Keluhan Utama: Mulut mencong


Mulut mencong ke sebelah kiri sejak hari 3 hari SMRS, tidak ada bicara pelo.
Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup sempurna dan terasa kering.
Sebelum merasakan keluhan, pasien menaiki motor pada saat hujan di malam
hari.
Tidak ada riwayat trauma/terjatuh.
Tidak ada riwayat kejang dan penurunan kesadaran.
Tidak ada gangguan penglihatan selama keluhan ini dirasakan.
Gangguan pendengaran tidak ada
Gangguan pengecapan tidak ada
Kelumpuhan anggota gerak tidak ada
Di keluarga pasien tidak ada yang merasakan keluhan yang seperti dirasakan
pasien saat ini. Keluhan seperti ini baru dirasakan pertama kali.
BAB dan BAK normal
Di keluarga pasien tidak ada yang merasakan keluhan yang seperti dirasakan
pasien saat ini. Keluhan seperti ini baru dirasakan pertama kali.

3
1. Objektif :

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : sakit sedang.
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5 = 15.
Kooperasi : Kooperatif.
Keadaan gizi : Gizi cukup.
Tekanan darah : 140/90 mmHg.
Nadi : 78 kali / menit.
Suhu : 370C.
Pernapasan : 22 kali / menit.

Antropometri
BB : 50 kg.
TB : 155 cm.
BMI : 20,81 = BMI Ideal.

STATUS INTERNUS
Kepala : Tidak ada kelainan.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor (diameter
3mm/3mm), RC +/+.
Kulit : Turgor kulit baik, tidak ikterik / sianosis / pucat.
Mulut : mukosa mulut dan bibir basah.
Leher : JVP 5-2 cmH2O, trakea di tengah.
KGB : tidak terdapat pembesaran di leher, axilla dan inguinal.
Thoraks
a. Paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris kiri dan kanan.
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan.
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-.
b. Jantung
Inspeksi : Iktus jantung tidak terlihat.
Palpasi : Iktus teraba 2 jari lateral LMCS RIC V.

4
Perkusi : Batas jantung bergeser ke kiri.
Auskultasi : Bising tidak ada, bunyi jantung tambahan tidak ada.
c. Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani.
d. Ekstremitas : Refilling capiller baik, udema (-), sianosis (-), tremor (-).

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
A. KESADARAN : Compos Mentis ; GCS : E4 M6 V5.
B. FUNGSI LUHUR : Dalam batas normal
C. TANDA RANGSANG MENINGEAL :
a. Kaku kuduk : (-)
b. Brudzinskiy I : (-)
c. Brudzinskiy II : (-)
d. Kernig : (-)
D. SARAF KRANIAL
1. N. I (Olfactorius)
Kanan Kiri Keterangan
Daya pembau baik baik normal

2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan baik baik baik
Lapang pandang luas luas normal
Pengenalan warna baik baik normal

3. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis Tidak ada Tidak ada Normal
Pupil

5
Bentuk Bulat Bulat Normal
Ukuran 3 mm 3 mm Normal
Gerak bola mata Bebas Bebas Normal
Refleks pupil
Langsung (+) (+) Normal
Tidak langsung (+) (+) Normal

4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Bebas Bebas Normal

5. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Bebas Bebas Normal
Strabismus Tidak ada Tidak ada Normal
Deviasi Tidak ada Tidak ada Normal

6. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Baik Baik normal
Sensibilitas Baik Baik normal
Refleks kornea (+) (+) Normal

6
7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri
Tic (-) (-)
Motorik:
- sudut mulut (+) (-) Tidak bisa diangkat
- mengerutkan (+) (-) Tidak bisa dikerutkan
dahi
- mengangkat alis (+) (-) Tidak bisa diangkat
- lipatan (+) (-) Datar
nasolabial
- meringis (+) (-) Mencong ke kiri
- kembungkan pipi (+) (-) Tidak bisa mengembungkan pipi

7
Sensoris baik baik

8. N. VIII (Akustikus)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran Baik Baik Normal

9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Simetris simetris Normal
Daya perasa baik baik Normal
Refleks muntah tidak tidak
dilakukan dilakukan
Menelan baik baik Normal

10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Simetris simetris Normal
Dysfonia
(-) (-) Normal

11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Baik baik normal
Trofi Eutrofi Eutrofi normal

12. N. XII (Hipoglossus)


Kanan Kiri Keterangan
Motorik (lidah) simetris simetris normal
Trofi eutrofi eutrofi normal
Tremor (-) (-) normal
Disartri (-) (-) normal
Kedudukan lidah simetris simetris normal

8
E. SISTEM MOTORIK
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan 555 555 Normal
Tonus eutonus eutrofi Normal
Trofi eutrofi eutrofi Normal
Gerakan involunter (-) (-) Normal

Ekstremitas bawah
Kekuatan 555 555 Normal
Tonus eutonus eutonus Normal
Trofi eutrofi eutrofi Normal
Gerakan involunter (-) (-) Normal
Badan
Trofi (-) (-) Normal
Ger. Involunter (-) (-) Normal

F. SISTEM SENSORIK
Kanan Kiri Keterangan
Raba Baik baik Normal
Nyeri baik baik Normal
Suhu baik baik Normal
Propioseptif baik baik Normal

G. REFLEKS
Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps (++) (++) Normal
Triseps (++) (++) Normal
KPR (++) (++) Normal
APR (++) (++) Normal

9
Bulbocavernosus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Patologis
Babinski (-) (-) Normal
Chaddoks (-) (-) Normal
Oppenheim (-) (-) Normal
Gordon (-) (-) Normal
Schaeffer (-) (-) Normal
Hoffman Tromer (-) (-) Normal

H. SISTEM OTONOM
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi Keringat : Baik

LABORATORIUM
Hb : 13,6 g/dL
Leukosit : 5.600 /mm3
Ht : 38,7 %
Trombosit : 164.000 /mm3
GDS : 123 mg/dL

2. Assesment

DIAGNOSIS KLINIS : Paresis N.VII perifer sinistra


DIAGNOSIS ETIOLOGI : Idiopatik (Bells palsy)
DIAGNOSIS TOPIK : Lower Motor Neuron-Lesi N. Facialis perifer sinistra
setinggi foramen stylomastoideus.
4. Plan

1) Umum
IVFD RL 12 jam/kolf
2) Khusus
Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg (iv)

10
Acyclovir 5x800 mg (H-1)
Metilprednisolon 3x8 mg (H-1)
Lanabal 2x1
Fisioterapi / hari
Mata kiri ditutup dengan kasa

11
Follow up
31 Mei 2016 (08.00WIB)
S : - Mulut mencong
O :
Keadaan Umum : Sedang Nadi : 70 kali/menit
Kesadaran : Compos Mentis Nafas : 18 kali/menit
Tekanan Darah : 150/90 mmHg Suhu : 36,5 C
Status Internus : Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Status Neurologikus:
GCS 15 (E4M6V5)
Tanda rangsangan meningeal : (-)
Nervus cranialis : Lagophthalmus (+), sudut mulut kiri tidak bisa diangkat, tidak
dapat mengerutkan dahi, tidak dapat mengangkat alis sebelah kiri, lipatan nasolabial
kiri datar, meringis tidak simetris, tidak dapat mengembungkan pipi kiri
Motorik : Superior : eutrofi kekuatan : 555 555
Inferior : eutrofi 555 555
Sensorik : Eksteroroseptif dan proprioseptif baik
Otonom : Miksi : baik
Defekasi : baik
Reflek fisiologis : ++ ++ Reflek patologis : - -
++ ++ - -
A : Bells Palsy
P:
1) Umum
IVFD RL 12 jam/kolf
2) Khusus
Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg (iv)
Acyclovir 5x800 mg (H-2)
Metilprednisolon 3x8 mg (H-2)
Lanabal 2x1
Mata kiri ditutup dengan kasa
Fisioterapi / hari

12
Follow up
01 Juni 2016 (08.00WIB)
S : - Mulut mencong
O :
Keadaan Umum : Sedang Nadi : 72 kali/menit
Kesadaran : Compos Mentis Nafas : 20 kali/menit
Tekanan Darah : 130/80 mmHg Suhu : 36,3 C
Status Internus : Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Status Neurologikus:
GCS 15 (E4M6V5)
Tanda rangsangan meningeal : (-)
Nervi cranialis : Lagophthalmus (+), sudut mulut kiri tidak bisa diangkat, tidak dapat
mengerutkan dahi, tidak dapat mengangkat alis sebelah kiri, lipatan nasolabial kiri
datar, meringis tidak simetris, tidak dapat mengembungkan pipi kiri
Motorik : Superior : eutrofi kekuatan : 555 555
Inferior : eutrofi 555 555
Sensorik : Eksteroroseptif dan proprioseptif baik
Otonom : Miksi : baik
Defekasi : baik

Reflek fisiologis : ++ ++ Reflek patologis : - -


++ ++ - -
A: Bells Palsy
P:
1) Umum
IVFD RL 12 jam/kolf
2) Khusus
Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg (iv)
Acyclovir 5x800 mg (H-3)
Metilprednisolon 3x8 mg (H-3)
Lanabal 2x1
Mata kiri ditutup dengan kasa
Fisioterapi / hari

13
Follow up
02 Juni 2016 (08.00WIB)
S : - Mulut mencong, nafsu makan berkurang
O :
Keadaan Umum : Sedang Nadi : 80 kali/menit
Kesadaran : Compos Mentis Nafas : 20 kali/menit
Tekanan Darah : 120/80 mmHg Suhu : 36,5 C
Status Internus : Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Status Neurologikus:
GCS 15 (E4M6V5)
Tanda rangsangan meningeal : (-)
Nervi cranialis : Lagophthalmus (+) 1mm, sudut mulut kiri tidak bisa diangkat, tidak
dapat mengerutkan dahi, tidak dapat mengangkat alis sebelah kiri, lipatan nasolabial
kiri datar, meringis tidak simetris, tidak dapat mengembungkan pipi kiri
Motorik : Superior : eutrofi kekuatan : 555 555
Inferior : eutrofi 555 555
Sensorik : Eksteroroseptif dan proprioseptif baik
Otonom : Miksi : baik
Defekasi : baik
Reflek fisiologis : ++ ++ Reflek patologis : - -
++ ++ - -
A : Bells Palsy
P: 1) Umum
IVFD RL 12 jam/kolf
2) Khusus
Acyclovir 5x800 mg (H-4)
Metilprednisolon 3x8 mg (H-4)
Lanabal 2x1
Ranitidin 2 x 150 mg
Curcuma 2x1
Mata kiri ditutup dengan kasa
Fisioterapi / hari

14
Follow up
03 Juni 2016 (08.00WIB)
S : - Mulut mencong, nafsu makan berkurang
O :
Keadaan Umum : Sedang Nadi : 78 kali/menit
Kesadaran : Compos Mentis Nafas : 20 kali/menit
Tekanan Darah : 130/80 mmHg Suhu : 36,6 C

Status Internus : Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)


Pulmo : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Status Neurologikus:
GCS 15 (E4M6V5)
Tanda rangsangan meningeal : (-)
Nervi cranialis : Lagophthalmus (+) 1mm, sudut mulut kiri tidak bisa diangkat, tidak
dapat mengerutkan dahi, tidak dapat mengangkat alis sebelah kiri, lipatan nasolabial
kiri datar, meringis tidak simetris, tidak dapat mengembungkan pipi kiri
Motorik : Superior : eutrofi kekuatan : 555 555
Inferior : eutrofi 555 555
Sensorik : Eksteroroseptif dan proprioseptif baik
Otonom : Miksi : baik
Defekasi : baik

Reflek fisiologis : ++ ++ Reflek patologis : - -


++ ++ - -
A : Bells Palsy

15
P:
1) Umum
IVFD RL 12 jam/kolf
2) Khusus
Acyclovir 5x800 mg (H-5)
Metilprednisolon 3x8 mg (H-5)
Lanabal 2x1
Ranitidin 2 x 150 mg
Curcuma 2x1
Fisioterapi

Pasien PBJ

16
DISKUSI

Pasien perempuan berumur 61 tahun datang ke IGD RSUD Lubuk Sikaping pada

tanggal 30 Mei 2015 dengan diagnosa awal Bells Palsy.

Diagnosa Bells Palsy berdasarkan anamnesis yaitu mulut mencong ke sebelah kiri sejak

hari Jumat tanggal 27-05-2016 yang lalu, tetapi pasien masih bisa berbicara dan tidak pelo.

Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup sempurna dan terasa kering. Pasien

mengaku sebelumnya terkena air hujan pada malam hari. Tidak ada riwayat trauma/terjatuh.

Tidak ada riwayat kejang dan penurunan kesadaran. Tidak ada gangguan penglihatan selama

keluhan ini dirasakan. Gangguan pendengaran tidak ada. Gangguan pengecapan tidak ada.

Kelumpuhan anggota gerak tidak ada. Di keluarga pasien tidak ada yang merasakan keluhan

yang seperti dirasakan pasien saat ini. Keluhan seperti ini baru dirasakan pertama kali. BAB

dan BAK normal. Di keluarga pasien tidak ada yang merasakan keluhan yang seperti

dirasakan pasien saat ini. Keluhan seperti ini baru dirasakan pertama kali.

Pada pemeriksaan generalis didapatkan, TD 140/90 mmHg, nadi 78 x/menit, RR 22

x/menit , suhu 370C. Iktus teraba 2 jari lateral LMCS RIC V. Pada pemeriksaan neurologis

didapatkan sudut mulut kiri tidak dapat diangkat, tidak bisa mengerutkan dahi, tidak bisa

mengangkat alis, lipatan nasolabial kiri lebih datar, saat dicoba meringis mencong ke kiri dan

tidak dapat mengembungkan pipi kiri.

Pasien dirawat selama 5 hari dengan diberikan acyclovir 5x800 mg dan metilprednisolon

3x8mg. Pasien mengeluhkan mata tidak bisa ditutup sehingga diberika kasa untuk menutup

mata pasien agar tidak terkena debu. Pasien diberikan fisioterapi perhari agar mempercepat

penyembuhan pasien. Pasien diperbolehkan pulang pada hari rawatan ke 5 dengan obat oral

dan anjuran untuk rutin kontrol ke poli neurologi.

17
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

I. BELLS PALSY
1.1 ANATOMI
Saraf fasialis mempunyai perjalanan yang panjang dan sebagian besar berada di
dalam os temporal. Saraf ini bersifat sensorik, motorik dan parasimpatis.
Serat-serat upper motor neuron dari saraf fasialis berasal dari korteks serebri hingga
nucleus saraf fasialis. Daerah motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentalis.
Serat-serat ini berjalan ke bawah melalui genu dari kapsula interna ke basis pedunkuli dan
berakhir pada saraf fasialiskontralateral. Komponen saraf fasialis yang menginervasi bagian
atas wajah berasal dari korteks yang kontralateral. Daerah motorik kedua terletak di lobus
temporalis.
Serat-serat lower motor neuron berasal dari nukleus saraf ke bawah, yang terbagi atas
3 tempat yaitu :
Pars Intrakranial
Saraf fasialis berjalan dari pons ke porus akustikus internus. Panjangnya sekitar 23-24 mm.
pada daerah ini, saraf fasialis sebelah anterior dari saraf kokleovestibularis dan saraf
intermedius.
Pars Intratemporal
(a) Segmen meatal : Berjalan dalam kanalis auditori internus sepanjang 8-10 mm.
(b) Segmen labirin : Berjalan dari fundus meatus menuju ganglion genikulatum dengan
panjang sekitar 3-5 mm, dimana saraf fasialis ini membelok ke arah posterior dengan tajam
membentuk suatu genu (1st genu). Di daerah ini terdapat percabangan saraf fasialis yang
disebut saraf petrosus superior mayor yang keluar dari ganglion genikulatum. Saraf ini
memberikan rangsangan untuk sekresi pada kelenjar lakrimalis.
(c) Segmen Timpani (segmen horizontal) : Panjangnya sekitar 8-11 mm, dan pada daerah ini
membuat putaran kedua (2nd genu). Pada segmen ini saraf fasialis berjalan melewati bagian
atas dari eminensia piramidalis, melewati bagian atas oval window dan berjalan ke bawah
kanalis semisirkularis lateral. Saraf berjalan turun dari 1st genu secara vertikal dan
mengeluarkan cabang untuk otot stapedius.
(d) Segmen Mastoid (segmen vertikal) : Saraf berjalan dari eminensia piramidalis sampai
dengan foramen stilomastoideus. Panjangnya sekitar 10-14 mm. dibagian ini muncul

18
cabangsaraf fasialis yang masuk ke telinga tengah sebagai saraf timpani. Korda membawa
serabut-serabut nyeri, raba dan suhu serta pengecapan untuk dua pertiga anterior lidah. Saraf
ini juga mengurusi saliva submandibula. Korda berjalan di antara maleus dan inkus

Gambar 1: Anatomi tofografi dari nervus Facialis ( N. VII)

Pars Ekstrakranial
Setelah keluar dari foramen stilomastoideus, saraf berjalan ke arah anterior dan sedikit
inferior ke arah permukaan posterior dari daerah parotis yang kemudian bercabang menjadi
komponen dari saraf di daerah fasialis yang terbagi atas cabang saraf temporal, zigomatikus,
bukalis, mandibular, dan servikalis

19
Gambar 2. Perjalanan N.VII di daerah wajah.

1.2. ETIOLOGI 1,5


Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum jelas. Banyak teori -teori yang mencoba
menerangkan timbulnya kelainan akut saraf fasialis ini, antara lain:
a.Teori infeksi virus :
Beberapa virus diduga sebagai penyebab terjadinya Bells palsy antara lain virus
Herpes simpleks, Herpes zoster ataupun virus Epstein-Barr. Keadaan ini terjadi akibat
reaktifasi karena terjadi infeksi akut primer. Virus tersebut dalam jangka waktu lama berada
dalam ganglion sensorius sehingga terjadi proses peradangan. Gangguan vaskuler pada
akhirnya akan menimbulkan degenerasi pada saraf VII perifer.
b.Teori iskemia vaskular :
Kelumpuhan pada saraf fasialis karena adanya gangguan sirkulasi darah di kanalis
fallopi. Kerusakan yang timbul oleh tindakan pada saraf perifer,terutama berhubungan
dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut.
c.Teori kombinasi
Teori ini menyatakan bahwa, kombinasi teori tersebut di atas sebagai penyebab edema
dari jaringan saraf, sehingga menimbulkan iskemia pada jaringan saraf yang berakibat
terganggunya fungsi saraf tersebut.
d.Paparan udara dingin

20
Selain teori di atas, banyak kepustakaan yang menyebutkan bahwa Bells palsy
diakibatkan adanya edema saraf fasialis disekitar foramen stilomastoideus atau sedikit
proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Mungkin sekali edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut masuk
angin (catch cold). Hal ini diketahui dari anamnesis pada kebanyakan penderita bahwa
fasialis paresecunilateral biasanya timbul setelah duduk di mobil dengan jendela terbuka,
tidur di lantai atau setelah bergadang.
e.Herediter
Kanalis fasialis yang sempit karena faktor keturunan, membuat kecendrungan untuk
mudah terjadi kompresi dengan sedikit saja edema saraf.
1.3. HISTOPATOLOGI 1,2,5
Dari penelitian histopatologi tulang temporal, dijumpai beberapa tempat yang rawan
untuk timbulnya lesi akut saraf fasialis pada Bells palsy yaitu:
Foramen meatus atau ujung atas dari kanali fallopi, yang merupakan daerah paling
sempit sehingga apabila terjadi sedikit edema, saraf fasialis bisa langsung terjepit
dalam kanalis.
Segmen labirin dimana kanalis fallopinya beranastomosis dengan sistem arteri karotis
melalui mikrovaskuler yang memperdarahi saraf fasialis. Akibatnya saraf di daerah
tersebut rawan untuk cedara diakibatkan iskemia pada arteri karotis, menyebabkan
iskemia mikrovaskular ke saraf fasialis sehingga dapat menimbulkan gangguan.
Jaringan fibrosa sekitar saraf pada tempat keluarnya dari foramen stilomastoideus
dapat merupakan titik konstriksi pada Bells palsy. Edema saraf dan jaringan fibrosa
akan mengganggu aliran vena dan drainase limfe, yang akan memperberat edema itu
sendiri.
1.4. PATOFISIOLOGI1,2
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,

21
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik
yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,
nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik
primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadiny Bells palsy. Karena itu
nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di
os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis
LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab
utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

22
1.5. GEJALA DAN TANDA 1,2,4,6
Timbul keluhan kelumpuhan otot-otot wajah secara tiba-tiba, biasanya kurang dari 48
jam.
Unilateral/ pada satu sisi wajah. Tidak dijumpai kelainan neurologi atau kelainan otak
sebelumnya, tidak ada riwayat infeksi telinga tengah.
Gejala yang sering timbul: otalgia, hiperakusis, disgeusia, nyeri pada wajah dan daerah
retroaurikular, fenomena Bell
Saat penderita tenang, secara inspeksi pada sisi wajah yang terkena tampak kerutan dahi
menghilang, alis lebih rendah, celah mata lebih besar, lipatan nasolabial menghilang dan
bentuk lubang hidung yang tidak simetris.
Saat menggerakkan otot-otot wajah, penderita tidak dapat mengangkat alis. Pada saat
menggembungkan pipi, bersiul akan tampak deviasi ke arah yang sehat.
Biasanya didahului adanya riwayat infeksi saluran nafas atas

Gambar 4. Paralisis N.VII.


Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi.
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur
masih baik.
Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan
gangguan salivasi.

23
Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis
Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan
kelenjar air mata (lakrimasi).
Lesi di porus akustikus internus.
Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.Yang paling sering
ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramenstilomastoideus dan pada
setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering pada kerusakan
setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis

1.6. DIAGNOSIS
Diagnosis Bells palsy ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda klinis,
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Pasien biasa mengeluhkan : Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada
telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara mendadak.

Pemeriksaan Fisik
1.Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimic dan
ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior adalah
sebagai berikut :
a.M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis keatas.
b.M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis

24
c.M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas
d.M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan keduamata kuat-kuat
e.M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi
f.M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut ke depan sambil
memperlihatkan gigi
g.M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi
h.M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul
i.M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah
j.M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanandan kiri :
a.Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga( 3 )
b.Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
c.Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
d.Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga puluh
(30 ).

PEMERIKSAAN1,2,3
Pemeriksaan dilakukan selain untuk mengetahui diagnosis juga untuk mengetahui
prognosis kesembuhan dan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelumpuhan wajah
disebabkan oleh penyakit yang lain.
Pemeriksaan Klinis
A.Pemeriksaan otologi
Pemeriksaan otologi biasanya normal. Hal ini penting dilakukan untuk menyingkirkan
penyebab fasialis parese karena penyakit lain seperti otitis media supuratif kronis atau
sindroma Ramsay Hunt.

B.Pemeriksaan Fungsi Nervus Fasialis


Tes Topografi
1.Uji Lakrimasi (Uji Schirmer) : Dengan pemeriksaan ini fungsi lakrimalis dapat dinilai.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memakai lipatan kertas filter yang diletakkan
nmenggantung pada kedua palpebra inferior lalu dibandingkan kecepatan sekresi airmata

25
setelah diberi rangsangan ammonia hirup. Setelah 3 menit panjang dari strip yang menjadi
basah dibandingkan dengan sisi satunya.
2.Pemeriksaan fungsi m. stapedius : Tujuan pemeriksaan ini adalah melihat impendance
telinga tengah terhadap rangsang suara.
3.Uji Pengecapan : Pemeriksaan ini merupakan suatu indikator yang dapat diandalkan dalam
mendeteksi terputusnya fungsi saraf korda timpani. Garam dan gula adalah uji pengecapan
yang sering dipakai dan sangat mudah. Hilangnya pengecapan akibat cedera, terbatas pada
2/3 anterior lidah.
4.Pemeriksaan fungsi motorik wajah : Pada pemeriksaan ini dilakukan inspeksi pada wajah
penderita saat : mengerutkan dahi, mengangkat alis, menutup mata, meringis,
menggembungkan pipi, dan bersiul.

Tes Elektrodiagnosis
1.Nerve Excitability Test (NET) : Tes ini mendeteksi besarnya potensial listrik yang
menyebabkan saraf-saraf wajah berkontraksi. Elektroda dari alat stimulator diletakkan di
antara mastoid dan mandibula. Pemeriksaan dilakukan dengan membandingkan sisi yang
normal dengan sisi yang mengalami paralisis. Jika terdapat perbedaan pada kedua sisi
sebesar 3,5 Ma menunjukkan terjadi kerusakan saraf yang berat.

2.Maximal stimulation test (MST) : Tes ini sama dengan NET, tetapi sebagai pengganti
alat pengukur threshold stimulation biasanya dilihat tingkat pergerakan wajah yang
maksimal yang dibandingkan dengan sisi yang normal. Responnya digambarkan sebagai
sama, menurun, atau absen denganstimulasi maksimal yang menunjukkan
degenerasi dan perbaikan yang tidak sempurna.

3.Electroneuronography (ENOG) : Tes ini merupakan salah satu jenis evoked


electromyography. Nervus fasialis dirangsang pada area foramen stylomastoid dan
potensial aksiotot oleh elektroda. Stimulasi maksimal digunakan untuk mendapatkan
potensial aksi yang maksimal. Respon pada sisi yang mengalami paralisis dibandingkan
dengan respon yang muncul pada sisi yang normal.

4.Electromyography (EMG) : Tes ini mengukur aktivitas motorik otot wajah dengan cara
melakukan insersi jarum elektroda yang diletakkan pada oculi orbicular dan musculus oris

26
orbicularis dan direkam aktivitasnya selama fase istirahatdan saat otot berkontraksi. EMG
akan membantu mengevaluasi prognosis penyembuhan fungsional.

C. Pemeriksaan kelenjar parotis dan leher


Dilakukan dengan inspeksi dan palpasi didaerah leher dan kelenjar parotis,untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya penekanan massa seperti tumor parotis yang
menyebabkan terjadinya fasialis parese.

D. Pemeriksaan penunjang
1.Pemeriksaan laboratorium : Biasanya normal. Tetapi perlu dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyebab lain kelumpuhan wajah.
2.Radiologi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan bahwa kelumpuhan wajah ini
bukan disebabkan oleh tumor ataupun trauma dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan ataupun
MRI. Computerized tomography (CT)adalah pemeriksaan radiologi yang sangat ideal untuk
melihat perubahan yang terjadi di dalam tulang temporal. Magnetic resonance imaging
(MRI) mampu melihat lesi pada bagian proksimal dan distal nervus fasialis dan mampu
menunjukan abnormalitas.

1.7. DIAGNOSIS BANDING


Sindroma Ramsay Hunt : Gangguan fasialis parese akut yang disebabkan reaktivasi dari
virus varicella zoster yang menyebar ke saraf fasialis. Lesi vaskular sering terlihat di liang
telinga atau telinga luar

1.8. PENATALAKSANAAN2,3,6,8
a.Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan
efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir semua ahli percaya pada etiologi
virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-
agen antivirus pada penatalaksanaan Bells palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan
pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya.
Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy.
Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk
mencegah replikasi virus

27
b.Kortikosteroid.
Pengobatan Bells palsy dengan menggunakan steroid masih merupakan suatu
kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian
pemberian steroid pada Bells palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan
steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan
steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per
oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian,
dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk
meningkatkan peluang kesembuhan pasien
c.Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-pasien dengan Bells palsy. Sehingga pada mata
beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air
mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata
yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun jika air
mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah
pandangan kabur selama pasien terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi
kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung
dengan kornea.

d.Konsultasi.
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat.
Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai
pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk
adalah sebagai berikut:
Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan
tanda-tanda yang tidak khas dari Bells palsy, maka segera dirujuk.
Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang
abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.
Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan otot
wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.

28
Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang dianjurkan
untuk pasien dengan Bells palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah
pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan
pembedahan.

1.9. KOMPLIKASI7,8
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas
kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat diterima oleh
pasien
a.Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang merangsang
otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka
dapat terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah tersebut.
Gangguan tampak sebagai :
(1) inkompetensi oral,
(2) epifora (produksi air mata berlebihan)
(3) obstruksi nasal.
b.Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.
Dysgeusia (gangguan rasa)
Ageusia (hilang rasa).
Dysesthesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus
normal).

c.Reinervasi aberan dari nervus facialis


Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan regenerasi
dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan lain dan dapat
berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan
jalur neurologik yang tidak normal. Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai
dengan gerakan involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan
menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai gerakan volunter ini
disebut sinkinesis

29
1.10. PROGNOSIS 7,8
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah:
a.Usia di atas 60 tahun.
b.Paralisis komplit.
c.Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d.Nyeri pada bagian belakang telinga.
e.Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik : sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam
waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun
atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala
sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15
persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu
4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejalasisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears
dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita non
diabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23% kasus
Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita.
Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar
parotis.

II. BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO (BPPV)


2.1. DEFINISI
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah salah satu jenis vertigo
vestibular tipe perifer yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, ditandai dengan
serangan-serangan yang menghilang spontan. Benign Paroxysmal Positional Vetigo
didefinisikan sebagai kelainan pada telinga bagian dalam yang mana ada pengulangan
episodic dari vertigo posisional. BPPV juga sering dikenal dengan kelainan pada bagian
vestibular.1,2
BPPV bukan suatu penyakit, melainkan suatu sindroma sebagai gejala sisa dari
penyakit pada telinga dalam.3
Penelitian Baloh mendapatkan usia rata-rata penderita BPPV adalah 54 tahun, dengan
rentang usia 11-84 tahun. Wanita : pria 1.6 : 1.0, sedangkan pada yang idiopatik 2:1.

30
Insidensi dari BPPV berkisar 10.7-64 per 100.000 orang dan meningkat 38% setiap
dekadenya.1,4

2.2. ETIOLOGI
a. Idiopatik
Sekitar 50% penderita BPPV tidak diketahui penyebabnya.4
b. Simtomatik
Pasca trauma, pasca-labirinitis virus, insufisiensi vertebrobasilaris, Meniere, pasca-
operasi, ototoksisitas, mastoiditis kronik.5
Pada orang tua, penyebab paling umum adalah degenerasi dari sistem vestibular dari
telinga bagian dalam.6

2.3. PATOFISIOLOGI
Terdapat 2 hipotesa yang menerangkan patofisiologi BPPV, yaitu:4,7
1. Hipotesa kupulotiasis
2. Hipotesa kanalitiasis

Hipotesa Kupulotiasis

31
Adanya debris yang berisi kalsium karbonat berasal dari fragmen otokonia yang
terlepas dari macula utrikulus yang berdegenerasi, menempel pada permukaan kupula
semisirkularis posterior yang letaknya langsung di bawah makula urtikulus. Debris ini
menyebabkannya lebih berat daripada endolimfe sekitarnya, dengan demikian menjadi lebih
sensitif terhadap perubahan arah gravitasi. Bilamana pasien berubah posisi dari duduk ke
berbaring dengan kepala tergantung, seperti pada tes Dix Hallpike, kanalis posterior berubah
posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul
nistagmus dan keluhan vertigo.
Pergeseran massa otokonia tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang menyebabkan
adanya masa laten sebelum timbulnya nistagmus dan keluhan vertigo.
Gerakan posisi kepala yang berulang akan menyebabkan otokonia terlepas dan masuk
ke dalam endolimfe, hal ini yang menyebabkan timbulnya fatigue, yaitu berkurangnya atau
menghilangnya nistagmus/vertigo, disamping adanya mekanisme kompensasi sentral.
Nistagmus tersebut timbul secara paroksismal pada bidang kanalis posterior telinga
yang berada pada bidang kanalis posterior telinga yang berada pada posisi di bawah, dengan
arah komponen cepat ke atas.

Hipotesa Kanalitiasis
Menurut hipotesa ini debris otokonia tidak melekat pada kupula, melainkan
mengambang di dalam endolimfe kanalisis posterior. Pada perubahan posisi kepala debris
tersebut akan bergerak ke posisi paling bawah, endolimfe bergerak menjauhi ampula dan
merangsang nervus ampularis. Bila kepala digerakkan tertentu debris akan ke luar dari
kanalis posterior ke dalam krus komunis, lalu masuk ke dalam vestibulum, dan
vertigo/nistagmus menghilang.

2.4. MANIFESTASI KLINIS


Gejala umum yang didapatkan yaitu pusing biasanya muncul setelah beberapa gerakan
kepala, bermasalah dengan keseimbangan, dan rasa ingin muntah (mual).8
Vertigo muncul mendadak pada perubahan posisi, misalnya miring ke satu sisi pada
waktu berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk atau waktu menegakkan kembali badan,
menunduk atau menengadah. Serangan berlangsung dalam waktu singkat, biasanya kurang
dari 30 detik.4
Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, bisa disertai rasa mual, kadang-kadang muntah.
Setelah rasa berputar menghilang pasien bisa merasa melayang.9,10

32
Umumnya BPPV menghilang sendiri dalam beberapa hari sampai minggu dan kadang-
kadang bisa kambuh lagi.10

2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis BPPV ditegakkan secara klinis berdasarkan:4,10
a. Anamnesis
Adanya vertigo yang terasa berputar, timbul mendadak pada perubahan
posisi kepala atau badan, lamanya kurang dari 30 detik, bisa disertai oleh rasa
mual, kadang-kadang muntah.
b. Pemeriksaan fisik
Pada yang idiopatik tidak ditemukan kelainan. Pada yang sistomatik bisa
ditemukan kelainan neurologic fokal, atau kelainan sistemik.
1. Tes Dix Hallpike
Tes ini dilakukan sebagai berikut:2,4
a. Sebelumnya pasien diberi penjelasan dulu mengenai prosedur pemeriksaan
supaya tidak tegang.
b. Pasien duduk dekat bagian ujung pemeriksa.
c. Dengan mata terbuka dan berkedip sedikit mungkin selama pemeriksaan, pada
posisi duduk kepala menengok ke kiri atau ke kanan, lalu dengan cepat badan
pasien dibaringkan sehingga kepala tergantung pada ujung meja pemeriksa,
lalu dilihat adanya nistagmus dan keluhan vertigo, pertahankan posisi tersebut
selama 10 sampai 15 detik, setelah itu pasien dengan cepat didudukkan
kembali. Berikutnya maneuver tersebut diulang dengan kepala menunjuk
kesisi lain. Untuk melihat adanya fatigue maneuver ini diulang 2-3 kali.
Interpretasi Tes Dix Hallpike11,12
a. Normal : tidak timbul vertigo dan nistagmus dengan mata terbuka.
Kadang-kadang dengan mata tertutup bisa terekam dengan
elektronistagmografi adanya beberapa detak nistagmus.
b. Abnormal : timbulnya nistagmus posisional yang pada BPPV mempunyai
4 ciri, yaitu: ada masa laten, lamanya kurang dari 30 detk, disertai vertigo
yang lamanya sama dengan nistagmus, dan adanya fatigue, yaitu
nistagmus dan vertigo yang makin berkurang setiap kali manuver diulang

33
Gambar 1. Tes Dix Hallpike bagian I.

Gambar 2. Tes Dix Hallpike bagian II.

34
Gambar 3. Tes Dix Hallpike bagian III.

2. Electronystagmography (ENG) pengujian mungkin diperlukan untuk mencari


karakteristik nistagmus yang disebabkan oleh Dix-Hallpike tes. Telah diklaim
bahwa BPPV disertai dengan kelumpuhan unilateral kanal lateral adalah
sugestif dari etiologi vaskuler. Untuk diagnosis BPPV dengan tes
laboratorium, adalah penting untuk memiliki tes ENG dilakukan oleh

35
laboratorium yang dapat mengukur gerakan mata vertikal. Sebuah Magnetic
Resonance Imaging (MRI) scan akan dilakukan jika tumor otak stroke atau
dicurigai. Sebuah tes kursi berputar dapat digunakan untuk masalah diagnostik
sulit.. Hal ini mungkin tetapi jarang (5%) untuk memiliki BPPV di kedua
telinga (bilateral BPPV).7,12

2.6. PENATALAKSANAAN
Komunikasi dan Informasi
Oleh karena BPPV menimbulkan vertigo yang hebat, pasien menjadi cemas
dan khawatir akan adanya penyakit berat seperti stroke atau tumor otak. Maka itu
perlu diberikan penjelasan bahwa BPPV bukan sesuatu yang berbahaya dan
prognosisnya baik, dapat hilang spontan setelah beberapa waktu, walaupun kadang-
kadang berlangsung lama dan sewaktu-waktu bisa kambuh lagi.4

Medikamentosa
Beberapa kategori dari medikasi vestibular suppresan yang biasa digunakan
yaitu benzodiazepine dan antihistamine. Benzodiazepine seperti diazepam dan
clonazepam yang memiliki efek anxiolitik, sedatif, muscle relaksan, anti konvulsi
derivate dari efek inhibitor potensial sistem asam gamma-amino butirat. Dalam
mengatasi dizziness, medikasi ini bisa mengurangi sensasi rasa berputar, tetapi juga
dengan kompensasi pada kondisi vestibular perifer. Antihistamin, di sisi lain untuk
menekan rasa mual dan muntah. Contoh antihistamin yaitu meclizine dan
diphenhydramine. Akan tetapi belum ada bukti dari literature yang menyarankan
medikasi vestibular suppresan efektif sebagai pengobatan primer dari BPPV atau
subsitusi dari manuver reposisi.
Obat-obatan anti vertigo seringkali tidak dibutuhkan, oleh karena vertigo-nya
berlangsung sebentar saja. Lagipula serangan akut vertigonya tidak dapat
sepenuhnya ditekan dengan obat antivertigo.9

Latihan
a. Metoda Brandt Daroff
Pasien duduk tegak ditepi tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung. Lalu
dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke salah satu sisi,
pertahankan selama 30 detik, setelah itu duduk tegak kembali. Setelah 30 detik

36
baringkan dengan cepat ke sisi lain, perahankan selama 30 detik, lalu duduk
tegak kembali. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi hari sebelum bangun tidur,
dan 3 kali pada malam hari sebelum tidur, sampai 2 hari berturut-turut tidak
timbul vertigo.1,10,13

Gambar 4. Metoda Brandt Daroff

37
Gambar 4. Metoda Brandt Daroff

b. Vibrasi
Metoda ini diperkenalkan oleh Epley dan disebut Canalith Repositioning
Procedure.
Caranya L vibrator diletakkan pada daerah mastoid telinga yang diduga
ada kelainan. Pasien berbaring terlentang dengan kepala agak hiperektensi, lalu
kepala diputar ke arah telinga tersebut sampai muka menghadap ke lantai
dengan sudut 45o, pertahankan posisi tersebut selama 15 detik atau sampai
nistagmus menghilang. Kemudian kepala dan badan diputar kea rah berlawanan
sampai muka menghadap ke lantai dengan sudut 45o, pertahankan selama 15
detik. Selanjutnya pasien duduk dengan kepala menunduk selama 15-30 detik,
sementara itu vibrasi dilakukan terus pada mastoid.
Prosedur ini menyebabkan debris terlepas dari kupula dan masuk ke
dalam endolimfe. Setelah 1 minggu bila vertigo timbul lagi bisa dilakukan
vibrasi ulang.

38
Komplikasi dari prosedur ini termasuk konversi dari canalith menjadi
canal yang berbeda pada alterasi dari tipe nistagmus dan atau arah nistagmus.
Komplikasi ini dapat dicegah dengan manuver tambahan selama duduk,
Komplikasi lain termasuk yang dilaporkan yaitu rasa nyeri, berkeringat, demam,
dan hipotensi selama manuver tadi.1,2,4,13

Gambar 5. Epley Manuver.

39
Gambar 6. Canalith Repositioning Procedure (Epley Manuver).

Instruksi untuk pasien setelah perawatan (Manuver Epley):13


1. Tunggu selama 10 menit setelah manuver dilakukan sebelum pulang ke rumah.
Ini mencegah terjadinya putaran cepat atau serangan vertigo tiba-tiba seperti
reposisi debris setelah manuver. Jangan berkendara sendirian ke rumah; lebih
baik seseorang yang mengantar.
2. Tidur dengan kepala ditinggikan dengan 45o. Ini biasanya lebih mudah
dilakukan dengan kursi sandaran atau menggunakan bantal yang disusun di
atas kursi. Selama hari itu, tetap jaga kepala posisi vertical. TIdak boleh

40
bepergian ke tempat tukang cukur atau dokter gigi. Jangan beraktifitas yang
berhubungan dengan kepala.
3. Untuk sekurangnya 1 minggu, mencegah perubahan posisi kepala yang
memicu BPPV lagi. Gunakan 2 bantal saat tidur, cegah tidur dalam posisi sisi
afektif, dan jangan biarkan kepala terlalu ke atas atau ke bawah.
4. Selama 1 minggu setelah perawatan, posisikan diri biasanya yang membuat
pusing. Posisikan dengan tanpa mencederai diri. Biarkan dokter tahu
bagaimana dirimu melakukannya.
Manuver ini efektif dalam 80% pasien dengan BPPV. Jika manuver ini bekerja
dengan baik tetapi gejala muncul atau berespon parsial, manuver lain disarankan
dilakukan.2,13

Gambar 7. Posisi tidur setelah Manuver Epley.

Terapi Bedah
Pada sebagian kecil penderita BPPV yang berkepanjangan dan tidak sembuh
dengan terapi konservatif bisa dilakukan operasi neurektomi atau cannal plugging.
Akan tetapi tindakan operatif tersebut bisa menimbulakn komplikasi berupa tuli
sensorineural pada 10% kasus.10
Hanya sekitar 1 / 200 BPPV kami pasien akhirnya memiliki prosedur ini dilakukan.
Operasi tidak harus dipertimbangkan sampai ketiga manuver / latihan (manuver
epley, semont, dan brandt daroff) telah dicoba dan gagal.

41
Pengobatan bedah BPPV tidak mudah - dokter THT Anda mungkin akan tidak
memiliki pengalaman sama sekali dengan operasi ini. Tentu saja, selalu dianjurkan
saat merencanakan operasi untuk memilih ahli bedah yang telah selebar
pengalaman mungkin. Komplikasi jarang terjadi, namun demikian kita masih harus
berpikir hati-hati tentang menjalani prosedur yang memiliki resiko 3% dari
kehilangan pendengaran unilateral.10,13
Indikasi untuk operasi:
Jika latihan yang dijelaskan di atas tidak efektif dalam mengendalikan gejala,
gejala telah berlangsung selama satu tahun atau lebih, dan diagnosis sangat jelas,
prosedur bedah yang disebut "Canal plugging blocks" mungkin disarankan. Canal
memasukkan sebagian besar blok fungsi kanal posterior tanpa mempengaruhi
fungsi dari saluran lain atau bagian dari telinga. Prosedur ini menimbulkan risiko
kecil untuk mendengar - sekitar 3%, tetapi efektif pada sekitar 85-90% dari
individu yang tidak memiliki respon terhadap pengobatan lain. Risiko operasi
untuk mendengar berasal dari melanggar sengaja ke dalam kompartemen
endolimfatik ketika mencoba untuk membuka labirin tulang dengan bor.10,13

42
BAB III
PEMBAHASAN

1. Lesi Sentral, gejalanya: Pada penderita ditemukan gejala:


- Onset bertahap dan berlangsung - Onsetnya mendadak dan
dalam hari sampai minggu berlangsung beberapa detik sampai
(permanen) beberapa menit.
- Pusing tidak tergantung - Pusing tergantung perubahan posisi
perubahan posisi dan gerakan dan gerakan kepala.
kepala. - Serangan berat.
- Serangan ringan - Nystagmus (+) arah horizontal
- Nystagmus bisa (-) dan bila (+) - Tidak ada gejala gangguan batang
arah vertical atau multidireksi otak, serebelum dan korteks
- Terdapat gejala gangguan serebral.
batang otak: diplopia, disartria,
disfagia, disfonia
serebelum: gangguan
koordinasi, kesulitan
melakukan pergerakan yang
butuh ketrampilan.
korteks serebral: gejala iritatif,
gejala fokal, deficit sensori dan
motorik.

Jadi kemungkinan lesi sentral dapat disingkirkan.

2. Lesi Perifer, gejalanya: Pada penderita ditemukan gejala:


- Organ yang terkena bisa: - Gejalanya berlangsung dalam
- gejalanya berlangsung dalam beberapa beberapa detik serta
beberapa detik sampai beberapa diperberat oleh perubahan posisi dan
menit dan intermiten serta gerakan kepala.
tergantung posisi dan gerakan - Serangan berat.
kepala. - Nystagmus (+) horizontal.

43
- Serangan berat - Terdapat mual dan muntah.
- Selalu disertai nystagmus (+) arah - Tidak ada gangguan pendengaran.
horisontal.
- Terdapat gejala otonom, seperti
mual, muntah, keringatan.
- Biasanya ada disfungsi pendengaran.
Jadi kemungkinan lesi perifer belum dapat disingkirkan.

Etiologi
Etiologi dan gejalanya: Pada penderita ditemukan gejala:
1. Trauma Kepala - Tidak terdapat riwayat trauma kepala.
- Terdapat riwayat trauma kepala
sebelumnya
2. Infeksi Telinga Tengah - Tidak terdapat riwayat keluar cairan
- Terdapat riwayat keluar cairan berbau dari telinga.
berbau dari telinga - Tidak terdapat riwayat rasa penuh dalam
- Terdapat riwayat rasa penuh telinga.
dalam telinga.
3. Idiopatik - Tidak terdapat riwayat trauma kepala.
- Tidak terdapat riwayat trauma - Tidak terdapat riwayat keluar cairan
kepala berbau dari telinga dan rasa penuh dalam
- Tidak terdapat riwayat keluar telinga.
cairan berbau dari telinga dan - Terjadi tanpa diketahui penyebabnya.
rasa penuh dalam telinga.
- Terjadi tanpa diketahui
penyebabnya.

Jadi kemungkinan etiologi trauma kepala dan infeksi telinga tengah dapat disingkirkan,
Kemungkinan etiologi idiopatik belum dapat disingkirkan.

44
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Benign Paroxysmal Positional Vetigo didefinisikan sebagai kelainan pada
telinga bagian dalam yang mana ada pengulangan episodic dari vertigo posisional.
Penyebab dari BPPV yaitu Idiopatik dan simtomatik (pasca trauma, pasca-
labirinitis virus, degenerasi dari sistem vestibular dari telinga bagian dalam).
Terdapat 2 hipotesa yang menerangkan patofisiologi BPPV, yaitu: hipotesa
kupulotiasis dan hipotesa kanalitiasis.
Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, bisa disertai rasa mual, kadang-
kadang muntah. Setelah rasa berputar menghilang pasien bisa merasa melayang.
Umumnya BPPV menghilang sendiri dalam beberapa hari sampai minggu
dan kadang-kadang bisa kambuh lagi.
Diagnosa BPPV didapatkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, tes Dix
Hallpike dan Elektronistagmografi.
Terapi dari BPPV yaitu komunikasi dan informasi, medikamentosa, latihan
(manuver Brandt Daroff, Manuver Epley), terapi pembedahan (Cannal Plugging).

3.2 Saran
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai praktisi
klinis diharapkan dapat mengikuti perkembangan ilmu terbaru khususnya dalam
bidang pengobatan sehingga dapat memberikan terapi yang lebih lengkap dan
terbaru sesuai dengan bukti-bukti klinis.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Weber Peter. Vertigo and disequilibrium: a practical guide to diagnose and


management. United Kingdom: Thieme Medical Publishers, 2008.

2. Solomon David. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Current Science Inc. 2000:
2:417427.

3. Von Brevern M, Radtke A, Lezius F, et al. Epidemiology of benign baroxysmal


positional vertigo: a population based study. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2007;78:710-715.

4. Fife D, Fitzgerald JE. Do patients with benign paroxysmal positional vertigo receive
prompt treatment? Analysis of waiting times and human and financial costs associated
with current practice. Int J Audiol. 2005;44: 50-57.

5. Amar A, Kurnia K. Neuro-otologi klinis vertigo. Surabaya: Airlangga University


Press, 2002

6. Oghalai JS, Manolidis S, Barth JL, et al. Unrecognized benign paroxysmal positional
vertigo in elderly patients. Otolaryngol Head Neck Surg. 2000;122:630-4.

46
7. Aw ST, Todd MJ, Aw GE, McGarvie LA, Halmagyi GM. Benign positional
nystagmus: A study of its three-dimensional spatio-temporal characteristics.
Neurology. 2005;64:1897-1905.

8. Tomaz A, Gananca MM, Gananca CF, et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo:
Concomitant Involvement of Different Semicurcular Canals. Ann Oto Rhinol Laryn.
2009;118: 113-117.

9. Herdman SJ. Advances in the treatment of vestibular disorders. Phys Ther.


1997;77:602-618.

10. Battacharyya N, et al. Clinical practice guideline: benign positional vertigo. Otolaryn
Head Neck Surg. 2008;139:S47-S81.

11. Imbaud Genieys S. Vertigo, dizziness and falls in the elderly. Annales d Oto-
Laryngologie et de Chirurgie Cervico-Faciale 2007;124:18996.

12. Sakaida M, Takeuchi K, Ishinaga H, et al. Long-term outcome of benign paroxysmal


positional vertigo. Neurology 2003;60:15324.

13. Simhadri S, Panda N, Raghunathan M. Efcacy of particle repositioning maneuver in


BPPV: a prospective study. Am J Otolaryngol. 2003;24:35560.

47
BAB VI
KESIMPULAN
Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut
dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bells palsy adalah edema dan
iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Kelumpuhan perifer N.VII
memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi
yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan didahi akan menghilang dan nampak seluruh
muka sisi yang sakit akan mencong tertarik kearah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer
ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.Pengobatan pasien dengan Bells palsy adalah dengan
kombinasi obat-obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang
berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bells palsy relative baik meskipun pada
beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1.Dhingra PL. Facial Nerve and its Disorders. In: Disease of Ear Nose and Throat. 4th ed.
Elsevier. New Delhi. 2007. 90-5.
2.Lee KJ. Facial nerve paralysis. In: Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th
ed. Mc Graw-Hill Medical Publishing. New York. 2003.169-89
3.Soefferman RA. Facial nerve injury and decompression. In: Nadol JB,Mckenna MJ (ed).
Surgery of the Ear and Temporal Bone. 2nd ed. Lippincott Williams & Wikins. Philadephia.
2005. 435-49.
4.May M. Anatomy for the clinician. In: May M, Schaitkin BM (ed). The Facial Nerve. 2nd
ed. Theime. New York. 2000.1-53.

48
5.Lustig LR, Niparko JK. Disorder of the facial nerve. In: Lalwani AK (ed).Current
Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head Neck Surgery. McGraw Hill. New York.
2008. 903-29
6.Ballenger JJ. Paralisis Nervus Fasialis. Dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Jilid 2. Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta.1997. 554-65
7.Nara,Sukardi. Bells Palsy. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/espalsy.pdf/espalsy.html. Pada tanggal 16 November 2012.
8.John YS Kim. Facial Nerve Paralysis. Diakses dari
www.emedicine.com/plastic/topic522.htm. Pada tanggal 16 November 2012

49

Anda mungkin juga menyukai