Disusun oleh:
Kelas : C Golongan : IV Kelompok : 3
I. TUJUAN
Agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat di dalam cairan hayati.
II. DASAR TEORI
Untuk memberikan efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus berinteraksi dengan
reseptor atau tempat aksi atau sel target dengan kadar yang cukup tinggi. Sebelum mencapai
reseptor, obat terlebih dahulu harus melalui proses farmakokinetik. Fasa farmakokinetik
meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorpsi molekul obat yang
menghasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa aktif dalam cairan darah yang akan
didistribusikan ke jaringan atau organ tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan proses
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat, yang menentukan kadar senyawa aktif pada
kompartemen tempat reseptor berada.
Faktor-faktor penentu dalam proses farmakokinetik antara lain:
1. Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti cairan intrasel, ekstrasel (plasma
darah, cairan interstitial, cairan cerebrospinal) dan berbagai fasa lipofil dalam
tubuh.
2. Protein plasma, protein jaringan, dan berbagai senyawa biologis yang mungkin
dapat mengikat obat.
3. Distribusi obat dalam berbagai sistem kompartemen biologis, terutama hubungan
waktu dan kadar obat dalam berbagai sistem tersebut, yang sangat menentukan
kinetika obat.
4. Dosis sediaan obat, transport antar kompartemen seperti proses absorpsi,
bioaktivasi, biodegradasi, dan ekskresi yang menentukan lama obat dalam tubuh
(Siswandono, 1998).
Konsentrasi obat adalah elemen penting untuk menentukan farmakokinetika suatu
individu maupun populasi. Konsentrasi obat diukur dalam sampel biologis seperti air susu,
saliva, plasma dan urin. Sensitivitas, akurasi, dan presisi dari metode analisis harus ada untuk
pengukuran secara langsung obat dalam matriks biologis. Untuk itu, metode penetapan kadar
secara umum perlu divalidasi sehingga informasi yang akurat didapatkan untuk monitoring
farmakokinetik dan klinik.
Pengukuran konsentrasi obat di darah, serum, atau plasma adalah pendekatan secara
langsung yang paling baik untuk menilai farmakokinetik obat di tubuh. Darah mengandung
elemen seluler mencakup sel darah merah, sel darah putih, keping darah, dan protein seperti
albumin dan globulin. Pada umumnya serum atau plasma digunakan untuk pengukuran obat.
Untuk mendapatkan serum, darah dibekukan dan serum diambil dari supernatan setelah
disentrifugasi. Plasma diperoleh dari supernatan darah yang disentrifugasi dengan
ditambahkan antikoagulan seperti heparin. Oleh karena itu, serum dan plasma tidak sama.
Plasma mengalir keseluruh jaringan tubuh termasuk semua elemen seluler dari darah. Dengan
berasumsi bahwa obat di plasma dalam kesetimbangan equilibrium dengan jaringan,
perubahan konsentrasi obat akan merefleksikan perubahan konsentrasi perubahan konsentrasi
obat di jaringan (Shargel, 1988).
Adapun kandungan protein dalam sampel biologis yang akan dianalisa menyebabkan
dibutuhkannya suatu tahap perlakuan awal dan/atau penyiapan sampel sebelum penentuan
kadar obat dapat dilakukan. Hal ini untuk mengisolasi atau memisahkan obat yang akan
diteliti dari matriks sampel yang diperoleh. Protein, lemak, garam dan senyawa endogen
dalam sampel akan mengganggu penentuan kadar obat yang bersangkutan dan selain itu
dalam hal analisa menggunakan metode seperti HPLC, adanya zat-zat tersebut dapat merusak
kolom HPLC sehingga usia kolom menjadi lebih singkat.
Berbagai prosedur untuk mendenaturasi protein dapat digunakan sebagai perlakuan
awal sampel biologis yang diperoleh dari suatu penelitian farmakokinetik, meliputi
penggunaan senyawa yang disebut sebagai zat pengendap protein (protein precipitating
agent) seperti asam tungstat, amonium sulfat, asam trikoroasetat (tricloro acetic acid, TCA)
asam perklorat, methanol dan asetonitril. Pengendapan protein dilakukan dengan denaturasi
protein. Denaturasi dapat dilakukan akibat adanya perubahan pH, temperatur, dan
penambahan senyawa kimia. Cara denaturasi protein yang umum digunakan adalah dengan
penambahan precipitating agent. Protein dapat diendapkan karena memiliki berbagai sifat
diantaranya bersifat sebagai amfoter, yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1
molekul, atau yang dikenal juga sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat potein memiliki
muatan yang berbeda pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang
pH tertentu dimana protein bermuatan. Suatu saat di pH tertentu, protein akan mencapai titik
isoelektrik, yakni pH dimana jumlah total muatan protein sama dengan nol (muatan positif
sebanding dengan muatan negatif). Hal ini akan mempengaruhi kelarutan protein. Pada titik
isoelektrik, kelarutan protein sangat rendah, sehingga potein dapat mengendap (Poedjiadi,
1994).
Penetapan kadar obat dalam badan dapat dianalisi dari cairan hayati lain seperti urin,
saliva, atau lainnya. Urin merupakan cairan hayati yang biasanya dipergunakan dalam
farmakokinetik untuk mempelajari disposisi obat dan menentukann kadar obat untuk obat-
obatan yang disekresikan urin. Minimal 10%-nya terdapat dalam urin dalam bentuk utuh
yang belum dimetabolisme.
Hasil analisis dalam farmakokinetika dinyatakan dalam parameter farmakokinetika.
Parameter farmakokinetika didefinisikan sebagai besaran yang diturunkan secara matematis
dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam cairan hayati. Parameter
farmakokinetika obat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan
metabolitnya.
Terdapat tiga jenis parameter farmakokinetik, yaitu:
1. Parameter pokok
Tetapan kecepatan absorbsi (Ka)
Menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu masuknya obat ke dalam sirkulasi
sistemik dari tempat absorbsinya (saluran cerna pada pemberian oral, jaringan
otot pada pemberian intramuskular).
Cl (Klirens)
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa
mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau
organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas
(volume distribusi) dimana obat terlarut di dalamnya (Shargel, 1988). Klirens
merupakan fartor yang memprediksi laju eliminasi yang berhubungan dengan
konsentrasi obat.
Volume distribusi (Vd)
Volume distribusi adalah volume yang didapatkan pada saat obat
didistribusikan. Menghubungkan jumah obat dalam tubuh dengan konsentrasi
obat (C) dalam darah atau plasma.
2. Parameter Sekunder
Waktu paruh eliminasi (t1/2)
Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat di dalam
tubuh menjadi setengah atau separuh selama eliminasi (atau selama infus yang
konstan) (Katzung, 1997).
Tetapan kecepatan eliminasi ( Kel )
Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang akan
tereliminasi dalam satu satuan waktu. Tetapan kecepatan eliminasi
menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapai
keseimbangan (Neal, 2006).
3. Parameter Turunan
Waktu mencapai kadar puncak (tmaks)
Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu
yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah emberian
obat. Pada fase ini, absorpsi ibat adalah terbesar dan laju absorpsi obat sama
dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah fase ini tercapai,
tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga tmaks menjadi lebih kecil (berarti
sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak)
bila laju absorbs obat menjadi lebih cepat.
Kadar puncak (Cpmaks)
Parameter ini menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah
pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara
efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma (Shargel,
1998).
Luas daerah di bawah kurva (AUC)
AUC adalah permukaan di bawah kurva yang menggambarkan naik turunnya
kadar plasma sebagai fungsi dari waku. AUC dapat dihitung secara matematis
dan merupakan ukuran untuk bioavaibilitas suatu obat. AUC dapat digunakan
untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan
kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu, antara kadar
plasma puncak dan bioavaibilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008).
Cuplikan darah sangat relevan, karena semua proses obat dalam tubuh melibatkan
darah sebagai media, suatu alat ukur dari organ satu ke organ lain seperti absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi. Oleh karena itu, agar nilai-nilai parameter obat dapat dipercaya,
metode penetapan kadar harus memenuhi kriteria, yaitu:
:
1. Selektif atau spesifik
Selektifitas metode adalah kemampuan suatu metode untuk membedakan suatu
obat dari metabolitnya, obat lain, dan kandungan endogen cuplikan hayati.
Selektifitas metode menempati prioritas utama karena bentuk obat yang akan
ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah dalam bentuk tak berubah atau
metabolitnya. Pemilihan metode yang memiliki selektifitas tinggi perlu
mendapatkan perhatian khusus karena hal ini berkaitan erat dengan rumus
matematik yang diterapkan dalam menghitung parameter farmakokinetik. Rumus
matematik yang diturunkan berdasarkan data pengukuran kadar obat tak berubah
dalam cuplikan hayati tertentu, berbeda dengan yang diturunkan dari data kadar
metabolitnya (Smith, 1981).
2. Sensitif atau peka
Sensitivitas metode analisis yang digunakan berkaitan dengan kadar terendah yang
dapat diukur oleh metode analisis yang digunakan. Dalam penelitian
farmakokinetika, pemilihan metode analisis juga tergantung pada tingkat
sensitivitas yang dimiliki oleh metode tersebut. Hal ini dapat dipahami mengingat
dalam menghitung parameter farmakokinetika suatu obat, diperlukan sederetan
data kadar obat dari waktu ke waktu, atau data dari kadar tertinggi sampai kadar
terendah dalam cuplikan hayati yang digunakan. Misalnya kita akan menghitung
harga AUC, maka kita memerlukan data kadar obat dari waktu nol sampai tak
terhingga. Karena itu, metode analisis yang dipilih harus dapat meliput kadar obat
tertinggi sampai terendah yang ada di dalam badan.
3. Ketelitian (accuracy) dan ketepatan (precision)
Ketelitian (accuracy) ditunjukan oleh kemampuan suatu metode untuk
memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan true value (nilai
sesungguhnya). Ketelitian suatu metode dapat dilihat dari perbedaan antara harga
penetapan kadar rata-rata dengan harga sebenarnya atau konsentrasi yang
diketahui. Jika tidak ada data nilai sebenarnya atau nilai yang dianggap benar
tersebut maka tidak mungkin untuk menentukan berapa akurasi pengukuran
tersebut.
Metode yang baik memberikan hasil recovery (perolehan kembali) yang tinggi
yaitu 75-90% atau lebih dan kesalahan sistematik kurang dari 10%. Perolehan
kembali merupakan tolok ukur efisiensi analisis, sedangakan kesalahan sistematik
merupakan tolok ukur inakurasi penetapan kadar. Kesalahan ini dapat berupa
kesalahan konstan atau proporsional. Ketelitian berkaian dengan purata. Bila suatu
hasil itu teliti (accurate) berarti purata sama dengan harga sebenarnya, walaupun
penyebarannya lebar (luas). Dalam hubungan ini, adalah lebih baik hasil yang
kurang teliti tapi tepat daripada teliti namun kurang tepat. Ketepatan
menggambarkan hasil yang berulang-ulang tidak mengalami perbedaan hasil
(reprodusibilitas data). Dengan kata lain, ketepatan menunjukkan kedekatan hasil-
hasil pengukuran berulang. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh melalui
pengukuran ulang(replikasi) dari berbagai konsentrasi obat dan melalui
pengukuran ulang kurva konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada
hari yang sama. Ketepatan berhubungan dengan penyebaran harga terhadapa purata
kecil meskipun karena kesalahan sistematik, purata berbeda agak besar dengan
harga sebenarnya. Kemudian dilakukan perhitungan statistik yang sesuai dengan
penyebaran data, seperti standar deviasi atau koefisien variasi.
Kesalahan acak merupakan tolok ukur inprecision suatu analisis, dan dapat bersifat
positif atau negatif. Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan
dicerminkan oleh tetapan variasi. Metode yang baik memiliki nilai kesalahan acak
kurang dari 10%.
4. Cepat
Kecepatan berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang harus dianalisis
dalam suatu macam penelitian farmakokinetika
5. Efisien
Metode tidak terlalu panjang karena dikhawatirkan akan menimbulkan suatu
kesalahan sistematik (Sudjadi, 2008).
Dalam penetapan kadar obat dalam darah (cairan tubuh), metode yang digunakan harus
tepat, dan dalam pengerjaannya diperlukan suatu ketelitian yang cukup tinggi agar diperoleh
hasil yang akurat, sehingga nantinya dapat menghindari kesalahan yang fatal. Dalam analisis
ini, kesalahan hasil tidak boleh lebih dari 10% (tergantung pula alat apa yang digunakan
dalam analisis) (Ritschel, 1976).
Cepat, simpel, dan sensitif telah membuat spektrofotometer UV-VIS menjadi suatu
metode analisis farmasetika yang sangat popular untuk pengukuran secara kuantitatif obat
dan metabolit dalam sampel biologi. Salah satu alasan penting atas kepopulerannya karena
sensitivitas dari metode ini, yaitu 1-10 g/ml. Identifikasi kualitatif dari obat atau metabolit
menggunakan spektrofotometri UV-VIS berdasarkan pada panjang gelombang maksimum
yang diabsorpsi. Pada absorpsi yang maksimum, sensitivitas optimum akan didapat. Karena
perubahan absorbansi minimal untuk sedikit perubahan panjang gelombang, error
diminimalkan. Hasilnya, akurasi dan presisi yang baik didapatkan (Smith,1981).
Salah satu metode pengukuran kadar obat dalam analisis cairan hayati adalah metode
Bratton-Marshall. Metode ini didasarkan pada prinsip kolorimetri, yaitu terbentuknya
senyawa-senyawa berwarna yang intensitasnya dapat ditentukan secara spektrofotometri
visibel dengan 3 tahap, yaitu pembentukan senyawa diazo, penghilangan sisa asam nitrit
dengan penambahan asam sulfamat, dan pengkoplingan garam diazonium-NED.
Untuk pembuatan blanko kurva baku, 250 l darah yang mengandung antikoagulan
ditambahkan 250 l aquades (tidak ditambah sulfametoksazol), campur homogen dan
tambah 2,0 ml TCA 5% dengan vortexing.
Blanko kurva baku dan sampel yang telah divortex disentrifugasi (5 menit; 2500 rpm).
Diambil 1,0 ml beningan (supernatan) dan diencerkan dengan aquades 2,0 ml.
Ditambahkan larutan NaNO2 (0,1 ml; 0,1%) ke dalam tiap tabung diamkan selama 3
menit.
Ditambahkan larutan ammonium sulfamat (0,2 ml; 0,5%), diamkan selama 2 menit.
b) Penetapan Kadar
Tikus diberi sulfametoksazol secara peroral dan ditunggu hingga 1 jam.
Diambil darah melalui vena lateralis pada ekor tikus sebanyak 1,5 ml, ditaruh
pada ependorf yang sebelumnya telah diberi heparin.
Diambil 250 l darah yang mengandung antikoagulan ke dalam tabung reaksi dan
ditambah 250 l aquadest, dicampur homogen.
Diambil beningan (1,50 ml) dan diencerkan dengan aquadest 2,0 ml.
Ke dalam tiap tabung ditambahkan larutan NaNO2 (0,1 ml; 0,1%) diamkan selama 3
menit.
Ditambahkan larutan ammonia sulfamat (0,2 ml; 0,5%) diamkan selama 2 menit.
Dipindahkan ke dalam kuvet, dibaca intesitas warna pada spektrofotometer (545 nm)
terhadap blanko darah (sebagai control) yang telah diproses dengan cara yang sama.
c) Validasi
Dimasukkan larutan stok 50,300 g/ml masing-masing ke dalam tabung reaksi
berbeda.
Beningan diambil 1,5 mL dan Dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang bersih.
spektrofotometer.
Penetapan kadar
Kelompok A
Replikasi Absorbansi
1 0,218
2 0,199
3 0,231
4 0,188
Kelompok B
Replikasi Absorbansi
1 0,136
2 0,134
3 0,147
4 0,144
5 0,130
Kelompok C
Replikasi Absorbansi
1 0,183
2 0,217
3 0,226
Kelompok D
Replikasi Absorbansi
1 0,118
2 0,102
3 0,107
4 0,122
5 0,132
Perhitungan
1. Perhitungan Pengenceran
V1.M1 = V2.M2
Keterangan:
Dengan menggunakan V1 M1 = V2 M2, dapat ditentukan volume larutan stok yang diambil.
a. Larutan stok untuk penetapan kurva baku
Diketahui :
M1 = 1mg/ml = 1000 g/ml
V2 = 5 ml
Jadi, volume sulfadiazin yang diambil adalah sebagai berikut.
1) Jika kadar yang diinginkan 25 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 10 ml. 25 g/ml
V1 = 0,25 ml
2) Jika kadar yang diinginkan 50 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 10 ml. 50 g/ml
V1 = 0,5 ml
3) Jika kadar yang diinginkan 100 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 10 ml. 100 g/ml
V1 = 1 ml
4) Jika kadar yang diinginkan 200 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 10 ml. 200 g/ml
V1 = 2 ml
5) Jika kadar yang diinginkan 400 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 10 ml. 400 g/ml
V1 = 4 ml
Volume pemberian =
= 0,4943 ml
b=
r = 0,9980
Keterangan :
Y = absorbansi X = kadar
4. Validasi Kadar Sulfadiazin dalam Darah Tikus
= 205,3119 g/ml
2) Perhitungan Kesalahan Acak
2,3873 5,6992
205,3119
207,6992 2,3873 5,6992
= 4,1350
= 2,0140 %
3) Perhitungan Recovery
Recovery =
Recovery 1 =
= 415,3384 %
Recovery 2 =
= 415,3384 %
Recovery 3 =
= 401,0744 %
Rata-Rata Recovery =
= 410,5837%
= -315,3384%
= -315,3384%
= -310,0744%
0,194 = 5,5850.10-4x
x = 347,3590 g/ml
0,212 = 5,5850.10-4x
x = 379,5882 g/ml
0,210 = 5,5850.10-4x
x = 376,0072 g/ml
= 367,6515 g/ml
20,2925 411,7856
367,6515
11,9367 142,4848
8,3557 69,8177
= 17,9177
= 4,8736 %
3) Perhitungan Recovery
Recovery =
Recovery 1 =
= 115,7863 %
Recovery 2 =
= 126,5294 %
Recovery 3 =
= 125,3357 %
Rata-Rata Recovery =
= 122,5505%
= -15,7863%
= -26,5294%
= -25,3357%
5. Penetapan Kadar
Kelompok A
1 0,218 411,8174
2 0,199 377,7977
3 0,231 435,0940
4 0,188 358,1021
Kelompok B
1 0,136 264,9955
2 0,134 261,4145
3 0,147 284,6911
4 0,144 279,3196
5 0,130 254,2525
Kelompok C
1 0,183 349,1495
2 0,217 410,0269
3 0,226 426,1415
Kelompok D
1 0,118 232,7663
2 0,102 204,1182
3 0,107 213,0707
4 0,122 239,9284
5 0,132 257,8335
= 7, 41375 gram
= 7, 060714 ml (p=1,05)
= 4,9245 mg / 7,060714 ml
= 12,6841
= 4,7164
VI. PEMBAHASAN
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa memahami penetapan kadar analisis obat di
dalam cairan hayati melalui metode Bratton-Marshall. Metode Bratton-Marshall bekerja
melalui prinsip reaksi diazotasi, yaitu reaksi pembentukan warna pada senyawa yang
memiliki gugus aktif amina aromatis primer. Pembacaan reaksi ini dilakukan menggunakan
metode Spektrofotometri UV-vis.
Metode Bratton-Marshall berjalan melalui 3 tahap yaitu :
NaNO2
+
TCA
N + H2O
1. Sulfametoksazol
Rumus molekul : C10H11N3O3S
Berat molekul : 253,28
Pemerian : Serbuk hablur, putih
sampai hampir putih, praktis tidak berbau
Protrombin X Trombin
Ca2+
Heparin beraksi dengan mengikat anti trombin III membentuk kompleks yang
berafinitas lebih besar daripada anti trombin III itu sendiri terhadap beberapa faktor
pembekuan darah aktif (trombin dan faktor Xa/faktor stuart power). Heparin juga
menginaktivasi faktor VIIIa/AHG dan mencegah terbentuknya fibrin yang stabil. Oleh
karena itu, heparin mempercepat inaktivasi faktor pembekuan darah (Anonim, 2012).
3. TCA (Trichloro Acetic Acid / Asam Trikloro Asetat)
Rumus Molekul : C2HCl3O2
Berat Molekul : 163,39
Pemerian : Massa hablur, sangat rapuh,
tidak berwarna, rasa lemah dan khas.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air,
dalam etanol, dan dalam eter P.
Asam trikloroasetat (nama sistematis: asam
trikloroetanoat) adalah analog dari asam asetat,
dengan ketiga atom hidrogen dari gugus metil digantikan oleh atom-atom klorin.
Senyawa ini merupakan asam yang cukup kuat (pKa = 0.77, lebih kuat dari disosiasi
kedua asam sulfat). Senyawa ini dibuat melalui reaksi klorin dengan asam asetat
bersama katalis yang cocok (Anonim, 1979).
4. Natrium Nitrit
Metode Analisis
Langkah pertama pada percobaan ini adalah memberikan larutan sulfametoksazol
secara per oral kepada hewan uji. Pada percobaan ini, hewan uji yang digunakan ialah tikus
putih Rattus novergicus dengan dosis 10 mg/200 mgBB dengan jarum berujung tumpul.
Karena stok sulfametoksazol adalah 10 mg/ml dan bobot tikus yang digunakan adalah 98,85
gram, maka dosis yang diberikan ialah 4,9425 gram dengan volume larutan sebesar 0,49 ml.
Kemudian, pemberian diberikan secara per oral sehingga dibutuhkan waktu tunggu sampai
proses absorbsi terjadi. Pada percobaan ini, praktikan menunggu selama satu jam setelah
pemberian dilakukan.
Setelah satu jam, tikus diletakkan di dalam holder dimana seluruh bagian badan tikus
kecuali ekor terperangkap di dalam holder. Penggunan holder bertujuan untuk membatasi
pergerakan tikus sehingga mempermudah proses pengambilan darah. Pada proses
pengambilan darah, volume darah tikus yang diambil sebanyak 1,5 ml per tikus pada dua
tikus, darah pada tikus pertama digunakan untuk pembuatan kurva baku internal, sedangkan
darah pada tikus kedua digunakan untuk pemrosesan sampel darah in vivo. Darah yang
diambil diletakkan di dalam tabung eppendorf berukuran 2 ml yang telah diberikan heparin
sebanyak 10 tetes untuk mencegah koagulasi darah. Pengambilan darah sebesar 1,5 ml ini
sebenarnya kurang tepat karena melebihi nilai batas atas volume darah yang dapat diambil
pada hewan uji dan tetap mempertahankan hidup hewan uji, yaitu 1% dari total bobot hewan
uji. Pada tikus yang digunakan kali ini, volume darah maksimal yang seharusnya dapat
diambil ialah 1% bobot tikus atau dengan kata lain 0,9885 gram atau 0,9414 ml ( p=1.05).
Namun, dikarenakan keterbatasan waktu percobaan dan volume minimal untuk replikasi
percobaan cukup tinggi, maka batas atas maksimal sekali pengambilan darah terpaksa
dilewati.
Metode pengambilan darah dilakukan dengan menyayat bagian ekor dengan
menggunakan skalpel. Sebelum bagian ekor disayat, dilakukan pembersihan dari bulu-bulu
halus tikus dengan tujuan agar darah tikus tidak tersangkut pada bulu ketika disayat,
melainkan langsung dapat ditampung di dalam eppendorf. Penyayatan ekor dilakukan dengan
melintang mengikuti ruas yang terdapat pada bagian ekor tikus dan tidak secara tegak lurus
untuk mencegah ekor tikus putus serta menyebakan darah menjadi tersendat keluar.
Penyayatan dilakukan sedalam setengah hingga dua per tiga tebal ekor dan darah yang keluar
segera ditampung dengan eppendorf. Apabila darah sulit keluar, dilakukan pemijatan perlahan
dari pangkal ekor untuk mempercepat pengeluaran darah. Bagian yang disayat ialah vena
lateralis yang keberadaanya dapat diketahui dengan memijat ekor tikus hingga terlihat
pembuluh darah yang berwarna ungu. Alasan digunakannya vena lateralis adalah pada bagian
itu merupakan tempat yang paling dekat dengan kulit sehingga pengambilannya dapat
mencegah kematian. Apabila darah sudah membeku dan tidak keluar lagi, maka dapat
dilakukan penyayatan pada bagian yang lebih atas dari ekor tikus tadi atau dapat pula luka
goresan tadi digores kembali agar luka dapat terbuka kembali dan darah dapat mengalir
keluar.
Penampungan darah tikus pada eppendorf harus dilakukan secara hati-hati, agar tidak
ada darah yang terbuang. Setiap melakukan penampungan beberapa tetes, sebaiknya
eppendorf ditutup dan dilakukan penggojogan ringan. Hal ini bertujuan untuk meratakan
heparin pada seluruh bagian darah, sehingga tidak ada darah yang terkoagulasi. Jika darah
mengalami koagulasi, maka pada proses sentrifugasi akan diperoleh supernatan berupa serum
sedangkan yang dibutuhkan dalam pemeriksaan adalah plasma darah sebagai cairan hayati.
Plasma darah dibutuhkan karena nantinya sulfametoksazol akan berikatan dengan
protein plasma dan membentuk kompleks obat makromolekul yang disebut kompleks
protein-obat. Kompleks protein-obat bersifat tidak aktif sehingga tidak lagi dapat dibaca
melalui absorbansi. Protein yang berperan dalam pengikatan obat di plasma darah antara lain
ialah albumin dan globulin. Albumin bertangggung jawab terhadap ikatan obat, sedangkan
globulin merupakan bagian terkecil dari keseluruhan protein plasma. Obat akan berikatan
dengan protein plasma jika plasma darah memebentuk suatu agregat besar. Oleh karena itu,
digunakan plasma darah yang tidak terkoagulasi.
Kelompok praktikan melakukan penyayatan sebanyak dua kali dikarenakan pada
lokasi pertama telah terjadi penjedalan yang tebal serta berkurangnya volume darah yang
dapat diambil secara drastis, sehingga tidak memungkinkan lagi pengambilan darah kecuali
dengan pergantian lokasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pengalaman dari
praktikan dalam menyayat hewan uji.
Setelah itu, dibuat larutan baku dengan tujuan agar persamaan regresi linier hubungan
kadar sulfametoksazol dengan absorbansi dapat dihitung sehingga praktikan dapat
menentukan kadar sulfametoksazol dalam darah tikus. Untuk kurva baku, dibuat masing-
masing seri kadar larutan baku dengan cara mengencerkan larutan sulfametoksazol dengan
kadar 1 mg/ml menggunakan aquadest dengan cara mengambil larutan stok menggunakan
mikropipet ataupun pipet volume dengan nilai volume tertentu. Kemudian, larutan stok
tersebut dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambahkan aquadest hingga didapatkan
konsentrasi yang sesuai, yaitu 25, 50, 100, 200, 400 g/ml. Untuk blangko digunakan
aquadest dengan tujuan untuk mengkoreksi absorbansi senyawa yang terbentuk.
Pembuatan larutan stok dilakukan dengan rumus pengenceran yaitu:
V1.M1=V2.M2
Dimana V1 menunjukan volume sulfametoksazol yang diambil dalam satuan mililiter, serta
nilai V2 menunjukan nilai volume dari labu takar. Lalu, nilai M 1 menunjukan nilai kadar
sulfametoksazol yang tersedia dengan M2 menunjukan konsentrasi yang kita inginkan.
Dengan kadar sulfametoksazol sebesar 25 g/ml didapatkan volume sulfametoksazol yang
harus diambil sebesar 250 l. Dengan kadar sebesar 50 g/ml, didapatkan kadar
sulfametoksazol yang harus diambil sebesar 500 l. Berikutnya dengan kadar 100 g/ml,
didapatkan kadar yang harus diambil sebesar 1000 l. Lalu dengan kadar sebesar 200 g/ml,
didapatkan jumlah volume sebesar 2000 l. Serta yang terakhir dengan kadar sebesar
400mg/mL, didapatkan volume 4000 l yang harus diambil.
Lalu, dilakukan pembuatan kurva baku internal menggunakan darah pada sampel bukan
aquadest. Caranya adalah menggunakan blanko (250 l) yang mengandung koagulan dan
ditambahkan 250 l larutan stok sulfametoksazol sehingga kadarnya 0, 25, 50, 200, dan 400
g/ml darah, setelah itu dicampur homogen dengan metode vortexing. Vortexing sendiri,
adalah sebuah metode pencampuran dengan prinsip pemutaran aliran fluida secara turbulen
sehingga seluruh bagian dapat tercampur homogen. Vortexing dilakukan menggunakan vortex
mixer atau seringkali juga dapat disebut vortexer. Prinsip kerja vortexer ialah ketika tabung
reaksi diletakkan pada bagian karet yang berosilasi dengan cepat, perputaran dari bagian
karet tersebut akan berpindah ke dalam cairan di dalam tabung sehingga pada cairan
terbentuk vortex.
Berikutnya adalah pemrosesan sampel darah in vivo dengan cara memasukan 250 l
darah yang mengandung anti koagulan berupa heparin. Maksud penambahan heparin ini
adalah agar darah tidak membeku. Campuran tersebut ditambahkan dengan 250 l aquadest
dan dihomogenkan. Setelah homogen, ditambahkan dengan 2,0 ml TCA 5% dengan
vortexing. TCA ialah senyawa yang mampu memprespitasi makromolekul seperti protein,
RNA, dan DNA. Pada percobaan kali ini, maksud dari penambahan TCA adalah agar protein
terdenaturasi. Keberadaan protein pada supernatan akan mengganggu proses absorbansi
sehingga perlu didenaturasi. Mekanisme denaturasi protein dilakukan melalui deprotonasi,
yaitu TCA mendenaturasi struktur sekunder dan tersier protein melalui ikatan disulfida yang
merupakan pembentuk kedua struktur tersebut sehingga bagian nonpolar dari protein akan
keluar serta protein mengendap. TCA juga berfungsi sebagai donor proton pada reaksi
berikutnya.
Selain itu, TCA juga berfungi sebagai pemberi suasana asam sehingga dapat berperan
dalam menghentikan kerja enzim pemetabolisme obat sekaligus menyebabkan denaturasi
protein plasma tanpa memecah protein menjadi asam amino penyusunnya.
Pada reaksi diazotasi yang biasa, digunakan HCl (asam klorida) sebagai pemberi
suasana asam. Tetapi pada percobaan ini tidak digunakan HCl karena HCl berefek memecah
protein menjadi asam aminonya sehingga pada saat sentrifugasi asam amino tersebut tidak
akan memisah dari plasmanya karena terlalu kecil untuk bisa diendapkan. Asam amino
tertentu memiliki ikatan rangkap terkonjugasi yang akan memberikan serapan pada UV-Vis
sehingga akan mengganggu pembacaan absorbansi. Sedangkan bila digunakan TCA, TCA
akan mengikat protein sehingga protein dapat terdenaturasi dalam suasana asam tanpa
terpecah menjadi fragmen-fragmennya.
Berikut ini adalah proses denaturasi protein oleh TCA:
Kemudian, larutan kurva baku internal yang telah dibuat digabung dengan sampel
darah in vivo yang telah di-vortexing, dicampur, dan di-sentrifuge selama 5 menit dengan
kecepatan 2500 rpm. Prinsip sentrifugasi ialah pemisahan suatu campuran dengan basis
perbedaan bobot jenis. Pada percobaan ini, sentrifugasi dimaksudkan agar terjadi pemisahan
antara padatan dengan cairan, dimana padatan akan terprespitasi di bawah tabung sementara
cairan akan membentuk supernatan. Sentrifugasi juga menyempurnakan dan mempercepat
pemisahan endapan protein dari supernatan yang mengandung sejumlah sulfametoksazol
yang tidak ikut mengendap bersama protein. Sulfametoksazol yang berada pada supernatan
merupakan obat bebas yang tidak terikat protein, sedangkan obat yang terikat dengan protein
tidak aktif scara farmakologis dan tidak memberikan efek terapeutik.
Setelah dipusingkan maka diambil beningan sebanyak 1,50 ml dengan menggunakan
mikropipet secara hati-hati agar endapan protein tidak terambil, sehingga didapatkan obat
bentuk bebas pada sampel. Selanjutnya, beningan tersebut dituang ke dalam tabung reaksi
dan diencerkan dengan aquadest sebanyak 2,0 ml. Lalu, dalam setiap tabung reaksi
ditambahkan larutan NaNO2 0,1% sebanyak sebanyak 0,1 mL dan diamkan selama 3 menit
agar terjadi reaksi secara sempurna. Maksud dari penambahan natrium nitrit adalah agar
terjadi reaksi diazotasi reaksi diazotasi merupakan reaksi antara amina aromatik primer
dengan natrium nitrit akan menghasilkan garam diazonium. Kondisi yang paling baik untuk
reaksi diazotasi pada pH sekitar 0-3. Suhu dalam reaksi diazotasi harus rendah, yaitu <150 C
karena garam diazonium mudah terurai menjadi fenol dan nitrogen apabila suhu reaksi terlalu
tinggi. Digunakan natrium nitrit sebab natrium nitrit lebih stabil dibandingkan asam nitrit
yang mudah rusak.
Setelah itu, ditambahkan larutan ammonium sulfamat 0,5% sebanyak 0,2 ml lalu
didiamkan selama 2 menit agar proses reaksi berlangsung dengan sempurna. Maksud dari
penambahan dari ammonium sulfamat agar sisa nitrit dari reaksi diazotasi dapat ditangkap
oleh ammonium sulfamat. Asam nitrit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi
senyawa hasil reaksi kopling diazo sehingga dapat lepas menjadi gas nitrogen dan fenol. Oleh
karena itu, kelebihan asam nitrit harus dihilangkan. Pada saat penambahan ammonium
sulfamat harus dilakukan secara hati-hati karena akan timbul gelembung gas nitrogen seperti
reaksi berikut:
Selanjutnya, ditambahkan N(1-naftil)etilendiamin 0,1% sebanyak 0,2 mL campur baik
baik lalu diamkan selama 5 menit ditempat gelap. Dengan waktu 5 menit, diperkirakan
merupakan operating time untuk campuran tersebut dan kemungkinan reaksi kopling sudah
berjalan dengan sempurna. Operating time merupakan waktu yang menunjukkan nilai
absorbansi yang konstan terhadap larutan yang dianalisis. Hal ini perlu dilakukan karena pada
percobaan ini terjadi suatu reaksi kopling dengan penambahan NED pada suatu senyawa
berupa garam diazonium hasil reaksi diazotasi. Reaksi tersebut memerlukan waktu hingga
terbentuk senyawa kopling yang stabil yang ditunjukkan dengan diperolehnya nilai atau
angka yang konstan pada beberapa kali pembacaan absorbansi dengan spektrofotometer. N(1-
naftil)etilendiamin sebagai pengkopling lebih disukai untuk analisis kuantitatif karena produk
biasnya berupa larutan dalm air dan punya absorbansi yang tinggi. N(1-naftil)etilendiamin
bekerja dalam suasana asam.
Setelah itu, larutan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 545 nm
menggunakan spektrofotometer visible terhadap blanko pereaksi yang telah dibuat.
Digunakan panjang gelombang 545 nm karena merupakan panjang gelombang maksimum
untuk senyawa yang terbentuk. Pada panjang gelombang maksimum absorbansi yang
dihasilkan maksimal dan kesalahan pembacaan paling kecil. Hal ini disebabkan karena pada
panjang gelombang maksimal terdapat keseimbangan antara energi yang dibutuhkan untuk
eksitasi dengan energi yang diberikan untuk eksitasi. Absortivitas molar akan berkurang bila
dalam larutan terdapat garam dengan konsentrasi tinggi dan hukum Lamber-Beer tidak
terpenuhi bila larutan terlalu pekat. Sehingga sebelum dilakukan pengkuran absorbansi, harus
terlebih dahulu dipersiapkan kurva baku sampel sebagai kalibrasi. Manfaatnya, praktikan
dapat mengetahui kisaran absorbansi untuk sampel agar masuk dalam kisaran kurva baku.
Hasil absorbansi yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung kadar terukur
obat dalam sampel, lalu dihitung beberapa paranmeter fisika:
1. Efisiensi
Recovery merupakan tolak ukur efisiensi analisis. Analisis memenuhi syarat jika
recovery berkisar antara 75-90%. Jika diluar rentang kadar tersebut maka
percobaan dianggap kurang efisien.
2. Akurasi
Akurasi dianggap baik jika kesalahan sistematik tidak lebih dari 10%. Harga
kesalahan sistematik menunjukan kemampuan metode ini memberikan hasil
pengukuran sedekat mungkin dengan nilai sebenarnya.
3. Presisi
Presisi dianggap baik jika kesalahan acak tidak lebih dari 10%. Ketepatan
menunjukan hasil pengukuran yang berulang pada sediaan hayati yang sama.
Setelah dilakukan pembacaan, didapatkan data berupa nilai absorbansi. Pada percobaan
ini, didapat nilai absorbansi untuk kadar 20, 50, 100, 200, dan 400 g/ml berturut-turut
sebesar 0,006; 0,000; 0,036; 0,104; dan 0,211. Namun, nilai absorbansi untuk kadar 50 g/ml
terpaksa ditolak dari perhitungan sebab berupa pencilan dan tidak memenuhi teori yang
berlaku. Hal ini mungkin disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam pembuatan larutan stok
50 g/ml. Data yang diperoleh kemudian dilakukan regresi linier, dimana kadar
sulfametoksazol sebagai nilai X dan absorbansi yang diperoleh sebagai nilai Y, sehingga
didapatkan persamaan kurva baku, yaitu y = 5,5850 . 10-4 x 0.0120.
Lalu, dari data validasi percobaan didapatkan nilai absorbansi untuk kadar 50 g/ml
dengan 2 kali replikasi sebesar 0,104; 0,104; dan 0,100. Kemudian, nilai absorbansi tersebut
dimasukan ke dalam persamaan kurva baku sehingga didapat nilai 207,6992 g/ml untuk
nilai absorban pertama sebesar 0,104. Nilai kadar kedua memiliki nilai absorbansi yang sama,
sehingga nilai kadarnya pun sama. Kemudian, pada nilai absorbansi ketiga (0,100)
didapatkan kadar sebesar 200,5372 g/ml. Sehingga didapat nilai kadar rata rata sebesar
205,3119 g/ml dan nilai SD (standar deviasi) didapatkan 4,1350.
Sehingga didapat angka 2,0140 %. Kesalahan acak yang ditunjukkan dengan besarnya nilai
koefisien variansi (CV) merupakan suatu parameter presisi atau ketepatan pengukuran yang
menunjukkan kedekatan hasil-hasil pengukuran secara berulang pada cuplikan hayati yang
sama.
Kemudian dilakukan perhitungan recovery (perolehan kembali) dengan rumus :
Recovery =
Dimana nilai kadar diketahui sebesar 50 g/ml dan nilai kadar terukur merupakan besar dari
kadar yang kita dapat berdasarkan data validasi dalam percobaan yaitu besar nilai X.
Recovery (perolehan kembali) merupakan parameter efisiensi dari suatu metode analisis.
didapat nilai recovery sebesar 401,0744 %. Sehingga rata rata dari nilai
Kesalahan sistematik merupakan parameter akurasi dari suatu penetapan kadar. Harga
ini menunjukkan kemampuan metode analisis untuk memberikan hasil pengukuran yang
sesuai dengan nilai aslinya. Nilai kesalahan sistemik yang dipersyaratkan adalah kurang dari
10%. Pada nilai recovery 415,3384% didapatkan nilai kesalahan sistematik -315,3384%.
Pada nilai recovery 410,0744% didapatkan nilai kesalahan sistematik sebesar -310,0744%
sehingga didapatkan nilai rata rata kesalahan sistematik sebesar -313,5837%.
Dengan cara yang sama juga dilakukan pada kadar sebesar 300 g/ml yang
mendapatkan angka absorbansi sebesar 0,182 ; 0,200 ; dan 0,198. Pada nilai absorbansi
sebesar 0,182 didapatkan nilai x sebesar 347,3590 g/ml. Lalu pada absorbansi 0,200
didapatkan nilai x sebesar 379,5882 g/ml, serta yang terakhir pada nilai absorbansi 0,198
g/ml didapatkan nilai x sebesar 376,0072 g/ml. Setelah itu dirata-rata dan didapatkan nilai
rata rata sebesar 367,6515 g/ml dengan nilai SD sebesar 17,9177. Kemudian, dicari
besarnya nilai CV sehingga didapat 4,8736% dan dicari nilai recovery sehingga didapat nilai
berturut turut 115,7863 % ; 126,5294 % ; dan 125,3357 % dengan rata rata recovery
122,5505 %. Setelah mendapat nilai recovery, maka dihitung besarnya kesalahan sistematik
sehingga didapat nilai kesalahan sistematik secara berturut-turut -15,7863% ; -26,5294 % ;
dan -25,3357%. Dengan rata rata kesalahan sistematik sebesar -22,5505%.
Nilai X yang didapatkan begitu besar sehingga berimbas kepada nilai recovery serta
nilai kesalahan sistematik. Nilai recovery didapat jauh diatas nilai recovery yang ideal yaitu
sebesar 75-90%. Sedangkan pada kesalahan sistematik memang nilainya di bawah 10%
namun besarnya nilai pun kurang rasional yaitu mencapai minus ratusan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa metode percobaan yang digunakan memiliki tingkat ketepatan yang
tinggi tetapi juga dianggap kurang efisian dan kurang akurat.
Selanjutnya dilakukan analisis data pada hasil percobaan dari sampel in vivo.
Kelompok praktikan, kelompok B, melakukan percobaan dengan replikasi sebanyak empat
kali sehingga didapatkan nilai seperti berikut:
2 0,102 204,1182
3 0,107 213,0707
4 0,122 239,9284
5 0,132 257,8335
38,5597 % sehingga didapat kesalahan sistematik sebesar 61,4403 %. Hal ini menunjukan
tingkat akurasi sampel yang rendah karena memiliki nilai kesalahan sistematik jauh di atas
ideal. Sementara itu, didapat nilai kesalahan acak sebesar 4,7164 % dan nilai ini cukup baik
karena menunjukan tingkat presisi yang tinggi.
VI. KESIMPULAN
1. Analisis obat dalam cairan hayati dapat diukur dengan parameter farmakokinetika.
2. Metode yang digunakan pada analisis obat dalam cairan hayati adalah metode
Bratton-Marshall.
3. Obat yang dianalisis pada percobaan ini adalah sulfadiazin dan cairan hayati yang
digunakan adalah darah tikus.
4. Parameter yang digunakan dalam percobaan ini adalah recovery, kesalahan sistemik,
dan kesalahan acak.
5. Pada percobaan ini didapat nilai recovery sebesar
dengan purata