Hukum Multiakad
Hukum Multiakad
Pertanyaan :
Mohon dijelaskan hukum multiakad (akad gabungan) seperti yang terjadi di
bank syariah (misal kasus murabahah KPP dalam kredit sepeda motor),
pegadaian syariah (gadai sekaligus jasa titip barang), dan kasus-kasus
lainnya.
Jawaban :
Pengertian Multiakad
Istilah multiakad adalah terjemahan bahasa Indonesia dari istilah-istilah
aslinya dalam bahasa Arab, yaitu : al-uqud al-murakkabah, al-uqud al-
maliyah al-murakkabah, al-jamu bayna al-uqud, damju al-uqud.
Istilah al-uqud al-murakkabah digunakan oleh Nazih Hammad dalam
kitabnya Al-Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7. Istilah al-
uqud al-maliyah al-murakkabah digunakan oleh Abdullah al-Imrani dalam
kitabnya Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46. Istilah al-jamu
bayna al-uqud digunakan oleh AAOIFI dalam kitab Al Maayir Al
Syariyyah / Shariah Standards, edisi 2010, hlm. 347. Sedangkan
istilah damju al-uqud digunakan oleh Ismail Syandi dalam kitabnya Al-
Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 17-18.
Hukum Multiakad
Terdapat khilafiyah (perbeda pendapat) di kalangan ulama mengenai boleh
tidaknya multiakad. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah
pendapat Imam Asy-hab dari mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi
Masa`il Al Iltizam, hlm. 353), juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dari
mazhab Hambali (Ibnu Taimiyah, Majmuul Fatawa, 29/132), dan pendapat
Imam At Tasuli, dalam kitabnya Al Bahjah, 2/14.
Dalil pendapat pertama ini antara lain kaidah fiqih yang berbunyi :
Hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan
keharamannya.
Berdasarkan kaidah ini, penggabungan dua akad atau lebih dibolehkan
karena tidak dalil yang melarangnya. Adapun nash-nash yang secara zhahir
melarang penggabungan dua akad, tidak dipahami sebagai larangan mutlak,
melainkan larangan karena disertai unsur keharaman (mahzhurat),
seperti gharar (ketidakpastian), riba, dan sebagainya. (Ismail Syandi, Al-
Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).
Kedua, pendapat yang mengharamkannya. Ini adalah pendapat jumhur
(mayoritas) ulama. Ini adalah pendapat ulama mazhab Hanafi (Al-
Marghinani, Al-Hidayah, 3/53), dan pendapat ulama mazhab Syafii (As-
Syarbaini, Mughni Al-Muhtaj, 2/42). Pendapat ini juga merupakan satu versi
pendapat (riwayat) ulama mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masa`il
Al Iltizam, hlm. 353), dan satu versi pendapat (riwayat) dari dua pendapat
dalam mazhab Hambali (Ibnu Muflih, Al-Mubdi, 5/54). (Lihat Ismail
Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).
Dalil pendapat kedua ini adalah hadis-hadis yang melarang dua syarat atau
dua akad. Antara lain adalah hadis Hakim bin Hizam RA, dia berkata :
:
Nabi SAW telah melarangku dari empat macam jual beli, yaitu (1)
menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, (2) dua syarat
dalam satu jual beli, (3) menjual apa yang tidak ada di sisimu, (4) mengambil
laba dari apa yang kamu tak menjamin [kerugiannya] (HR Thabrani).
Nabi SAW telah melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli. (HR
Tirmidzi, hadis sahih)
Tidak halal menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, juga
tak halal adanya dua syarat dalam satu jual beli. (HR Abu Dawud, hadis
hasan sahih)
Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan
[akad]. (HR Ahmad, hadis sahih)
:
Dari Hakim bin Hizam RA, dia berkata,Aku bertanya,Wahai Rasulullah
SAW, sesungguhnya aku banyak melakukan jual beli, apa yang halal bagiku
dan yang haram bagiku? Rasulullah SAW menjawab,Jika kamu membeli
suatu barang, jangan kamu menjualnya lagi hingga kamu menerima barang
itu. (HR Ahmad).
Dalam hadis di atas jelas sekali bahwa sahabat Nabi SAW bertanya kepada
Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sebelum berbuat. Andaikata
benar hukum asal muamalah itu boleh, tentunya sahabat tersebut langsung
saja melakukan muamalah dan tidak usah repot-repot bertanya kepada
Rasulullah SAW. Dengan demikian hadis Hakim bin Hizam RA ini dengan
jelas menunjukkan bahwa kaidah al-ashlu fi al muamalat al-ibahah adalah
kaidah yang batil.
Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa penggabungan akad (multiakad)
hanya haram jika disertai unsur keharaman, tidak dapat diterima. Sebab dalil-
dalil yang melarang penggabungan akad bersifat mutlak. Artinya, baik
disertai unsur keharaman maupun tidak, penggabungan akad itu tetap haram.
Perhatikan misalnya hadis Ibnu Masud RA :
Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan
[akad]. (HR Ahmad, hadis sahih).
Sumber jawaban adalah makalah KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, M.SI. (DPP
HTI, Pimpinan Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta) berjudul Kritik
Terhadap Multiakad (Uqud Murakkabah), disampaikan dalam Halqah
Syahriyah, diselenggarakan oleh DPC Hizbut Tahrir Indonesia Kraton DIY,
di Masjid Ngadinegaran, Mantrijeron, Yogyakarta, Ahad, 15 Juli 2012