1. NIFAS
Uterus
Pembuluh
Aliran darah uterin yang sangat meningkat yang diperlukan untuk
mempertahankan kehamilan dimungkinkan oleh hipertrofi signifikan dan
remodeling dari semua pembuluh pelvik. Setelah persalinan, kalibernya
berkurang sampai sekitar ukuran keadaan sebelum-hamil. Dalam uterus
puerperal, pembuluh darah lebih besar menjadi hilang oleh perubahan
hialin, terabsorbsi secara gradual, dan digantikan oleh pembuluh lebih
kecil. Vestige minor dari pembuluh lebih besar, namun demikian, bisa
bertahan selama beberapa tahun.
1
Selama kelahiran, batas servik luar, yang berhubungan dengan os
eksternal, biasanya ter-laserasi, khususnya secara lateral. Lubang servik
berkontraksi secara lambat dan selama beberapa hari segera setelah
kelahiran gampang dimasukkan dua jari. Sekitar akhir minggu pertama,
lubang ini menyempit, servik menebal, dan kanal endoservikal terbentuk
kembali. Os eksternal tidak memulai secara komplit penampilan pregravid
nya. Ia tetap agak lebih lebar, dan khususnya, depresi bilateral pada
lokasi (tempat) laserasi menjadi permanen. Perubahan ini adalah khas
dari servik parous. Segmen uterin yang sangat menipis berkontraksi dan
beretraksi, namun tidak sekuat dengan korpus uterin. Selama beberapa
minggu berikut, segmen bawah dikonversi dari sub struktur jelas berbeda
cukup besar untuk mengakomodasi kepala janin, ke istmus uterin yang
jelas terlihat dan berada antara korpus dan os internal.
Involusi Uterin
Segera setelah ekspulsi plasenta, fundus dari uterus berkontraksi
berada sedikit di bawah umbilikus. Ia sebagian besar terdiri dari
miometrium yang ditutupi oleh serosa dan dilapisi oleh desidua basal.
Dinding anterior dan posterior, yang sangat berdampingan, masing-
masing setebal 4 sampai 5 cm. Seketika postpartum, berat uterin adalah
sekitar 1000 g. Karena pembuluh darah dikompres oleh miometrium
berkontraksi, uterus pada seksi bersifat iskemik dibanding dengan organ
hamil hipertermik berwarna ungu-kemerahan.
Dua hari setelah persalinan, uterus mulai ber-involusi, dan pada 1
minggu, ia berbobot sekitar 500 g. Sekitar 2 minggu, ia berbobot sekitar
300 g dan telah turun ke dalam pelvis sejati. Sekitar 4 minggu setelah
persalinan, ia mendapatkan kembali ukuran non-hamil sebelumnya 100 g
atau lebih kurang. Total jumlah sel-sel otot mungkin tidak begitu
berkurang. Malahan, sel-sel individual berkurang tajam ukurannya dari
500-800 m pada term sampai 50-90 m sekitar 2.5-5 m postpartum.
Involusi dari kerangka jaringan konektif juga terjadi secara cepat.
2
Karena pemisahan plasenta dan membrane melibatkan lapisan
spongy, basalis desidua tidak terkelupas. Desidua yang tetap ada memiliki
variasi mencolok dalam ketebalannya, memiliki penampilan bergerigi
regular, dan ter-inflitrasi dengan darah, khususnya pada lokasi plasenta.
Pasca-Nyeri (Afterpains)
Pada primiparas, uterus cenderung tetap berkontraksi secara
tonikal setelah persalinan. Meski demikian, pada multiparas, uterus selalu
berkontraksi secara giat pada beberapa interval dan mengakibatkan
pasca-nyeri, yang menyerupai dengan tapi lebih ringan dibanding nyeri
kontraksi persalinan. Mereka adalah lebih jelas saat paritas meningkat dan
memburuk ketika bayi menyusu, mungkin karena adanya pelepasan
oksitosin. Biasanya, pasca-nyeri berkurang dalam intensitasnya dan
menjadi ringan sekitar hari ketiga.
Lochia
Pada masa awal puerperium, pengelupasan jaringan desidual
mengakibatkan pelepasan kuantitas vagina yang bervariasi. Pelepasan ini
disebut lochia dan terdiri dari eritrosit, desidua yang sobek, sel-sel epitelial
yang menjadikannya warna merah lochia rubra. Setelah 3 sampai 4 hari,
lochia menjadi pucat warnanya secara progresif lochia serosa. Setelah
sekitar hari ke-10, karena adanya campuran leukosit dan rendahnya
kandungan fluida, lochia menjadi warna putih kekuningan lochia alba.
Lochia berlangsung selama sampai 4 8 minggu setelah persalinan.
Regenerasi Endometrial
Dalam 2 atau 3 hari setelah persalinan, sisa desidua ter-diferensiasi
menjadi dua lapisan. Lapisan superfisial menjadi nekrotik dan terkelupas
dalam lochia. Lapisan basal yang berdekatan dengan miometrium tetap
utuh dan merupakan sumber endometrium baru. Endometrium muncul
dari proliferasi sisa-sisa glandular endometrial dan stroma pada jaringan
konektif interglandular.
3
Regenerasi endometrial adalah cepat, kecuali pada lokasi plasenta.
Dalam seminggu atau lebih, permukaan bebas ditutupi oleh epithelium,
dan Sharman (1953) telah mengidentifikasikan endometrium yang pulih
dalam semua spesimen biopsi yang diperoleh dari hari ke-16 ke depan.
Endometritis histologik merupakan bagian dari proses reparatif (perbaikan)
normal. Selanjutnya, perubahan inflamatori mikroskopis yang khas dari
salpingitis akut terlihat pada hampir separuh perempuan postpartum
antara 5 dan 15 hari. Namun, ini tidak merefleksikan infeksi
Subinvolusi
Saat pemeriksaan bimanual, uterus adalah lebih besar dan lebih
lunak dibanding yang diduga. Baik retensi fragmen plasenta maupun
infeksi pelvik bisa menimbulkan subinvolusi. Ergonovine atau
methylergonovine (Methergine), 0.2 mg setiap 3 sampai 4 jam selama 24
48 jam, direkomendasikan untuk subinvolusi, namun efikasi
(keampuhan) nya masih diragukan.
Andrew dan kolega (1989) menjelaskan 25 kasus hemorrhage
antara 7 dan 40 hari postpartum yang terkait dengan arteri uteroplasenta
non-involusi. Arteri abnormal ini diisi oleh trombi dan kekurangan lapisan
endotelial. Mereka mendalilkan bahwa subinvolusi, setidaknya
sehubungan dengan pembuluh plasenta, mungkin menunjukkan interaksi
menyimpang antara sel-sel uterin dan trofoblas.
4
Williams (1931) menjelaskan involusi lokasi plasenta sebagai
sebuah proses eksfoliasi, yang sebagian besar disebabkan oleh
melemahnya lokasi implantasi oleh pertumbuhan jaringan endometrial.
Jadi, involusi tidak hanya merupakan absorpsi in situ. Eksfoliasi terdiri dari
ekstensi maupun penyusutan endometrium dari batas-batas lokasi
plasenta, serta perkembangan jaringan endometrial dari kelenjar dan
stroma yang tertinggal dalam basalis desidual setelah pemisahan
plasenta. Anderson dan Davis (1968) menyimpulkan bahwa eksfoliasi
lokasi plasenta berasal dari pengelupasan jaringan superfisial nekrotik dan
terinfraksi yang diikuti oleh proses remodeling.
Kolostrum
Setelah persalinan, payudara mulai mensekresi kolostrum, yang
merupakan cairan kuning-lemon. Ini biasanya bisa keluar dari puting
sekitar hari kedua postpartum. Dibanding susu matang, kolosterum
mengandung lebih banyak mineral dan asam amino. Ia juga memiliki lebih
banyak protein, dimana banyak di antaranya adalah globulin, tetapi lebih
sedikit gula dan lemak. Sekresi berlangsung selama sekitar 5 hari, dengan
konversi gradual menjadi susu matang selama 4 minggu berikut.
Kolostrum mengandung antibodi, dan kandungan immunoglobulin A (IgA)
memberikan perlindungan bayi-baru-lahir terhadap patogenesis enterik.
5
Faktor host resistensi lainnya yang ditemui dalam kolosterum dan susu
termasuk komplemen, makrofage, limposit, laktoferrin, laktoperoksidae,
dan lisozim.
Susu
Susu manusia merupakan suspensi lemak dan protein dalam
larutan karbohidrat-mineral. Seorang ibu menyusui dengan mudah
memproduksi 600 ml susu setiap hari dan pertambahan berat gestasional
maternal memiliki dampak kecil terhadap kuantitas atau kualitasnya. Susu
adalah bersifat isotonik dengan plasma, dan laktosa bertanggungjawab
atas separuh tekanan osmotik. Asam amino esensial diperoleh dari darah,
dan asam amino nonesensial didapat sebagian dalam darah atau di-
sintesis dalam kelenjar mamari. Sebagian besar protein susu adalah unik
dan meliputi -lactalbumin, -lactoglobulin, dan kasein. Asam lemak di-
sintesis dalam alveoli dari glukosa dan disekresi oleh proses menyerupai-
apokrin. Semua vitamin kecuali K ditemui dalam susu manusia, tapi
dengan jumlah bervariasi. Kandungan vitamin D adalah rendah 22
IU/mL.
6
T maupun B, namun limposit T kelihatannya berbeda dari yang ditemui
dalam darah. Secara spesifik, limposit T susu hampir terdiri dari sel-sel
yang memperlihatkan antigen selaput spesifik, termasuk fenotip sel-T
memori-tinggi LFA-1. Sel-sel T memori ini nampaknya menjadi jalan lain
bagi bayi baru lahir untuk mengambil manfaat dari pengalaman
immunologikal maternal. Limposit dalam kolosterom mengalami
transformasi blastoid secara in vitro setelah eksposur terhadap antigen
spesifik.
Penyusuan
Susu ibu merupakan makanan ideal bagi bayi baru lahir. Ia
memberi nutrien spesifik-umur serta faktor immunologik dan substansi
antibakterial. Susu juga mengandung faktor-faktor yang bertindak sebagai
sinyal biologis untuk meningkatkan diferensiasi dan pertumbuhan seluler.
Bagi ibu dan bayi, manfaat pemberian ASI mungkin jangka panjang.
Misalnya, perempuan yang menyusui memiliki resiko kanker payudara
lebih rendah, dan anak-anak mereka memiliki inteligensi dewasa yang
tinggi yang bebas dari sejumlah besar faktor buruk memungkinkan.
Pemberian ASI dikaitkan dengan retensi berat postpartum yang rendah.
Engorgement Payudara
Perempuan yang tidak menyusui mungkin mengalami
engorgement, kebocoran susu, dan nyeri payudara, yang puncaknya pada
3 5 hari setelah persalinan. Sebanyak separuhnya memerlukan
analgesia untuk peredaan nyeri-payudara. Sampai 10 persen dari
perempuan melaporkan nyeri berat sampai 14 hari.
Payudara seharusnya ditopang dengan bh yang cocok. Agen
farmakologis atau hormonal tidak direkomendasikan untuk menekan
laktasi. Malahan kemasan (pack) es dan oral analgesics selama 12 24
jam bisa digunakan untuk meredakan ketidaknyamanan.
7
Ovulasi bisa dimulai seawal 3 minggu setelah persalinan, bahkan
pada perempuan sedang laktasi. Waktunya tergantung pada variasi
biologis individual serta intensitas pemberian ASI. Kontraseptif progestin-
saja mini-pills, depot medroxyprogesterone, atau progestin implants
tidak mempengaruhi kualitas atau kuantitas dari susu. Kontraseptif
estrogen-progestin mungkin mengurangi kuantitas susu payudara, namun
di bawah keadaan tepat, mereka juga bisa digunakan oleh perempuan
menyusui.
Perawatan Payudara
Puting memerlukan sedikit perhatian selain dari kebersihan dan
perhatian pada fisura kulit. Puting fisura menyebabkan penyusuan
menjadi nyeri dan puting ini bisa memiliki pengaruh buruk terhadap
8
produksi susu. Crack ini juga memberi suatu portal entri bagi bakteri
piogenik. Karena susu kering mungkin berakumulasi dan mengiritasi
puting, mencuci areola dengan air dan sabun ringan adalah membantu
sebelum dan setelah penyusuan. Jika puting teriritasi atau mengalami
fisura, maka perlu menggunakan lanolin topikal dan pelindung puting
selama 24 jam atau lebih. Jika fisuranya berat, maka bayi seharusnya
tidak diizinkan menyusu pada sisi terkena. Malahan, payudara seharusnya
dikosongkan secara regular dengan sebuah pompa sampai lesi tersebut
sembuh.
Ambulasi Awal
Perempuan keluar dari tempat tidur dalam beberapa jam setelah
persalinan. Seorang pembantu seharusnya hadir selama setidaknya
waktu pertama, jika perempuan ini menjadi sinkopal. Banyak keuntungan
9
dari ambulasi awal meliputi komplikasi kandung kemih lebih sedikit dan
konstipasi (sembelit) yang jarang. Ambulasi dini telah mengurangi
frekuensi trombosis vena puerperal dan embolisme pulmonari. (
Perawatan Perineal
Perempuan diinstruksikan untuk membersihkan vulva dari anterior
sampai posterior vulva ke arah anus. Sebuah bungkus es yang
diterapkan pada perineum bisa membantu mengurangi edema dan
ketidaknyamanan selama beberapa jam pertama jika terdapat laserasi
atau episiotomi. Kebanyakan perempuan juga kelihatan memperoleh
tindakan peredaan dari aplikasi periodik dari semprotan anestetik lokal.
Ketidaknyamanan berat biasanya mengindikasikan sebuah problem,
seperti hematoma pada hari pertama atau lebih, dan infeksi setelah hari
ketiga atau keempat. Beberapa nyeri perineal, vagina, atau rektal
memerlukan inspeksi dan palpasi yang cermat. Dimulai sekitar 24 jam
setelah persalinan, panas lembab seperti yang disediakan dengan sitz
baths hangat bisa digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan lokal.
Tub bathing setelah persalinan tidak-komplit dibolehkan. Insisi episiotomi
biasanya sembuh dan hampir asimptomatik sekitar minggu ketiga.
10
terinduksi-oxytocin atau teraugmentasi-oxytocin, laserasi perineal,
persalinan terinstrumentasi, kateterisasi selama kelahiran, dan kelahiran
dengan durasi selama 10 jam.
Pencegahan overdistensi kandung kemih menuntut pengamatan
setelah persalinan untuk menjamin bahwa kandung kemih tidak terlalu
penuh dan bahwa dengan setiap pengosongan maka ia akan kosong
secara memadai. Kandung kemih yang membesar bisa dipalpasi secara
suprapublik, atau terbukti secara abdominal secara tidak langsung ketika
ia mengangkat fundus di atas umbilikus.
Manajemen/Penanganan
Jika seorang perempuan tidak dikosongkan dalam 4 jam setelah
persalinan, maka mungkin ia tidak mampu. Jika dia mengalami gangguan
mengosongkan pada awalnya, dia juga mungkin mengalami gangguan
berikut. Suatu pemeriksaan atas hematomas saluran-genital dan perineal
dilakukan. Dengan kandung kemih overdistensi, sebuah kateter yang
selalu ada seharusnya dibiarkan pada tempatnya sampai faktor-faktor
yang menyebabkan retensi telah mereda. Bahkan tanpa penyebab yang
terlihat, biasanya paling baik membiarkan kateter pada tempatnya selama
setidaknya 24 jam. Ini mencegah kekambuhan dan mengizinkan
penyembuhan sensasi dan tonus kandung kemih normal.
Jika kateter dikeluarkan, maka selanjutnya perlu memperlihatkan
kemampuan untuk mengosong secara memadai. Jika seorang perempuan
tidak bisa mengosongkan setelah 4 jam, maka dia seharusnya di-
kateterisasi dan volume urin diukur. Jika lebih dari 200 mL, kandung kemih
tidak berfungsi secara memadai, dan kateter dibiarkan selama hari berikut.
Jika kurang dari 200 mL urin diperoleh, maka kateter bisa dikeluarkan dan
kandung kemih dicek ulang berikutnya seperti dijelaskan. Harris dan
kolega (1977) melaporkan bahwa 40 persen dari perempuan tersebut
menimbulkan bakteriuria, maka sekali-dosis atau jangka pendek dari
terapi antimikrobial adalah masuk akal setelah keteter dikeluarkan.
11
Perawatan di rumah
Koitus
Tidak ada aturan berbasis-bukti mengenai pemulaian-kembali
koitus setelah persalinan. Nampaknya sangat baik menggunakan akal
sehat. Setelah 2 minggu, koitus bisa dimulai kembali berdasarkan hasrat
dan kenyamanan. Hubungan seksual terlalu cepat mungkin tidak
menyenangkan, jika sama sekali tidak nyeri, akibat penyembuhan belum
sempurna dari episiotomi atau laserasi. Selanjutnya, epitelium vagina
adalah tipis dan sangat sedikit lubrikasi mengikuti stimulasi seksual. Ini
mungkin disebabkan oleh keadaan hiperestrogenik setelah persalinan dan
berlangsung sampai mulainya ovulasi. Adalah problematis pada
perempuan pemberi ASI yang hipoestrogenik selama beberapa bulan
postpartum. Untuk perawatan, sejumlah kecil krem estrogen topikal bisa
diterapkan setiap hari selama beberapa minggu ke jaringan vagina dan
vulvar. Di samping itu, lubrikan vagina bisa digunakan dengan koitus.
12
2. PRETERM
3.
Definisi.
Persalinan preterm adalah istilah yang digunakan untuk persalinan yang
terjadi terlalu awal (dalam ukuran waktu/usia kehamilan). Persalinan preterm
adalah persalinan yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu tapi sebelum
kehamilan 37 minggu lengkap atau kurang dari 259 hari, terhitung sejak hari
pertama siklus haid terakhir, atau dengan berat lahir kurang dari 2500 g. (Iams
JD;1995, Cunningham FG;2010, A. Abadi;2004 )
Ada tiga kategori pasien dengan persalinan prematur yakni:
1. Persalinan prematur murni
2. Ketuban pecah sebelum kehamilan mencapai cukup bulan
3. Persalinan prematur akibat komplikasi medis/obstetris (infeksi, perdarahan
ante partum, HDK, bayi kembar, hidramnion).
Dari ketiga kategori ini, prematuritas akibat komplikasi medis dan obstetri paling
banyak dan sulit dicegah, ketuban pecah sebelum usia cukup bulan kecil
responnya terhadap terapi, sedangkan penyebab lainnya terkelompokkan pada
ancaman persalinan prematur yang dapat diusahakan pencegahan melalui berbagai
cara.( Krisnadi SR;2001 )
Insidensi
Angka kejadian persalinan preterm di Indonesia berkisar 10-20 % dari
seluruh persalinan. Di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada tahun 2000 kejadiannya
adalah 16 %.(Krinadi SR;2001). Di RS. Dr. M. Djamil Padang selama 6 bulan
(1 September 2001 s/d 28 Februari 2002) didapatkan 125 kasus partus prematurus
dari 955 persalinan (13,09 %) dimana 22 kasus diantaranya merupakan partus
prematurus imminen (2,3 %).( Novira H 2002 )
Etiologi
Beberapa faktor yang dihubungkan dengan kejadian persalinan preterm
adalah : (Fernando A;1993)
13
1. Faktor sosiobiologi, Termasuk disini umur, jarak kehamilan pekerjaan, faktor
nutrisi dan kebiasaan merokok.
2. Riwayat obstetri terdahulu meliputi riwayat abortus, riwayat persalinan
preterm dan adanya kelainan anatomi pada uterus dan servik.
3. Komplikasi pada kehamilan ini, termasuk disini hemoragia antepartum,
hipertensi, kehamilan multiple, malformasi janin, polihidramnion,
oligohidramnion, infeksi dan induksi persalinan yang tidak disengaja.
Patogenesis
Pada persalinan preterm, proses persalinan terpicu sebelum waktunya.
Pencetus keadaan patologis tersebut antara lain infeksi intra uterin, over distensi
uterus, iskemia uteroplasenter, kelainan serviks dan hal-hal lain yang belum dapat
dijelaskan. Dari beberapa pencetus diatas infeksi intra uterin menyebabkan 40 %
kejadian persalinan preterm.( Fernando A;1993)
Mekanisme persalinan preterm yang diinduksi oleh infeksi pada dasarnya
merupakan suatu reaksi inflamasi yang dipengaruhi oleh faktor maternal dan
janin. Invasi bakteri akan menghasikan produk-produk bakteri berupa fosfolipase
A2 (PLA2), endotoksin dan kolagenase. Produk tersebut akan merangsang kaskade
sitokin yang ditandai dengan pembentukan interleukin-1 (IL-1), tumor necrosing
factor (TNF), interleukin 6 (IL- 6), interleukin -8 (IL-8) oleh makrofag dan sel-
sel inflamasi desidua yang teraktivasi.(Iams JD;1995, Uldbjerg N;1995,
Cunningham FG;2001)
PLA2 akan menginduksi gliserofosfolipid dari membran sel dan kemudian
berubah menjadi asam arakidonat dan selanjutnya merangsang kaskade sitokin
untuk menghasilkan prostaglandin E2 (PGE2) melalui jalur COX-2. Sebenarnya
asam arakidonat yang dihasilkan oleh proses tersebut sebagian akan diubah
melalui jalur lipoksigenase menjadi leukotrien (LT) dan 5 -
hydroxyecoisatetraenoiic acid (5- HETE) yang kemudian dapat merangsang
kontraksi uterus.(Uldbjerg N;1995)
Faktor-faktor lain yang dapat memicu persalinan antara lain aktivasi
desidual, dimana lapisan desidua dianggap sebagai lapisan makrofag yang akan
terstimulasi saat awitan persalinan terjadi. Sehingga saat persalinan akan dijumpai
14
peningkatan kadar prostaglandin, PAF dan sitokin didalam cairan amnion.
Prostaglandin selanjutnya akan meningkatkan pengambilan kalsium intraseluler
sehingga kadar kalsium yang dapat dipakai oleh miometrium meningkat dan
kemudian akan menyebabkan kontraksi.(Uldbjerg N;1995)
Sitokin mungkin juga merangsang ekspresi oksitosin dan produksi
corticotropin releasing hormon (CRH) dalam decidua. Adanya stress maternal
dan fetal juga akan meningkatkan produksi CRH. CRH akan merangsang
produksi prostaglandin intra uterin dan mungkin juga bekerja sinergis dengan
oksitosin dalam merangsang kontraksi uterus.
15
lebih/pendataran serviks 50 % atau lebih, diramalkan persalinan preterm terjadi
pada 62 % - 83 %.(A. Abadi;2004)
Keluhan atau gejala lain yang dapat membantu menegakkan diagnosa dini
wanita hamil dengan resiko untuk persalinan preterm adalah:(Cunningham
FG;2001)
1. Keluarnya mukus dari serviks, sering sedikit berdarah
2. Nyeri punggung bawah
3. Tekanan panggul yang sering disebabkan oleh desensus janin
4. Kram mirip menstruasi
5. Kram intestinal dengan atau tanpa diare
Penatalaksanaan.
Begitu diagnosis persalinan kurang bulan telah ditegakkan, maka uji
laboratorium berikut harus dilakukan seperti: hitung darah lengkap, gula darah
sewaktu, elektrolit serum, urinalisis dan biakkan urin serta sensitivitas. Kalau
pemeriksaan USG sebelumnya tidak dilakukan pada janin, maka pemeriksaan ini
harus dilakukan untuk menilai berat janin, untuk mencatat presentasi dan untuk
menyingkirkan setiap adanya cacat bawaan yang menyertai. Uji ini juga dapat
mendeteksi beberapa faktor etiologi yang mendasari, misalnya: anak kembar atau
anomali rahim.(A. Abadi;2004)
Terapi tokolitik merupakan landasan dasar terapi farmakologi pada
persalinan preterm. Tokolitik berfungsi untuk menghentikan kontraksi uterus
selama episode tertentu persalinan (first-line therapy) atau memelihara relaksasi
uterus setelah episode akut (maintenance therapy). Tujuan yang diharapkan
adalah dapat memperpanjang umur kehamilan dan meningkatkan berat badan
lahir atau minimal untuk memperpanjang kehamilan bersamaan dengan
pemberian kortikosteroid yang berguna untuk pematangan paru janin.
Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh variasi maternal dan efek samping terhadap
neonatus. (Berkman DN;2003)
Oleh karena usia hamil dan berat lahir merupakan faktor penentu dari fetal
survival maka yang menjadi tujuan utama pengelolaan persalinan adalah:
1. Meningkatkan usia hamil
16
2. Meningkatkan berat lahir
3. Menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal
Prinsip pengelolaan persalinan preterm yang membakat adalah tergantung pada:
1. Kondisi ketuban masih utuh atau sudah pecah.
2. Usia kehamilan dan perkiraan berat janin.
3. Ada atau tidak adanya gejala klinis dari infeksi intra uterin.
4. Ada atau tidak petanda-petanda yang meramalkan persalinan dalam waktu
yang relatif dekat (kontraksi, penipisan servik dan kadar IL-6 dalam air
ketuban )
Pada dasarnya apabila tidak ada bahaya untuk ibu dan atau janin maka
pengelolaan persalinan preterm yang membakat adalah konservatif, yakni: (A.
Abadi;2004):
a. Menunda persalinan dengan tirah baring dan pemberian obat tokolitik.
b. Memberikan obat untuk memacu pematangan paru janin
c. Memberikan obat antibiotik untuk mencegah resiko terjadinya infeksi
perinatal
d. Merencanakan cara persalinan pretrem yang aman dan dengan trauma yang
minimal
e. Mempersiapkan perawatan neonatal dini yang intensif untuk bayi prematur
17
Preparat ini kurang begitu efektif dan bisa menimbulkan efek
samping yaitu takikardia dan hipotensi.
c. Ritodrin
Merupakan obat satu-satunya yang mempunyai indikasi spesifik
untuk menghentikan persalinan preterm
d. Fenoterol
Secara struktural menyerupai ritodrin.
b. Terapi kombinasi
Dari hasil penelitian beberapa ahli, terapi kombinasi antara ritodrin dengan
magnesium sulfat memberikan efek yang lebih ampuh dari pada satu obat
saja.
c. Non Steroid Anti Inflamasi.
Cox-2 Inhibitor (Nimesulid) oral dengan dosis 3 X 100 mg/hari. Obat-
obat NSAIAs yang lain (seperti Indomethasin dll. saat ini tidak dianjurkan
lagi terutama pada kehamilan > 32 minggu oleh karena efek samping
penutupan dini duktus drteriosus).
d. Anti prostaglandin
Preparat ini bekerja dengan menghambat kerja prostaglandin pada organ
sasaran.
e. Preparat penghambat saluran kalsium.
Nifedipine oral dengan dosis 3 X 10 mg/hari. Pada dasarnya obat ini cukup
aman terhadap ibu dan janin, akan tetapi dalam beberapa penelitian pernah
ditemukan efek samping pada ibu berupa sakit kepala dan hipotensi.
Aktifitas myometrium tergantung sekali dengan kadar ion Ca dalam
sitoplasma. Dimana kerja ion Ca dalam sitoplasma mengaktifkan aktin dan
myosin. Masuk kedalam sitoplasma melewati suatu pintu membran khusus.
Kalsium antagonis yang dikenal dengan preparat nifedipin bekerja
menghambat masuknya ion Ca melewati pintu membran sitoplasma.
Sehingga dengan penurunan kadar ion Ca akan menghambat timbulnya
kontraksi myometrium.
Nifedipine akan mencapai puncak konsentrasi dalam plasma setelah 30
sampai 60 menit setelah pemberian secara oral, namun pemberian sublingual
18
dapat memberikan hasil yang lebih cepat dalam darah. Pemberian nifedipine
sublingual dengan dosis awal 10 mg harus diulangi setelah 20 menit
pemberian dan diulangi lagi 20 menit kemudian apabila kontraksi uterus
masih berlangsung. Pemberian oral dimulai dari 10 sampai 20 mg setiap 4
sampai 6 jam. Penggunaan nifedipine dapat memperlambat persalinan
sampai 3 hari. Efek samping yang ditimbulkan:
Pada ibu hamil dapat menimbulkan penurunan tekanan darah,
kemerahan pada kulit, nausea dan sakit kepala
Pada fetus dapat menyebabkan penurunan PO2 dalam arteri
f. Oxytocin analog. Atosiban (belum beredar di Indonesia).
g. Progesteron. Progesteron dan preparat progestin sintetik, diduga oleh para
ahli menghambat rangsangan kontraksi sel-sel myometrium. Tapi sejauh ini
preparat tersebut belum meyakinkan efektif digunakan secara klinis.
Penggunaan progesteron pada kehamilan preterm masih merupakan
kontroversi dimana pada meta analisis literatur diindikasikan progesteron
agent meningkat pada kelahiran preterm. Efek tokolitik progesteron diduga
merupakan efek antagonis prostaglandin F2 dari stimulasi adrenergik dan
mempunyai peran memblok perkembangan gap junction yang penting untuk
aktivitas otot. Secara natural progesteron terdapat pada ibu dan bayi.
Pemberiannya sangat mudah yaitu 50 mg tiap 8-12 jam.
h. Etanol. Banyak teori yang menjelaskan etanol dapat menghentikan
persalinan preterm. Pada mulanya etanol sebabkan merintangi pelepasan
oksitosin dari neurohipofise. Sebagian para ahli menjelaskan fungsi etanol
mungkin memiliki efek depresi langsung pada myometrium. Tapi preparat
ini tidak baik untuk ibu maupun janin dapat menyebabkan mabuk
19
pemberian kortikosteroid, kecuali bila pada saat pemeriksaan ditemukan L / S
ratio > 2 atau tes lain yang menunjukkan maturitas paru. (A.Abadi;2004)
Bila tokolitik tidak berhasil, lakukan persalinan dengan upaya optimal.
Jangan menghentikan kontraksi uterus bila: (Saiffudin 2002)
Umur kehamilan lebih dari 35 minggu
Serviks membuka lebih dari 3 cm
Perdarahan aktif
Janin mati dan adanya kelainan kongenital yang kemungkinan hidup kecil
Adanya khorioamnionitis
Preeklampsia
Gawat janin
20
Penelitian tentang pengaruh glukokotikoid terhadap pematangan paru telah
banyak dilakukan, baik invivo maupun vitro. Streroid ini mempercepat maturitas
paru baik dari segi anatomik, biokemik maupun fisiologik-glukokortikoid bekerja
pada paru malalui mekanisme reseptor steroid klasik. (A. Abadi;2004, Joserizal S,
Djusar S;2004 )
Berdasarkan trial klinis dengan pemberian steroid pada antenatal, hampir
semua penelitian menunjukkan penurunan insiden RDS tapi dengan hasil yang
terbatas. Penelitian-penelitian terakhir memperlihatkan kemungkinan steroid dapat
meningkatkan fungsi paru postnatal dan peningkatan proses kognitif. Secara
umum steroid antenatal sangat efektif bila diberikan sebelum usia kehamilan 32
minggu. Hasil yang optimal didapatkan bila bayi dilahirkan paling sedikit 2 3
hari dan paling lambat dalam 7 10 setelah mulainya pemberian obat. (A.
Abadi;2004, Joserizal S, Djusar S;2004)
Dua jenis kortikosteroid yang paling umum digunakan dan diteliti paling
luas untuk pengobatan antenatal adalah deksametason dan betametason.
Komposisi kimia kedua obat ini hanya berbeda pada deksametason mempunyai
suatu kelompok metil di posisi 16 dalam konfigurasi alfa, sedangkan betametason
mempunyai metil di posisi beta. Regimen yang dianjurkan untuk dosis ibu
berbeda antara deksametason dan betametason. Untuk deksametason 6 mg
intramuskular 4 kali dengan interval 12 jam. Untuk betametason 12 merupakan
intramuskular 2 kali berjarak 24 jam. Untuk kedua obat, suatu dosis obat
menghabiskan waktu 48 jam. Biasanya betametason menjadi steroid pilihan oleh
ahli perinatologi. Alasannya adalah termasuk jadwal pemberian yang lebih
disukai, potensi lebih kuat, profil efek samping lebih ditoleransi. Penelitian pada
hewan menunjukkan mungkin 2 atau 3 kali lebih poten dibandingkan dengan
deksametason dalam mempercepat perkembangan paru janin. (Dudley DJ;2003)
21
hamil) terutama dianjurkan derivat penisilin/ampisilin mengingat efek teratogenik
terhadap janin. Pemberian antibiotika ini masih banyak kontroversi
oleh karena satu pihak berhasil menurunkan kejadian infeksi pada amnion/janin
dan memperpanjang usia hamil (oleh karena bisa meningkatkan efek obat-obat
tokolitik), akan tetapi pihak lain menolak memberikan oleh karena ternyata
pemberian antibiotika ini tidak memperbaiki hasil akhir (outcome) janin seperti
kejadian Necrotizing Enterocolitis (NEC), respiratory distress syndrome (RDS)
dan intracranial haemorhage (Mercer & Arheart 1995). Kyle & Turner (1996)
menolak memberikan antibiotika dalam jangka waktu lama oleh karena alasan
meningkatkan risiko terjadinya infeksi dari bakteri lain dan resistensi bakteri
terhadap antibiotika. (A. Abadi;2004)
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
2010. The Puerperium. Williams Obstetrics 23rd Edition. McGraw-Hill
Medical. Pg 646-660.
2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
2010. The Preterm birth. Williams Obstetrics 23rd Edition. McGraw-Hill
Medical. Pg 804-827.
3. Benedetti TJ. Obstetric Hemorrhage in Obstetrics Normal and Problem
Pregnancies. Churchill Livingstones Inc. 1996, pg: 510 -15
23