Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

PIROMANIA

Disusun oleh :

Ruth Nathanelya

1261050236

Dokter Pembimbing :

dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ

dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ

dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked(KJ), Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 24 JULI 2017 - 25 AGUSTUS 2017
RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT CIBUBUR
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
Piromania sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan stase Kepaniteraan
Ilmu Kedokteran Jiwa pada Program Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-
pihak yang sudah banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini yaitu:
1. dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ. (K), S.H. selaku dokter pembimbing yang
telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan dalam
mengikuti kepaniteraan ilmu kedokteran jiwa.
2. dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ. selaku dokter pembimbing yang telah
menyediakan waktu dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam
penyusunan case report ini.
3. dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked.(KJ), Sp.KJ selaku dokter
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu
pengetahuan dalam mengikuti kepaniteraan ilmu kedokteran jiwa.
4. Para staf, seluruh karyawan, dan perawat yang telah banyak membantu
dan banyak memberikan saran-saran yang berguna bagi penulis dalam
menjalani kepaniteraan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat
5. Orang tua, keluarga terdekat dan teman sejawat yang telah memberikan
doa dan semangatnya kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari sempurna
serta masih terdapat banyak kekurangan. Penulis mohon maaf sebesar-besarnya
bila ada kekurangan dan kesalahan.

2
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca.

Jakarta, Juli 2017

Penulis

3
Daftar Isi

1. Kata Pengantar . 2
2. Daftar isi .. 4
3. Bab I Pendahuluan 5
4. Bab II Pembahasan 6
2.1 Definisi .. 6
2.2 Epidemiologi . 7
2.3 Etiologi .. 9
2.4 Faktor Risiko .. 10
2.5 Patofisiologi ... 11
2.6 Manifestasi klinis ... 12
2.7 Diagnosis .... 14
2.8 Diagnosis Banding . 17
2.9 Penatalaksanaan . 18
2.10 Prognosis 22
5. Bab III Kesimpulan .. 23
6. Daftar pustaka ... 24

4
BAB I
PENDAHULUAN

Piromania merupakan suatu kelainan langka yang rumit untuk


didiagnosis dan di kelola. Para penderita piromania memiliki dorongan atau
rangsangan yang tidak dapat kendalikan untuk menonton maupun
berpartisipasi dalam pembakaran.1,2,3,4 Piromania dapat membuat seseorang
terkena dampak hukum serta mencelakakan diri sendiri maupun orang lain.1
Individu dengan piromania akan menunjukkan adanya rasa
berminat, rasa ingin tahu, atau tertarik dengan api dan hal yang berkaitan
dengannya.5,6 Individu juga sering menyaksikan peristiwa kebakaran di
lingkungannya. Mereka juga memiliki obsesi dengan institusi, peralatan
atau hal-hal personal yang berhubungan dengan api, seperti pemadam
kebakaran.5
Piromania merupakan gangguan yang jarang terjadi, bahkan diantara
kelompok pembakar hanya dua sampai tiga persen yang dianggap
piromania.7 Prevalensi pada populasi dewasa tidak diketahui, walaupun
terdapat tiga hingga enam persen pasien psikiatri dilaporkan memiliki
kriteria yang sesuai untuk diagnosis piromania.8 Gangguan ini lebih sering
ditemukan pada laki-laki dibandingkan wanita dan kelompok pembakar
memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah dibandingkan populasi
umum.1,6
Bagi pasien piromania sangat diperlukan intervensi tenaga medis
sedini mungkin agar sifat membakar dapat dihindari. Pasien harus diawasi
dan diberikan terapi secara teratur agar kesehatan yang optimal dapat
tercapai.1

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Piromania adalah sebuah gangguan pengendalian impuls yang
ditandai dengan adanya dorongan yang tak dapat ditolak untuk membakar
dengan disertai ketegangan atau gairah sebelum melakukannya dan diikuti
oleh kepuasan atau kelegaan setelah menyaksikan atau berpartisipasi di
dalamnya.1,2
Berdasarkan kamus kedokteran Dorland, Piromania adalah suatu
keadaan dimana terdapat rangsangan untuk menimbulkan atau
menyaksikan api tanpa adanya keuntungan berupa uang, dan tindakannya
didahului oleh ketegangan atau gairah dan menghasilkan kebahagiaan atau
kepuasan yang besar.3 Sedangkan Mosby mendefinisikan piromania dapat
sebagai gangguan control impuls yang memiliki karakteristik adanya
desakan tidak terkontrol untuk menimbulkan api.4 Piromania juga dapat
didefinisikan sebagai suatu kelainan dimana seorang individu terlibat
dalam beberapa kejadian dengan adanya unsur kesengajaan dan memiliki
tujuan utama untuk menyebabkan kebakaran.5,6 Individu dengan kelainan
ini mengalami ketegangan atau gairah sebelum menimbulkan kebakaran.5
Sehingga piromania merupakan suatu gangguan pengendalian
impuls diawali dengan ketegangan, gairah, serta dorongan yang tidak
dapat dihindari yang disengaja dan bertujuan untuk menimbulkan api serta
menghasilkan kepuasan atau kebahagiaan yang besar setelah
melakukannya.
Berdasarkan American Psychiatric Association tahun 2013,
piromania digambarkan sebagai sifat disengaja dan bertujuan untuk
menimbulkan api pada lebih dari satu peristiwa. Piromania murni hanya
menimbulkan kobaran api yang kecil.2 Timbulnya api tidak dilakukan
untuk mendapatkan keuntungan dalam hal keuangan, menunjukkan

6
kemarahan, usaha untuk balas dendam, menutupi aktivitas kriminal atau
respon terhadap halusinasi atau delusi. Timbulnya api juga tidak
dihasilkan dari gangguan daya nilai, contohnya ketidakmampuan
intelektual.5

2.2 EPIDEMIOLOGI
Piromania merupakan gangguan yang jarang terjadi, bahkan
diantara kelompok pembakar hanya dua sampai tiga persen yang dianggap
piromania.7 Prevalensi pada populasi dewasa tidak diketahui, walaupun
terdapat tiga hingga enam persen pasien psikiatri dilaporkan memiliki
kriteria yang sesuai untuk diagnosis piromania.8 Menciptakan api untuk
keuntungan atau balas dendam, atau sebagai akibat dari delusi atau
halusinasi lebih sering didapatkan daripada piromania murni. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Odlaug dan Grant tahun 2010 pada 791
mahasiswa, hanya terdapat 1% yang dapat di diagnosis piromania. Pada
penelitian lain yang dilakukan Lindberg tahun 2005 juga menunjukkan
bahwa kejadian piromania merupakan kejadian langka yang hanya
terdapat pada 3 (3.3%) dari 90 kelompok pembakar dengan tambahan
sembilan orang (10%) yang sesuai dengan kriteria hanya ketika
bersinggungan dengan api.1
Gangguan ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan
wanita.6 Hal ini dapat di konfirmasi melalui penelitian yang dilakukan oleh
Lewis and Yarnell (1951) bahwa wanita hanya memiliki persentase 14.8%
pada penderita piromania.1
Kelompok pembakar memiliki tingkat kecerdasan yang lebih
rendah dibandingkan populasi umum.1,6 Penelitian Fire setting Patologis
(Pyromania) yang dilakukan Lewis and Yarnell terhadap 2000 orang dari
pemadam kebakaran, institusi dan klinik psikiatri, serta polisi kota New
York. Tiga puluh Sembilan persen penyebab kebakaran memiliki
diagnosis piromania. Dari semua itu, 22% memiliki kecerdasan menengah,
dan 13% memiliki kecerdasan rendah.1 Orang dengan piromania biasanya

7
memiliki riwayat sifat antisosial, seperti membolos, melarikan diri dari
rumah, dan kenakalan.6
Piromania umumnya terjadi pada anak-anak dan remaja, prevalensi
pada kelompok usia ini lebih banyak dibandingkan pada dewasa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Grant et al. tahun 2007 pada 102
pasien psikiatri dewasa dilaporkan bahwa 6.9% diantaranya memiliki
kriteria pyromania. Sedangkan Kolko and Kazdin mendapatkan 20% anak-
anak yang menghadiri klinik psikiatri memiliki riwayat dalam
menimbulkan api. Penelitian lain juga mengemukakan tingginya insiden
piromania pada usia diantara 16 dan 18 tahun. Kondisi ini sering
dihubungkan dengan sifat membakar remaja, termasuk gangguan perilaku,
attention deficit/hyperactivity disorder, dan gangguan penyesuaian.1
Penyebab kebakaran juga digambarkan seperti adanya dorongan
oleh impuls yang tidak dapat dikendalikan untuk menimbulkan api. Koson
and Dvoskin (1982) tidak menemukan piromania pada 26 arsonists.
Ritchie and Huff (1999) hanya menemukan tiga kasus piromania pada 283
kasus arson. Laubichler et al. (1996) membandingkan 103 kelompok
pembakar criminal dan penderita pyromania. Penderita pyromania
memiliki usia yang lebih muda (usia rata-rata 20 tahun) dibandingkan
dengan kelompok pembakar kriminal (usia rata-rata 30 tahun). 1
Grant and Kim melaporkan bahwa dari sampel pasien yang di
diagnosis dengan piromania, didapatkan sebagian besar pasien berusaha
untuk menimbulkan api pada masa remaja atau dewasa muda. Frekuensi
dan intensitas api meningkat seiring berjalannya waktu. Dua per tiga yang
dilaporkan melakukan perencanaan sebelum menimbulkan api (seperti
mengumpulkan benda-benda yang mudah terbakar).8
Pemicu utama dalam membakar seperti stress, rasa bosan, merasa
tidak mampu dan adanya konflik interpersonal. Sedangkan satu per empat
dari yang dilaporkan tidak memiliki pemicu. Namun seluruhnya
mengalami rasa puas ketika menonton atau menimbulkan api. Tidak ada
yang mengalami nafsu seksual. Daya tarik terhadap api merupakan hal

8
yang umum di kalangan penderita, dan lebih dari sepertiga pasien berusaha
mencapai tempat api ketika mendengar mobil pemadam kebakaran.8
Penelitian lain mengamati hubungan antara piromania dengan
relawan pemadam kebakaran. Lebih dari 90 persen individu dengan
piromania memiliki diagnosis gangguan komorbid pada axis I, dengan
mood, control impuls lainnya, dan penggunaan substansi menjadi yang
paling umum. Gejala piromania pada sebagian besar kasus mendahului
gangguan mood atau penggunaan substansi. Pasien dengan piromania
memiliki persentase riwayat depresi yang tinggi (3.3).1 Lebih dari 90
persen melaporkan pengalaman hendaya berat setelah menimbulkan api,
dan dua pertiga mempertimbangkan usaha bunuh diri sebagai cara untuk
mengendalikan gairahnya. Piromania merupakan penyakit yang kronik
jika dibiarkan tanpa terapi untuk gangguan ini. Individu dengan piromania
yang mengalami remisi seringkali terlibat dengan kebiasaan impulsive
atau kompulsif seperti perjudian, penggunaan substansi.8

2.3 ETIOLOGI
Faktor Psikososial
Sigmund Freud memandang api sebagai simbol seksualitas
dimana kehangatan yang dipancarkan oleh api menimbulkan sensasi
yang sama yang menyertai keadaan rangsangan seksual. Psikoanalisis
lain mengaitkan piromania dengan keinginan hebat yang abnormal
akan kekuatan dan gengsi sosial.6
Sejumlah pasien dengan piromania membuat api untuk
membuktikan bahwa diri mereka berani, mendorong kelompok
pembakar lainnya untuk beraksi, atau menunjukkan kekuatan mereka
untuk memadamkan api. Tindakan pembakaran ini juga merupaka
salah satu cara untuk mengeluarkan kemarahan yang bertumpuk
terhadap frustasi yang disebabkan oleh rasa inferioritas social, fisik
atau seksual. Sejumlah penelitian mencatat bahwa ayah dari pasien
dengan piromania tidak tinggal di rumah. Dengan demikian

9
menjelaskan alasan sifat membakar pada pasien sebagai cerminan dari
keinginan agar ayah yang tidak ada kembali ke rumah sebagai
penyelamat, menyingkirkan api, dan menyelamatkan si anak dari
posisinya yang sulit.6

Faktor Biologis
Rendahnya kadar 5-HIAA dan 3-metoksi-1-hidroksifenilglikol
(MPHG) yang signifikan di dalam cairan serebrospinal telah
ditemukan pada pembuat api memungkinkan adanya keterlibatan
serotonergic atau adrenergic. Adanya hipoglikemia, berdasarkan kadar
gula darah pada uji toleransi glukosa, telah dikemukakan sebagai
penyebab piromania.6

2.4 FAKTOR RISIKO


Terdapat data yang mengidentifikasi factor risiko untuk piromania
antara lain :
Jenis Kelamin
Piromania ditemukan lebih banyak terdapat pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan, khususnya pada laki-laki dengan
kemampuan social yang rendah dan kesulitan belajar. Wanita
dengan piromania umumnya memiliki sejarah mencelakakan diri
sendiri, kekerasan seksual, dan trauma psikososial.1,6
Usia
Berdasarkan Kafry, ketertarikan terhadap api dimulai dari
usia dua dan tiga tahun dan pada anak sekolah normal pada usia
enam, delapan dan sepuluh tahun.2 Menurut Brandford dan
Dimock sebagian besar eksitasi pada anak-anak dan remaja
disebabkan oleh menikmati timbulnya api, melepaskan frustasi
dengan menimbulkan api, dan mengekspresikan kemarahannya
melalui api.1

10
Berdasarkan Geller and Bertsch (1985), anak-anak yang
memiliki risiko piromania lebih sering berkaitan dengan kelompok
pembakar, mengancam untuk menimbulkan api, membunyikan
alarm tanda kebakaran yang palsu, atau menghubungi departemen
pemadam kebakaran dengan laporan palsu mengenai kebakaran. 1
Ketertarikan berlebihan terhadap api
Kolko and Kazdin memperlihatkan piromania yang terjadi
di masa depan dapat dilihat dari individu yang memiliki rasa ingin
tahu yang berlebihan mengenai api dan suka diperlihatkan kepada
orang lain (orangtua/teman sebaya) yang ikut terlibat dengan api.1
Penyakit lainnya
Tingginya komorbiditas penyakit lain seperti gangguan
penggunaan zat, gangguan perjudian, gangguan depresi dan
bipolar, dan gangguan perilaku juga didapatkan pada penderita
piromania.5

2.5 PATOFISIOLOGI
Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa perubahan
neurotransmitter serotonergic berhubungan dengan perilaku impulsif.
Penurunan neurotransmitter serotonergic dapat menyebabkan penurunan
kemampuan untuk mengendalikan dorongan.1
Telah dilakukan beberapa penelitian fungsi neuroamine terhadap
kelompok pembakar. Kuperman et al menemukan bahwa monoamine
oxidase memiliki hubungan terbalik dengan sifat pembakar pada orang
dewasa yang di diagnosis dengan attention deficit disorder pada masa
anak-anak. 5-Hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) merupakan metabolit
utama untuk serotonin. Konsentrasinya di cairan otak merupakan tanda
utama fungsi serotonin di otak. Virkkunen et al. Menyatakan bahwa sifat
impulsif kelompok pembakar berhubungan dengan kadar 5-HIAA yang
rendah pada cairan serebrospinal. Penemuan ini sesuai dengan hasil
penelitian lain yang menemukan adanya peningkatan kejadian tindakan

11
impulsif (seperti tindakan kekerasan impulsive dan tindakan bunuh diri
impulsive) terhadap kadar 5-HIAA CSF yang rendah.1
Virkkunen et al. (1996) menyelidiki variable keluarga, biokemikal
dan predictor untuk mengulanginya lagi diantara kelompok pembakar
yang merupakan pasien psikiatri. Laki-laki (n=114) yang ketergantungan
dengan alcohol dari kelompok pembakar diikuti dalam 4,5 tahun setelah
mereka lepas dari penjara. Konsentrasi rendahnya 5-HIAA dan asam
homovanilic dikaitkan dengan riwayat keluarga dengan orangtua yang
ketergantungan alcohol dan kekerasan. Populasi kelompok pembakar yang
kambuh pada periode follow up, memiliki konsentrasi 5-HIAA dan 3-
methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) yang rendah dan lingkungan
keluarga yang tidak memiliki figure seorang ayah. 1

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Individu dengan piromania mengalami kepuasan, atau kesenangan
saat membuat api, menonton dampaknya atau berpartisipasi dalam hal
tersebut. Individu akan menunjukkan adanya rasa terpesona, berminat, rasa
ingin tahu, atau tertarik dengan api baik kegunaannya maupun
konsekuensinya.5,6 Individu juga sering menyaksikan peristiwa kebakaran
di lingkungannya. Mereka juga memiliki obsesi dengan institusi, peralatan
atau hal-hal personal yang berhubungan dengan api, seperti pemadam
kebakaran. Mereka menghabiskan waktu sekitar lokasi kantor pemadan
kebakaran, menyebabkan kebakaran dalam tujuan untuk berhubungan
dengan departemen pemadam kebakaran, atau menjadi petugas pemadam
kebakaran.5
Gambaran yang sering dikaitkan dengan penderita piromania
mencakup intoksikasi alcohol, disfungsi seksual, IQ dibawah rata-rata,
frustasi diri yang kronis, dan kemarahan terhadap figure berwenang.
Beberapa pembuat api menjadi terangsang secara seksual oleh api.
Gambaran yang sering dikaitkan dengan paenderita piromania mencakup
intoksikasi alcohol, disfungsi seksual, IQ dibawah rata-rata, frustasi diri

12
yang kronis, dan kemarahan terhadap figure berwenang. Beberapa
pembuat api menjadi terangsang secara seksual oleh api.6 Gambaran yang
esensial dari gangguan ini adalah berulang-ulang melakukan pembakaran
tanpa motif yang jelas (misalnya motif untuk mendapatkan uang, balas
dendam, atau alasan politis), sangat tertarik menonton peristiwa
kebakaran, dan perasaan tegang meningkat sebelum melakukan, dan
sangat terangsang (intense excitement) segera setelah berhasil melakukan
pembakaran.9
Orang dengan piromania sering secara teratur menonton kebakaran
di lingkungan rumahnya, sering membuat alarm palsu, dan menunjukkan
minat di dalam peralatan pemadam kebakaran. Mereka dengan jelas
menunjukkan rasa ingin tahu namun tidak menunjukkan penyesalan dan
cenderung tidak peduli terhadap kerugian nyawa atau harta. Kelompok
pembakar juga memperoleh kepuasan melalui kerusakan yang ditimbulkan
sehingga mereka meninggalkan petunjuk yang jelas.6

Gejala umum5 :
1. Menyebabkan timbulnya api dengan sengaja lebih dari satu
peristiwa.
2. Merasa adanya ketegangan atau gairah sebelum menimbulkan api
3. Memiliki rasa ingin tahu atau tertarik terhadap api dan kegunaan
serta konsekuensinya
4. Merasa puas, ringan atau bahagia ketika menyalakan api, atau
menyaksikan atau ikut serta dalam timbulnya api
5. Timbulnya api tidak dilakukan untuk mendapatkan dana moneter,
menutupi kejahatan, ataupun menunjukkan agresivitas balas
dendam, atau sebagai ekspresi ideologi politik
6. Api yang ditimbulkan bukan akibat dari halusinasi atau delusi
7. Individu tidak dipengaruhi oleh gangguan daya nilai, disabilitas
intelektual, gangguan neurokognitif atau intoksikasi substansi
tertentu.

13
Dalam DSM 5 terdapat lima gejala perilaku. Pertama, adanya
peningkatan ketegangan atau gairah, diikuti oleh kegagalan melawan
dorongan untuk bertindak. Ketiga adanya peningkatan rasa gairah yang
tinggi. Ketika tindakan selesai, timbul rasa lega dari dorongan yang ada.
Akhirnya, pasien mengalami rasa bersalah dan penyesalan telah
melakukan tindakannya. Pasien piromania sering menghabiskan waktu
yang cukup lama dalam menentang keinginan yang kuat dan mencoba
tidak melaksanakan dorongan. Ketidakmampuan untuk menolak dorongan
yang ada merupakan inti dari gangguan ini.1

2.7 DIAGNOSIS
Wawancara Psikiatri
Kebiasaan membakar dapat menimbulkan masalah hukum dan
criminal untuk individu. Individu yang memiliki risiko terhadap hukum
atas perilaku membakar dapat termotivasi untuk menampakkan dirinya
sebagai penderita piromania dengan harapan sikapnya dapat meredam
hukuman.1
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
Edisi ke-5 (DSM-V) yang dipublikasikan tahun 2013, gangguan ini
diklasifikasikan dalam gangguan regulasi emosional dan tingkah laku
bersama dengan Intermittent Explosive Disordeer (IED) dan kleptomania.
kategori disruptive, impulse-control dan gangguan konduksi.1,8
Sifat impulsive ialah kegagalan untuk menolak dorongan atau
godaan yang berpotensial dalam membahayakan diri sendiri
(trichotillomania, judi patologis) atau orang lain (IED, piromania,
kleptomania) sehingga menghasilkan aksi tanpa perasaan bersalah
terhadap konsekuensi yang dapat terjadi pada diri sendiri dan orang lain.
Sifat impulsif dapat ditandai dengan tidak adanya perasaan bersalah,
merasa tidak perduli, ekstrovesi, tidak sabar dan tidak mampu untuk
menunda kesenangan diri sendiri serta adanya kecenderungan mengambil

14
risiko dan mencari sensasi. Hal yang paling sering menyebabkan sifat
impulsif ialah ketidakmampuan seseorang untuk menolak cara
mengespresikannya.1
Diagnosis piromania tidak dapat dibuat jika ledakan api dapat
dijelaskan karena gangguan perilaku, episode manik, atau gangguan
perilaku antisosial. 5

Kriteria Diagnosis DSM-5 1,3


Piromania
A. Membuat api secara sengaja dan bertujuan pada lebih dari satu
kesempatan
B. Terdapat ketegangan atau gairah sebelum melakukan tindakan
C. Memiliki minat, rasa terpesona, rasa ingin tahu atau tertarik
terhadap api dan konteks situasionalnya (contohnya pernak-pernik,
kegunaan atau akibatnya)
D. Adanya rasa nikmat, puas atau rasa lega ketika membuat api, atau
menyaksikan atau berpartisipasi dengan kejadian sesudahnya
E. Pembuatan api tidak dilakukan untuk mendapatkan keuntungan
keuangan, ekspresi terhadap ideology sosiopolitik, untuk menutupi
aktivitas criminal, untuk mengekspresikan kemarahan atau balas
dendam, untuk memperbaiki kondisi kehidupan seseorang, respon
dari delusi atau halusinasi atau sebagai hasil dari gangguan daya
nilai. (contohnya gangguan neurokognitif mayor, keterbatasan
intelektual (gangguan perkembangan intelektual), intoksikasi zat)
F. Timbulnya api sebaiknya tidak disebabkan oleh gangguan tingkah
laku, episode manik atau antisosial

ICD-10-CM (2014) mengandung diagnosis spesifik untuk IED, dan


mendeskripsikan gangguan sesuai yang tercantum pada kriteria yang
digunakan dalam DSM-IV yaitu gangguan yang dikarakteristikkan dengan
episode berulang dengan kekerasan dan menghancurkan properti akibat

15
dari ketidakmampuan menolak impuls agresif; derajat agresivitas selama
gejala ini muncul berada diluar cakupan provokasi psikososial. Penyebab
sifat agresif tidak dihubungkan dengan gangguan mental, kondisi medis
umum atau penggunaan zat. Tambahan yang lainnya ialah explosive
disorder, intermittent; explosive disorder, isolated; dan isolated explosive
disorder. 1
Kriteria diagnosis ICD 10-CM untuk piromania pada dasarnya
hampir sama dengan DSM-5. Keduanya mengandung kriteria eksklusi.
Kondisi eksklusi bukan bagian dari kondisi yang di presentasikan oleh
kode (piromania), namun pasian dapat memiliki kondisi keduanya pada
saat yang bersamaan.1

Kriteria Diagnosis ICD-10-CM tahun 2017


F63.1 Piromania
Diagnosis piromania ditegakkan pada kelompok pembakar patologis.
Kriteria eksklusi:
- Orang dewasa dengan dangguan personalitas antisosial (F60.2)
- Intoksikasi alcohol atau zat psikoaktif(F10-F19)
- Gangguan konduksi (F91)
- Gangguan mental karena kondisi fisiologis yang diketahui (F01-F09)
- Schizophrenia (F20)

Dalam PPDGJ, piromania termasuk dalam gangguan kebiasaan dan


impuls (F63). Gangguan ditandai oleh tindakan berulang yang tidak
mempunyai motivasi rasional yang jelas, serta umumnya merugikan
kepentingan penderita sendiri dan orang lain (maladaptive). Penderita
melaporkan bahwa perilaku-nya berkaitan dengan impuls untuk bertindak
tidak dapat dikendalikan. Terdapat periode prodromal berupa ketegangan
dan rasa lega pada saat dan setelah terjadinya tindakan tersebut.9

16
Kriteria Diagnosis PPDGJ9
Piromania memiliki gambaran sebagai berikut:
a. Berulang-ulang melakukan pembakaran tanpa motif yang jelas,
misalnya motif untuk mendapatkan uang, balas dendam, atau
alasan politis;
b. Sangat tertarik menonton peristiwa kebakaran; dan
c. Perasaan tegang meningkat sebelum melakukan, dan sangat
terangsang (intense excitement) segera setelah berhasil
dilaksanakan

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Bakar patologis harus dibedakan dari :9
Sengaja melakukan pembakaran tanpa gangguan jiwa yang nyata
(dalam kasus demikian motifn-nya jelas)
Pembakaran oleh anak muda dengan gangguan tingkah laku
(F91.1), dimana didapatkan gangguan perilaku lain seperti
mencuri, agresi, atau membolos sekolah
Pembakaran oleh orang dewasa dengan gangguan kepribadian
dissosial (F60.2), dimana didapatkan gangguan perilaku social lain
yang menetap seperti agresi, atau indikasi lain perihal kurangnya
peduli terhadap minat dan perasaan orang lain;
Pembakaran pada skizofrenia (F20.-), dimana kebakaran adalah
khas ditimbulkan sebagai respons terhadap ide-ide waham atau
perintah dari suara halusinasi
Pembakaran pada gangguan mental organic (F00-F09), dimana
kebakaran ditimbulkan karena kecelakaan akibat adanya
kebingungan (confusion), kurangnya daya ingat, atau kurangnya
kesadaran akan konsekuensi dari tindakannya, atau campuran dari
faktor-faktor tersebut.

17
2.9 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari terapi ialah untuk menghilangkan kebiasaan
tersebut secara keseluruhan agar menghindari bahaya yang ditimbulkan
dari sifat membakar. Terapi pada literature tidak membedakan antara
piromania dan kebiasaan kelompok pembakar karena penyebab lainnya.
Sebagian besar literature terfokus kepada mengatur kebiasaan kelompok
pembakar pada anak-anak dan remaja.1 Terapi pada piromania terbagi
menjadi farmakologis dan non farmakologis seperti :
a. Terapi Non Farmakologis
Terapi Psikososial
Karena adanya potensi yang membahayakan baik bagi diri
sendiri dan oranglain maupun potensinya yang berulang, maka
psikiatri harus mempertimbangkan dari sisi etik dan hokum.1
Mavromatis and Lion mengatakan bahwa terapi kelompok
pembakar menimbulkan banyak masalah karena umumnya
menolak secara berkala untuk bertanggungjawab terhadap aksi
mereka, sering menyangkal, dan ketergantungan alcohol serta
memiliki tilikan yang rendah. Bagaimanapun, penyebab bahaya
dari kelompok pembakar termasuk sifat yang harus di control.
Pasien harus di edukasi mengenai risiko fungsional yang dapat
dihubungkan dengan gejala, dan untuk membentuk batas terhadap
sifat yang dapat diterima. 1
Terapi Cognitif Behavioral
Telah diperkirakan bahwa hingga 60% kelompok
pembakar pada anak-anak didorong oleh rasa penasaran.
Kebiasaan seperti itu sering berespon dengan edukasi langsung.
Menurun Lowenstein, focus masalah interpersonal dalam
keluarga dan klarifikasi kejadian sebelumnya pada anak-anak
dan remaja dapat membantu dalam mengendalikan perilaku
membakar. Prinsip terapi cognitive behavioral harus diterapkan
pada kelompok pembakar masa anak-anak (Kolko 2001). 1

18
Tujuan terapi ini antara lain untuk mencegah
kekambuhan, mengembangkan cara berpikir alternatif, fleksibel
dan positif serta melatih perilaku & kognitif yang baru. 1

Terapi intrapersonal
Terapi ini memusatkan pada masalah yang sekarang
dialami oleh pasien dengan anggapan bahwa masalah tersebut
sekarang mungkin terlibat dalam mencetuskan gejala. Terapi
yang diterapkan pada stress intrapersonal dan keluarga yang
dapat memicu sifat membakar telah secara luas diterapkan
untuk kelompok pembakar. 1

Terapi perilaku
Intervensi psikologis yang paling umum digunakan
untuk piromania bergantung pada prinsip-prinsip perilaku.11
Terapi ini dilakukan berdasarkan pada hipotesa bahwa pola
perilaku maladaptif menghasilkan umpan-balik positif yang
sedikit dari masyarakat dan adanya penolakan yang mungkin
diterima oleh pasien. 1
1. Teknik Grafik
Teknik yang paling terkenal ini adalah grafik,
awalnya dikembangkan untuk mengobati anak-anak yang
terlibat dalam pembakaran. Dalam mengikuti metode ini,
dokter dan klien membangun grafik yang sesuai dengan
sejarah individu perilaku, perasaan, dan pengalaman
berhubungan dengan pembakaran. Presentasi visual dari
sejarah kronologis perilaku ini memungkinkan klien untuk
menyadari hubungan sebab-akibat, dan untuk menjadi
selaras dengan sinyal bahwa dorongan untuk melakukan
pembakaran adalah tentang untuk menyerang. Individu
dapat belajar untuk menggantikan cara-cara yang lebih

19
tepat untuk melepaskan ketegangan dalam menanggapi
sinyal. Teknik ini telah efektif dalam membantu banyak
individu untuk berhenti membakar, tetapi hanya komponen
awal dari terapi yang kemudian harus fokus pada
pengembangan wawasan yang lebih dalam perilaku
berbahaya.10
Bumpass et al. (1983) melakukan terapi pada 29
anak-anak kelompok pembakar dan menggunakan teknik
grafik yang berhubungan dengan stress eksternal, perilaku
dan perasaan pada kertas grafik. Setelah terapi dengan
follow up rata-rata 2.5 tahun, hanya dua dari 29 anak-anak
yang tetap menimbulkan api. 1
Melatih pasien untuk relaksasi juga dapat digunakan
(atau menambahkan teknik grafik) untuk membantu dalam
pembentukan mode alternative yang berhubungan dengan
stress yang dapat mengacu kepada sifat menimbulkan api. 1

2. Teknik Aversi
Terapi perilaku seperti terapi aversi dengan
memberi hukuman positif yang diikuti sikap tegas telah
membantu para kelompok pembakar. Metode terapi lainnya
bergantung pada penguatan positif dengan ancaman
terhadap hukuman dan kepuasan stimulus. 1
Franklin et al. pada tahun 2002 melakukan
konfirmasi efek positif dalam program pencegahan untuk
piromania. Mereka membentuk Program Trauma Burn
Outreach Prevention. Semua subjek ditahan dan dihukum
setelah menimbulkan api. Program ini terfokus kepada
medis, ekonomi, hukum dan dampak social dari kelompok
pembakar. Tingkat berulangnya kurang dari 1% pada

20
kelompok yang datang ke program, dibandingkan 36%
pada kelompok kontrol.1

3. Teknik memperbaiki dan kejenuhan


Teknik lainnya menggabungkan overcorrection, satiation,
dan negative practice dengan peraturan untuk memperbaiki.
Dalam pelatihan, anak-anak dipantau dalam bangunan yang
terkontrol, terdapat api kecil yang berada di lokasi yang
aman, lalu dipadamkan oleh anak itu sendiri. Melalui
sebuah proses, orangtua memberi instruksi secara verbal
agar anak melakukan teknik yang aman.1

b. Terapi Farmakologis
Tidak ada terapi farmakologi untuk piromania karena
keompok pembakar umumnya memiliki gangguan psikiatri
lainnya. Terapi pada umumnya ditujukan kepada gangguan yang
mendasari. 1
Terapi dengan selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRIs), antiepilepsi, antipsychotics atipikal, lithium, atau
antiandrogens telah diperkenankan namun Cognitive behavioral
therapy menunjukkan hasil yang lebih menjanjikan.8
Dalam studi kasus saat ini, obat psikotropika seperti
olanzapin dan natrium valproat dikaitkan dengan remisi dari
psikosis yang disertai dengan perbaikan yang signifikan dalam
kognisi dan fungsi adaptif. Secara khusus, pasien menunjukkan
kinerja yang ditingkatkan pada tindakan perhatian dan kontrol
eksekutif, bermanifestasi secara klinis sebagai pengaturan perilaku.
Pada awalnya data penelitian menunjukkan bahwa antipsikotik
atipikal mungkin memiliki peran dalam pengelolaan gangguan
kontrol impuls dan membutuhkan studi lebih lanjut.11

21
2.10 PROGNOSIS
Jika onsetnya pada masa remaja atau dewasa, perilaku ini
cenderung sengaja merusak. Perilaku membuat api pada piromania bersifat
episodik dan frekuensinya naik turun. Prognosisnya baik untuk anak yang
mendapatkan terapi, dan remisi penuh realistic untuk dicapai. Prognosis
untuk dewasa terbatas, karena mereka menyangkal tindakan mereka,
menolak bertanggung jawab, bergantung pada alcohol, dan memiliki
tilikan buruk.6

22
BAB III
KESIMPULAN

1. Piromania merupakan suatu gangguan pengendalian impuls diawali dengan


ketegangan, gairah, serta dorongan yang tidak dapat dihindari yang disengaja
dan bertujuan untuk menimbulkan api serta menghasilkan kepuasan atau
kebahagiaan yang besar setelah melakukannya
2. Individu dengan piromania mengalami kepuasan, atau kesenangan saat
membuat api, menonton dampaknya atau berpartisipasi dalam hal tersebut.
Individu akan menunjukkan adanya rasa terpesona, berminat, rasa ingin tahu,
atau tertarik dengan api baik kegunaannya maupun konsekuensinya juga
sering menyaksikan peristiwa kebakaran di lingkungannya.
3. Dignosis piromania dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis. Diagnosis
piromania tidak dapat dibuat jika ledakan api dapat dijelaskan karena
gangguan perilaku, episode manik, atau gangguan perilaku antisosial.
4. Stressor tertentu dapat memicu timbulnya piromania
5. Intervensi psikoogis untuk pasien piromania merupakan terapi perilaku dan
teknik yang paling terkenal ini adalah grafik yang awalnya dikembangkan
untuk mengobati anak-anak yang terlibat dalam pembakaran

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Kirsch JL, Simeon D, Berlin H, Hollander E. Impulse Control Disorders:


Intermittent Explosive Disorder, Kleptomania, and Pyromania Psychiatry,
Fourth Edition. New York. 2014. 8-87
2. Menaster M., Psychiatric Illness Associated With Criminality. 2011.
Accessed on: 3th August 2017. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/294626-overview
3. pyromania. (n.d.) Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers.
(2007). Diunduh pada August 14 2017 from http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/pyromania
4. pyromania. (n.d.) Mosby's Medical Dictionary, 8th edition. (2009).
Diunduh pada August 14 2017 from http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/pyromania
5. DISRUPTIVE, IMPULSE-CONTROL, AND CONDUCT DISORDERS
PYROMANIA. DSM-5: American Psychiatric Association, 2013.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition.
6. Kaplan H, Benjamin J, Jack A, Gangguan Pengendalian Impuls yang
Tidak Diklasifikasikan. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2. Jakarta: Binarupa
Aksara Publisher. 2010. h. 238;242-244.
7. Durand V, David H., Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2007. h. 167.
8. Burton PRS, McNiel DE, Binder RL. Firesetting, Arson, Pyromania, and
the Forensic Mental Health Expert. J Am Acad Psychiatry Law 40
(3):35565, 2012
9. Maslim R., Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2001. h. 108.
10. Halgin R, Susan K., Abnormal Psychology. USA: Brown & Benchmark
Publishers. 1997. h. 462-463.

24
11. Parks W, Russel D, Sobhi G, Michael D, Peter W, Sean A., Response of
Pyromania to Biological Treatment in a Homeless Person. 2005. Accessed
on: 11 Agustus 2017. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2416759/pdf/ndt-0103-
277.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai