Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini semakin banyak obat yang dapat dibeli secara bebas tanpa resep dari

dokter, hal ini meningkatkan kemungkinan timbulnya efek samping yang tidak

terlaporkan. Menurut World Health Organization (WHO), erupsi obat adalah

perubahan pada kulit dengan atau tanpa melibatkan organ lain, yang timbul setelah

pemakaian obat pada dosis yang digunakan untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi

(Borch dkk, 2006).

Mekanisme erupsi obat secara garis besar diklasifikasikan menjadi tipe A

(dapat diperkirakan) dan tipe B (tidak dapat diperkirakan). Tipe A pada umumnya

terkait dengan bagian obat yang memberikan efek farmakologi maupun toksik

sehingga dapat diperkirakan dan dapat timbul pada siapapun. Tipe B cenderung tidak

dapat diperkirakan sebelumnya, tidak berhubungan dengan sifat farmakologis obat,

reaksinya cenderung lebih berat tetapi kejadiannya relatif jarang, timbul pada

individu yang memiliki faktor predisposisi, dan merupakan reaksi idiosinkrasi yang

dapat dipengaruhi oleh faktor imunologis dan genetik. Sebagian besar erupsi obat

(75-80%) disebabkan oleh tipe A, sisanya disebabkan oleh efek yang tidak dapat

diperkirakan yang mungkin melibatkan proses imunologis maupun tidak (Scott S,

2010).

1
1
Mekanisme erupsi obat karena proses imunologis menurut Gell-Coombs

disebabkan perubahan mekanisme imun sehingga timbul gejala klinis, dibagi menjadi

4 tipe yaitu tipe I (dimediasi oleh IgE), tipe II (reaksi sitotoksik), tipe III (kompleks

imun), dan tipe IV (reaksi tipe lambat). Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat timbul

sebagai urtikaria akut, angioedema, asma, kolik abdomen, diare. Reaksi

hipersensitivitas tipe II pada kulit jarang terjadi, dapat timbul sebagai drug-induced

pemphigus, drug-induced bullous pemphigoid, dan drug-induced IgA linier. Reaksi

hipersensitivitas tipe III timbul sebagai vaskulitis, fenomena Arthus, serum sickness.

Reaksi hipersensitivitas tipe IV, dibagi menjadi 4 subtipe tergantung dari aktivasi

monosit, eosinofil, sel T, dan neutrofil, timbul sebagai erupsi makulopapular,

dermatitis kontak, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), fixed drug

eruption (FDE), eritema multiforme, drug reaction with eosinophilia and systemic

symptom (DRESS), Steven-Johnson syndrome (SJS), dan toxic epidermal necrolysis

(TEN) (Pichler, 2010).

Beberapa erupsi obat timbul tidak hanya karena 1 tipe reaksi hipersensitivitas,

seperti pada urtikaria dapat timbul karena reaksi tipe I maupun tipe III.10 Erupsi obat

dapat timbul dalam berbagai derajat, sebagian besar timbul dalam derajat yang

ringan, berpotensi berulang dengan derajat yang semakin berat sehingga dapat

mengancam jiwa, oleh karena itu perlu dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk

mencegah hal tersebut. Erupsi obat adalah efek samping obat yang paling sering

ditemui. Studi yang dilakukan Nandha R. dan kawan-kawan pada tahun 2011

2
2
menunjukkan bahwa kejadian erupsi obat di negara maju sekitar 1-3%, sedangkan di

negara berkembang 2-5% (Aberer, 2008).

Hal ini serupa dengan studi yang dilakukan Chatterjee S dan kawan-kawan di

India pada tahun 2006 bahwa erupsi obat terjadi pada 2,66% pasien (Chatterje, 2006).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa obat yang paling sering menimbulkan

erupsi adalah golongan antibiotik, antikonvulsan, antiinflamasi nonsteroid (Nandha,

2011). Studi yang dilakukan oleh Lee HY dan kawan-kawan di Singapura pada tahun

2010 menunjukkan bahwa obat yang menimbulkan erupsi adalah antibiotik (50,5%),

antikonvulsan (11,3%), alopurinol (8,2%), obat kemoterapi (7,2%), antiinflamasi

nonsteroid (7,2%).15 Tipe erupsi yang paling sering dilaporkan pada beberapa studi

adalah lesi makulopapular, sedangkan tipe erupsi lain insidensinya bervariasi. Angka

kejadian erupsi obat pada wanita cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pria,

disebabkan oleh perbedaan farmakokinetik dan hormonal, sedangkan umur yang

ekstrim meningkatkan risiko erupsi obat. Insidensi erupsi pada pasien usia lanjut

dihubungkan dengan terapi multifarmaka, penurunan metabolisme obat, penurunan

fungsi organ, sedangkan pada umur neonatus insidensi erupsi obat dihubungkan

dengan fungsi hepar dan ginjal yang masih belum sempurna dan konsentrasi protein

plasma yang sedikit (Lee, 2010).

Tidak diketahuinya penyebab pasti erupsi obat memungkinkan untuk

berulangnya kejadian tersebut, hal ini berpotensi mengakibatkan peningkatan

morbiditas, mortalitas, serta penurunan kualitas hidup pasien. Bervariasinya jenis

3
3
erupsi obat yang timbul menyebabkan penatalaksanaannya yang bermacam-macam,

tetapi sampai saat ini penelitian mengenai erupsi obat masih sangat terbatas.

Erupsi obat sering mendapatkan penanganan yang terlambat karena gejalanya

yang tidak spesifik, mirip dengan penyakit yang lain, dan waktu timbul juga

bervariasi. Kurangnya edukasi dan pengetahuan pasien tentang obat penyebab erupsi

juga menimbulkan berulangnya erupsi. Erupsi obat adalah respon abnormal seseorang

terhadap bahan obat atau metabolitnya yang terjadi selama atau setelah pemakaian

obat dalam rentang dosis normal (Khoo, 2000).

Erupsi obat pada anak lebih jarang terjadi dibandingkan dengan orang

dewasa, akan tetapi sering menimbulkan masalah karena mirip dengan erupsi oleh

karena virus (viral exanthema) dan gejala alergi oleh penyebab lain yang sering

terjadi pada anak, misalnya alergi makanan (Ghazi, 2007). Angka kejadian alergi obat

di Klinik Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM menurut

Matondang dan Munasir (1990) adalah sebesar 0,01% dengan manifestasi terbanyak

pada kulit, sedangkan menurut Pardede (1993) sebesar 0,07% dengan manifestasi

terbanyak urtikaria (3). Insiden erupsi obat pada pasien anak yang menjalani rawat

inap berkisar antara 0,59-4,1% pada beberapa penelitian sedangkan pada pasien anak

rawat jalan antara 0,7-2,7% (3). Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan

berbeda menurut waktu, tempat, dan jenis penelitian yang dilaporkan. Pada umumnya

laporan tentang obat tersering adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, paracetamol,

4
4
dan anti konvulsan. Tetapi alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering

dihubungkan dengan penisilin dan sulfa (Akib, 2008).

Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat

tertentu. Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala, dan pada seseorang

dapat berbeda dengan orang lain. Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan

sampai berat. Gejala yang berat dihubungkan dengan angka mortalitas yang tinggi

(Fromowitz, 2007). Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering, dapat

berupa pruritus, urtikaria, purpura, dermatitis kontak, eritema multiforme, fixed drug

eruption (FDE) atau reaksi yang lebih berat berupa dermatitis eksfoliatif dan erupsi

vesikobulosa seperti pada sindrom Steven-Johnson (SJS) dan Eritema multiforme

(EM) (Akib, 2008). Oleh karena itu, derajat keparahan erupsi obat dibagi menjadi dua

yaitu kelompok non SJS/TEN dan kelompok SJS/TEN (Stevens Johnson

Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis). Menurut penelitian Kidon dan See (2004),

faktor risiko terjadinya risiko obat antara lain usia > 1 tahun , jenis kelamin

perempuan, adanya riwayat atopi pada pasien dan atau keluarga serta adanya penyakit

defisiensi sistem imun yang mendasari (Wahiduzzaman, 2008). Sebaliknya penelitian

Wahiduzzaman (2008) menyatakan jenis kelamin laki-laki lebih rentan terkena erupsi

obat (6). Sebagian besar penelitian lebih banyak mengkaji faktor yang meningkatkan

risiko terjadinya erupsi obat. Masih terbatas kajian tentang faktor yang

mempengaruhi derajat keparahan erupsi obat.

5
5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang

diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat

diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga

dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk. Menurut American

Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada tahun 1995, reaksi silang obat

adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat,

penggantian obat, perawatan rumah sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan

prognosis negatif seperti cacat permanen sampai kematian (Edward & Aronson

2000).

Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi.

Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada

kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara

sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan

pengobatan (Hamzah, 2007).

2.2 Epidemiologi

6
6
Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat alergi

mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat

alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang

berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara berkembang berkisar antara

1% 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi terjadi

2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi

di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi. Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi

pada wanita dibandingkan pria (Nayak & Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus

Sindrom Steven Johnsons dan hamper 90% penderita toxic epidermal necrolysis

terkait dengan penggunaan obat (Adithan, 2006).

2.3 Faktor Resiko

Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah (Patterson, 2009):

1. Jenis kelamin dan usia

Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang tersensitisasi

akibat obat jika dibandingkan dengan orang dewasa. Akan tetapi beberapa

jenis kasus erupsi obat alergi yang memiliki prognosis buruk lebih sering

mengenai anak-anak. Pada anak anak, ruam merah yang timbul akibat

virus sering mengaburkan gambaran klinis erupsi alergi obat akibat

antimikroba yang diberikan. Wanita lebih sering menderita erupsi obat

alergi dibandingkan pria.

7
7
2. Faktor genetic

Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan

misalnya pada kasus nekrolisis epidermal toksik akibat sulfonamida. Hal

ini berhubungan dengan gen human leukocyte antigen. Diantara para

remaja yang memiliki orang tua dengan riwayat alergi antibiotika, 25,6%

remaja tersebut juga memiliki alergi obat yang sama.

3. Riwayat konsumsi obat sebelumnya

Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat yang

sebelumnya menimbulkan alergi ataupun obat obatan lain yang memiliki

struktur kimia yang sama.Akan tetapi, alergi obat tidak bersifat persisten.

Setelah pajanan, imunnoglobulin e dapat bertahan dari 55 hongga 2000

hari.

4. Riwayat penyakit

Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita

dermatitis atopi.

5. Obat

Beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan sulfonamida

memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh.

6. Cara masuk obat

Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih menyebabkan

erupsi alergi obat. Antibiotika beta laktam dan sulfonamida jarang

8
8
digunakan secara topikal karena alasan ini. Dosis dan durasi pemberian

obat juga berperan dalam timbunya erupsi alergi obat.

2.4 Patogenesis

Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah

mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya

erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme

imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang

disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan

dalam metabolisme (Riedl & Casillas, 2003).

Menurut Lee & Thomson (2006), terdapat empat mekanisme imunologis.

Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang

paling banyak ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah

imunoglobulin E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil.

Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian

kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang

akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin,

bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-

macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah

timbulnya syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana

terdapat ikatan antara imunoglobulin G dan imunoglobulin M dengan antigen yang

9
9
melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang

berakhir dengan lisis.

Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana

antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi.

Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan

tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang

pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan

jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi alergi seluler tipe lambat).

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi

dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam

setelah pajanan terhadap antigen (Lee & Thomson, 2006).

Tipe Contoh Kasus

Imunologis

Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam

Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin

Reaksi Tipe 3 Serum sickness akibat anti-thymocyte


Globulin

10
10
Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat Antihistamin
Topical

Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat sulfonamide

Fas/Fas ligand-induced apoptosis Stevens-Johnson syndrome


Toxic epidermal necrolysis

Non imunologis

Efek samping farmakologis Bibir kering akibat antihistamin

Efek samping farmakologis sekunder Thrush akibat pemakaian antibiotic

Toksisitas obat Hepatotoksisitas akibat methotrexate

Overdosis obat Kejang akibat kelebihan Pemakaian


lidokain

Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin

Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis


Sumber: Riedl & Casillas (2003)

2.5 Gambaran Klinis

11
11
Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan

kulit lain pada umumnya, yaitu (Hamzah, 2007):

1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis

Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa

dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi

generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema dan selalu ada gejala

pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya

timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering

disebabkan oleh ampisilin, obat anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan

tetrasiklin.

2. Urtikaria dan angioedema

Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, kadang-kadang disertai

angioedema. Pada angioedema yang berbahaya ialah terjadinya asfiksia bila

menyerang glotis. Keluhannya umumnya gatal dan panas pada tempat lesi.

Biasanya timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria

dapat disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri kepala

dan vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata,

genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus angioedema pada lidah dan

laring harus mendapat pertolongan segera. Penyebab tersering ialah penisilin,

asam asetilsalisilat, dan obat anti inflamasi non steroid.

3. Fixed drug eruption (FDE)

12
12
Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia (Docrat,2005).

Fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai.

Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau

lonjong dan biasanya numular. Kemudian meninggalkan bercak

hiperpigmentasi yang lama, baru hilang, bahkan sering menetap. Dari

namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali

pada tempat yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir

dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin

karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa

panas setempat. Obat penyebab yang sering ialah sulfonamid, barbiturat,

trimetropin dan analgesik.

4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa)

Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya disertai

skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit lain

di samping alergi karena obat, misalnya psoriasis, penyakit sistemik temasuk

keganasan pada sistem limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada

eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru

timbul pada stadium penyembuhan. Obat-obat yang biasa menyebabkannya

ialah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.

5. Purpura

Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak hilang

bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat.

13
13
Biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki

atau tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip berwarna merah

kecoklatan dan disertai rasa gatal.

6. Vaskulitis

Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable

purpura yang mengenai kapiler. Biasanya distribusinya simetris pada

ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam,

mialgia, dan anoreksia. Obat penyebab ialah penisilin, sulfonamid, obat anti

inflamasi non steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada

pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum. Kelainan kulit berupa

eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di atasnya disertai gejala umum

berupa demam dan malese. Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai

bawah. Eritema nodosum dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain

misalnya tuberkulosis, infeksi streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap

sering menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan kontrasepsi oral.

7. Reaksi fotoalergik

Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak alergik,

lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan

dapat meluas ke daerah tidak terpajan matahari. Obat yang dapat

menyebabkan fotoalergi ialah fenotiazin, sulfonamida, obat anti inflamasi non

steroid, dan griseofulvin.

8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut

14
14
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang terdapat, diduga

dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus,

hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis kontak. Kelainan kulitnya

berupa pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul pada kulit yang

eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan

kulit timbul pada waktu demam tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat

menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama

beberapa hari.

9. Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa eritema

multiforme, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik.

Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustul intraepidermal atau

subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear

perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Terdapat 2

perbedaan utama antara Pustulosis eksantematosa generalisata akut dan psoriasis

pustulosa, yaitu Pustulosis eksantematosa generalisata akut terjadinya akut dan

terdapat riwayat alergi obat. Pada Pustulosis eksantematosa generalisata akut pustul-

pustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih cepat menghilang, selain itu

gambaran histopatologik juga berbeda.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

15
15
Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan

mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan aktivasi

jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas

mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan penunjang yang

dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah (Nayak &

Acharjya, 2008):

1. Biopsi kulit

Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu

menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya

eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat

menentukan obat penyebab erupsi.

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan

menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi penyebab

erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah lengkap (atypical

lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi kerja

hati dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan erupsi

obat alergi dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3

menunjukkan erupsi obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi

apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.

3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi

16
16
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat

dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan

kembali obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini,

tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus

dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun

alasan mediko legalnya.

2.7 Diagnosis

Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai

obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa

hari sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang

biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik

distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang timbul (Hamzah,

2007).

Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari

jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data

mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis

mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan

onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk

dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu

paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang bersifat persisten (Nayak &

Acharjta, 2008).

17
17
2.8 Penatalaksanaan

Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat alergi

adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.

Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin

(Nayak & Acharjya, 2008).

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat

kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,

eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, dan eksantema

fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari

(Hamzah, 2007).

Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa

gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan

kortikosteroid (Hamzah, 2007).

Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau

basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah

dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika

dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.

Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada

eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid,

18
18
misalnya hidrokortison 1% sampai 2 %. Pada eritroderma dengan kelainan berupa

eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10%

yang dioleskan sebagian-sebagian (Hamzah, 2007).

2.9 Prognosis

Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat

penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa

bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven

Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena. (Hamzah, 2007).

Sindrom Steven Johnsons memiliki angka mortalitas dibawah 5 % sedangkan toxic

epidermal necrolysis mencapai 20-30% dan kebanyakan pasien meninggal akibat

sepsis (Nayak & Acharjya 2008).

2.10 Jenis Obat Penyebab

Menurut penelitian Saha et al (2012), jenis-jenis obat yang paling sering

menyebakan erupsi obat alergi adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti

flurokuinolon sekitar 11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%,

allopurinol sekitar 7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%.

Menurut penelitian Young, Jong & Joo (2011), jenis-jenis obat yang paling

sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar

34,10%, lalu diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan golongan anti

inflamasi non steroid sekitar 21,51%.

19
19
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), jenis-jenis obat yang

paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,90%.

Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), jenis-jenis obat yang paling sering

menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu kotrimoksazole

sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%.

Menurut penelitian Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), jenis-jenis obat yang

paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu

sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 22,9%, dan obat

anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian Ghosh, Acharya & Rao (2006), jenis-

jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan

antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan anti epilepsi sekitar 25%, obat

anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik sekitar 9%.

Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), jenis-jenis obat yang paling

sering menyebakan erupsi obat alergi adalah kotrimoksazole yaitu sekitar 22,2%, lalu

diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar

(2001), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah

golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti golongan anti inflamasi non

steroid sekitar 18%.

20
20
DAFTAR PUSTAKA

1. Borch JE, Andersen KE, Bindslev-Jensen C. Cutaneous adverse drug reactions seen

at a university hospital department of dermatology. Acta Derm Venereol 2006; 86:

523-7.

2. Gomes ER, Demoly P. Epidemiology of hypersensitivity drug reactions. Curr Opin

Allergy Clin Immunol 2005; 5: 309-16.

3. Friedmann PS, Lee MS, Friedmann AC, Barnetson R S C . Mechanism in cutaneous

drug hypersensitivity reactions. Clin Exp Allergy 2003; 33: 861-72.

4. Scott S, Thompson J. Adverse drug reaction. Anaesth Intensive Care 2010; 12 (7):

319-23.

5. Pichler WJ, Adam J, Daubner B, Gentinetta T, Keller M, Yerly D. Drug

hypersensitivity reactions: pathomechanism and clinical symptons. Med Clin N Am

2010; 94: 645-64.

6. Aberer W, Kranke B. Clinical manifestations and mechanism of skin reactions after

systemic drug administration. Drug Discov Today Dis Mech 2008; 5(2): e237-47.

7. Nandha R, Gupta A, Hashmi A. Cutaneous adverse drug reactions in a tertiary

care teaching hospital: a North Indian perspective. Intl J Appl Med Res 2011;

1(1): 50-3.

8. Chatterjee S, Ghosh AP, Barbhuiya J, Dey SK. Adverse cutaneous drug

reactions: a one year survey at a dermatology outpatient clinic of a tertiary

care hospital. Indian J Pharmacol 2006; 38(6): 429-31.

21
21
9. Lee HY, Tay LK, Thirumoorthy T, Pang SM. Cutaneous adverse drug

reactions in hospitalised patients. Singapore Med J 2010; 51 (10): 767-74.

10. Khoo BP and Giam YC. Drug Eruption in Children: A Review of 111 Cases

Seen in a Tertiary Skin Referral Centre. Singapore Medical Journal. 2000;

4(11): 525-529.

11. Ghazi SBMS, Dibaee M, Salamati P, Manesh AAR, and Akhlaghi H. Adverse

Drug Reactions, As a Cause for Admission to a Children's Hospital. Iranian

Journal of Pediatric. 2007: 17(1): 11-14.

12. Akib AP, Takumansang DS, Sumadiono, et al. Alergi Obat. Di dalam: Buku

Ajar Alergi-Imunologi Anak edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008: hal.

294-306.

13. Fromowitz JS, Ramos-Caro FA, and Flowers FP. Practical Guidelines for

the Management of Toxic Epidermal Necrolysis and Steven_Johnson

Syndrome. International Journal of Dermatology. 2007; 46(10): 1092-1094.

14. Wahiduzzaman M and Pubalan M. Steven_Johnson syndrome (SJS) and Toxic

Epidermal Necrolysis (TEN) in Sarawak: A Four Years Review. Egyptian

Dermatology Online Journal. 2008: 4(1): 1-10.

22
22

Anda mungkin juga menyukai