PENDAHULUAN
Saat ini semakin banyak obat yang dapat dibeli secara bebas tanpa resep dari
dokter, hal ini meningkatkan kemungkinan timbulnya efek samping yang tidak
perubahan pada kulit dengan atau tanpa melibatkan organ lain, yang timbul setelah
pemakaian obat pada dosis yang digunakan untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi
(dapat diperkirakan) dan tipe B (tidak dapat diperkirakan). Tipe A pada umumnya
terkait dengan bagian obat yang memberikan efek farmakologi maupun toksik
sehingga dapat diperkirakan dan dapat timbul pada siapapun. Tipe B cenderung tidak
reaksinya cenderung lebih berat tetapi kejadiannya relatif jarang, timbul pada
individu yang memiliki faktor predisposisi, dan merupakan reaksi idiosinkrasi yang
dapat dipengaruhi oleh faktor imunologis dan genetik. Sebagian besar erupsi obat
(75-80%) disebabkan oleh tipe A, sisanya disebabkan oleh efek yang tidak dapat
2010).
1
1
Mekanisme erupsi obat karena proses imunologis menurut Gell-Coombs
disebabkan perubahan mekanisme imun sehingga timbul gejala klinis, dibagi menjadi
4 tipe yaitu tipe I (dimediasi oleh IgE), tipe II (reaksi sitotoksik), tipe III (kompleks
imun), dan tipe IV (reaksi tipe lambat). Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat timbul
hipersensitivitas tipe II pada kulit jarang terjadi, dapat timbul sebagai drug-induced
hipersensitivitas tipe III timbul sebagai vaskulitis, fenomena Arthus, serum sickness.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV, dibagi menjadi 4 subtipe tergantung dari aktivasi
eruption (FDE), eritema multiforme, drug reaction with eosinophilia and systemic
Beberapa erupsi obat timbul tidak hanya karena 1 tipe reaksi hipersensitivitas,
seperti pada urtikaria dapat timbul karena reaksi tipe I maupun tipe III.10 Erupsi obat
dapat timbul dalam berbagai derajat, sebagian besar timbul dalam derajat yang
ringan, berpotensi berulang dengan derajat yang semakin berat sehingga dapat
mengancam jiwa, oleh karena itu perlu dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk
mencegah hal tersebut. Erupsi obat adalah efek samping obat yang paling sering
ditemui. Studi yang dilakukan Nandha R. dan kawan-kawan pada tahun 2011
2
2
menunjukkan bahwa kejadian erupsi obat di negara maju sekitar 1-3%, sedangkan di
Hal ini serupa dengan studi yang dilakukan Chatterjee S dan kawan-kawan di
India pada tahun 2006 bahwa erupsi obat terjadi pada 2,66% pasien (Chatterje, 2006).
2011). Studi yang dilakukan oleh Lee HY dan kawan-kawan di Singapura pada tahun
2010 menunjukkan bahwa obat yang menimbulkan erupsi adalah antibiotik (50,5%),
nonsteroid (7,2%).15 Tipe erupsi yang paling sering dilaporkan pada beberapa studi
adalah lesi makulopapular, sedangkan tipe erupsi lain insidensinya bervariasi. Angka
kejadian erupsi obat pada wanita cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pria,
ekstrim meningkatkan risiko erupsi obat. Insidensi erupsi pada pasien usia lanjut
fungsi organ, sedangkan pada umur neonatus insidensi erupsi obat dihubungkan
dengan fungsi hepar dan ginjal yang masih belum sempurna dan konsentrasi protein
3
3
erupsi obat yang timbul menyebabkan penatalaksanaannya yang bermacam-macam,
tetapi sampai saat ini penelitian mengenai erupsi obat masih sangat terbatas.
yang tidak spesifik, mirip dengan penyakit yang lain, dan waktu timbul juga
bervariasi. Kurangnya edukasi dan pengetahuan pasien tentang obat penyebab erupsi
juga menimbulkan berulangnya erupsi. Erupsi obat adalah respon abnormal seseorang
terhadap bahan obat atau metabolitnya yang terjadi selama atau setelah pemakaian
Erupsi obat pada anak lebih jarang terjadi dibandingkan dengan orang
dewasa, akan tetapi sering menimbulkan masalah karena mirip dengan erupsi oleh
karena virus (viral exanthema) dan gejala alergi oleh penyebab lain yang sering
terjadi pada anak, misalnya alergi makanan (Ghazi, 2007). Angka kejadian alergi obat
Matondang dan Munasir (1990) adalah sebesar 0,01% dengan manifestasi terbanyak
pada kulit, sedangkan menurut Pardede (1993) sebesar 0,07% dengan manifestasi
terbanyak urtikaria (3). Insiden erupsi obat pada pasien anak yang menjalani rawat
inap berkisar antara 0,59-4,1% pada beberapa penelitian sedangkan pada pasien anak
rawat jalan antara 0,7-2,7% (3). Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan
berbeda menurut waktu, tempat, dan jenis penelitian yang dilaporkan. Pada umumnya
laporan tentang obat tersering adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, paracetamol,
4
4
dan anti konvulsan. Tetapi alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering
Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat
tertentu. Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala, dan pada seseorang
dapat berbeda dengan orang lain. Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan
sampai berat. Gejala yang berat dihubungkan dengan angka mortalitas yang tinggi
(Fromowitz, 2007). Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering, dapat
berupa pruritus, urtikaria, purpura, dermatitis kontak, eritema multiforme, fixed drug
eruption (FDE) atau reaksi yang lebih berat berupa dermatitis eksfoliatif dan erupsi
(EM) (Akib, 2008). Oleh karena itu, derajat keparahan erupsi obat dibagi menjadi dua
faktor risiko terjadinya risiko obat antara lain usia > 1 tahun , jenis kelamin
perempuan, adanya riwayat atopi pada pasien dan atau keluarga serta adanya penyakit
Wahiduzzaman (2008) menyatakan jenis kelamin laki-laki lebih rentan terkena erupsi
obat (6). Sebagian besar penelitian lebih banyak mengkaji faktor yang meningkatkan
risiko terjadinya erupsi obat. Masih terbatas kajian tentang faktor yang
5
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang
diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat
diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga
Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada tahun 1995, reaksi silang obat
adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat,
prognosis negatif seperti cacat permanen sampai kematian (Edward & Aronson
2000).
Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi.
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara
sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan
2.2 Epidemiologi
6
6
Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat alergi
mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat
alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang
berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara berkembang berkisar antara
1% 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi terjadi
2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi
di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi. Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi
pada wanita dibandingkan pria (Nayak & Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus
Sindrom Steven Johnsons dan hamper 90% penderita toxic epidermal necrolysis
akibat obat jika dibandingkan dengan orang dewasa. Akan tetapi beberapa
jenis kasus erupsi obat alergi yang memiliki prognosis buruk lebih sering
mengenai anak-anak. Pada anak anak, ruam merah yang timbul akibat
7
7
2. Faktor genetic
remaja yang memiliki orang tua dengan riwayat alergi antibiotika, 25,6%
Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat yang
struktur kimia yang sama.Akan tetapi, alergi obat tidak bersifat persisten.
hari.
4. Riwayat penyakit
dermatitis atopi.
5. Obat
8
8
digunakan secara topikal karena alasan ini. Dosis dan durasi pemberian
2.4 Patogenesis
imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang
disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan
Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang
paling banyak ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah
Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian
kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang
bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-
macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah
timbulnya syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana
9
9
melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang
Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana
antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi.
Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan
pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan
jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi alergi seluler tipe lambat).
dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam
Imunologis
10
10
Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat Antihistamin
Topical
Non imunologis
11
11
Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan
generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema dan selalu ada gejala
pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya
timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering
disebabkan oleh ampisilin, obat anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan
tetrasiklin.
menyerang glotis. Keluhannya umumnya gatal dan panas pada tempat lesi.
dapat disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri kepala
genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus angioedema pada lidah dan
12
12
Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia (Docrat,2005).
Fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai.
Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau
pada tempat yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir
dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin
karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa
eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru
5. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak hilang
bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat.
13
13
Biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki
6. Vaskulitis
Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable
mialgia, dan anoreksia. Obat penyebab ialah penisilin, sulfonamid, obat anti
inflamasi non steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada
eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di atasnya disertai gejala umum
bawah. Eritema nodosum dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain
7. Reaksi fotoalergik
14
14
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang terdapat, diduga
eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan
kulit timbul pada waktu demam tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat
beberapa hari.
terdapat riwayat alergi obat. Pada Pustulosis eksantematosa generalisata akut pustul-
pustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih cepat menghilang, selain itu
15
15
Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan
dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah (Nayak &
Acharjya, 2008):
1. Biopsi kulit
menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya
eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat
2. Pemeriksaan laboratorium
obat alergi dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3
menunjukkan erupsi obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi
16
16
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat
kembali obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini,
tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus
dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun
2.7 Diagnosis
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai
obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa
hari sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang
biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik
distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang timbul (Hamzah,
2007).
jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data
mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis
mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan
onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk
dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu
paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang bersifat persisten (Nayak &
Acharjta, 2008).
17
17
2.8 Penatalaksanaan
adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.
Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin
(Hamzah, 2007).
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau
basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah
dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika
dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
18
18
misalnya hidrokortison 1% sampai 2 %. Pada eritroderma dengan kelainan berupa
eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10%
2.9 Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa
bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven
Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena. (Hamzah, 2007).
menyebakan erupsi obat alergi adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti
flurokuinolon sekitar 11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%,
Menurut penelitian Young, Jong & Joo (2011), jenis-jenis obat yang paling
sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar
34,10%, lalu diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan golongan anti
19
19
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,90%.
Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit (2011), jenis-jenis obat yang paling sering
Menurut penelitian Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 22,9%, dan obat
anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian Ghosh, Acharya & Rao (2006), jenis-
jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan
antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan anti epilepsi sekitar 25%, obat
anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik sekitar 9%.
Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), jenis-jenis obat yang paling
sering menyebakan erupsi obat alergi adalah kotrimoksazole yaitu sekitar 22,2%, lalu
diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar
(2001), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah
golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti golongan anti inflamasi non
20
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Borch JE, Andersen KE, Bindslev-Jensen C. Cutaneous adverse drug reactions seen
523-7.
4. Scott S, Thompson J. Adverse drug reaction. Anaesth Intensive Care 2010; 12 (7):
319-23.
systemic drug administration. Drug Discov Today Dis Mech 2008; 5(2): e237-47.
care teaching hospital: a North Indian perspective. Intl J Appl Med Res 2011;
1(1): 50-3.
21
21
9. Lee HY, Tay LK, Thirumoorthy T, Pang SM. Cutaneous adverse drug
10. Khoo BP and Giam YC. Drug Eruption in Children: A Review of 111 Cases
4(11): 525-529.
11. Ghazi SBMS, Dibaee M, Salamati P, Manesh AAR, and Akhlaghi H. Adverse
12. Akib AP, Takumansang DS, Sumadiono, et al. Alergi Obat. Di dalam: Buku
Ajar Alergi-Imunologi Anak edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008: hal.
294-306.
13. Fromowitz JS, Ramos-Caro FA, and Flowers FP. Practical Guidelines for
22
22