Makalah Kasus Trauma Kapitis Dr. Fritz
Makalah Kasus Trauma Kapitis Dr. Fritz
TRAUMA KAPITIS
Disusun Oleh:
NIM: 030.10.003
Pembimbing:
JAKARTA
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan kasih, rahmat, dan karunia-Nya sehingga makalah kasus dengan judul Trauma
Kapitis ini dapat selesai dengan baik.
Adapun maksud dari penyusunan makalah kasus ini adalah untuk memenuhi salah satu
persyaratan kepanitraan klinik bagian Neurologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas
Trisakti di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Melalui makalah ini penulis ingin
mencoba menyajikan informasi mengenai trauma kapitis khususnya bagi kalangan medis dan
paramedis, dengan harapan agar pengetahuan mengenai trauma kapitis dapat lebih dipahami
oleh seorang dokter.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Fritz
Sumantri,Sp.S,FINS atas bimbingannya selama berlangsungnya kegiatan kepanitraan di bagian
neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh
karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran membangun untuk memperbaiki makalah
agar pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan
fisik dan mental yang kompleks.1 Cedera kepala adalah salah satu penyebab kematian utama
dikalangan usia produktif antara 15-44 tahun. Secara global insiden cedera kepala meningkat
dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit
dan trauma ketiga terbanyak di dunia.
Data tentang cedera kepala di Indonesia belum lengkap. Data dari salah satu rumah
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo tahun 2005 terdapat 434 pasien CKR, 315 pasien
CKS dan 28 pasien CKB.1 Data di Kalimantan Barat khususnya kota Pontianak belum tersedia,
sementara itu angka kejadian cedera kepala di RSU dr. Soedarso pada tahun 2009 didapatkan
830 kasus dengan mortalitas 1,5%.2
Cedera kepala merupakan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik
lain, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan lalu lintas. Pencegahan
kerusakan otak yang mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial oleh karena perdarahan
merupakan tujuan utama dalam memberikan pertolongan pertama.2
4
BAB II
STATUS PASIEN
1.2 ANAMNESIS
Pasien masuk ruang rawat inap pada tanggal 28 September 2014. Dilakukan
autoanamnesis pada tanggal 30 September 2014 di lantai 4 ruang 424, pukul 15.00 WIB.
a. Keluhan Utama
Pasien tidak sadar 2 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
5
keterbatasan gerak anggota badan baik lengan atau tungkai. Saat tiba di UGD RSUP
Fatmawati 2 jam setelah kejadian, pasien sadar dan merasa pusing berputar dan tengkuk
terasa sakit terutama saat menoleh ke kanan. Pasien tidak mengeluh adanya penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan, mual, muntah, kejang, gangguan pendengaran, gangguan
buang air kecil dan buang air besar, sesak nafas, demam. Namun pasien mengeluh lutut
sebelah kiri sakit saat digerakkan dan bengkak.
Saat ini pasien masih mengeluh anggota gerak sebelah kiri sakit namun masih bisa
digerakkan dan masih bisa berjalan.
Pemeriksaan fisik di ruangan 624 dibangsal RSUP Fatmawati tanggal 30 September 2014.
A. Status Generalis
I. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84x/menit, regular, kuat, isi cukup, ekual
Pernapasan : 22 x/menit, reguler
Suhu : 36oC
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 175 cm
6
BMI : Gizi kurang
Kepala : Normosefali rambut berwarna hitam, distribusi merata,
tidak kering dan tidak mudah dicabut
II. Keadaan Lokal
Trauma Stigmata : vulnus eksokoriatum pada lutut kiri
Pulsasi A. Carotis : teraba, kanan dan kiri sama, reguler, equal
Perdarahan Perifer : Capillary refilltime < 2 detik
Columna Vertebralis : letak tengah, skoliosis (-), lordosis (-)
Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)
Kepala : normosefali, simetris, rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut, benjolan (-), nyeri tekan (-). Tidak ada kesan fraktur
impresi. Mata
- Inspeksi :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), pupil isokor dengan
diameter 3 mm/3 mm, RCL (+)/(+), RCTL (+)/(+), ptosis (-/-), nistagmus (-/-),
lagoftalmus (-/-)
- Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal
Telinga
- Inspeksi : normotia +/+
Preaurikuler : hiperemis (-/-)
Preaurikuler : hiperemis (-/-)
Postaurikuler : hiperemis (-/-), abses (-/-), massa (-/-)
Liang telinga : lapang, serumen (-/-), otorhea (-)/(-
Hidung
- Inspeksi : deformitas (-/-), kavum nasi lapang, sekret (-/-), deviasi septum (-/-),
edema (-/-)
- Palpasi : nyeri tekan pada sinus maksilaris (-/-), etmoidalis (-/-), frontalis (-/-)
7
Bucal : warna normal, ulkus (-)
Lidah : pergerakan simetris, plak (-)
Palatum mole dan uvula simetris pada keadaan diam dan bergerak, arkus
faring simetris, penonjolan (-)
Tonsil : T1/T1, kripta (-/-), detritus(-/-)
Dinding anterior faring licin, hiperemis (-),
Dinding posterior faring licin, hiperemis (-), post nasal drip (-)
Pursed lips breathing (-), karies gigi (-), kandidisasis oral (-)
Leher
- Inspeksi : bentuk simetris, warna normal, penonjolan vena jugularis (-), tumor(-),
retraksi suprasternal (-), tidak tampak perbesaran KGB
- Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran thyroid (-), posisi trakea di
tengah, KGB tidak teraba membesar
- Auskultasi : bruit (-)
Thoraks
- Paru
Inspeksi : penggunaan otot bantuan nafas (-/-), retraksi sela iga (-/-), bentuk dada
normal, pergerakan kedua paru simetris statis dan dinamis, pola pernafasan
normal
Palpasi : ekspansi dada simetris, vocal fremitus sama di kedua lapang paru,
pelebaran sela iga (-/-)
Perkusi :
Sonor di kedua lapang paru
Batas paru hati : pada garis midklavikula kanan sela iga 6,
Batas paru lambung : pada garis aksilaris anterior kiri sela iga 8
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
- Jantung
Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba 2 jari lateral dari linea midklavikula sinistra
ICS V, thrill (-)
8
Perkusi :
Batas jantung kanan : ICS IV 1 jari lateral linea parasternal dekstra
Batas jantung kiri : ICS V 2 jari lateral linea midklavikula sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Massa (-), datar (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), massa (-), undulasi (-)
Hepar dan lien : tidak teraba
Ginjal : ballotemen (-/-)
Perkusi : timpani, shifting dullnes (-), nyeri ketok CVA (-/-)
Ekstremitas
Akral teraba hangat (-/-), sianosis (-/-), CRT < 3 detik, edema (-/-), deformitas (-/-)
B. Status Neurologis
1) GCS
E4M6V5 : 15 kesadaran compos mentis
2) Rangsang Selaput Otak Kanan Kiri
Kaku Kuduk : (-)
Laseque : > 70 > 70
Kernig : > 135 > 135
Brudzinski I : (-) (-)
Brudzinski II : (-) (-)
3) Peningkatan Tekanan Intrakranial
Muntah proyektil : (-)
Sakit Kepala hebat : (-)
Papil edema : Tidak dilakukan pemeriksaan
9
N.II
Acies Visus : 6/60 6/60
Visus Campus : Baik Baik
Melihat Warna : Baik Baik
Funduskopi : tidak dilakukan tidak dilakukan
N. V Kanan Kiri
Cabang Motorik : Baik Baik
Cabang Sensorik
Optahalmik : hemihipestesi sinistra
Maxilla : hemihipestesi sinistra
Mandibularis : hemihipestesi sinistra
10
N. VII Kanan Kiri
Motorik Orbitofronta : Baik Baik
Motorik Orbicularis : sudut plica nasolabial kiri dan kanan simetris
Pengecap Lidah : Baik Baik
N. IX, X
Bagian Motorik
Suara biasa/parau/tak bersuara : biasa
Menelan : normal
Kedudukan Arcus Pharynx : simetris
Kedudukan Uvula : simetris di tengah
Bagian Sensorik
Reflek Muntah (pharynx) : normal
N. XI Kanan Kiri
Mengangkat bahu : Baik terganggu
Menoleh : Baik terganggu
11
Atrofi (-) (-)
Fasikulasi/tremor (-) (-)
5) Sistem Motorik
Ekstremitas Atas Proksimal Distal : 5555 terbatas karena sakit
Ekstremitas Bawah Proksimal Distal : 5555 terbatas karena sakit
6) Gerakan Involunter
Tremor : (-)
Chorea : (-)
Atetose : (-)
Mioklonik : (-)
7) Trofik : eutrofi pada ke empat ekstremitas
8) Tonus : normotonus pada ke empat ekstremitas
9) Sistem Sensorik
Proprioseptif : baik
Eksteroseptif : hemihipestesi sinistra
10) Fungsi Cerebellar dan Koordinasi
Jari-Jari : Baik
Jari-Hidung : Baik
Ataxia : tidak dilakukan
Tes Romberg : tidak dilakukan
Disdiadokokinesia : Tidak dilakukan
Tumit-lutut : Tidak dilakukan
11) Fungsi Luhur
Astereognosia : (-)
Apraksia : (-)
Afasia : (-)
12) Fungsi Otonom
Miksi : on DC
Defekasi : Baik
Sekresi Keringat : Baik
12
13) Refleks-refleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea : (+) (+)
Bisep : (+2) (+2)
Trisep : (+2) (+2)
Patella : (+2) (+2)
Achilles : (+2) (+2)
14) Refleks-refleks Patologis Kanan Kiri
Hoffman Tromner : (-) (-)
Babinsky : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Gonda : (-) (-)
Schaeffer : (-) (-)
Klonus Lutut : (-) (-)
Klonus Tumit : (-) (-)
15) Keadaan Psikis
Intelegensia : Baik
Tanda regresi : (-)
Demensi : (-)
A. Darah (28/09/2014)
HEMATOLOGI
Hematokrit 44 % 33 45
13
Trombosit 270 ribu/uL 150 440
VER/HER/KHER/RDW
FUNGSI GINJAL
ELEKTROLIT DARAH
14
1.4.2 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Thorax PA
- Jantung dan paru dalam batas normal. Tidak tampak pneumothoraks, contusion paru,
maupun fraktur tulang dinding dada.
15
1.5 RESUME
Pasien datang ke UGD RSUP Fatmawati dengan keluhan penurunan kesadaran selama
2 jam. Keluhan terjadi setelah pasien mengalami kecelakaan lalulintas pukul 03.00 dini hari
saat sedang mengendarai motor. Sesaat setelah kejadian pasien masih mendengar suara-suara
namun mata tertutup dan badan terasa sakit dan lemas. Saat di RSUP Fatmawati pasien sudah
mulai sadar dan pasien terasa pusing berputar serta sakit di bagian tengkuk, selain itu sisi tubuh
sebelah kiri mengalami keterbatasan gerakan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka lecet pada artikulasio genu sinistra dan adanya
keterbatasan gerak extremitas sebelah kiri, sedangkan pada status neurologis hanya didapatkan
hemhipestesi sinistra.
1.7 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
Citicholin 2 x 500mg iv
Omeprazole 1 x 40mg po
B1, B6, B12 1 x1 po
Betahistin 2x24 mg po
Non-medikamentosa:
16
1.9 PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
2.1.1 Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yang menutupi tulang
tengkorak yaitu:
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung.
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak. Galae aponeurotika yang merupakan jaringan ikat berhubungan
langsung dengan tengkorak di mana melekat tiga otot yakni ke anterior (M. frobtalis),
posterior (M. occipitalis), dan lateral (M. temporalis)
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Lapisan ini kaya akan pembuluh
darah sehingga pada trauma kepala dapat terjadi perdarahan yang hebat (hematoma
subgaleal)
5. Pericranium. Bagian yang berhubungan dengan tabula eksterna dari skull atau
tengkorak3,4
18
Gambar.1 Tulang Kepala5
Ruang tengkorak (cavum crania) merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang tengkorak sebenarnya terdiri dari dua dinding
atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan
dinding bagian dalam disebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan
dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur
alur yang berisikan arteri meningea anterior, media, posterior. Apabila fraktur tulang
tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteri arteri ini, perdarahan arterial yang
diakibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat menimbulakan akibat yang fatal
kecuali bila ditemukan dan diobati dengan segera.5
2.1.3 Meningens
Meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari tiga lapisan yaitu:
1. Durameter
Durameter secara konvensional terdiri atas dua lapisan
yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.
Durameter merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
Gambar 2. Lapisan meningen
19
dalam dari cranium. Durameter terdiri dari 2 lamina yakni lamina endostealis dan
meningealis.
Lamina endostealis melekat kuat pada permukaan inferior cranium, terutama sutura, basis
krania, dan tepi foramen magnum. Lamina meningealis mempunyai permukaan yang licin dan
membentuk empat septa yaitu falx cerebri, tentorium cerebella, dan diagfragma sellae.7 Karena
tidak melekat pada selaput arakhnoid dibawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara durameter dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural. Pada cedera otak, pembuluh pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut bridging veins, dapat mengalami robekan
dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transverses dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.6
Arteri arteri menigea terletak antara durameter dan permukaan dalam dari cranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan pendarahan epidural.
Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri menigea media yang terletak pada fosa
temporalis.6
20
2.Selaput arachnoid
Selaput arachnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arachnoid
terletak antara pia meter sebelah dalam dari durameter sebelah luar otak. Selaput ini dipisahkan
dari dura meter oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia meter oleh spatium
subarachnoid yang terisi oleh liquor cerebrospinalis. Pendarahan sub arachnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.6
3. Pia meter
Pia meter melekat erat pada permukaan korteks cerebri. Pia meter adalah membrane
vascular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dlam. Membrane ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineriumnya. Arteri
arteri yang masuk kedalam subtansi otak juga diliputi oleh pia meter.6
2.1.4 Otak
Menurut perkembangan embriologi, otak atau encephalon terbagi atas 3 bagian yaitu:
1. Proencephalon (otak depan) yang berkembang menjadi telencephalon dan diencephalon.
Telencephalon selanjutnya menjadi hemisfer cerebri yang menempati fossa crania
anterior dan media.
2. Mesencephalon (otak tengah)
3. Rhombencephalon (otak belakang) yang berkembang menjadi pons dan cerebellum.
21
Gambar 4. Encephalon manusia
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekita 14 kg.
fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik, dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik
dan orientasi ruang, lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesenfalon dan pons bagian atas berisi system
aktivitas reticular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata
terdapat pusat kardiorespirotik. Cerebellum bertanggung jawab dalam fungsi kordinasi dan
keseimbangan.7
22
2.1.5 Cairan Cerebrospinalis
Cairan cerebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen Monroe
menuju ventrikel III, melalui akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. Setelah melalui dua
foramen Luschka dibagian lateral dan foramen Mangendi di medial, CSS akan direabsorbsi
kedalam sirkulasi vena melalui granulasio arachnoid yang terdapat pada sinus sagitalis
superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arachnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan dapat menyebabkan kenaikan tekanan intracranial. Angka
rata rata pda kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar
500 ml CSS perhari.6
2.1.6 Tentorium
Tentorium cerebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fossa crania anterior dan fossa crania media) dan ruang infratentorial (berisi fossa crania
posterior).6
23
Gambar 7. Tentorium pada kepala6
2.1.7 Vaskularisasi
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vetebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk Sirkulus Willsi. Vena vena
otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunya
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara kedalam sinus venosus cranialis.6
24
2.2 TRAUMA KAPITIS
2.2.1 Definisi
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen.8
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan
disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio
countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi
yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik.
Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan
secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat
lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate
adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup .9
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan
otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak
yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder
terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan
saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
25
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi
otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak.
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus
disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi
perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada
penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata
ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan
nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera
otak ringan Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi
keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :
26
Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium
terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan
permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat
diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di
area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
28
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri
dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra
serebral yang membutuhkan tindakan operasi.
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain:
1. Pemeriksaan kesadaran
Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran
dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi
perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.
29
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus
dicatat.
Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974
(Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Sastrodiningrat, 2007 ). Sejak itu GCS merupakan
tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera kepala. GCS
seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera terutama sebelum
mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat kesadaran tampaknya
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS
juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosa ( Alberico
dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat, 2007).
Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS sesudah
resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada beberapa
penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang bengkak dan
setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi prediksi yang kuat;
penderita dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid ) mempunyai mortalitas 90 %.
Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60 tahun
merupakan kombinasi yang mematikan. Penentuan skor awal GCS yang dapat
dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun atau sebelum tindakan intubasi
mempunyai nilai yang sangat penting.
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT
scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray
tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
b. CT-Scan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa.
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput
pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada
hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai
prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT
Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983
dalam Sastrodiningrat, 2007).
2. Fistel karotis-kavemosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita,
dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
PROGNOSIS
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang
besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi
vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau
vegetatif hanya 5 - 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri
kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan
kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali
berturnpang-tindih dengan gejala depresi.10
32
DAFTAR PUSTAKA
33
34
35