Anda di halaman 1dari 16

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/315618946

TIPOLOGI DAN MORFOLOGI ARSITEKTUR


RUMAH JENGKI DI KOTA MALANG DAN LAWANG

Article March 2012

CITATIONS READS

0 550

3 authors, including:

Irawan Setyabudi Antariksa Sudikno


Tribhuwana Tunggadewi University Brawijaya University
1 PUBLICATION 0 CITATIONS 165 PUBLICATIONS 21 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Kosmologi Ruang View project

Desain taman View project

All content following this page was uploaded by Antariksa Sudikno on 25 March 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TIPOLOGI DAN MORFOLOGI ARSITEKTUR RUMAH JENGKI
DI KOTA MALANG DAN LAWANG

Irawan Setyabudi, Antariksa, Agung Murti Nugroho


Program Magister Arsitektur Lingkungan Binaan
Program Magister dan Doktor Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Jln. MT. Haryono 167, Malang 65145
e-mail: isetyabudi.st@gmail.com

Abstrak
Gaya arsitektur jengki merupakan modifikasi dan bukan tahapan lanjut dari gaya sebelumnya, yaitu
arsitektur kolonial Belanda. Dari sisi bentuknya dapat dilihat dengan tanda unsur miring, seperti
atap yang tidak menyatu pada puncaknya, tembok depan (gevel) miring, memiliki lubang angin
(rooster) dan ragam ornamen yang campuraduk menjadi satu. Sesuatu yang tidak disadari di
belakang adalah proses perkembangan pola pemikiran daripada bentuk fisiknya, yaitu sifat
kemandirian, nasionalisme melawan penjajahan dan pencarian bentuk dari gaya yang sudah ada.
Pola penyebarannya pun dapat dikatakan tidak merata dan tidak selalu memiliki ragam elemen
yang kuat. Hal ini disebabkan arsitektur jengki berkembang pada era pasca kemerdekaan atau era
transisi. Studi ini difokuskan untuk mengidentifikasi rumah bergaya jengki pada setiap kecamatan
di Kota Malang dan Lawang, yang mana banyak ditemukan objek rumah jengki dan masih belum
mendapat perhatian. Tujuan studi ini adalah untuk menganalisis tipologi dengan mengklasifikasi
rumah jengki berdasarkan tipe-tipe tertentu dan menganalisis morfologinya berdasarkan tingkat
perubahan dan kecenderungan perubahannya. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan
pendekatan rasionalistik dan studi kualitatif. Hasil studi adalah tabulasi tentang tipologi dan
morfologi arsitektur jengki sebagai esensi pedoman bentuk arsitektur rumah jengki, yang akan
memberikan kontribusi terhadap keilmuan arsitektur nusantara.
Kata Kunci: tipologi dan morfologi, arsitektur jengki,

Abstract
The jengki architecture style is a modification and not the later stages of the previous style of Dutch
colonial architecture. From the form side it marked with at an angle elements, such as a roof that is
not blend at its peak, the front side wall (gevel) at an angle, and have a vent (rooster) and
ornaments variety that mixed into one. Something that not realized behind is the development
process of the pattern than its physical form as nature of independence, nationalism against
colonialism and searching the form from the existing style. The spreading pattern can be said
uneven and not always have a strong various element. This is due the jengki architecture
developed in post-independence era or the transition era. This research focused to identify the
jengki style house in every district in Malang and Lawang, which many jengki houses object
founded and still have not obtain attention. The purpose of this study is to analysis the typology
with classified the jengki houses based on certain types and analysis the morphology based on the
level and trends of change. The method used is descriptive with rationalistic approach and
qualitative study. The result of this study is a tabulation of typology and morphology of jengki
architecture as the essential guidelines for the jengki houses architecture and will contribute to
scientific of nusantara architecture.
Key words: typology and morphology, jengki architecture

32 arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012


Pendahuluan
Prijotomo pada tahun 1992 pernah menulis tentang arsitektur jengki di sebuah surat
kabar. Secara garis besar, terjemahan arsitektur jengki bagi orang awam selalu
dihubungkan dengan bentukan yang miring pada hunian rumah tinggal. Ketika ditelusuri
dari sejarahnya, banyak peneliti yang berpendapat dan menghubungkan dengan kondisi
pada masa itu, seperti Sukada (2004) istilah itu diimpor dari Amerika, yaitu Yankee dan
berkonotasi negatif, yaitu tentara yang berperang untuk penyatuan dalam perang sipil di
Amerika. Tulisan sejenis juga dilakukan dalam mencari padanan arti, yaitu secara analogi
bentuk dari celana jengki, sepeda jengki dan perabot jengki. Silas dalam Widayat (2006)
mengatakan bahwa asal usulnya diperkirakan dari adegan draw dalam film cowboy saat
posisinya dengan kaki membentuk kuda-kuda miring yang menjadi ilham untuk
melahirkan arsitektur bergaya jengki. Widayat (2006) memprediksikan ada hubungan
bentuk dasar pentagonal pada dinding depan dengan lambang TNI-AU ataupun pancasila
yang didukung dengan kondisi waktu lalu yang diliputi semangat nasionalisme berupa
penolakan terhadap sistem kolonial ini juga diperkirakan membentuk gaya yang berbeda.
Pemikiran ini sejalan dengan dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida sekitar tahun
1970. Walaupun secara sinkronis tidak sejaman, namun spirit arsitektur jengki yang
muncul tahun 1960 menurut Prijotomo (1992) dapat disebut sebagai langgam khas
Indonesia. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Ir. Soekarno dalam Ardhiati (2005)
melalui mentalite Soekarno yang menolak adanya kolonialisme dan berupaya menghapus
ingatan terhadap paham yang membuat Indonesia rendah diri.
Masih berhubungan dengan bentuk, arsitektur yang berkembang pada tahun 1950-
1960-an bersamaan dengan runtuhnya arsitektur modern, dan beralih pada fase
postmodern awal. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa tokoh di antaranya, yaitu Sullivan
(1856-1924) yang berkaitan dengan form follow function (Widayat 2006). Menurut
(Widayat 2006), rumah jengki lebih didominasi oleh kepentingan fungsi. Seperti
kemiringan atap agak curam untuk memudahkan aliran air hujan, bentukan segilima yang
melebar ke atas pada dinding untuk pelindung sinar matahari, teras untuk mengurangi
panas ruangan dan lubang angin pada rooster untuk memudahkan sirkulasi udara. Sedikit
berseberangan dengan pendapat tersebut, banyak juga yang berpendapat bahwa
arsitektur jengki hanya memoles bentukan luar. Pada studi sebelumnya gambaran
tipologis telah disebutkan oleh Kurniawan (1999) dan diperkuat oleh Widayat (2006)
dengan mengkaji tentang karakteristik bentukan arsitektur jengki dikategorisasikan
dengan menyebutkan elemen-elemennya yang terdiri atas:
a. Atap pelana
Sebagian besar dari gaya jengki menggunakan atap pelana yang mengecil pada
bagian belakang. Sudut atap kurang lebih 350. Kedua bidang atap tidak bertemu dan
tidak memiliki bubungan.
b. Tembok depan miring
Pada awal perkembangan, bidang segilima dibentuk oleh dua sisi tegak dari dinding
konvensional yang dimiringkan. Hal ini menunjukkan ciri anti geometris dan mirip
simbol TNI AU.
c. Krawang/Rooster
Rooster merupakan bukaan sebagai adaptasi terhadap iklim tropis, selain itu juga
merupakan media ekspresi baru. Bentuknya bermacam-macam dari segilima,
segitiga, maupun bidang tidak beraturan.
d. Teras/Beranda
Teras berdiri sendiri kalaupun menyatu tidak merusak bidang miring fasade rumah.
Teras yang terpisah ini dimungkinkan karena pengaruh sudut atap besar. Teras
ditutupi oleh atap datar sehingga memberi tekanan yang berbeda dari bangunan
utama yang beratap pelana.
e. Bentuk dasar

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 33


Jika dilihat dari luar memiliki bentukan yang miring, tetapi ketika memasuki ruangnya
tetap pada bentukan kubus seperti rumah rakyat pada umumnya.
f. Kombinasi bahan
Kombinasi pelapisan meliputi bahan lempengan batu belah, pasangan batu serit,
kubistis batu paras dan susunan batu telor. Terkadang penyelesaian material masih
kasar, yaitu semen yang dilemparkan ke dinding tanpa finishing.
Arsitektur jengki khususnya rumah tinggal juga cukup banyak ditemukan di Kota
Malang. Persebarannya tidak merata pada pada setiap kecamatan. Sekilas diketahui
bahwa eksistensinya berada di samping jalan raya. Begitupula di daerah Lawang, sebagai
pintu gerbang penghubung antara Malang dan Surabaya. Lawang dipilih karena lokasi
tersebut berdekatan dengan Kota Malang dan persebaran rumah jengki cukup banyak,
yang merupakan enlargement bouwplan IV. Kecamatan daerah kabupaten yang lainnya
seperti Kepanjen cukup jauh dan jumlahnya tidak banyak.
Dengan adanya eksistensi rumah jengki yang semakin mengalami perubahan maka
lama kelamaan akan kehilangan identitasnya. Hal ini disebabkan karena adanya faktor
kebutuhan dan tidak adanya perundangan yang mengatur tentang cagar budaya. Dengan
demikian rumah jengki akan hilang identitasnya. Tujuan studi adalah untuk mencari
esensi sebagai pendokumentasian rumah jengki di Malang dan Lawang dalam bentuk
klasifikasi bentuk eksterior dan interior yang dapat dikontribusikan pada keilmuan
arsitektur nusantara.

Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif rasionalistik dengan pendekatan
rasionalistik melalui penjelasan secara deskriptif. Menurut Nasution (2004:9) penelitian
deskriptif adalah memberikan deskripsi tentang gambaran yang lebih luas tentang situasi
atau fenomena. Lebih jauh Muhadjir (1996) menjelaskan, bahwa metode penelitian
kualitatif rasionalistik didasarkan pada pemahaman intelektual dengan kemampuan
berargumentasi secara logis dan didukung oleh data yang relevan. Sedikit berbeda
dengan fenomenologi yang objeknya bersifat hidup sehingga mengamati fenomenanya
dalam waktu yang relatif lama.
Pengamatan dilakukan dengan memperhitungkan variabel tipologi dan
morfologinya. Pada judul disebutkan kata tipologi dan morfologi yang berarti rangkaian
proses analisis dengan mengklasifikasikan objek arsitektural menjadi beragam tipe
bentuk. Tipologi ini sebagai data untuk analisis morfologi dengan memperhatikan
perubahan objek baik perubahan yang bersifat kecil, sedang dan besar. Variabel pada
studi ini berdasar tipologi sisi mikro, yaitu elemen bentuk: atap, dinding, lantai, pintu,
jendela, rooster; sedangkan sisi mezonya adalah unsur tapak. Variabel morfologinya
adalah sejarah, bentuk, fungsi dan intensitas perubahan. (Gambar 1 dan Gambar 2)

34 arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012


A
B

C D

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kota Malang beserta objek studinya. (A) Kecamatan
Lowokwaru, (B) Kecamatan Blimbing, (C) Kecamatan Klojen, (D) Kecamatan Sukun.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kota Malang beserta objek studinya. (A) Kecamatan
Lowokwaru, (B) Kecamatan Blimbing, (C) Kecamatan Klojen, (D) Kecamatan Sukun.

Gambar 2. Lokasi penelitian di Kecamatan Singosari dan Lawang beserta objek


studinya. (A) Kecamatan Singosari, (B) Kecamatan Lawang.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 35


Hasil dan Pembahasan
Kota Malang tidak luput dari persebaran arsitektur jengki. Dari sekian banyak gaya
yang berkembang, mulai dari arsitektur vernakular, gaya colonial sampai pada gaya
modern minimalis. Gaya jengki masih belum banyak mendapat sorotan, kemungkinan
karena jumlahnya cukup terbatas dengan sebaran yang tidak merata dan usia yang masih
tanggung atau masih relatif muda. Kebanyakan rumah jengki berkembang di permukiman
padat depan jalan raya yang berfungsi sebagai rumah tinggal dan lebih dipahami sebagai
unit tunggal dan jarang ditemukan yang berderet (Widayat 2006).
Di Kota Malang dan Lawang belum ada catatan khusus yang mengkaji sejarah
perkembangannya. Menurut wawancara dengan Bapak Dwi Cahyono, arkeolog dan
dosen Universitas Negeri Malang, menyatakan bahwa perkembangan arsitektur jengki
dimulai dengan era pasca kemerdekaan, yaitu tahun 1950-an yang merupakan era
transisi sebagai suatu bangsa yang merdeka. Setelah ratusan tahun dijajah oleh Belanda
dan juga melahirkan arsitektur kolonial yang mengalami evolusi menjadi arsitektur indis,
perkembangan berakhir tahun 1940 oleh adanya dampak tidak langsung terhadap perang
dunia kedua.
Tahun 1950-an, arsitektur jengki hadir menjadi jawaban atas kekosongan
perkembangan arsitektur. Para pribumi yang dahulunya belajar dan bekerja pada
perusahaan Belanda tergerak untuk mencari bentukan baru oleh semangat nasionalisme
dan meninggalkan hal yang berbau Belanda. Orang-orang itu disebut dengan aanemer,
mereka adalah orang yang memiliki kemampuan yang masih tanggung dalam mendesain
hal yang baru dan merupakan modifikasi (dekonstruksi) dari arsitektur kolonial Belanda
tahap akhir. Pada tahun tersebut juga terjadi nasionalisasi semua aset Belanda dan
dikuasai oleh pribumi, yang istilahnya mengusir sisa-sisa orang Belanda di Indonesia.
Kondisi ekonomi dan politik yang masih tidak menentu menyebabkan sangat terbatasnya
bangunan jengki, pemiliknya bisa disebut orang kaya yang mengikuti trend arsitektur.
Tahun 1960-1965, ekonomi sudah mulai membaik, sedangkan secara politik masih
kacau. Geliat pembangunan sudah mulai tampak dengan PELITA yang dicanangkan
pemerintah. Gaya jengki di kota tetap ada namun mengalami penyusutan, dan trend ini
mulai mewabah di pedesaan sekitar 1970.
Uraian tersebut menandakan bahwa perkembangan arsitektur jengki sangat
terbatas dan tidak menutup kemungkinan di Kota Malang dan Lawang. Daerah yang
mengalami perkembangan antara lain di sekitar Jalan Bandung, Jalan Jakarta, Jalan
Blitar di Malang sebagai enlargement dari Bouwplan sehingga daerah tersebut cukup
berkembang masa itu. Rumah jengki di Malang juga ditemukan di Jalan Tawangmangu,
Kaliurang, Pandjaitan, Langsep dan jalan Buah-buahan. Di lain pihak, Lawang sebagai
pintu gerbang menuju Kota Malang dan berdekatan dengan Singosari, rumah jengki
banyak ditemukan di jalan besar.
Eksistensi tersebut menunjukkan bahwa persebarannya secara sporadis dan
berusia pendek, sehingga perlu dilestarikan. Dalam observasi lapangan, ditemukan
bahwa rumah jengki sudah banyak mengalami perubahan dan semakin hilang
identitasnya. Perubahan ini dipicu oleh kebutuhan pemilik yang semakin meningkat
dengan menambah ruang, membongkar, dan mengganti materialnya. Perubahan dengan
intensitas kecil, sedang dan besar.
Objek sebagai bahan kajian diambil sampel sebanyak-banyaknya yang ditemukan
di lapangan, yaitu ada 7 rumah di Kecamatan Lowokwaru, 4 rumah di Kecamatan
Blimbing, 8 rumah di Kecamatan Klojen, 4 rumah di Kecamatan Sukun, 3 rumah di
Kecamatan Singosari, 6 rumah di Kecamatan Lawang, sedangkan di Kecamatan
Kedungkandang tidak ditemukan rumah jengki. Sampel yang berjumlah 32 buah rumah
representatif sebagai bahan kajian tipologi. Setiap rumah dikaji sesuai variabel bentuknya
baik atap, dinding, lantai, pintu-jendela, rooster dan elemen estetiknya. Kajian tersebut
dilakukan secara visual dengan membandingkan teori yang sudah ada dan dibandingkan
dengan kondisi lapangan. Melalui simulasi yang dilakukan secara 3 dimensi oleh software

36 arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012


AutoCAD dan SketchUp, sehingga detail setiap rumah dapat terekam. Data fisik ini
sebagai bahan untuk rangkaian proses kajian berikutnya, yaitu morfologi. Morfologi
berupa data nonfisik seperti sejarah berdirinya rumah, kepemilikan, perubahan
dibandingkan dengan waktu perkembangan. Dalam kajian morfologi tidak semua rumah
bisa dikaji karena keterbatasan seperti penghuni perlu privasi sehingga tidak
diperkenankan mengkaji rumahnya sehingga objek morfologi adalah 25 buah rumah
jengki.
Studi ini merupakan suatu ringkasan yang mana tidak memungkinkan semua
sampel atau studi kasus dapat ditampilkan semuanya, dengan metode kajian yang sama
untuk semua studi kasus, maka dapat dianalogikan dua buah sampel dapat mewakili
keseluruhan objek.

A. Deskripsi tipologi dan morfologi


Brill (1994) dalam Nessbit (1996) mengatakan kegiatan membangun tipe
merupakan sebuah cara untuk kategorisasi, mengulang dan mengetahui. De King (1994)
dalam Nessbit (1996) mengatakan tipologi sebagai usaha klarifikasi dan taksonomi.
Taksonomi diartikan sebagai formulasi aturan-aturan dari sejumlah informasi tentang
objek melalui cara menyusun keteraturan kategori secara hirarkis. Dalam klasifikasi
dilakukan kategorisasi dengan melihat dari dimensi kontras yang ada pada tiap kategori.
Kategori adalah dimensi untuk melihat perbedaan. Dengan demikian dalam tipologi dapat
dilihat keseragaman dan keragaman sekaligus. Francescato (1994) dalam Nessbit (1996)
mengatakan kegiatan menghasilkan tipe sama dengan klasifikasi dan kategorisasi.
Menurut Wiyatiningsih (1998), untuk mendapatkan tipologi arsitektur jengki, elemen
arsitektural yang paling relevan untuk dibahas adalah mengenai fasade, baik bentuk
maupun komposisinya, sedangkan setting bangunan diperoleh dari organisasi ruang dan
denah lokasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa morfologi berarti studi tentang bentuk. Menurut
Rose (1976) dalam Ronald (2008) dikatakan bahwa morfologi merupakan studi tentang
perubahan bentuk, hubungan, metamorfosis dan struktur dari sesuatu objek. Dalam
morfologi perubahan bentuk biasanya melalui proses evolusi atau modifikasi dengan
waktu yang cukup lama. Suatu kajian untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk organik
menurut tipe dan aturan-aturannya, sehingga bentuk dasar dapat ditemukan dan
dimengerti.
Studi tipologi dan morfologi merupakan suatu rangkaian atau dapat berdiri sendiri.
Seorang peneliti dapat memfokuskan penelitiannya pada aspek tipologi dan/atau
morfologinya. Dalam identifikasi suatu objek dalam arsitektur diawali dengan proses
mengetahui suatu tipe objek berdasarkan klasifikasi tertentu. Seperti penjelasan
sebelumnya bahwa tipe dapat diambil berdasarkan kesamaan suatu objek, yang disebut
dengan tipologi. Kesamaan suatu karakter ini disebabkan oleh faktor setting dan elemen
bangunan. Morfologi banyak membahas suatu metamorfosis bentuk dan ruang yang
diperoleh dari sejarah perkembangan suatu objek atau berdasarkan waktu tertentu.
Topologi yang lebih membahas pada penataan struktur ruang dapat dileburkan pada
aspek morfologi.

B. Hasil Tipologi dan Morfologi


Uraian tipologi dan morfologi berikut mentabulasikan unsur-unsur rumah jengki yang
dibagi dalam 5 kecamatan. Dengan melihat unsur eksterior seperti unsur atap, lisplank,
dinding, teras, elemen bukaan, dan elemen meso dapat dikategorisasikan unsur yang
banyak muncul. Segi morfologi juga demikian, dilihat dari jenis perubahan yang muncul
seperti perubahan kecil, sedang dan besar.
1) Kecamatan Lowokwaru
Kecamatan lowokwaru yang diwakili oleh 3 lokasi dari 7 lokasi yang mewakili
perubahan kecil, sedang dan besar pada lingkup morfologinya, yaitu Jalan Seruni 2, Jalan
Kaliurang 41 dan Jalan Tawangmangu 9 Malang. Aspek tipologi diperoleh dari bentuk
arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 37
atapnya pelana, khususnya terdapat bidang lebihan. Lisplank cukup tebal dan penyangga
oversteknya terdapat kayu segitiga. Dinding depan tidak miring, dan pada ketiganya
terdapat batu tempel pada dinding. Kanopi pada teras ada yang menutup seluruh atau
sebagian saja. Ornamentasi berupa kombinasi warna, bahan dan tekstur lebih banyak
pada rumah Jalan Tawangmangu 9. Bentuk bukaan berupa pintu atau jendela umumnya
persegi panjang, namun di rumah Jalan Kaliurang 41 ditemukan bentuk yang kurang
umum, yaitu trapesium dan terdapat bingkai. Lingkup meso diketahui dari bentuk
bangunan persegi panjang dan lokasi terletak di antara rumah lain dan sudut. Aspek
morfologinya diketahui dari perkembangan masing-masing rumah yang ketiganya masih
berfungsi sebagai rumah tinggal. Perubahan kecil seperti penggantian material lantai
keramik pada Jalan Kaliurang 41 (tahun 1990), perubahan sedang seperti penambahan
ruang belakang dan penambahan kanopi pada Jalan Tawangmangu 9 (tahun 2000),
sedangkan perubahan besar berupa pembongkaran ruang dan merubah organisasi
denah pada Jalan Seruni 2 Malang (tahun 1986). Umumnya perubahan dilakukan sekitar
tahun 1990-2000. (Gambar 3).

Gambar 3. Proses tipologi dan morfologi Kecamatan Lowokwaru.

1) Kecamatan Blimbing
Kecamatan Bilimbing diwakili oleh rumah Jalan Ciliwung 26, Jalan Cimadur 11, dan
Jalan Juanda 9C. Aspek tipologi diperoleh dari kesamaan unsur seperti pada kecamatan
sebelumnya. Bentuk atap semuanya berbentuk pelana, namun pada sampel Jalan
Cimadur, arah gevel berada di samping. Ciri khas lain pada atap adalah memiliki jambul
seperti pada Jalan Juanda 9C. Fasade masih sebagai sarana kreativitas builder, yaitu
adanya ornamen batu tempel dan rooster pada Jalan Ciliwung 26 dan Jalan Cimadur 11,
sedangkan Jalan Juanda 9C polos dan ditambahkan keramik. Ornamentasi yang sangat
menarik seperti adanya unsur miring berupa susunan kolom pada kanopi teras. Kanopi ini
menutupi seluruh luasan teras.
Bentuk bukaan, yaitu pintu dan jendela umumnya berbentuk persegi panjang
dengan variasi jumlah daun, kombinasi material dan warna. Bukaan juga ditemukan
bingkai tebal yang melingkupinya dengan bentukan miring. Lingkup meso menunjukkan
bahwa bentukan dasar rumah ini persegi panjang dan berada di antara rumah yang lain.
Aspek morfologinya ditunjukkan dengan tidak ada perubahan fungsi rumah atau sejak

38 arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012


dahulu berupa rumah tinggal. Perubahan kecil terdapat pada Jalan Ciliwung 26 dan Jalan
Juanda 9C dengan merubah material keramik sekitar tahun 1996 dan 2000. Rumah Jalan
Cimadur 11 mengalami perubahan tingkat sedang karena ada perluasan ruang namun
tidak merubah denah utama, yaitu fungsi kost dan ruang makan di tahun 1982. (Gambar
4).

Gambar 4. Prosestipologi dan morfologi Kecamatan Blimbing.

1) Kecamatan Klojen
Kecamatan Klojen juga diwakili oleh 3 rumah berikut yang mana memiliki kesamaan
ciri dengan rumah lainnya, yaitu rumah Jalan Garbis 4, Jalan Bandung 18 dan Jalan
Langsep. Ketiganya sekilas memiliki bentuk yang mirip. Hal ini ditandai dengan bentuk
tipologi atap pelana dengan gevel berada di depan dan ketiganya memiliki lebihan atap
berupa jambul. Garis lisplank cukup tebal dan di bawahnya terdapat kayu segitiga. Gevel
sebagai media untuk hiasan berupa susunan rooster atau garis geometris. Kanopi pada
teras tidak menutupi secara penuh atau berupa tambahan. Fasade terdapat hiasan batu
tempel kecuali rumah Jalan Bandung 18. Bentuk bukaan pintu dan jendela cukup
bervariasi, mulai bentukan persegi panjang dengan ragam daun dan dibingkai miring
kecuali rumah jalan Bandung 18 yang sudah berubah. Lingkup meso masih ditandai oleh
bentukan dasar persegi atau persegi panjang. Aspek morfologi ditunjukkan dengan
tingkat perubahannya. Perubahan sedang berupa penambahan ruang dan susunan
denah pada rumah Jalan Garbis 4, yaitu menambah ruang keluarga dan teras pada tahun
1980 serta rumah Jalan Langsep dengan menambah fungsi ruang profesi dokter tahun
1983. Perubahan besar pada rumah Jalan Bandung 18 dengan merubah fungsi ruang
keseluruhan dari rumah tinggal menjadi rumah usaha kursus pada tahun 2006. (Gambar
5).

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 39


Gambar 5. Proses tipologi dan morfologi Kecamatan Klojen.

1) Kecamatan Sukun
Sampel Kecamatan Sukun terdiri atas rumah Jalan Niaga 12, Jalan Terusan Dieng
01, dan Jalan Kolonel Sugiono 303 Malang. Ketiganya memiliki ciri yang sedikit berbeda.
Hal ini ditandai dengan bentuk tipologi atapnya yang tergeser, namun rumah Jalan Niagai
12 memiliki dinding berventilasi antara dua bidang atap. Rumah ini juga memiliki gevel di
samping seolah menonjolkan bidang geser atap. Lisplank cukup tebal dan khusus pada
rumah Jalan Kolonel Sugiono 303 terdapat lebihan lisplank sekitar 1 meter. Gevel masih
sebagai sarana kreativitas yang hadir dengan hiasan bentuk geometris, susunan rooster
secara linear dan perbedaan warna. Dinding depan tidak miring dan banyak hiasan batu
tempel. Jenis bukaan hanya berbentuk dasar persegi panjang dengan kombinasi kayu-
kaca dan jumlah daun. Teras memiliki bentuk yang menyatu dengan bangunan induk
sehingga hanya perlu sedikit perluasan kanopi. Rumah Jalan Niaga 12 tidak memiliki
kanopi teras sedangkan rumah Jalan terusan Dieng 01 memiliki lebar kanopi sekitar 0,50
meter sehingga masih terjadi tampias, sedangkan sampel terakhir memiliki kanopi yang
menyeluruh pada teras. Lingkup meso ditandai dengan bentuk dasar persegi dan persegi
panjang yang terlihat pada denah isometri. Aspek morfologi diketahui dengan jenis
perubahan yang hadir pada rumah. Sampel pertama tidak mengalami perubahan antara
dahulu sampai sekarang sehingga masuk pada perubahan kecil yang hanya
dimungkinkan perubahan warna cat. Sampel kedua mengalami perubahan sedang
dengan penggantian material seperti keramik serta pemindahan ruang tangga di tahun
1990-an. Sampel ketiga dengan perubahan sedang dengan merubah ruang depan rumah
sebagai fungsi profesi tahun 2008. (Gambar 6).

40 arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012


Gambar 6. Proses tipologi dan morfologi Kecamatan Sukun.

1) Kecamatan Singosari
Sampel di Kecamatan Singosari hanya ditemukan 3 rumah, yaitu Jalan raya
perusahaan 1, Jalan Randu Agung 1 dan Jalan Randu Agung 22. Ketiganya memiliki
karakter tipologi yang berbeda. Bentuk atap dengan pelana dan gevel didepan kecuali
pada sampel ketiga yang gevelnya di samping dan atap tergeser. Lisplank juga dengan
lebihan sekitar 0.5 meter pada sampel ketiga. Fasade polos tidak terdapat ornamen batu
tempel pada sampel pertama dan pada fasade terdapat bukaan berupa susunan rooster
secara linear. Bentuk bukaan umumnya persegi panjang, namun ada sedikit keunikan,
yaitu bentuk trapesium pada sampel kedua. (Gambar 7)

Gambar 7. Proses tipologi dan morfologi Kecamatan Singosari.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 41


Ketiga rumah memiliki teras dengan bentukan yang terpisah dari rumah induk dan
umumnya dari atap datar kecuali sampel kedua. Teras sampel pertama ditopang oleh
kolom dari besi, sedangkan pada sampel kedua; teras merupakan unsur tambahan yang
awalnya tidak ada. Teras pada sampel ketiga merupakan unsur yang sejak awal sudah
ada. Lingkup meso dilihat dari isometri interiornya yang menunjukkan bahwa rumah
tersebut memiliki tipologi denah yang tidak beraturan atau kombinasi kecuali pada sampel
ketiga dengan bentuk denah persegi panjang. Aspek morfologi dapat dilihat dari
pertumbuhan rumah dari waktu ke waktu. Sampel pertama mengalami perubahan fungsi
sebagai rumah usaha dan penggantian keramik teras sehingga termasuk pada perubahan
sedang, yaitu pada tahun 1990. Sampel kedua dengan menambah fungsi teras dan kolom
spanyolan sekitar tahun 1988 kemudian pada bagian belakang ditambahkan fungsi ruang
makan dan dapur tahun 2010 sehingga tergolong perubahan sedang. Sampel ketiga
masih tetap mempertahankan baik bentuk maupun fungsinya sebagai rumah tinggal
sehingga tergolong jenis perubahan kecil. (Gambar 7).

2) Kecamatan Lawang
Sampel pada Kecamatan Lawang terdiri atas 3 buah sampel, yaitu rumah Jalan
Wahidin 11A, Jalan Wahidin 2 dan Jalan Dr. Cipto 9. Tipologi bentuk diawali dari bentuk
atapnya dengan karakter yang berbeda setiap sampel. Sampel pertama memiliki bentuk
atap pelana tergeser dengan gevel berada disamping. Pada sisi antara bidang atap
terdapat ventilasi berupa susunan rooster secara linear. Sampel kedua memiliki bentuk
atap pelana biasa dengan sisi gevel menghadap depan. Bidang gevel terdapat
ornamentasi garis dan tekstur kasar. Sampel ketiga memiliki bentuk atap yang terpisah
dengan model huruf T dengan menonjolkan gevel pada bagian depan. Bentuk lisplank
ditonjolkan pada sampel kedua dengan ketebalan dan warna. Dinding depan pada
sampel pertama dan ketiga masih dihiasi oleh susunan batu tempel, yang khusus pada
sampel ketiga bentuk dinding pentagonal miring yang seolah-olah jatuh. Pada bagian
teras umumnya merupakan bagian yang terpisah dengan rumah induk. Teras sampel
pertama dengan atap datar dan ditopang kolom miring berbentuk V, sedangkan sampel
kedua dan ketiga dengan lebar overstek tidak lebih dari 0.5meter. Bentuk bukaan baik
pintu atau jendela dengan model persegi atau persegi panjang, baik material kayu-kaca
ataupun sirip. Pada setiap bukaan dibatasi oleh bingkai miring sebagai ciri khas arsitektur
jengki. (Gambar 8)

Gambar 8. Proses tipologi dan morfologi Kecamatan Lawang.

42 arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012


Aspek morfologi terlihat dari pertumbuhan rumah dari waktu ke waktu dan jenis
perubahannya. Pertumbuhan sampel pertama sekitar tahun 1990 dengan mengganti
ruang paviliun menjadi dapur sehingga tergolong jenis perubahan sedang. Sampel kedua
dengan merubah seluruh material lantai menjadi keramik, merubah warna cat serta
merubah fungsi garasi menjadi toko, sehingga tergolong jenis perubahan sedang. Sampel
ketiga dengan merubah denah dengan memperluas fungsi baru menjadi gereja serta jenis
material lantai depan sehingga tergolong jenis perubahan besar.
Berdasar uraian tipologi dan morfologi diketahui terdapat beragam tipe. Proses
setelah identifikasi adalah menggeneralisasikan tipe. Menurut pendapat dari Schulz
(1980), menyebutkan bahwa prinsip tipologi melibatkan kelompok objek lebih dari satu
buah atas dasar kesamaan sifat dasar yang berupaya memilah atau mengklasifikasi
bentuk keragaman dan kesamaan jenisnya. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam
pengklasifikasian objek arsitektural berdasarkan karakteristiknya (menurut variabel)
dengan jumlah lebih dari satu macam yang pada akhirnya digeneralisasikan menjadi satu
buah tipe.
Pemrosesan tentang tipe juga dijelaskan Argan dalam Nesbitt (1996), proses ini
terjadi dalam dua fase. Tahapan pertama (tipe-formasi) diagram tipologikal didapatkan
melalui suatu reduksi dengan proses yang bermacam-macam. Pemrosesan dari diagram
tipologikal dapat menghasilkan tipe eksisting yang mempunyai variasi yang baru, dan
deformasi (distorsi) dari tipe dapat dikatakan telah terjadi. Deformasi bentuk termasuk di
dalamnya adalah rotasi, perpindahan, pembedaan ketinggian, dan lain sebagainya.
Tahapan kedua (momen penciptaan bentuk) diagram proses dikenakan dalam semua
level tipologikal ke dalam sistem arsitektural tertentu yang dipilih oleh desainer. Tipe ini
kemudian dihubungkan dengan ekspresi arsitektural atau gaya.

Gambar 7. Pemrosesan tipe.


Sumber: Nesbitt (1996)

Pada kasus masing-masing sampel di Kota Malang dan Lawang dipilih berdasarkan
jumlah karakter yang muncul dan memiliki keunikan tertentu. Pada Tabel 1 merupakan
intisari dari tipologi dan morfologi arsitektur rumah jengki. Aspek tipologi memiliki karakter
sebagai berikut. Bagian atap-fasade terdapat 14 ragam tipe dengan karakter kuat pelana
gevel di depan, samping atau atap tergeser. Bukaan terdiri atas pintu dan jendela yang
terdiri atas 11 tipe dengan karakter material kayu, kayu-kaca, dan jumlah daun. Bingkai
dan ventilasi terdiri atas 6 tipe dengan karakter bentuk miring. Rooster sebagai lubang
angin memiliki 10 tipe dengan varian bentuk persegi, belah ketupat, lingkaran dan
sebagainya. Kanopi teras merupakan bagian yang terkadang terpisahkan dari rumah
induk, biasanya beratap datar dan memiliki variasi pada penggunaan bentuk kolom.
Jumlah tipe pada kanopi teras adalah 3 tipe dengan berdasarkan bahannya. Aspek
morfologi memiliki karakter sebagai berikut, jenis denah diwakili oleh rumah yang memiliki

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 43


tingkat perubahan kecil, sedang dan besar. Perubahan kecil hanya ada pada penggantian
material seperti warna cat dan material lantai seperti pada kasus Jalan Seruni 2 Malang.
Perubahan sedang dengan karakter penambahan dan penggantian fungsi tetapi tidak
merubah struktur organisasi ruang denah, contohnya pada kasus Jalan Garbis 4 Malang.
Perubahan besar dengan karakter perubahan jenis ruang dan fungsi hingga merubah
struktur dan organisasi denah rumah seperti pada rumah jalan Bandung 18 Malang.
Aspek interior juga menunjukkan kesamaan arah masuk pada entrance, letak ruang tamu,
susunan letak ruang tidur dan ruang bersama.

Tabel 1. Morfologi Arsitektur Rumah Jengki di Kota Malang dan Lawang

44 arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012


Kesimpulan
Kajian terhadap tipologi dan morfologi arsitektur jengki ini menghasilkan suatu
kesimpulan berupa temuan deskriptif sebagai berikut:
a. Tahun perkembangan, rumah paling awal didirikan pada tahun 1953 dan paling baru
didirikan pada tahun 1967. Corak yang berkembang kebanyakan masih corak awal
yang ditandai dengan atap yang tergeser. Tahun perkembangan antara corak awal dan
baru bisa overlapping.
b. Kesamaan munculnya elemen jengki, secara morfologis ada beberapa kesamaan
waktu kemunculan elemen arsitektur rumah jengki, bisa jadi karena letaknya
berdekatan dan satu pembangun.
c. Kesamaan bentuk dasar, umumnya rumah jengki yang banyak ditemukan adalah
berbentuk denah persegi panjang, baik sisi panjang di depan atau di samping. Hal ini
juga berlaku pada corak awal dan corak baru.
d. Kesamaan lokasi, penyebaran arsitektur jengki bisa jadi adanya kesamaan lokasi yang
mana saat pembangunannya hampir bersamaan sehingga produk akhirnya hampir
sama.
e. Kesamaan tata ruang, umumnya tata ruang rumah jengki seperti pada rumah indis
yang mengalami modifikasi, letak ruang tamu berada di depan, ada transisi ruang
antara ruang tamu dan ruang keluarga.
f. Faktor perubahan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa faktor perubahan
didasari oleh alih kepemilikan, alih profesi, kebutuhan ruang dan selera baru.
g. Jenis perubahan, perubahan yang banyak ditemukan umumnya adalah perubahan
kecil seperti penggantian material pada lantai. Perubahan dengan intensitas sedang
ditemukan ketika adanya perubahan fungsi dan menambah ruang, tetapi tidak
merubah denah utama. Perubahan intensitas besar ditandai dengan perubahan denah
dengan skala yang besar seperti pada rumah Jalan Galunggung 2, yang merubah
bagian paviliun menjadi ruang usaha
h. Tahun perubahan, umumnya sang pemilik/penyewa melakukan perubahan pada
seiring dengan kebutuhannya dan antara rumah yang satu dengan yang lainnya
berbeda, pada beberapa studi kasus, material yang paling sering dirubah adalah
material lantai sekitar tahun 1990-an ketika material keramik mudah ditemukan.
i. Sifat ruang, arsitektur jengki berbeda dengan arsitektur tradisional yang memiliki sisi
intangible pada ruangnya. Ruang tercipta bukanlah faktor kebutuhan yang utama,
tetapi secara given oleh builder-nya. Faktor inilah yang menyebabkan perubahan
ruang oleh perubahan fungsi saat ini.

Daftar Pustaka
Ardhiati, Y. (2005). Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang
kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965. Depok:
Komunitas Bambu.
Dyah, A. (2000). Tipologi Perubahan Wajah Bangunan Rumah Jengki di Kawasan
Pakubuwono Jakarta Selatan. Jurnal Teknik Arsitektur Universitas Budi Luhur.
Kurniawan, K R. (1999). Identifikasi Tipologi dan Bentuk Arsitektur Jengki di Indonesia
Melalui Kajian Sejarah. Jurnal Teknik Arsitektur Universitas Indonesia. Laporan
Penelitian SPP/DPP.
Nasution. (2004). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Nesbitt, K. (1996). Theorizing A New Agenda for Architecture : An Anthology of
Architectural Theory 1965-1995. New York: Princeton Architectural Press
Prakoso, I. (2002). Arsitektur Jengki, Perkembangan Sejarah yang Terlupakan. (Online).
(www.arsitekturindis.com diakses 28 Juni 2010)

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 45


Ratnatami, A. (2005). Aspek Bentuk Arsitektur Bangunan pada Makna Fungsi Bangunan
dan Ekspresi Arsitektur Kawasan Koridor (Studi Kasus: Koridor Jl. Jend. Sudirman
Surakarta. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Triyosoputri, E, dan Santoso, I. (2006). Eksplorasi Arsitektur Jengki di Malang. Malang:
Grup Konservasi Arsitektur dan Kota Universitas Merdeka Malang.
Triyosoputri, E. (2008). Bangunan Ber-Arsitektur Jengki di Malang; Kajian terhadap
Elemen Fasade; Kasus: Rumah Dinas PT. Pindad (Persero) Turen. Laporan
Penelitian. Malang:Universitas.
Widayat, R. (2006). Spirit dari Rumah Gaya Jengki Ulasan tentang Bentuk, Estetika, dan
Makna. Jurnal Dimensi Interior. l4, (2): 80-89.

Antariksa 2012

46 arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai