Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengobatan tradisional yang berkembang di Indonesia merupakan warisan

dari nenek moyang. Saat pengobatan konvensional belum masuk ke negara ini,

masyarakat Indonesia lebih mengenal cara penyembuhan penyakit secara

tradisional, dimana pengobatan tradisional tersebut didapat dari informasi turun

temurun serta dari berbagai percobaan terhadap berbagai macam tanaman yang

tumbuh subur di Indonesia. Pengobatan tradisional Indonesia biasanya berasal

dari bahan-bahan alam yang ada disekitar lingkungan tempat tinggal (Murtie,

2013).

Salah satu contoh bahan alam yang belakangan ini mulai dimanfaatkan

sebagai obat adalah daun selendri (Apium Graveolens L). Secara tradisional

tanaman seledri diguanakan sebagai pemacu enzim pencernaan atau sebagai

penambah nafsu makan, peluruh air seni, dan penurun tekanan darah. Di samping

itu digunakan pula untuk memperlancar keluarya air seni, mengurangi rasa sakit

pada rematik dan gout, juga digenakan sebagai anti kejang. Selebihnya daun dan

batang seledri digunakan sebagai sayur dan lalap untuk penyedap

masakan (Sudarsono dkk., 1996). Seluruh herba seledri mengandung glikosida

apiin (glikosida flavon), isoquersetin, dan umbelliferon. Juga mengandung

mannite, inosite, asparagine, glutamine, choline, linamarose, pro vitamin A,

vitamin C, dan B. Kandungan asam-asam dalam minyak atsiri pada biji antara lain

: asam-asam resin, asam-asam lemak terutama palmitat, oleat, linoleat, dan

1
petroselinat. Senyawa kumarin lain ditemukan dalam biji, yaitu bergapten, seselin,

isomperatorin, osthenol, dan isopimpinelin (Sudarsono dkk., 1996).

Dengan semakin meningkatnya minat untuk mencegah dan mengobati

berbagai penyakit dengan pengobatan tradisional atau herbal, maka meningkat

pula kekhawatiran tentang keamanan dan potensi efek samping pada tumbuhan

obat yang digunakan (Wangdan Yang, 2011). Tumbuhan obat yang digunakan

sebagai obat dan terbukti secara empiris sebagai obat dapat dikembangkan

menjadi Obat Herbal Terstandar. Namun, pengembangan obat tersebut harus

dilengkapi dengan bukti dari data nonklinik dan data klinik. Obat yang akan diuji

secara nonklinik dan klinik memerlukan data uji toksisitas yang minimal

diperoleh data berupa nilai LD50 (Anonimb, 2014).

Uji toksisitas merupakan uji yang dilakukan untuk memperkirakan resiko

yang berkaitan dengan pemaparan zat kimia dalam kondisi khusus karena kita

ketahui bahwa tidak ada satupun zat kimia yang dapat dikatakan aman (bebas

resiko) sepenuhnya, karena setiap zat kimia akan bersifat toksik pada tingkat dosis

tertentu (Lu, 2006).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin melihat efek toksik ekstrak

etanol daun selendri (Apium Graveolens L) terhadap tikus putih (Rattus

Norvegicus) jantan melalui uji toksisitas akut.

1.3 Tujuan Penelitian

2
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui

toksisitas akut ekstrak etanol daun selendri (Apium Graveolens L) melalui

penentuan nilai LD50.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi

mengenai keamanan daun selendri (Apium Graveolens L) untuk penggunaannya

sebagai obat sehingga dapat menjamin penggunaannya bagi masyarakat.

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup pada penelitian ini dibatasi pada pengujian uji toksisitas akut

selama 3 hari dengan menggunakan hewan percobaan tikus putih (Rattus

norvegicus) jantan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Monografi daun selendri (Apium Graveolens L)

1. Nama Tanaman

Nama daerah: Di Sunda terkenal terkenal dengan nama saladri dan di

Jawa terkenal dengan nama seledri.

2. Klasifikasi

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Apiales

Famili : Apiaceae

Genus : Apium

Spesies : Apium graveolens L.

3. Morfologi Tanaman

Batang : Tidak berkayu, beralus, beruas, bercabang, tegak,

hijau pucat.

Daun : Tipis majemuk, daun muda melebar atau meluas

dari dasar, hijau mengkilat, segmen dengan hijau pucat, tangkai di

semua atau kebayakan daun merupakan sarung.

4
Daun bunga : Putih kehijauan atau putih kekuningan -3/4 mm

panjangnya.

Bunga : Tunggal, dengan tangkai yang jelas, sisi kelopak

yang tersembunyi, daun bunga putih kehijauan atau merah jambu pucat

dengan ujung yang bengkok. Bunga betina majemuk yang jelas,tidak

bertangkai atau bertangkai pendek, sering mempunyai daun berhadapan

atau berbatasan dengan tirai bunga.

Tirai bunga : Tidak bertangkai atau dengan tangkai bunga tidak

lebih dari 2 cm panjangnya.

Buah : Panjangnya sekitar 3 mm, batang angular,

berlekuk, sangat aromatik.

Akar : Tebal

4. Habitat dan Penyebaran

Berasal dari Eropa Selatan, sekarang ada dimana-mana banyak ditanam

orang untuk diambil daun, akar, dan buahnya.

5. Kandungan kimia

Seluruh herba seledri mengandung glikosida apiin (glikosida flavon),

isoquersetin, dan umbelliferon. Juga mengandung mannite, inosite,

asparagine, glutamine, choline, linamarose, pro vitamin A, vitamin C,

dan B. Kandungan asam-asam dalam minyak atsiri pada biji antara lain :

asam-asam resin, asam-asam lemak terutama palmitat, oleat, linoleat,

dan petroselinat. Senyawa kumarin lain ditemukan dalam biji, yaitu

5
bergapten, seselin, isomperatorin, osthenol, dan

isopimpinelin (Sudarsono dkk., 1996).

6. Kegunaan dan khasiat

Secara tradisional tanaman seledri diguanakan sebagai pemacu enzim

pencernaan atau sebagai penambah nafsu makan, peluruh air seni, dan

penurun tekanan darah. Di samping itu digunakan pula untuk

memperlancar keluarya air seni, mengurangi rasa sakit pada rematik dan

gout, juga digenakan sebagai anti kejang. Selebihnya daun dan batang

seledri digunakan sebagai sayur dan lalap untuk penyedap

masakan (Sudarsono dkk., 1996).

2.2. Uji Toksisitas

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat

pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari

sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk

membuktikan keamanan suatu bahan/sediaan pada manusia, namun dapat

memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi

efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (Anonima, 2014).

Tujuan akhir dari uji toksisitas ini berkaitan dengan nilai keamanan

suatu zat kimia dalam penggunaannya pada manusia, dan idealnya data yang

dikumpulkan seharusnya berasal juga dari manusia itu sendiri. Tetapi,

karena hambatan tidak memungkinkan perlakuan langsung pada manusia,

6
maka uji toksikologi dilakukan pada binatang, hewan sel tunggal dan sel

kultur (Anonima, 2000).

Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kategori (Lu, 2006):

1. Uji Toksisitas Akut

Uji yang dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji

sebanyak satu kali, dalam jangka waktu 24 jam.

2. Uji Toksisitas Jangka Pendek (Subakut)

Uji yang dilakukan dengan memberikan bahan tersebut berulang-

ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu selama jangka

waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan.

3. Uji Toksisitas Jangka Panjang (Kronik)

Uji yang dilakukan dengan memberikan zat kimia secara berulang-

ulang selama masa hidup hewan percobaan.

2.3. Uji Toksisitas Akut

2.3.1. Definisi

Toksisitas akut adalah efek berbahaya yang terjadi segera setelah terpapar

dosis tunggal atau berulang dalam waktu 24 jam (Priyanto, 2009).

Sedangkan uji toksisitas akut itu adalah suatu pengujian untuk mendeteksi

efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji

yang diberikan dalam dosis tunggal dalam waktu 24 jam (Anonima, 2014).

2.3.2. Prinsip

Prinsip uji ini adalah pemberiaan sediaan uji dalam beberapa

tingkatan dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan

7
satu dosis perkelompok (Anonima, 2014). Uji toksisitas akut ini dirancang

untuk menetukan efek yang terjadi dalam periode waktu yang singkat

setelah pemberian dosis uji (Timbrell, 2002).

2.3.3. Tujuan

Penelitian toksisitas akut ini bertujuan mengidentifikasi bahan kimia yang

toksik dan memperoleh informasi tentang bahaya terhadap manusia bila

terpajan. Uji toksisitas akut digunakan untuk menetapkan nilai median

Lethal Dose (LD50) dari suatu toksikan. LD50 bahan obat mutlak harus

ditentukan karena nilai ini digunakan dalam penilaian resiko manfaat dan

daya racun yang dinyatakan sebagai indeks terapi obat. Dimana makin besar

indeks terapi, maka makin aman obat tersebut digunakan (Soemardji et al,

2002).

Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut sebenarnya bukan hanya untuk

menentukan dosis letal 50%, mengetahui mekanisme kerja dan target organ

dari toksik yang diuji, tetapi juga untuk (Priyanto, 2009) :

a. Menentukan range dosis (interval dosis) untuk uji berikutnya (uji

farmakologi, toksisitas subakut, subkonis dan toksisitas jangka panjang).

b. Untuk mengklasifikasi zat uji, apakah masuk kategori praktis tidak

toksik, supertoksik atau yang lain.

c. Mengindentifikasi kemungkinan target organ atau sistem fisiologi yang

dipengaruhi.

d. Mengetahui hubungan anatara dosis dengan timbulnya efek seperti

perubahan prilaku, koma, dan kematian.

8
e. Mengetahui gejala-gejala toksisitas akut sehingga bermanfaat untuk

membantu diagnosis adanya kasus keracunan.

f. Untuk memenuhi persyaratan regulasi, jika zat uji akan dikembangkan

menjadi obat.

g. Mengetahui pengaruh umur, jenis kelamin, cara pemberian dan faktor

lingkungan terhadap toksisitas suatu zat.

h. Mengetahui variasi respon antar spesies dan antar strain (hewan,

mikroba), serta memberikan informasi tentang reaktivitas suatu populasi

hewan.

2.3.4. Lethal Dose 50 (LD50)

Lethal Dose 50 adalah suatu besaran yang diturunkan secara

statistik, guna menyatakan dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan

menyebabkan kematian atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada

50% hewan percobaan setelah perlakuan (Hodgson, 2000). Biasanya, makin

kecil nilai LD50 maka semakin toksik senyawa tersebut. Demikian juga

sebaliknya, semakin besar nilai LD50 maka semakin rendah toksisitasnya.

Potensi toksisitas akut senyawa pada hewan percobaan dibagi menajadi

beberapa kelas, adalah sebagai berikut (Priyanto, 2009) :

9
Tabel 1. Klasifikasi Zat Berdasarkan Nilai LD50 nya

No Kategori Nilai LD50


1 Supertoksik < 5 mg/kg BB
2 Amat sangat toksik 5 50 mg mg/kg BB
3 Sangat toksik 50 500 mg/kg BB
4 Toksik sedang 0,5 5 g/kg BB
5 Toksik ringan 5 15 g/kg BB
6 Praktis tidak toksik >15 g/kg BB

2.4. Rancangan Uji Toksisitas

2.4.1. Pemilihan Hewan Percobaan

Pertimbangam dalam pemilihan hewan percobaan didasarkan pada

kemudahan dalam penanganan, harga yang terjangkau, kemudahan untuk

mendapatkan dan hasil dari percobaan yang cukup relevan dan konsisten. Yang

lazim digunakan pada uji toksisitas akut adalah tikus, mencit, marmut, kelinci,

babi ataupun monyet (Loomis, 1987). Sekitar 90% dari semua mamalia yang

digunakan dalam penelitian ilmiah, tikus dan mencit merupakan spesies hewan

yang hampir 4 kali lebih banyak digunakan dibanding dengan spesies lainnya

(Porter, 2000). Namun, hewan yang sering dipakai adalah mencit dengan

mempertimbangkan faktor ukuran, kemudahan perawatan, harga dan hasil yang

cukup konsisten dan relevan.

2.4.2. Cara Pemberian

Cara pemberian zat uji harus disamakan dengan penggunaan zat tersebut

pada manusia. Umumnya, zat uji diberikan melalui sonde secara peroral. Volume

cairan maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran hewan uji. Pada

10
rodensia, jumlah normalnya tidak melampaui 1 ml/100 g berat badan, namun bila

pelarutnya air (aquaedest) dapat diberikan hingga 2 ml/100 g berat badan.

Umumnya sediaan uji diberikan dalam volume yang tetap selama pengujian

(konsentrasi berbeda), akan tetapi jika bahan uji berupa cairan atau campuran

cairan, sebaiknya digunakan dalam bentuk tidak diencerkan (konsentrasi tetap)

(Anonima, 2014).

2.4.3. Metode Penentuan Nilai LD50

Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk menentukan nilai LD50

antara lain :

2.4.3.1. Metode Farmakope Indonesia

Menurut Farmakope Indonesia LD50 dihitung dengan rumus :

m = a-b (pi - 0,5)

Keterangan :

m =log LD50

a =log dosis terkecil yang masih menyebabkan jumlah kematian

100% pada hewan percobaan.

b = beda log dosis yang berurutan

pi =jumlah hewan yang mati menerima dosis i dibagi dengan

jumlah hewan seluruhnya yang menerima dosis i.

Persyaratan untuk menggunakan metoda yang tertera dalam Farmakope

Indonesia adalah :

1. Menggunakan seri dosis dengan pengenceran berkelipatan tetap.

11
2. Jumlah hewan percobaan atau jumlah biakan jaringan dalam tiap kelompok

harus sama.

3. Dosis diatur sedemikian rupa, sehingga dosis yang digunakan memberikan

efek kematian dari 0% sampai 100% dan perhitungan dibatasi oleh

kelompok percobaan yang memberikan efek dari 0% sampai 100%.

2.4.3.2. Metode Weil

Menurut cara Weil nilai LD50dihitung dengan rumus (Priyanto, 2009) :

Log m = log D + d(f + 1)

Keterangan :

m = nilai LD50

D = dosis terkecil yang digunakan

d = log dari kelipatan dosis

f = suatu nilai dalam tabel Weil, karena angka kematian tertentu (r).

2.4.3.3. Metode Kurva

Metode ini dikembangkan oleh Miller dan Tainter dengan menggunakan

kertas log probit. Garis vertikal merupakan nilai probit dan persentase respon

dalam skala logaritma, sedangkan garis horizontal merupakan log dosis yang

digunakan. Plot antara nilai log dosis terhadap nilai probit akan menghasilkan

kurva berupa garis lurus. Dari kurva tersebut dapat ditentukan harga LD50

(Thompson, 1985).

2.4.3.4. Metode Reed dan Muench

12
Nilai LD50 dihitung dengan menggunakan rumus (Priyanto, 2009) :

h = 50= % - a
b-a
i = log k
s
g=hxi

Y = g + log s

LD50 = anti log Y

Keterangan :

a = persentase kematian yang lebih kecil dari 50%

b = persentase kematian yang lebih besar dari 50%

i = kenaikan dosis

k = dosis yang menyebabkan kematian lebih besar dari 50%

s = dosis yang menyebabkan kematian lebih kecil dari 50%

h = ukuran jarak

g = hasil perkalian antara kenaikan dosis dengan ukuran jarak

Y = hasil penjumlahan antara g dengan log s

2.5. Ekstraksi

2.5.1. Pengertian Ekstrak dan Ekstraksi

Ekstrak merupakan sediaan kental yang diperoleh dengan cara

mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan

menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut

diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga

memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995).

13
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia

yang akan diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa

yang tidak dapat larut dan mempunyai struktur kimia yang berbeda-beda yang

dapat mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap

suhu, udara, dan logam berat (Anonimb, 2000).

Dalam mengekstraksi suatu tumbuhan sebaiknya menggunakan jaringan

tumbuhan yang masih segar, namun kadang-kadang tumbuhan yang akan

dianalisis tidak tersedia ditempat sehingga untuk itu jaringan tumbuhan yang akan

diekstraksi dapat dikeringkan terlebih dahulu (Anonimb, 2000). Untuk

mendapatkan ekstrak yang memenuhi standar mutu ada 2 hal yang perlu

diperhatikan yakni proses pembuatan ekstrak dan metode ekstraksinya (Anonimb,

2000).

14
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1. Metode Penelitian

3.1.1. Alat

Alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu alat suntik (sonde oral),

gelas beker, gelas ukur, kaca arloji, kandang tikus, pipet tetes, spatula, dan

timbangan hewan.

3.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun selendri (Apium

Graveolens L), aquadest, Na CMC, tikus putih jantan.

3.2. Prosedur Kerja

Pembuatan Sediaan Uji

Volume sediaan uji yang akan diinjeksikan secara oral ke dalam tubuh

hewan percobaan adalah maksimal 1 ml (Anonima, 2014). Berat zat uji yang akan

disuspensikan ditimbang terlebih dahulu berdasarkan konsentrasi dan masing-

masing dosis. Konsentrasi zat dihitung dengan menggunakan rumus :

VAO (ml) = Berat Badan (kg) x Dosis (mg/kg BB)


Konsentasi (mg/ml)

15
Keterangan :

VAO = Volume Administrasi Oral

Selanjutnya setelah diperoleh konsentrasi, zat ditimbang lalu disuspensikan

dengan Na CMC 1% dan diencerkan dengan aquadest hingga volume yang

dibutuhkan.

Analisis Data

Data kuantitatif yang diperoleh yaitu data berupa jumlah hewan coba yang

mati dalam waktu 3 hari setelah pemberian sediaan uji.

16
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :

Hasil uji pendahuluan LD50 3 hari ekstrak etanol daun selendri (Apium

Graveolens L) pada tikus putih jantan yang diberikan secara oral

dengan variasi dosis 50, 100, 200 mg/kg BB tidak menimbulkan

kematian pada hewan coba.

1. Hasil pengujian toksisitas akut adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Jumlah Kematian Hewan Coba pada Pengamatan 3 hari setelah


Pemberian Oral Sediaan Uji Ekstrak Etanol daun selendri (Apium
Graveolens L)
Dosis Ekstrak Jumlah Hewan Jumlah Jumlah Persentase
Etanol daun Uji Hewan Hewan Hewan yang
selendri (mg/kg Perkelompok Mati Hidup Mati (%)
BB)
50 1 0 1 0
100 1 0 1 0
200 1 0 1 0

4.2 Pembahasan

17
Uji toksisitas akut merupakan uji yang dilakukan untuk memperoleh nilai

LD50. Nilai LD50 merupakan suatu nilai yang menyatakan dosis yang dapat

menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan. Nilai ini dapat menunjukkan

keamanan terhadap penggunaan suatu zat (Anonima, 2014).

Prinsip utama pengujian toksisitas akut ini adalah pemberiaan sediaan uji

dalam beberapa tingkatan dosis pada beberapa kelompok hewan uji dalam periode

waktu yang singkat sehingga diperoleh nilai LD50(Timbrell, 2002).

Rute pemberian yang dipilih adalah rute secara oral, rute ini dipilih karena

pada dasarnya pemberian sediaan uji harus sesuai dengan cara pemberian atau

pemaparan yang diterapkan pada manusia (Anonima, 2014). Pemilihan hewan

yang digunakan pada uji toksisitas berdasarkan kepada metabolisme sediaan uji

yang menyerupai metabolisme pada manusia dan mudah tidaknya cara

penanganan hewan sewaktu dilakukannya percobaan (Anonima, 2014).

Hewan pengerat merupakan jenis hewan yang memenuhi syarat tersebut

sehingga paling banyak digunakan dan yang termasuk salah satu hewan pengerat

adalah tikus. Tikus jantan dipilih dengan pertimbangan bahwa mencit jantan tidak

mengalami hal-hal yang terjadi pada mencit betina seperti perubahan kondisi

hormonal pada masa-masa tertentu yang akan mempengaruhi hasil dari percobaan

(Anonima, 2014).

Ekstrak seledri dapat dikembangkan misalnya menjadi obat antiinflamasi

karena kandungan senyawa glikosida flavonoid yaitu apiin sehingga digunakan

fraksi air karena lebih mudah tertarik pada fraksi air.

18
Na CMC dapat digunakan sebagai penstabil atau mengentalkan bahan yang

mampu mengikat air sehingga molekul air terperangkap, dengan demikian ekstrak

menjadi sediaan yang tidak terpisah antara padatan dan pelarutnya agar dapat

diarbsorbsi sesuai dengan dosis yang telah ditentukan.

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan selama 3 hari dari ketiga hewan

coba pada tiga kelompok hewan tersebut masih hidup dan masih bergerak secara

aktif, hal ini di karenakan pada pemberian ekstrak kami tidak menggunakan Na

CMC sebagai bahan pengental sehingga pemberian oral pada hewan coba

kemungkinan besar hanya air saja sedangkan padatan yang berupa ekstrak uji

masih mengendap di dalam beaker glass

19
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengujian uji toksisitas akut ekstrak etanol daun selendri (Apium

Graveolens L) pada dosis 50 hingga 200 mg/kg BB terhadap tikus putih jantan

disimpulkan tidak toksik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Anonima, 2000,Departemen Pelaksanan Uji Klinik Obat Tradisional,Direktorat


Jendral POM Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, Jakarta.

Anonimb, 2000,Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat,Cetakan 1,


Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan, Jakarta.

Anonima, 2014, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. 7 Tahun 2014 : Pedoman Uji Toksisitas Nonklonik Secara In
Vivo.diakses 14 April 2015.

Anonimb, 2014, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. 13 Tahun 2014 : Pedoman Uji Klinik Obat Herbal,_diakses
23 April 2015.

Burkill, I,H., 1966,A Dictionary Of The Economic Products Of The Malay


Peninsula,Art Printing Works, Malaysia.

Delvia, S., 2014, Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Akar Dan Batang
Sekunyit (Fibraurea tinctoria Lour) pada Mencit Putih (Mus Musculus L)
Jantan, Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau.

Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia, Penerbit ITB, Bandung.

Hodgson, E., Levi P.E., 2000, A Textbook of Modren Toxicology, Mc Graw-Hill


Higher Education, Singapore.

Lu, F.C., 2006,Toksikologi Dasar (Asas Organ Sasaran dan Penilaian Resiko),
Edisi II, Penerjemah: E.Nugroho, Z.S. Bustaminan Z., Parmansjah,
Universitas Indonesia, Jakarta.

21
Loomis, T,A., 1987, Toksikologi Dasar, diterjemahkan oleh Donatus, I.A., edisi
III, IKIP Semarang Press, Semarang.

Mat, R. A., Samah, Z. A., Musaadah, N. M and Hussein, N., 2010., Asean Herbal
and Medicinal Plants, Natural Resources and Environment, Jakarta.

Murtie, A., 2013, Kupas Tuntas Pengobatan Tradisional : Pemahaman, Manfaat


teknik dan Praktek, Trans Idea Puslishing, Yogyakarta.

Ningsih. I., 2014, Isolasi dan Uji Aktivitas Sitotoksik Senyawa Murni dari Fraksi
Aktif Akar dan Batang Sekunyit (Fibraurea tinctoria Lour), Skripsi,
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau.

Porter, W., 2000, Rats and Mice : Introduction and Use In Research, Washington
University, USA.

Priyadi, H., 2010,Five Hundred Plant Species in Gunung Halimun Salak National
Park, West Java : A Checklist including Sundanese Names, Distribution and
Use, CIFOR, Bogor.

Priyanto, 2009, Toksikologi : Mekanisme, Terapi Antidotum dan Penilaian


Resiko, Leskonfi, Depok.

Rahayu, L., Zakir, L., dan Keban, S.A., 2013, TheEffect Of Rambutan
Seed(Nephelium lappaceum L.) Infusion On Blood Glucose And Pancreas
Histologi Of Mice Induced With Alloxan, Jurnal Ilmu Kefarmasian
Indonesia, Vol 11(1), 28-35.

Sharma, A. 2013.Berberine A Novel AntiDiabetic Drug.International Journal of


Research and Reviews in Pharmacyand Applied Science. Departement of
Botany.University of Rajasthan.Jaipur.

Schmitz, Gery., 2003, Farmakologi dan Toksikologi : Edisi 3, Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.

Soemardji, A. A., 2002, Toksisitas Akut dan Penentuan LD50 Oral dan Ekstrak
Air Daun Gandarusa (Justicia gendarussa Burm. F) pada mencit Swiis
Webster, Jurnal Matematika dan Sains. Vol 7(2), 57-62.

22
Sukandar, E., Y., 2005, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi : Industri-Klinik-
Teknologi Kesehatan, Departemen Farmasi, FMIPA : ITB, diakses_23 Mei
2015.

Timbrell, J. A., 2002, Introduction to Toxicology Ed. 3, Taylor & Francis,


London.

Thompson, E. B., 1985, Drug and Bioscreening Fundamentals of Drug


Evaluation Technique In Pharmacology, Graceway Publishing Company,
New York.

Wahyuono, S., Setiadi, J., Santosa, D., Hartati, M,S., Soekotjo., Widiastuti, S,M.,
dan Prihatiningtias,W., 2007,Identifikasi Struktur Senyawa Bioaktif Dari
Akar Kuning ( Fibraurea chloroleuca Miers.) (#03-SBK-029) Collected
From Central Kalimantan Forest, Skripsi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Wardana, R.P.V., 2014, Uji Toksisitas Antidiabetes Ekstrak dan Fraksi Akar dan
Batang Sekunyit (Fibraurea tinctoria Lour) secara in vitro melalui inhibisi
enzim-Glukokidasea, Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau.

Wang, H.,H., dan Yang, J.,Y., 2011, Traditional Herbal Medicine Research
Methods Chapter 7 : Safety Pharmacology and Toxicity Study of Herbal
Medicines.

23
24

Anda mungkin juga menyukai