Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

BAB I

Pendahuluan
BAB II

Tinjauan Pustaka

Definisi

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa eritema,

vesikel/ bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium

serta mata disertai gejala umum bervariasi dari ringan sampai berat

Epidemiologi

Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di

Amerika Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1 kasus

per juta orang per tahun.[4] Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa

dibandingkan pada anak-anak.[4] Sebagian besar terjadi pada dekade ke 2 dan ke 4

kehidupan, namun kasus ini telah dilaporkan terjadi pada anak-anak berumur 3

bulan.[7] Perempuan lebih sering terkena daripada pria dengan rasio 2:3. [4] SSJ

juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.[7]

Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata

lain, rata-rata jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%.[3] Penelitian

menunjukkan bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang

yang mengkonsumsi antibiotik penisilin yang terkena SSJ.[3]


II. 3. Etiologi

Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3)

keganasan, dan (4) idiopatik.[7]

Obat dan keganasan yang paling sering terlibat sebagai etiologi pada orang

dewasa dan orang tua.[7]

Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan

atau reaksi terhadap suatu obat.[7]

Oxicam NSAID dan sulfonamides yang paling sering terlibat di negara-

negara barat. Di Asia Tenggara, allopurinol adalah yang paling sering.[7]

Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah ditentukan sebelumnya,

ditemukan lebih dari dua pertiga dari semua pasien dengan sindrom

Stevens-Johnson (SSJ). Antikonvulsi karbamazepin, asam valproat,

lamotrigin, dan barbiturat juga telah terlibat.

Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ adalah herpes

simplex virus (HSV), AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis,

gondok, venereum lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan

variola.[7]

Penyebab bakteri adalah grup A beta streptokokus, difteri, brucellosis,

mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularemia, dan tifus. Sebuah kasus

baru-baru ini dilaporkan SSJ timbul setelah infeksi Mycoplasma

pneumoniae.[7]

Coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoplasmosis adalah

kemungkinan yang disebabkan oleh jamur.[7]


Malaria dan trikomoniasis telah dilaporkan sebagai penyebab protozoa.[7]

Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah diidentifikasi.[7]

Berbagai karsinoma dan limfoma telah dikaitkan.[7]

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah idiopatik pada 25-50% kasus.[7]

Sumber:http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id

=54&seg_id=1021 [9]
II.3. Patogenesis

Patogenesisnya masih belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan

reaksi alergi tipe III dan IV.[3] Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya

kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi

aktivasi sistem komplemen.[3] Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang

kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ


[3]
sasaran (target organ). Reaksi alergi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang

tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak kembali dengan antigen yang sama

kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.[3]

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks

antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah

satu tempat dalam jaringan tubuh. Akibat endapan kompleks antigen-

antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah maka kompleks tersebut

mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator

terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke

tempat tersebut akan merusak jaringan di sekitarnya dan mengakibatkan

reaksi radang.[10]

Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan

reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru

timbul 12-48 jam setelah terpajan antigen. Dalam hal ini tidak ada peran

antibodi. Akibat sensitisasi tersebut sel Th1 melepaskan limfokin antara


lain MIF, MAF. Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai mediator

(sitokin, enzim, dsb) sehingga dapat menyebabkan kerusakan

jaringan.[10].[11]

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang

diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis

obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat

yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi,

tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.[7]

Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin

dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa

menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan

dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang

diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 frekuensi fenotif di

Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar

suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.[7]

II.4. Gejala klinis

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas

belum begitu berkembang.[12] Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai

berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai

koma.[12] Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berkisar antara

1-14 hari berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri
tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot, dan atralgia yang

sangat bervariasi.[3]

Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput

lendir di orifisium, dan kelainan mata.[12]

a. Kelainan kulit

Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula,

bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau

nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik.

Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua

zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura, atau nekrotik, dikelilingi

oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi

bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit

yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit

menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.[7]

Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.[12] Kulit lepuh sangat

longgar dan mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang

dari 10% dari permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis

epidermis toksik, 30% atau lebih dari permukaan tubuh yang mengelupas.

Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada beberapa orang, rambut dan

kuku rontok.[13]
Peluruhan luas epidermis dari sindrom Stevens-Johnson.

Sumber : http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview [7]

Gambar 1
Gambar 2 Gambar 3

Keterangan : eritema-deskuamasi (gb.1), eritema-erosi-krusta-hemoragic

(gb.2) , dan plak(gb.3).


[6]
Sumber : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm

b. Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%),

kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di

lubang hidung (8%), dan anus (4%).[12] Kelainannya berupa vesikel dan bula

yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta

kehitaman.[13] Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir

kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis ulseratif

dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.[12] Kerusakan pada lapisan

mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk

makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga air liurnya menetes.[13]

Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius

bagian atas, dan esofagus. Adanya pseudomembran di faring dapat

menyebabkan keluhan sukar bernafas.[12] Kelainan pada lubang alat genital


akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang

selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan

diare dan sesak napas.[13]

Keterangan : vesikel-krusta (gb.1), eritema-erosi (palatum durum) (gb.2), dan

krusta (gb.3).
[6]
Sumber : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm

c. Kelainan mata

Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah

konjungtivitis kataralis.[12] Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,

blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis,

iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit dibuka,

dan disertai rasa sakit.[13] Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea
yang dapat menyebabkan kebutaan.[3] Cedera mukosa okuler merupakan

faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid,

merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan.

Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial

pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.[3]

Gambar 1 Gambar 2

Keterangan : eritema-erosi (gb.1) dan konjungtivitis (gb.2)

Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens%E2%80%93Johnson_syndrome

II.5. Diagnosa

Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias

kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang

secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala

prodormal. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan

darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah

dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat

dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau

sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah infeksi sekunder, terdapat

peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi. Kadar IgG dan IgM dapat
meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya

kompleks imun yang beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.[3]

Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari

perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.

Kelainan berupa :[12]

Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial

Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar

Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal

Nekrosis sel epidermal di adneksa

Spongiosis dan edema intrasel di epidermis

Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu

membedakan sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh

subepidermal lainnya. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah

dalam urin. Pemeriksaan elektrolit di lakukan untuk mengetahui apakah terjadi

gangguan keseimbangan asam basa. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro

duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. Dan fototoraks untuk

mengetahui adanya komplikasi pneumonitis.[7]

II.6. Diagnosis banding

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

Dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum

NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.[2] Pada penyakit ini terdapat
epidermolisis yang menyeluruh yaitu lebih dari 30% epidermis yang

terkelupas (tanda Nikolsky positif).[13]

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease)

Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang

mengelupas pada kulit. .[2] Biasanya mukosa jarang terkena.[12]

SSSS NET SSJ

Etiologi Staphylococcus aureus, Obat Obat, infeksi,

infeksi mata, infeksi THT Reaksi graft vs host keganasan, post

vaksinasi, radiasi,

makanan.

Pasien Anak-anak, bayi < 5 tahun Dewasa Dewasa, anak > 3

tahun

Gejala klinis Eritem muka, leher, Akut Gejala prodormal

inguinal, axila (24 jam) Gejala prodormal Trias :

generalis (24-48 jam) KU buruk Kulit: eritem, vesikel,

bula dinding kendur. Eritem generalisata, bula dan purpura,

Epidermolisis vesikel, bula, purpura Mukosa:orifisium

Nikolsky sign + Kulit, mukosa bibir- mulut, faring, traktus

Mukosa jarang mulut, orifisium respiratorius,

PA : celah pada sratum genital esophagus

granulosum Epidermolisis + (pseudomembran)

Nikolsky sign + Mata


PA : celah pada Epidermolisis

subepidermal Nikolsky sign

PA : kelainan dermis

sedikit sampai

nekrolisis epidermal

Komplikasi Selulitis, pneumonia, Akut Tubular Nekrosis Bronkopneumonia

septikemia

Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Edisi 5, 2007. [12]

Eritema multiforme (EM)

Onset mendadak progresif cepat, distribusi simetris, mengenai kulit

dan / atau mukokutan, dengan perubahan warna konsentris dalam beberapa

atau semua lesi. Lesi menyebar secara sentripetal yaitu mengenai telapak

tangan dan telapak kaki, punggung tangan, dan permukaan ekstensor

ekstremitas dan wajah. Pada keadaan berat mengenai seluruh tubuh. [7]

Gejala prodromal terjadi pada 50% kasus, biasanya 1-14 hari

sebelum lesi kulit berkembang. Gejala berupa demam, malaise, mialgia,

arthralgia, sakit kepala, sakit tenggorokan, batuk, mual, muntah, dan diare.

Timbul sensasi terbakar di daerah yang terkena. [7]


Lesi berupa eritem, meluas menjadi makula atau papula berevolusi

menjadi lesi yang khas bentuk iris (target lesion), terdiri 3 bagian yaitu

bagian tengah berupa vesikel atau eritema keunguan dikelilingi lingkaran

konsentris yang pucat kemudian lingkaran yang merah. Vesikulobulosa

berkembang dalam makula yang sudah ada sebelumnya, papula, atau

bercak. Keterlibatan mata terjadi pada 10% kasus EM, konjungtivitis

purulen kebanyakan bilateral dengan lakrimasi yang meningkat. Membran

mukosa terjadi pada sekitar 25% dari kasus EM, biasanya ringan, dan

biasanya melibatkan rongga mulut.[7]

Sumber:

http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg

_id=1021 [9]
II.7. Komplikasi

Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi

lain ialah kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok,

pada mata dapat terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena
[12]
gangguan lakrimasi. Pada gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada

genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada

penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat jaringan parut dan deformitas

kosmetik. Infeksi dapat kambuh karena penyembuhan ulserasi yang lambat.[7]

II.8. Pengobatan

Pertama, dan paling penting adalah harus segera menghentikan

penggunaan obat penyebab yang dicurigai. Dengan tindakan ini, kita dapat

mencegah keburukan. Orang dengan SSJ biasanya dirawat inap.[2] Bila mungkin,

pasien NET dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan

secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU.

Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar,

penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan dengan kalori

tinggi harus diberi melalui infus untuk membantu pemulihan. Antibiotik diberikan

bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.[2]

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati

SSJ/NET. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam

beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini

sebaiknya tidak dipakai.[2] Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang
meningkatkan risiko terjadinya infeksi yang gawat, apalagi pada ODHA dengan

sistem kekebalan yang sudah lemah.[2]

Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat

sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah : [2]

Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai. [2]

Kortikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,

kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid

sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan

steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat

dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap

steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. [2]

Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji

resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang

diberikan jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat

bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena

8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. Selain itu obat lain juga

dapat digunakan misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv dan seftriakson 2 g

iv sehari. [2]

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen

maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5

mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.

Sedangkan untuk cetirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun

: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari, > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. [2]


Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi

kalori dan protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya

dekstrose 5%, Nacl 9%, dan Ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam satu

labu, setiap 8 jam.[12]

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.[3]

Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin

perak.[12]

Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg

atau 1000 mg iv sehari.[12]

Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir

yang kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien

misalnya krim urea 10%.[12]

Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam

fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan

terjadinya kekeringan pada bola mata.[2]

Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah

terjadinya perlekatan konjungtiva.[2]

Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g / kg berat badan

per hari selama empat hari berturut-turut. Pemberian IVIG akan

menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang

dimediasi FAS.[14]

Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2

hari.[13]
Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat

leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi

leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung banyak

sitokin dan leukosit, jadi meningkatkan daya tahan tubuh.[12]

Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah :[12]

- Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada

perbaikan.

- Bila terdapat purpura generalisata

- Jika terdapat leukopenia

Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau

senyawa yang penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat

digunakan asalkan obat tersebut secara struktural berbeda dengan obat

penyebabnya.[7] Karena faktor genetik diduga berperan dalam kerusakan kulit dan

timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat yang dicurigai tidak boleh digunakan

dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus tentang risiko penggunaan ulang

obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada pasien dengan SSJ.[7]

II.9. Prognosis

SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi

mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat

dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan.[4]

Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi

sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.[7]


Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk.

Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat

menyebabkan kematian.[12] Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti

kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis.[7]

Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ)

meninggal akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan resiko

kematian.[7]

Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk

meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.[7]

Skor SCORTEN

Faktor prognosis Skor mortalitas

Umur > 40 tahun SCORTEN 0-1 > 3.2%

Keganasan SCORTEN 2 > 12.1%

Denyut jantung > 120 x/menit SCORTEN 3 > 35,3%

Persentase detasemen epidermis SCORTEN 4 > 58.3%

> 10% SCORTEN 5 atau lebih > 90%

BUN level >10 mmol/L

Kadar glukosa serum > 14 mmol

/L

Kadar bikarbonat < 20 mmol / L


BAB 2

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. E

Umur/Tanggal Lahir : 33 tahun

Jenis Kelamin : perempuan

Pekerjaan : IRT

No RM : 98 77 34

Alamat : Jalan Pepaya I No. 50 Belimbing

Status Perkawinan : Sudah Menikah

Negeri Asal : Padang

Agama : Islam

Suku : Minang

No Hp : 085274742179

3.2 ANAMNESIS

Seorang pasien perempuan umur 33 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M.

Djamil Padang pada tanggal 18 November 2017 dengan:

Keluhan Utama:

Bercak merah yang terasa gatal pada wajah, leher, dada, punggung dan

kedua lengan disertai mata merah dan perih sejak 3 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:


Awalnya 10 minggu yang lalu pasien mengalami kejang seluruh tubuh karena

pasien mempunyai riwayat epilepsi, lalu pasien minum carbamazepin 2x100mg

dan tapiramat 1x1tablet pasien baru pertama kali minum obat tersebut biasanya

pasien meminum luminal namun tidak tersedia lagi di daerah pasien. Tiga hari

yang lalu muncul bercak merah yang terasa gatal pada wajah leher, dada,

punggung dan kedua lengan disertai mata merah yang terasa perih. Kemudian

pasien berobat ke puskesmas, diberi obat CTM baru diminum satu kali, namun

keluhan tidak berkurang, bibir menjadi kering dan perih. Bibir semakin merah

kemudian pasien berobat ke RSUD Painan lalu dirujuk ke RSUP Dr. M.

Djamil. Riwayat nyeri BAK disangkal. Riwayat Sindroma nefrotik sejak 2

tahun yang lalu dan mendapatkan obat furosemid, captoril 2x 12,5 mg ,

metilprednisolon 3x12mg dan kontrol teratur.

Riwayat epilepsi sejak 25 tahun yang lalu. Rutin minum luminal selama

minum luminal, tidak ada keluhan kulit. Kejang terakhir 10 dialami 10 minggu

yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien tidak pernah memiliki keluhan seperti ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama

Riwayat Atopi/ Alergi:

Riwayat biring susu waktu kecil tidak ada.

Riwayat alergi makanan, cuaca, dan obat-obatan tidak ada.

Riwayat bersin di pagi hari dan saat terkena debu tidak ada.
Riwayat asma tidak ada.

Riwayat mata merah dan gatal tidak ada.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : CMC

Status gizi : BB :55 Kg

TB : 157 Cm

IMT : 22,3 ( Normal )

STATUS DERMATOLOGIKUS

Lokasi :Tersebar pada wajah, leher, Badan, kedua lengan dan

kedua tungkai.

Distribusi : Regional

Bentuk : Bulat - tidak khas

Susunan : Tidak khas

Batas : Tidak tegas

Ukuran : Plakat

Efloresensi : Terdapat erosi , ekskoriasi serta krusta berwarna

kekuningan dibibir. Terdapat injeksi konjungtiva pada kedua mata pasien,

terdapat makula eritem, papul eritem di wajah, dada, punggung dan kemaluan.

Terdapat erosi pada labia minora, terdapat sekret pada kedua mata , nikolsky +
Gambar 5: Tampilan wajah Gambar 6 : Tampilan Leher dan Dada

Gambar 7 : Tampilan Punggung Gambar 8 : Tampilan Genital

STATUS VENEREOLOGIKUS

Terdapat plak eritem disekitar

KELAINAN SELAPUT

Terdapat erosi dan ekskoriasi di bibir, terdapat injeksi konjungtiva pada

mata pasien

KELAINAN KUKU
Tidak ditemukan kelainan.

KELAINAN RAMBUT

Tidak ditemukan kelainan.

KELAINAN KELENJAR LIMFE

Tidak ditemukan kelainan.

3.4 RESUME

Seorang pasien perempuan umur 33 tahun datang ke IGD RSUP DR. M

DJamil Padang pada tanggal 18 November 2017 dengan keluhan utama Bercak

merah yang terasa gatal pada wajah, leher, dada, punggung dan kedua lengan

disertai mata merah dan perih sejak 3 hari yang lalu

Dari anamnesis didapatkan Awalnya 10 minggu yang lalu pasien

mengalami kejang seluruh tubuh karena pasien mempunyai riwayat epilepsi, lalu

pasien minum carbamazepin 2x100mg dan tapiramat 1x1tablet pasien baru

pertama kali minum obat tersebut biasanya pasien meminum luminal namun tidak

tersedia lagi di daerah pasien. Tiga hari yang lalu muncul bercak merah yang

terasa gatal pada wajah leher, dada, punggung dan kedua lengan disertai mata

merah yang terasa perih. Kemudian pasien berobat ke puskesmas, diberi obat

CTM baru diminum satu kali, namun keluhan tidak berkurang, bibir menjadi

kering dan perih. Bibir semakin merah kemudian pasien berobat ke RSUD Painan

lalu dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil. Riwayat nyeri BAK disangkal. Riwayat

Sindroma nefrotik sejak 2 tahun yang lalu dan mendapatkan obat furosemid,

captoril 2x 12,5 mg , metilprednisolon 3x12mg dan kontrol teratur.Riwayat


epilepsi sejak 25 tahun yang lalu. Rutin minum luminal selama minum luminal,

tidak ada keluhan kulit. Kejang terakhir dialami 10 minggu yang lalu.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus lokasi tersebar pada

wajah, leher, Badan, kedua lengan dan kedua tungkai,distribusi regional,

bentuk tidak khas, susunan tidak khas, batas tidak tegas, ukuran plakat,

efloresensi terdapat erosi , ekskoriasi serta krusta berwarna kekuningan

dibibir. Terdapat injeksi konjungtiva pada kedua mata pasien, terdapat makula

eritem, papul eritem di wajah, dada, punggung dan kemaluan. Terdapat erosi

pada labia minora, terdapat sekret pada kedua mata , nikolsky +. Pada

pemeriksaan mukosa didapatkan terdapat plak eritem disekitar kemaluan

terdapat erosi dan ekskoriasi di bibir, terdapat injeksi konjungtiva pada mata

pasien

3.5 DIAGNOSA KERJA :

Sindroma Steven Johnson e.c. alergi obat ec. Suspek Karbamazepin dan

Topiramate

Sindroma Nefrotik dalam terapi

Epilepsi dalam pengobatan \

3.6 DIAGNOSA BANDING :

3.6 PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN ANJURAN


a. Pemeriksaan Rutin

Pemeriksaan darah rutin dan elektrolit :

Hb : 13, 8 g/dl

Leukosit : 5.450mm3

K : 8,6 mg/dl

Ureum / Kreatinin : 27/ 0,8 mg/dl

SGOT/ SGPT : 21/36 u/l

Anjuran

- Pemeriksaan kimia darah

- Pemeriksaan gula darah

Untuk melihat prognosis berdasarkan SKORTEN

3.7 DIAGNOSIS

4 Sindroma Steven Johnson e.c. alergi obat ec. Suspek Karbamazepin dan

Topiramate

5 Sindroma Nefrotik dalam terapi

6 Epilepsi dalam pengobatan \

3.8 PENATALAKSANAAN

Terapi Umum :

1. Stop obat tersangka

2. Diet tinggi protein

3. Konsultaskan ke Bagian Mata, THT dan Penyakit Dalam


Khusus

Sistemik :

Injeksi Dexamethason 4 x 5mg IV (tappering off)

Injeksi Gentamisin 2 x 80 mg IV

Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg IV

Topikal :

Hidrokortison 2,5% oles dua kali sehari pada bercak merah

Kompres NaCl 0,9% 3x sehari pada bibir dan genital

RESEP

3.9 PROGNOSIS

Quo ad sanationam : Bonam

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad kosmetikum : Dubia et bonam

Quo ad functionum : Dubia et bonam

Nilai SKORTEN

Usia > 40 tahun (-)

Denyut Jantung > 120x/menit (-)

Epidermolisis > 10% (-)


Kadar urea serum > 28 mg/dl (-)

Kadar bikarbonat serum < 20 mEq/L (-)

Kadar GDS > 252 mg/dL (-)

Nilai SKORTEN : 1, angka kematian (3,2%)


BAB IV

DISKUSI

Telah diperiksa seorang pasien perempuan umur 33 tahun datang ke IGD

RSUP DR. M DJamil Padang pada tanggal 18 November 2017 dengan diagnosis

Sindroma Steven Johnson.

Dari anamne dengan keluhan utama Bercak merah yang terasa gatal pada

wajah, leher, dada, punggung dan kedua lengan disertai mata merah dan perih

sejak 3 hari yang lalu

Dari anamnesis didapatkan Awalnya 10 minggu yang lalu pasien

mengalami kejang seluruh tubuh karena pasien mempunyai riwayat epilepsi, lalu

pasien minum karbamazepin 2x100mg dan tapiramat 1x1tablet. Pasien baru

pertama kali minum obat tersebut biasanya pasien meminum luminal namun tidak

tersedia lagi di daerah pasien. Tiga hari yang lalu muncul bercak merah yang

terasa gatal pada wajah leher, dada, punggung dan kedua lengan disertai mata

merah yang terasa perih mengeluarkan kotoran dan lecet pada kemaluan yang

terasa nyeri. Kemudian pasien berobat ke puskesmas, diberi obat CTM baru

diminum satu kali, namun keluhan tidak berkurang, bibir menjadi kering dan

perih. Bibir semakin merah kemudian pasien berobat ke RSUD Painan lalu

dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil. Riwayat nyeri BAK disangkal. Riwayat

Sindroma nefrotik sejak 2 tahun yang lalu dan mendapatkan obat furosemid,

captoril 2x 12,5 mg , metilprednisolon 3x12mg dan kontrol teratur.Riwayat

epilepsi sejak 25 tahun yang lalu. Rutin minum luminal selama minum luminal,

tidak ada keluhan kulit. Kejang terakhir dialami 10 minggu yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus lokasi tersebar

pada wajah, leher, Badan, kedua lengan dan kedua tungkai,dengan distribusi

regional, bentuk tidak khas, susunan tidak khas, batas tidak tegas, ukuran plakat,

efloresensi terdapat erosi , ekskoriasi serta krusta berwarna kekuningan dibibir.

Terdapat injeksi konjungtiva pada kedua mata pasien, terdapat makula eritem,

papul eritem di wajah, dada, punggung dan kemaluan. Terdapat erosi pada labia

minora, terdapat sekret pada kedua mata , nikolsky sign +. Pada pemeriksaan

mukosa didapatkan terdapat plak eritem disekitar kemaluan terdapat erosi dan

ekskoriasi di bibir, terdapat injeksi konjungtiva pada mata pasien.

Berdasarkan hasul anamnesis dan pemeriksaan fisik, sesuai dengan

Sindroma Steven Johnson karena alergi obat. Sindroma Steven Johnson

merupakan penyakit akibat reaksi hipersensitivitas yang menyerang mata,

orificium , dan kulit. Pada pasien ini ketiga organ tersebut terkena. Pasien ini tidak

mengalami gejala prodromal dan didahului adanya riwayat minum obat

sebelumnya. Sebagian besar SSJ disebabkan oleh konsumsi obat seperti derivat

penisilin , carbamazepin , OAINS dan lain lain. Pemeriksaan anjuran diperlukan

pada pasien ini untuk menilai prognosis pasien melalui SKORTEN. Pemeriksaan

yang dibutuhkan adalah pemeriksaan darah rutin , elektrolit, pemeriksaan kimia

darah berupa urea serum dan kadar bikarbonat serum serta pemeriksaan gula

darah sewaktu.

Tatalaksana umum pada pasien ini berupa edukasi pada pasien untuk

menghentikan obat tersangka dan menerapkan diet tinggi protein. Diet tinggi

protein berguna untuk membangun kembali jaringan jaringan kulit, mukosa dan

mata yang rusak. Konsultasikan ke bagian lain seperti THT , Mata dan Penyakit
Dalam karena pada SSJ seiring terjadi komplikasi ke mata dan bagian yang

memiliki mukosa lainnya. Injeksi deksamethason diberikan untuk mengatasi

reaksi inflamasi yang terjadi pada SSJ. Injeksi Gentamicin untuk menghindari

infeksi sekunder pada kulit yang mengalami kerusakan, karena sawar kulit yang

rusak rentan untuk menjadi port d entree mikroba patogenik. Injeksi ranitidin

diberikan untuk mengatasi kerusakan mukosa saluran cerna.

Pemberian obat topikal berguna untuk

DAFTAR PUSTAKA

1. Staff mayo clinic : Stevens-Johnson syndrome. Diakses tanggal : 30

Mei 2010. Diunduh dari : http://www. mayoclinic.com/health/Stevens-

johnson-syndrome/ds0094

2. Allan, dr. : Referat sindrom stevens Johnson. Diakses tanggal : 30 Mei

2010. Diunduh dari : http://www.scribd.com/doc/16796718/Referat-

Steven-Johnson

3. Anonym. Diakses tanggal : 1 Juni 2010. Diunduh dari :

http://hajaddb.co.cc/sindrom-stevens-johnson-ssj

4. Wikipedia : Stevens-Johnson syndrome. Direvisi terakhir : 28 Mei

2010. Diakses tanggal : 31 Mei 2010. Diunduh dari :

http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens%E2%80%93Johnson_syndrome
5. Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W. Erupsi Alergi

Obat. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius.

Jakarta 2002 : 136-138.

6. Anonym. Diakses tanggal 30 Mei 2010. Diunduh dari :

http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm

7. Parrillo J Steven, DO, FACOEP, FACEP : Stevens-Johnson

Syndrome. Direvisi terakhir 25 Mei 2010. Di akses tanggal : 30 Mei

2010. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/756523-

overview

8. Yusra Pintaningrum, Ari Baskoro, Agung Pranoto : Penatalaksanaan

penderita Sindroma Stevens-Johnson dan Toxic Necrolysis Epidermal.

Dikutip tanggal :31 Mei 2010. Diunduh dari :

http://arekkardiounair.blogspot.com/2008/09/penatalaksanaan-

seorang-penderita.html

9. Anonym. Diakses tanggal : 10 Juni 2010. Diunduh dari :

http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_i

d=54&seg id=1021

10. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions,

2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006. Diakses tanggal : 1 Juni 2010.

Diunduh dari : http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf

11. Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto : Sindrom stevens Johnson.

Diakses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari :


http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-steven-

johnson/#more-34

12. Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta 2007 : 163-166.

13. Peter C. Schalock, MD : Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and

Necrolysis Epidermal Toxic . The merck manual. 2006. Dikutip tanggal :

30 Mei 2010. Diunduh dari :

http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html

14. Pierre-Dominique Ghislain MD, Jean-Claude Roujeau MD :

Pengobatan reaksi obat yang parah: Stevens-Johnson Syndrome,

Toxic epidermal dan sindrom hipersensitif Necrolysis. Dermatology

Online Journal 8(1): 5. 2002. Dikutip tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh

dari :

http://dermatology.cdlib.org/DOJvol8num1/reviews/drugrxn/ghislain.ht

ml

Anda mungkin juga menyukai